Enam tahun menikah dengan Erik, Lavanya hidup dalam tekanan. Ia bukan hanya istri tapi juga tulang punggung keluarga suaminya. Mertua dan iparnya terus membandingkannya dengan wanita lain. Sementara Erik lebih sibuk bermain game daripada mencari nafkah. Lavanya bertahan hanya demi Belia, putri kecilnya yang sangat menyayangi ayahnya. Namun, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan Danish, mantan kekasihnya dulu. Berbeda dengan Erik, Danish memberinya perhatian dan kasih sayang serta materi yang berlimpah. Lavanya dihadapkan pada pilihan sulit. Tetap bertahan demi putrinya atau mengikuti kata hatinya untuk bersama Danish?
View More"Cuma ini? Uang segini dapat apa? Sekarang apa-apa mahal, harga sembako naik. Token listrik baru lima hari udah bunyi, belum lagi gas dan pulsa!"
Lavanya menatap nanar ke arah Neli, ibu mertuanya yang tengah marah-marah padanya.
Lavanya baru saja memberikan uang sebanyak satu juta padanya. Ia baru menerima gaji, dan seperti biasa setiap kali habis gajian Lavanya selalu menyetorkan jatah untuk sang mertua.
Lavanya cukup tahu diri. Ia masih tinggal menumpang di rumah mertuanya.
"Maaf, Bu, adanya cuma segitu," ujar Lavanya. Ia tidak mungkin memberikan semua uang yang dimilikinya pada Neli, sedangkan Lavanya juga punya kebutuhan yang harus dipenuhi.
"Bohong! Kamu kira ibu nggak tahu?!" Neli membelalak padanya. "Sini!" Wanita paruh baya itu merebut tas Lavanya yang tersampir di bahu kemudian membuka tas tersebut.
Begitu menemukan dompet Lavanya, Neli mengambil sejumlah uang di sana hingga hanya menyisakan tiga helai uang kertas berwarna merah.
"Bu, jangan, Bu. Aku juga butuh uang itu, Bu." Lavanya memohon agar Neli mengembalikan uang yang ia ambil.
Gaji yang Lavanya terima tidak seberapa karena setiap bulan dipotong untuk pembayaran kas bon di kantornya. Setiap bulan ia harus menyetor satu juta pada mertuanya, lima ratus ribu untuk suaminya, dan sisanya baru untuk dirinya sendiri dan kebutuhan Belia—anaknya. Tapi sekarang hanya disisakan tiga ratus ribu saja.
"Kenapa tidak boleh? Uang ini gunanya untuk membiayai kehidupan kita sehari-hari. Termasuk makan kamu dan anak kamu!" ucap Neli ketus.
"Aku tahu, Bu, tapi biasanya nggak sebanyak itu…."
"Ibu 'kan sudah bilang! Sekarang semua harga lagi pada naik. Uang satu juta mana cukup!" sentak Neli, ia menatap Lavanya tajam. "Dengar, Lavanya, uang ini bukan untuk Ibu sendiri tapi biaya hidup kita sekeluarga. Sedangkan kamu cuma untuk beli skincare!"
Lavanya menggeleng. Alih-alih akan membeli skincare, berbedak pun ia jarang. Kadang ia hanya memakai bedak tabur anak-anak milik Belia.
"Nih!" Neli mengembalikan tas Lavanya dengan kasar kemudian berlalu pergi dari hadapannya.
Lavanya membeku di tempat merenungi nasib yang malang. Sudah bertahun-tahun ia menanggung seluruh biaya hidup keluarga suaminya.
Bukan hanya mertua, tapi juga kakak iparnya yang janda dan memiliki dua orang anak. Sedangkan Erik—suami Lavanya—hanyalah seorang pengangguran.
Erik dipecat dari kantornya akibat sering membangkang pada atasan dan kinerjanya yang sangat buruk. Ia tidak mau bekerja lagi jika hanya menjadi karyawan biasa.
Meski ingin, tapi Lavanya tidak bisa lepas dari Erik karena sudah tidak punya keluarga. Kedua orang tuanya sudah lama meninggal.
"Mama! Mama sudah pulang?" Suara Belia membuyarkan lamunan Lavanya.
Lavanya mengusap matanya yang berkaca-kaca lalu tersenyum pada anaknya yang berumur lima tahun. "Sudah, Nak."
"Ma, aku mau jajan. Minta uang ya, Ma?"
Lavanya mengiyakan lalu mengambil uang lima ribu dari dalam tasnya, kemudian memberikannya pada Belia.
"Makasih ya, Ma!" kata anak itu terlihat riang.
"Iya, Sayang, hati-hati." Lavanya membelai kepala Belia.
"Nya, kasih uang jajan untuk Yosi dan Yoga juga."
Suara itu tiba-tiba terdengar, berasal dari mulut Iris—kakak iparnya.
Lavanya terdiam. Sebenarnya ia tidak memiliki kewajiban untuk memberi uang belanja pada anak-anak Iris. Tapi kalau Lavanya menolak maka bisa dipastikan Iris akan mengadu pada Neli. Lalu mertuanya yang cerewet itu akan mengomelinya habis-habisan dan mengatainya pelit.
"Mbak, uang aku tinggal dikit. Tadi aku baru aja setor sama Ibu. Coba Mbak minta sama Ibu," kata Lavanya mencoba menolak.
"Aku tuh minta sama kamu, bukan sama Ibu! Nggak usah ngajarin aku. Jangan pelit-pelit lah. Lupa kalau di sini kamu hanya numpang?"
Lagi-lagi hal itu yang dijadikan senjata oleh keluarga Erik.
"Aku tahu, Mbak. Tapi uangku tinggal tiga ratus ribu."
"Oh gitu? Jadi kamu nggak mau?" Suara Iris meningkat beberapa oktaf.
"Bukan nggak mau, Mbak, tapi ... ya sudahlah."
Lavanya akhirnya mengalah. Ia memberikan masing-masing lima ribu rupiah untuk anak kakak iparnya.
"Yaaah, cuma lima ribu," kata anak-anak tidak tahu terima kasih itu.
"Uang Tante hanya ada segitu. Tadi Belia juga Tante kasih lima ribu kok," ujar Lavanya.
Anak-anak itu kemudian berlari pergi untuk jajan.
Iris mendengkus. "Dasar pelit!" umpatnya pada Lavanya sebelum ikut bergerak pergi.
Hati Lavanya terasa sakit. Ia sudah berusaha sebaik mungkin, tapi tetap saja semua yang ia lakukan tidak ada artinya bagi mertua dan kakak iparnya.
Lavanya kemudian masuk ke kamar dan menemukan suaminya sedang main game online. Itulah kegiatan Erik sehari-hari.
Lavanya sering menyuruh untuk mencari kerja, tapi Erik berdalih ia tidak ingin gaji yang kecil. Erik ingin langsung menjadi bos.
"Mas," panggil Lavanya.
Erik mendongak dari ponselnya lalu menengadahkan tangannya. "Mana? Kamu udah gajian, 'kan?"
Lavanya menatap Erik nanar. Kenapa semua orang di rumah ini hanya menjadikannya bagai kerbau yang membajak sawah?
"Nggak ada, Mas."
"Nggak ada gimana?" suara Erik meninggi.
"Tadi udah diambil Ibu satu juta tujuh ratus. Kalau Mas mau uang, Mas minta sama Ibu."
"Kamu yang kerja kenapa aku mintanya sama Ibu?"
Lavanya berusaha menyabarkan diri. "Ibu maksa aku buat ngasih lebih dari biasanya, Mas. Ibu merampas tas aku dan mengambil sendiri uangnya di sana."
"Jadi kamu mau menyalahkan Ibu? Wajar Ibu minta uang sama kamu. Kita 'kan masih numpang di sini."
"Makanya kita pindah aja dari sini ya, Mas? Kita ngontrak rumah atau ngekos kamar. Walau kecil nggak apa-apa."
"Kamu jangan ngomong yang aneh-aneh, Nya! Aku nggak mungkin ninggalin Ibu. Aku satu-satunya lelaki dewasa di rumah ini. Aku nggak mungkin membiarkan Ibu tinggal sama Mbak Iris. Mereka itu perempuan."
Ayah Erik memang sudah tiada. Dan setiap kali Lavanya mengajak pindah, Erik selalu menjadikan itu sebagai alasan.
Lavanya meremas ujung bajunya. Lututnya terasa goyah.
Siklus ini selalu berulang. Bukan hanya fisiknya yang lelah, tapi juga pikiran dan batinnya.
Erik menghempaskan ponselnya ke kasur lalu keluar dari kamar dengan wajah kesal. Lelaki itu sedikit membanting pintu.
Diam-diam Lavanya mengikutinya. Langkahnya tertahan ketika ia mendengar percakapan Erik dan Neli.
"Ibu beneran ambil uang 1,7 juta dari Lavanya?"
"Iya, kenapa? Istri kamu itu udah ngadu?" Neli menatap garang.
"Kenapa sebanyak itu, Bu? Biasanya 'kan cuma satu juta."
"Harga sembako pada naik. Uang satu juta udah nggak ada artinya!"
"Tapi, Bu, di sana ada uang aku juga. Minta aku lima ratus. Aku mau beli rokok."
Di detik itu Neli memandang tajam pada Erik. "Ibu 'kan udah bilang nggak cukup! Istrimu makin lama juga makin pelit. Mending kamu nikah lagi!"
Erik tertawa mendengarnya.
"Ibu nggak main-main, Rik," ucap Neli sungguh-sungguh. "Kamu masih ingat Mona anaknya Pak Eko kan? Mantan kamu dulu. Dia cantik, banyak uang dan nggak pelit kayak istrimu. Kamu kan gagah. Dia pasti mau sama kamu. Hidup kita terutama kamu akan bahagia. Nggak kayak sama si Lavanya!"
Dari balik lemari Lavanya mendengar semuanya. Hatinya bagai teriris-iris mendengar perkataan mertuanya, apalagi Erik hanya tertawa, bukannya membantah atau marah saat disuruh nikah dengan wanita lain.
**
Epilog - Rumah Bernama Cinta Suara dua orang anak kecil laki-laki dan perempuan yang berlarian di halaman memecah keheningan pagi yang dingin. Mereka terus berlari sambil tertawa mengejar gelembung sabun yang melayang-layang di udara.Di atas kursi rotan di depan rumah, Danish duduk diam, mengamati dari jauh. Matanya yang teduh menyimpan beribu kenangan. Pikirannya mulai berkelana, menemui dirinya tiga tahun yang lalu. Pada malam yang mengubah segalanya.Malam itu Danish mengajak Lavanya ke rumah mewahnya untuk berbicara dengan kedua orang tuanya."Pulang juga kamu akhirnya," suara Ophelia menyambut Danish. Bibirnya mengukir senyum penuh kemenangan. Wanita itu pikir setelah pembicaraan mereka tadi siang Lavanya akhirnya menyerah lalu pergi selamanya dari kehidupan Danish. Ia yakin sepenuhnya akan hal itu. Danish juga membenci Lavanya dan tidak akan memaafkannya setelah menyaksikan pemandangan menyakitkan di kafe.Danish dan Lavanya tidak akan tahu bahwa pertemuan dengan Ronald di kaf
Lavanya terengah keluar dari kafe. Titik-titik hujan menampar-nampar wajahnya. Pikirannya penuh oleh wajah Danish. Tatapan penuh luka lelaki itu jauh membuatnya tersiksa. Lavanya lebih suka jika Danish berteriak memakinya ketimbang perlakuan yang didapatnya dari Danish tadi.Langkahnya terhenti tepat di pintu apartemen. Barangkali setelah ini ia tidak akan melihat Danish lagi di dalam sana. Setelah apa yang terjadi Lavanya yakin jika Danish pergi dari hidupnya. Ia tidak akan menemukan lagi barang-barang lelaki itu di dalam apartemennya. Tidak ada lagi orang yang setiap malam tidur di sofa. Atau bermain pura-pura menjadi keluarga dengan anaknya.Lavanya menghela napas. Pandangannya kemudian tertuju ke unit sebelah. Sempat terniat untuk menjemput Belia. Tapi detik berikutnya Lavanya berubah pikiran. Lebih baik ia mandi dulu dan menenangkan diri. Setelahnya barulah menjemput sang putri.Tangannya gemetar saat menekan beberapa digit angka yang merupakan password apartemennya.Lavanya mel
Senja itu sepulang kerja Lavanya melangkah masuk ke sebuah kafe yang berada tidak jauh dari kantornya. Ia berjanji bertemu dengan Danish di sana.Danishlah yang ingin berjumpa dengannya. Bukan Lavanya.Sejak pergi makan siang dengan Agatha, pria itu tidak kembali ke kantor. Ia hanya mengirimi Lavanya pesan yang berisi ajakan untuk bertemu. Padahal mereka tidak perlu bertemu di luar. Mereka berjumpa setiap hari di apartemen.Sembari menyesap hazelnut latte-nya, Lavanya memandang titik-titik hujan yang meluncur di luar sana melalui jendela kaca kafe.Sudah tiga puluh menit berlalu dari waktu yang ditentukan. Namun, Danish masih belum datang.Lavanya mengecek ponselnya. Kalau saja ada pesan baru atau panggilan tak terjawab dari Danish. Namun, yang ia temukan hanya pesan ajakan bertemu yang diterimanya beberapa jam yang lalu.Lavanya kemudian mengirimi Danish pesan. Mengatakan bahwa dirinya sudah berada di kafe. Tidak ada jawaban dari lelaki itu.Mungkinkah dia sedang sibuk dengan Agath
Hari-hari berikutnya berjalan begitu saja. Danish benar-benar tinggal di apartemen Lavanya. Ia tidur di sofa setiap malam. Bangun pagi-pagi sekali dan menyiapkan sarapan untuk mereka bertiga. Ia juga memastikan keadaan Lavanya dan Belia baik-baik saja. Namun, bagi Lavanya yang paling membuat sesak dari semua itu adalah Danish yang terlalu sempurna dari peran yang dulu Lavanya inginkan dari Erik. Belia sangat dekat dengan Danish. Bahkan kini memanggilnya dengan sebutan 'Papa Danish' ketika keduanya bermain pura-pura menjadi keluarga di living room apartemen mereka. Suatu malam ketika Lavanya pulang lebih larut dari biasanya karena ada pekerjaan yang harus ada diselesaikan, ia mendapati Danish tertidur di sofa sambil memegang buku cerita anak-anak. Sedangkan tangannya yang lain pria itu jadikan bantal untuk Belia. Irama napas putri kecilnya menyatu dengan ritme tenang napas Danish. Mereka terlihat bagaikan ayah dan anak sesungguhnya. Lavanya mematung melihat pemandangan itu. In
Malam itu pintu apartemen Lavanya diketuk berkali-kali. Lavanya yang sedang mengemasi barang-barang dan memasukkan ke dalam koper terpaksa menghentikan aktivitasnya untuk sejenak. Lavanya berniat untuk pergi dari apartemen yang dipinjamkan Danish sebagai tempat tinggalnya. Ia sudah memutuskan untuk keluar dari hidup Danish. Jadi ia tidak akan tanggung-tanggung.Lavanya melangkah ke arah pintu. Ia mengintip dari kaca kecil.Jantungnya menghentak ketika tahu siapa tamu di luar sana.Danish.Untuk apa lelaki itu datang malam-malam begini?Ah iya, itu, kan, memang kebiasaannya. Setiap pulang kerja Danish tidak langsung pulang ke rumah, tapi ke apartemen Lavanya dulu.Lavanya mengembuskan napas. Ia sedang malas bertemu dengan Danish. Lavanya tidak ingin membuat keadaan sulit ini semakin rumit. Tapi untuk saat ini menghindari Danish bukanlah cara yang tepat. Akhirnya Lavanya memutuskan untuk membuka pintu walau sebenarnya Danish bisa langsung masuk karena dia mengetahui password apartemen
Setelah lama bermenung memikirkan cara untuk mempertahankan Lavanya, sebuah ide cemerlang melintas di pikiran Danish.Ia sudah lama menunggu Lavanya kembali ke pelukannya. Dan setelah perempuan itu berada di tangannya, Danish tidak semudah itu untuk melepaskan.Diambilnya gagang telepon, didekatkannya ke telinga. "Lavanya, ke ruanganku sekarang," perintahnya begitu panggilannya mendapat sambutan.Tidak kurang dari dua menit Lavanya tiba dan duduk di seberang Danish."Ada apa Bapak memanggil saya?""Aku sudah baca surat pengunduran diri kamu. Dan jawabannya adalah tidak. Kalaupun kamu bersikeras ingin resign ada syarat yang harus dipenuhi.""Syarat apa, Pak?" Lavanya bertanya antusias.Danish menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Tangannya terlipat di dada. "Syaratnya sederhana. Selama satu bulan ke depan kita tinggal bersama. Entah di apartemenmu atau di apartemenku. Biar kutunjukkan alasannya kenapa kamu nggak boleh pergi."Lavanya terperangah. "Apa maksud Bapak?""Selama satu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments