"Kalian saling mengenal?"
Rachel tersadar dari keterkejutannya ketika Gideon menginterupsi ia dan Angie yang terlihat sama-sama kebingungungan dengan pertanyaan lelaki itu."Ya, begitulah ceritanya panjang," tukas Rachel pendek sementara Angie tidak mengucapkan apa-apa, ia terlihat berinteraksi dengan Luna.Mereka terlihat akrab, pikir Rachel. Dalam benaknya ia menebak apa hubungan Angie dengan Gideon? Apakah ia mantan istri Gideon? Seingatnya mantan istri lelaki itu aktris juga? Berarti bukan, lantas di mana mereka saling mengenal dan bagaimana bisa ia bertemu dengan perempuan itu sekarang dalam situasi seperti ini? Dunia memang sempit."Luna, main sama tante Angienya nanti lagi ya? Hari ini kita pergi sama tante Rachel dulu, Luna mau kan?"Lamunan Rachel terhenti ketika tatapan anak perempuan kecil itu terarah padanya, ia tersenyum kaku sembari merendahkan tubuhnya untuk menyapa anak itu. Tak seburuk dugannya Luna balas tersenyum dan mengangguk."Pinter, ya udah pamit dulu sama tante Angie sayang."Mereka pergi setelah itu, Rachel dan Angie bahkan tidak bertukar sapaan lagi. Mereka hanya bertukar senyum—senyum yang maknanya hanya mereka sendiri yang tahu."Kita mau ke mana papa?" tanya Luna ketika mobil mereka mulai melaju meninggalkan playgroup, Gideon menoleh pada anak itu sembari tersenyum."Luna mau ke akuarium kan kemaren? Mau lihat ikan besar?""Mau! Mau! Luna Mau!" seru anak itu antusias."Tante Rachel bilang mau ajak Luna lihat ikan besar," tambah Gideon lagi sembari melirik ke arahnya begitu pun Luna."Tante suka ikan juga?" tanya Luna."Suka! Nanti di akuariumnya Luna bukan cuma bisa lihat ikan lho, di sana ada ubur-ubur!" balas Rachel ramah sementara anak itu mengernyit."Ubur-ubur itu apa?" bingungnya, Rachel terkekeh gemas sebelum mengusak pelan surai cokelat anak perempuan itu."Temannya ikan, warnanya cantik banget, Luna pasti suka!"Anak perempuan itu mengangguk antusias, Rachel melirik ke arah Gideon yang juga menatap ke arahnya mereka berdua bertukar senyum penuh arti.Pertemuan mereka kali itu berjalan dengan lancar, Rachel banyak berinteraksi dengan Luna selama mereka mengunjungi akuarium. Mereka juga membeli banyak merch untuk oleh-oleh—sebenarnya Rachel yang memaksa membelikannya untuk Luna karena Gideon terus menolak pemberiannya.Mereka pulang ketika hari sudah gelap dan Luna terlelap di bangku mobil, Rachel menutup pintu mobilnya hati-hati ketika Gideo mengantar ke kediamannya."Makasih buat hari ini, aku cukup menikmatinya," ucap Rachel sementara Gideon hanya terkekeh pelan."Justru aku yang harus berterima kasih, Luna banyak merepotkanmu," ucap lelaki itu sembari menatap lurus ke arah Rachel."Aku tidak merasa direpotkan, benar apa yang kau katakan, Luna anak yang pintar, kau membesarkannya dengan baik," sanggah Rachel yang dijawab Gideon dengan anggukan."Baiklah, beristirahatlah, aku akan menghubungimu nanti."Rachel hanya mengangguk, perempuan itu melambaikan tangannya ketika mobil Gideo mulai melaju meninggalkan kediamannya.Ternyata tidak seburuk itu.Rachel sedang menggunakan ponselnya, mengetik pesan panjang untuk Gideon sembari mengeluh karena ia menyalakan AC terlalu dingin, ponselnya berdering. Telepon dari Hera. Perempuan itu memutar bola matanya."Bagaimana kencanmu?""Tidak ada pertanyaan lain?" ketusnya."Oh ayolah ..." balas perempuan itu jenaka, Rachel terkekeh kecil. Ia sudah mandi dan bersiap untuk tidur setelah pulang dari akuarium tadi, tapi untuk beberapa alasan ia tak bisa tidur."Tidak ada yang bisa aku ceritakan sekarang, aku mengantuk," keluh Rachel pelan. Perempuan itu berguling malas di atas ranjangnya, memposisikan tubuhnya terlentang menatap lampu kamarnya."Tidak seburuk itu kan? Kau terdengar gembira dari nada suaramu?""Memangnya terdengar begitu? Bagaimana kau bisa tahu?""Kau pikir seberapa lama kita sudah berteman?" ketus Hera sementara Rachel terkikik geli."Benar juga," bisiknya sembari berguling lagi di atas ranjang kali ia memposisikan dirinya menyamping menatap nakas, kembali sibuk dengan pikirannya sendiri."Chel?""Hm?""Ada yang salah? Kenapa kau terdiam?"Rachel tersenyum kecil, "kenapa? Kau baru khawatir sekarang setelah memaksaku untuk melakukan ini semua dengan Gideon?" kesalnya.Hera mendengus diseberang sana, "bagaimana pun aku sahabatmu, jangan membuatku khawatir."Rachel tertawa pelan sembari menyamankan posisi tidurnya, perempuan itu memeluk boneka penguinnya erat."Aku baik-baik saja, hanya ada beberapa pikiran yang tiba-tiba muncul ....""Beritahu aku.""Kau tidak perlu tahu semua hal Ra," tukas Rachel singkat."Tapi jika itu mengganggumu kau harus membaginya denganku."Rachel tahu sahabatnya itu selalu mengetahui segala hal tentangnya dan selalu benar-benar peduli dengannya, pada saat ini hubungan ia dan Hera bahkan mungkin sudah seperti kakak beradik."Terima kasih tapi kurasa aku baik-baik saja, ini tidak penting.""Tidak penting tapi kau terdengar tersiksa di sana.""Oh diam lah!""Ayolah beritahu aku!"Rachel menghela napas panjang, pelukannya pada boneka penguinnya semakin erat."Aku bertemu dengan Angie ketika menjemput Luna tadi.""APA?"Gideon, yang masih terkejut dan terpaku pada kenyataan bahwa sepupunya mengenal Rachel, menghindari pertanyaan itu. “Kau mengenal pacarku?”“Tentu saja tidak, duh. Tapi kami masuk universitas yang sama, dia satu tahun di atasku. Aku tidak mengenalnya secara pribadi tetapi aku melihatnya di kampus dan di pesta-pesta. Dia sangat populer. Banyak orang yang tertarik padanya, termasuk aku. Bahkan ketika dia belum menjadi seorang aktris. Tak kusangka kau akan berkencan dengannya.”Ekspresi tidak senang pasti terpancar di wajahnya, karena sepupunya itu cepat membela diri. Rafi mengangkat kedua tangannya seolah mencoba menenangkannya, dan tertawa terbahak-bahak."Jangan khawatir! Semua orang naksir dia, oke? dan itu dulu. Ia adalah orang terpintar di Fakultasnya. Ia juga merupakan kapten tim Cheerleaders. Bukankah itu sangat diminati? Tapi aku rasa Kau sudah mengetahui semua ini.”Gideon tentu saja tidak mengetahui semua ini. Perasaan resah menguasainya saat Gideon menyadari bahwa dia tidak t
Ketika dia yakin keponakan Gideon sedang sibuk dan anak Gideon—Luna masih fokus pada kartu mainannya, Rachel menggunakan kesempatan ini dan menoleh ke Gideon di sofa sambil berbisik dengan marah, “Hei! Kau menyuruhku untuk berpura-pura kalau aku sangat mencintaimu, tapi kau bahkan tidak berpura-pura kalau kau sangat mencintaiku!Gideon mengangkat alisnya, “Apa maksudmu?! Aku memegang tanganmu tadi!” Lelaki yang lebih muda mendesis membela diri.“Lalu perkenalan membosankan apa tadi? Sebenarnya kau ini ingin aku ada di sini atau tidak?”Gideon melirik ke sekeliling ruangan untuk memastikan tidak ada yang bisa mendengarnya dan berbaring ke bantal sofa, seolah menyembunyikan dirinya. “Aku tidak bisa memaksakan diri untuk bersikap mesra. Kupikir aku bisa melakukannya, tapi itu sangat memalukan di depan keluargaku sendiri!”Rachel benar-benar tidak bisa mempercayai lelaki itu. “Hei, berusahalah lebih keras, kau kan aktor!” gertak perempuan itu, “Aku tidak bisa terlihat seperti orang yang l
Gideon menuntun mereka menyusuri lorong yang menghubungkan pintu masuk ke area utama rumah tempat pesta diadakan. Ujung lorong terbuka ke dapur, yang terhubung dengan ruang makan dan ruang tamu.Saat mereka mendekati ujung lorong, Rachel mendengar banyak suara yang semakin keras hingga mereka akhirnya memasuki dapur untuk menunjukkan kedatangan mereka yang sangat dinantikan. "Kami tidak terlambat kan?" Gideon menyapa dengan santai. Dan saat mendengar suara Gideon, semua mata di ruangan itu langsung tertuju padanya, disertai senyuman cerah dan seringai jenaka.“Gideon! akhirnya, kau di sini!” Seorang wanita yang lebih tua bergegas menyambut mereka terlebih dahulu, yang Rachel asumsikan adalah ibu Gideon. Gideon melepaskan genggamannya di tangan Rachel untuk memeluk dan mencium pipi ibunya. Setelah dia menarik diri, dia mengalihkan kembali perhatiannya ke arah Rachel. "Dan ini adalah ..." lelaki itu memberinya senyuman penuh pengertian, matanya berbinar. Rachel memperhatikan mata ibu Gi
Gideon datang menjemput Rachel pada Sabtu pagi. Hari di mana pesta ulang tahun keponakan Gideon yang diadakan di rumah kakak perempuannya yang terletak di luar kota tapi tak terlalu jauh, sekitar setengah jam perjalanan dari tempat tinggal mereka. Ketika Rachel memasuki mobil Gideon, lelaki yang lebih muda melihat buket bunga yang ada di tangan Rachel dengan raut bingung penuh rasa ingin tahu.“Itu untuk ibumu. Jangan salah paham.”Rachel menatap kembali ke jalan raya, dan dia sadar bahwa dia tidak tahu persis siapa yang dia temui. Apakah hanya keluarga dekat Gideon saja? Atau sepupunya juga? Seberapa besar keluarganya? “Ngomong-ngomong, kau bilang keluargamu ingin bertemu denganku, tapi siapa yang bilang sebenarnya? Siapa saja yang akan hadir di pesta itu?” tanya Rachel pelan.Gideon melirik sebentar ke sampingnya dan seringai kecil mulai terbentuk di bibirnya, “Kenapa? Kau merasa gugup? Kau tidak bisa mundur sekarang.”“Bisakah kau diam dan jawab saja pertanyaannya.”“Oke maaf, tent
Rachel menapaki perjalanan kembali ke perusahaan setelah makan siang yang sama sekali tidak memenuhi asupan energi hariannya melainkan dipenuhi gangguan Gideon seperti sebelumnya. “Berapa umur keponakanmu? Bukankah seharusnya kita membelikannya hadiah?”“Ayi berusia enam tahun. Biar aku saja yang akan membeli sesuatu untuknya dan mencantumkan nama kita berdua di sana.” Gideon menekan tombol di penyeberangan, simbol tangan merah masih menyala."Apa? Tidak mungkin, Aku yakin kau akan memilih hadiah yang membosankan seperti buku tulis atau semacamnya. Biar aku saja membelinya, aku cukup pintar memilih hadiah untuk Luna kan?” sungut Rachel sembari mengerutkan kening.Gideon menyipitkan matanya ke arahnya. “Tidak, kau bahkan tidak mengenal Ayi. Aku yang akan membelinya."“Jika namaku akan tercantum di sana, lebih baik itu menjadi hadiah terbaik di pesta. Pokoknya aku yang harus membelinya.”“Hei! Aku pamannya! Kenapa jadi kau yang harus membelinya?!”“Hei tuan kalau kau lupa, aku pacar (pa
Pagi-pagi sekali Rachel Harus terbangun karena suara lengkingan dering ponsel yang mengganggu tidur pulasnya, ia bahkan baru saja tidur setelah overthinking semalaman. Perempuan itu menghela napas sembari meraba-raba nakas, menempelkan ponsel ke telinganya tanpa melihat dulu siapa penelepon yang berani mengganggu tidurnya, matanya bahkan masih tertutup."Aku akan membelikanmu makan siang, sebagai permintaan maaf, kau mau?"Jadi di sinilah dirinya—ralat ia dan Gideon. Mereka berjalan tanpa suara ke Cherryberry Bakery & Cafe, toko roti lokal kecil yang hanya berjarak tujuh menit dari gedung agensi tempat kerja mereka. Rachel melirik sekilas ke arah lelaki bertubuh jangkung itu, yang anehnya tampak tegang. Lonceng di pintu berbunyi ketika mereka membukanya untuk masuk ke dalam kafe roti di lingkungan kuno, aroma kopi dan makanan panggang menyambut mereka saat mereka masuk. Mereka berjalan melewati meja dan kursi kayu, dan mendekati konter yang terletak di belakang untuk memesan. Pajangan
Rachel menyamankan tubuhnya di atas ranjang, perempuan itu sudah mengganti pakaiannya ke setelan piyama merah muda kesayangannya. Rambut pirangnya tampak tertata bergelombang dan hiasan wajahnya tampak elegan malam itu, jelas saja ia hendak keluar untuk bertemu Gideon. Kalau saja lelaki itu tidak membatalkannya secara tiba-tiba."Setidaknya kalau memang mau membatalkannya lakukan itu dari kemarin! sia-sia aku berdandan seperti ini," keluh Rachel sembari mengunyah popcorn di tangannya kesal. Perempuan itu mengambil laptopnya untuk memutar tayangan episode pertama marriage life simulation yang sebentar lagi akan tayang, perempuan bersurai pirang itu menghela napasnya keras."Lagipula siapa yang mau menonton dengannya! Cih! Aku sudah cukup muak bertemu dengannya hampir setiap hari."Meski begitu Rachel berkali-kali melirik ponselnya yang tergeletak di atas tempat tidur, menunggu penjelasan dan permintaan maaf dari lelaki yang lebih muda. Perempuan itu sebenarnya menebak mungkin karena L
[REKAMAN_DIMULAI_02]Direktor : "Adegan pertama pengambilan gambar kalian pertama kali pindah ke apartemen, lakukan saja secara natural hal-hal yang biasa kalian lakukan saat pertama kali datang ke apartemen."Aktor 1 : "Aku biasanya langsung tidur lalu esok harinya baru berbenah."Direktor : "Jangan bawa kebiasaan burukmu ke depan kamera Gideon, apa kau tidak mendengar tentang kata 'acting' tentu saja maksudku kau harus memolesnya semenarik mungkin!"Aktor 1 : "Kau tidak bilang begitu tadi— baiklah, baiklah! Aku hanya bercanda."Aktor 2 : "Bagaimana kalau kita merencanakannya dari sekarang."Aktor 1 : "Apa yang perlu direncanakan? Bukankah lebih baik kita melakukannya secara spontan agar terlihat lebih meyakinkan?"Aktor 2 : "Aku juga berpikir begitu tapi mengingat aku mengambil gambar denganmu aku tak yakin kita bisa melakukannya dalam satu atau dua kali take, kita bisa saja tidak pulang sampai sore!"Aktor 1 : "Apa maksudmu? Kau lah yang sering membuat kesalahan setiap mengambil ga
[REKAMAN_DIMULAI_01]Direktor : "Camera ... Rolling ... Action!"Aktor 1 : "Sudah dimulai? Apa yang harus aku katakan?"Direktor : "Kamera sudah bergulir sejak tadi."Aktor 1 : "Kau tidak memberi aba-aba! Aku bahkan belum siap!."Direktor : "Tak masalah Gideon. Kita bisa mulai lagi. Kau sudah siap bukan sekarang?"Aktor 1 : "Sebentar, biarkan aku menarik napas ... baiklah aku siap."Direktor : "Oke. Kita ulang, satu dua tiga ... Act—"Aktor 1 : "Aku lebih suka jika kau menghitungnya terbalik pak sutradara."Direktor : "Maaf, apa?"Aktor 1 : "Aku pikir itu akan lebih baik jika hitungannya tiga, dua, satu."Direktor : "Kenapa itu penting, Tuan Gideon yang terhormat?"Aktor 1 : "Itu berpengaruh performaku, kau membuatku kebingungan."Direktor : "Baiklah... Kalau begitu, mari kita mulai dengan hitungan terbalik. Tiga. Dua. Satu. Action!"Aktor 1 : "Hai semua, aku Gideon, dan umurku dua puluh lima-"Direktor : "Berhenti. Berhenti. Bisakah kau membuka perkenalan dengan lebih menawan dan me