Rachel menjauhkan ponselnya ketika mendengar teriakan Hera, manajer sekaligus sahabatnya itu lantas berujar maaf.
"Dia tidak melakukan apa-apa padamu kan?"
"Atau jangan-jangan dia merencanakan sesuatu yang buruk lagi?"
Rachel menggelengkan kepalanya, meskipun ia tahu Hera tak bisa melihatnya di seberang sana. Perempuan itu mengembuskan napas lelah.
"Kurasa tidak, lagi pula kita sudah tidak bertemu selama lebih dari lima tahun ... pertemuan kami kemarin pun hanya kebetulan saja," tukas Rachel pelan yang lantas disetujui oleh manajernya.
"Benar juga, tapi aku tidak menyangka kalau Gideon mengenal Angie," gumam Hera pelan.
"Kau yang mengenalkanku padanya kenapa kau tidak mengetahui dengan siapa ia berteman?"
"Hei, aku tidak sebegitu dalam memperhatikannya Chel ..."
Rachel terdiam, sebenarnya ia juga mempertanyakan bagaimana Angie dan Gideon bisa saling mengenal? Dan sedang apa perempuan itu di playgroup? Menjemput anaknya? Setahunya Angie juga belum menikah, atau mungkin sudah tanpa sepengetahuannya?
"Chel? Kau baik-baik saja? Rachel?"
"Hah? Oh, aku baik," jawab Rachel gelagapan tersadar dari lamunannya sementara Hera hanya menggelengkan kepalanya maklum.
"Kau sudah tidak fokus, tidurlah, besok masih ada jadwal pemotretan untukmu."
"Ya, terima kasih sudah mengingatkan," sarkas Rachel sembari memutar bola matanya malas.
"Hei, bersemangatlah ... aku melakukan ini untukmu juga oke?"
"Baiklah ibunda ratu."
"Kau memanggilku apa barusan? Hei—" telepon diputus secara sepihak, Rachel terkikik pelan karena ia tahu Hera akan mengutuknya melalui pesan nanti. Perempuan itu lantas kembali pada posisi awalnya, berbaring menghadap langit-langit. Kembali tenggelam dalam pikirannya sendiri.
"Sudahlah, jangan terlalu banyak berpikir Rachel, itu bukan urusanmu."
Lagipula, semua ini hanya sandiwara. Pada akhirnya semuanya akan berakhir.
***
Gideon sedang bersandar di sisi mobilnya, menunggu teman-temannya meninggalkan kantor entah apa yang dibicarakan lelaki itu dengan direktur agensinya.
"Kau merokok?" Lelaki itu terkejut dengan kemunculan Rachel yang tiba-tiba dari sisi lain, lelaki itu kemudian dengan buru-buru menyembunyikan puntung rokok yang ia isap tadi.
"Oh, tidak ... um aku hanya butuh pelepasan,” ucap Gideon pelan.
"Menunggu siapa? Oh manajermu?” tanya Rachel ia melihat lelaki berkumis tipis yang berjalan mendekati mereka. Gideon tidak mengucapkan sepatah kata pun setelahnya, dan diam-diam duduk di kursi mobil.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
"Pemotretan, dan urusan lain," jawab Rachel sembari mengangkat bahunya santai.
Manajer Gideon lantas menyapa Rachel ketika ia sudah tiba dihadapan mereka, tentu saja lelaki itu menawarkan Rachel tumpangan.
“Tidak perlu, rumahku dekat dari sini,” jawab Rachel sembari tersenyum. Gideon tidak mengucapkan sepatah kata pun seperti yang Rachel duga, entahlah lelaki itu terlihat dalam suasana hati yang buruk dan Rachel tidak begitu mengenal lelaki itu untuk mengetahui penyebabnya.
"Kau benar-benar tidak ikut dengan kami?" tanya manajer Gideon lagi.
Rachel menggelengkan kepalanya, "ya, kalian duluan saja, aku masih ada urusan."
Perempuan itu melambaikan tangannya ketika mobil berwarna merah itu melaju menjauh dari pandangannya sementara Gideon masih melirik Rachel yang berdiri di samping trotoar melalui kaca spion.
Manajer lelaki itu menggelengkan kepalanya sembari tertawa pelan.
“Apakah kalian bertengkar? Ada apa denganmu hari ini?” tanyanya serius sementara Gideon masih betah terdiam, menyalakan kembali rokok yang sempat ia matikan karena kehadiran Rachel tadi.
"Tidak," jawabnya singkat sembari menyenderkan punggungnya.
"Hei, sudah kubilang jangan merokok di mobilku Gideon!"
"Oh ayolah, hanya kali ini saja," bujuk Gideon sembari membuka kaca jendela mengembuskan napasnya berat.
“kami tidak pernah bertengkar, aku hanya sedikit lelah hari ini,” ucap Gideon lagi.
“Kau yakin? Aku bisa berbicara dengan manajer Rachel jika kau ada masalah,” kata manajernya itu lagi sembari melirik Gideon sebelum fokus pada kemudinya.
“Tidak usah, aku bisa mengurusnya sendiri,” balas Gideon singkat, dalam benaknya ia mengutuk jika manajernya bertanya lagi ia akan meninggalkan manajernya di jalanan, dan mengambil alih kemudi. Beruntung lelaki itu tak bertanya lagi, mereka bergeming sampai mereka tiba di tempat tujuan.
Ketika Gideon turun akhirnya manajernya kembali angkat bicara untuk menanyakan pertanyaan yang ingin dia tanyakan tadi.
“Omong-omong, kau ingat jadwalmu besok kan?” tanya manajernya, berusaha terdengar acuh tak acuh. Gideon bertukar pandang dengan manajernya sebelum mengangguk.
"Hanya beberapa pengambilan gambar untuk iklan, aku bisa mengurusnya," jawabnya yang dibalas anggukan mengerti oleh manajernya.
"Besok aku yang akan mengambil pakaianmu dari stylist, aku akan menjemputmu jam sembilan, apa kau keberatan?"
"Besok aku harus mengantar Luna, jadi kau tidak perlu menjemputku, aku bisa datang sendiri."
Lagi-lagi manajernya itu hanya mengangguk, "baiklah, jangan terlambat, besok juga kau ada pertemuan terkait pemotretan dengan Rachel."
Gideon yang sebelumnya hendak masuk ke dalam rumahnya berbalik, "dengan Rachel?"
"Ya, promosi untuk program reality akan segera dimulai," balas manajernya singkat.
Gideon terdiam sebentar sebelum mengangguk, lagipula ia tak akan bisa menolak. Ia hanya penasaran saja bagaimana rasanya bekerja dengan Rachel? Mereka belum pernah berada dalam projek yang sama, tapi ini cukup bagus mengingat ini adalah salah satu cara untuk meyakinkan publik.
"Apakah Rachel sudah tahu tentang ini?"
"Kenapa kau tidak menghubunginya sendiri?" goda manajernya sembari menaikkan alis, Gideon hanya menjawabnya dengan dengusan.
Ya, mungkin Gideon harus menghubungi perempuan itu. Sekaligus meminta maaf karena sikap dinginnya hari ini.
Gideon, yang masih terkejut dan terpaku pada kenyataan bahwa sepupunya mengenal Rachel, menghindari pertanyaan itu. “Kau mengenal pacarku?”“Tentu saja tidak, duh. Tapi kami masuk universitas yang sama, dia satu tahun di atasku. Aku tidak mengenalnya secara pribadi tetapi aku melihatnya di kampus dan di pesta-pesta. Dia sangat populer. Banyak orang yang tertarik padanya, termasuk aku. Bahkan ketika dia belum menjadi seorang aktris. Tak kusangka kau akan berkencan dengannya.”Ekspresi tidak senang pasti terpancar di wajahnya, karena sepupunya itu cepat membela diri. Rafi mengangkat kedua tangannya seolah mencoba menenangkannya, dan tertawa terbahak-bahak."Jangan khawatir! Semua orang naksir dia, oke? dan itu dulu. Ia adalah orang terpintar di Fakultasnya. Ia juga merupakan kapten tim Cheerleaders. Bukankah itu sangat diminati? Tapi aku rasa Kau sudah mengetahui semua ini.”Gideon tentu saja tidak mengetahui semua ini. Perasaan resah menguasainya saat Gideon menyadari bahwa dia tidak t
Ketika dia yakin keponakan Gideon sedang sibuk dan anak Gideon—Luna masih fokus pada kartu mainannya, Rachel menggunakan kesempatan ini dan menoleh ke Gideon di sofa sambil berbisik dengan marah, “Hei! Kau menyuruhku untuk berpura-pura kalau aku sangat mencintaimu, tapi kau bahkan tidak berpura-pura kalau kau sangat mencintaiku!Gideon mengangkat alisnya, “Apa maksudmu?! Aku memegang tanganmu tadi!” Lelaki yang lebih muda mendesis membela diri.“Lalu perkenalan membosankan apa tadi? Sebenarnya kau ini ingin aku ada di sini atau tidak?”Gideon melirik ke sekeliling ruangan untuk memastikan tidak ada yang bisa mendengarnya dan berbaring ke bantal sofa, seolah menyembunyikan dirinya. “Aku tidak bisa memaksakan diri untuk bersikap mesra. Kupikir aku bisa melakukannya, tapi itu sangat memalukan di depan keluargaku sendiri!”Rachel benar-benar tidak bisa mempercayai lelaki itu. “Hei, berusahalah lebih keras, kau kan aktor!” gertak perempuan itu, “Aku tidak bisa terlihat seperti orang yang l
Gideon menuntun mereka menyusuri lorong yang menghubungkan pintu masuk ke area utama rumah tempat pesta diadakan. Ujung lorong terbuka ke dapur, yang terhubung dengan ruang makan dan ruang tamu.Saat mereka mendekati ujung lorong, Rachel mendengar banyak suara yang semakin keras hingga mereka akhirnya memasuki dapur untuk menunjukkan kedatangan mereka yang sangat dinantikan. "Kami tidak terlambat kan?" Gideon menyapa dengan santai. Dan saat mendengar suara Gideon, semua mata di ruangan itu langsung tertuju padanya, disertai senyuman cerah dan seringai jenaka.“Gideon! akhirnya, kau di sini!” Seorang wanita yang lebih tua bergegas menyambut mereka terlebih dahulu, yang Rachel asumsikan adalah ibu Gideon. Gideon melepaskan genggamannya di tangan Rachel untuk memeluk dan mencium pipi ibunya. Setelah dia menarik diri, dia mengalihkan kembali perhatiannya ke arah Rachel. "Dan ini adalah ..." lelaki itu memberinya senyuman penuh pengertian, matanya berbinar. Rachel memperhatikan mata ibu Gi
Gideon datang menjemput Rachel pada Sabtu pagi. Hari di mana pesta ulang tahun keponakan Gideon yang diadakan di rumah kakak perempuannya yang terletak di luar kota tapi tak terlalu jauh, sekitar setengah jam perjalanan dari tempat tinggal mereka. Ketika Rachel memasuki mobil Gideon, lelaki yang lebih muda melihat buket bunga yang ada di tangan Rachel dengan raut bingung penuh rasa ingin tahu.“Itu untuk ibumu. Jangan salah paham.”Rachel menatap kembali ke jalan raya, dan dia sadar bahwa dia tidak tahu persis siapa yang dia temui. Apakah hanya keluarga dekat Gideon saja? Atau sepupunya juga? Seberapa besar keluarganya? “Ngomong-ngomong, kau bilang keluargamu ingin bertemu denganku, tapi siapa yang bilang sebenarnya? Siapa saja yang akan hadir di pesta itu?” tanya Rachel pelan.Gideon melirik sebentar ke sampingnya dan seringai kecil mulai terbentuk di bibirnya, “Kenapa? Kau merasa gugup? Kau tidak bisa mundur sekarang.”“Bisakah kau diam dan jawab saja pertanyaannya.”“Oke maaf, tent
Rachel menapaki perjalanan kembali ke perusahaan setelah makan siang yang sama sekali tidak memenuhi asupan energi hariannya melainkan dipenuhi gangguan Gideon seperti sebelumnya. “Berapa umur keponakanmu? Bukankah seharusnya kita membelikannya hadiah?”“Ayi berusia enam tahun. Biar aku saja yang akan membeli sesuatu untuknya dan mencantumkan nama kita berdua di sana.” Gideon menekan tombol di penyeberangan, simbol tangan merah masih menyala."Apa? Tidak mungkin, Aku yakin kau akan memilih hadiah yang membosankan seperti buku tulis atau semacamnya. Biar aku saja membelinya, aku cukup pintar memilih hadiah untuk Luna kan?” sungut Rachel sembari mengerutkan kening.Gideon menyipitkan matanya ke arahnya. “Tidak, kau bahkan tidak mengenal Ayi. Aku yang akan membelinya."“Jika namaku akan tercantum di sana, lebih baik itu menjadi hadiah terbaik di pesta. Pokoknya aku yang harus membelinya.”“Hei! Aku pamannya! Kenapa jadi kau yang harus membelinya?!”“Hei tuan kalau kau lupa, aku pacar (pa
Pagi-pagi sekali Rachel Harus terbangun karena suara lengkingan dering ponsel yang mengganggu tidur pulasnya, ia bahkan baru saja tidur setelah overthinking semalaman. Perempuan itu menghela napas sembari meraba-raba nakas, menempelkan ponsel ke telinganya tanpa melihat dulu siapa penelepon yang berani mengganggu tidurnya, matanya bahkan masih tertutup."Aku akan membelikanmu makan siang, sebagai permintaan maaf, kau mau?"Jadi di sinilah dirinya—ralat ia dan Gideon. Mereka berjalan tanpa suara ke Cherryberry Bakery & Cafe, toko roti lokal kecil yang hanya berjarak tujuh menit dari gedung agensi tempat kerja mereka. Rachel melirik sekilas ke arah lelaki bertubuh jangkung itu, yang anehnya tampak tegang. Lonceng di pintu berbunyi ketika mereka membukanya untuk masuk ke dalam kafe roti di lingkungan kuno, aroma kopi dan makanan panggang menyambut mereka saat mereka masuk. Mereka berjalan melewati meja dan kursi kayu, dan mendekati konter yang terletak di belakang untuk memesan. Pajangan