Home / Young Adult / Pertemuan Kedua : Dia yang Kembali / Urutan Pertama dan Urutan Kedua

Share

Urutan Pertama dan Urutan Kedua

Author: ajengpttry
last update Last Updated: 2024-11-06 09:54:39

Seekor kupu-kupu mengelilingi ruang kelas. Orang bilang itu adalah tanda sebuah kedatangan, namun Ayumi tak peduli. Di atas meja yang bersih, ia meletakkan kepala dengan helaan napas. Ada begitu banyak kekesalan yang tersangkut di tenggorokannya, apalagi kejadian kemarin kembali melintas dengan kejam.

“Hei.”

Arkan berjalan dengan kaki panjangnya. Ia menarik kursi dan duduk menyamping. Senyuman di wajah tampannya terlihat mengerikan.

“Hei.”

Sekali lagi Arkan bersuara, menyapa Ayumi yang sibuk memalingkan muka.

“Aku memanggilmu.”

Sebuah tangan terulur cepat, Ayumi tidak memiliki waktu untuk bersembunyi lagi. Jadi, ia terpaksa bertemu tatap dengan Arkan.

“Kamu menyebalkan!”

Ayumi mendorong dada Arkan, dagunya kembali bertumpu di atas meja. Kicauan burung hari ini terdengar bising di telinganya. Mereka berterbangan dengan bebas di udara. Bulu-bulu gelapnya menari-nari bersama angin yang berhembus.

Diam-diam Arkan memerhatikan gadis di hadapannya. Kedua tangan putih itu terlipat di meja, kepala dengan rambut terikatnya menatap ke luar jendela. Tak lama jari-jemarinya mengetuk beraturan, menghasilkan kebisingan yang nyaman didengar.

Seolah dilemparkan ke masa lalu, sudut-sudut bibir Arkan bergetar. Lambat laun, tawa kecilnya berubah menjadi tawa besar. Bahkan kini tangannya bergerak memukul-mukul meja.

“Siapa yang mengizinkanmu tertawa?”

Bagi Arkan, wajah kesal gadis itu adalah sebuah penghiburan. Napas memburunya sama seperti hari itu. Bahkan cara mengumpatnya pun terdengar menyenangkan.

Berkat kegaduhan itu, tatapan penasaran tertuju pada dua meja yang terletak di tengah-tengah ruangan.

Karena tidak ingin menjadi bahan perbincangan, Arkan menarik tawanya dengan paksa. Raut wajahnya kembali seperti sediakala.

“Apa itu sakit?” tanyanya sembari menunjuk dahi sang lawan bicara.

Buru-buru Ayumi menutupi luka yang ada di kepala. Ia menggeleng ragu lantas kembali menurunkan tangannya. Melihat Arkan tersenyum gadis itu malah mengalihkan pandangan. Suara gesekan antara kaki kursi dan lantai terdengar saat ia mencoba menghitung jumlah semut yang memanjang di tembok kelas.

“Ha?”

Suara Ayumi terdengar kacau, dalam sekejap hitungan di kepalanya buyar. Hal itu terjadi karena Arkan mengambil alih kendali wajahnya.

“Kamu sangat cero-”

“Aku tidak!”

Bentakan dari Ayumi disambut tarikan bibir oleh Arkan. Tangannya yang baru saja ditepis menggantung di udara.

“Ya, kamu sangat teliti.”

Keduanya menjauh begitu Guru Liam memasuki ruang kelas. Para pelajar mengeluarkan buku Matematika dan peralatan lainnya. Ada banyak kertas warna-warni di meja, Ayumi tersenyum sembari bersenandung. Amarahnya lenyap tepat setelah ia membaca kalimat penyemangat yang tertempel di sana.

“Hari ini kita akan membahas materi bentuk pangkat.”

Ayumi mengambil pena dengan bibir yang masih tersungging. Penjelasan di depan menjadi titik fokus untuk semua penghuni ruangan, kecuali Arkan. Kakinya menyilang, tangan sebelah kanan menyangga buku gambar, sedangkan tangan lainnya menuntun pensil berwarna.

Soal pertama berhasil diselesaikan, setelahnya sesi tanya jawab akan dimulai. Siswa-siswi dipanggil acak, mereka berdiri dengan angkuh lantas melontarkan jawaban yang sudah diperhitungkan.

“Silahkan jawab, Arkan.”

Refleks Ayumi menoleh, ia tersenyum mengejek begitu mendapati pria itu tengah bermain-main di dalam kelas. Tubuh tingginya bangkit dari kursi, menemani Guru Liam agar tidak sendirian.

“Tiga pangkat empat dikali dua pangkat tiga belas.”

“Dia?”

Hampir saja mata Ayumi melompat ke luar. Arkan menjawab dengan cepat, bahkan ia tak menyia-nyiakan waktu sedetik pun untuk menghitung di buku pelajarannya.

“Oke, bagus!”

Guru Liam menutup buku sembari tersenyum, wajahnya secerah mentari di luar kelas. Tubuh tegap itu bersiap untuk meninggalkan ruangan. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti, mata tajam itu tertuju pada gadis yang masih membeku di tempatnya.

“Ayumi kenapa?”

Sontak seluruh perhatian tumpah pada Ayumi yang kini melirik bingung. Mulutnya bergerak-gerak tanpa mengeluarkan suara.

“Lain kali fokus!”

“Iya, Pak. Maaf.”

Dengan cepat Ayumi menundukkan kepala, rambutnya pun ikut bergerak menggapai meja. Perlahan rasa penasaran penghuni lain terbayarkan, mereka mulai melepaskan pandangan. Jam pelajaran kedua sebentar lagi dimulai, siswa-siswi itu sibuk mengganti buku untuk pertemuan baru.

Sekali lagi Ayumi melirik Arkan, pemuda itu kembali tenggelam bersama lukisannya.

“Kenapa? Tertarik dengan hasil gambarku?”

Ia bertanya tanpa mengangkat kelopak mata. Tangan kanannya meliuk-liuk di atas buku, ujung sepatunya mengetuk lantai bergantian.

“Siapa yang tertarik? Bahkan kamu melakukan sesuatu bukan pada tempatnya.”

Tepat setelah Ayumi menyelesaikan ucapannya, Redo memunculkan diri dengan raut tak terima.

“Hei Nona Muda, sepertinya kamu tidak tahu kalau temanku ini adalah pemilik urutan pertama!”

Dagunya terangkat tinggi, matanya menatap Ayumi dari puncak kepala hingga ujung kaki. Begitu menyadari ejekan yang dilontarkan, Ayumi memusatkan perhatian padanya.

“Hei Tuan Muda, bukankah kamu juga tidak tahu kalau aku berada di urutan kedua?”

Tiba-tiba sebuah tawa mengalun sendirian, dengan perasaan dongkol Ayumi menghentikan interaksi.

“Dia kejam sepertimu!”

Redo memukul lengan Arkan yang masih mengeluarkan tawa. Bahunya bergetar, bahkan ujung matanya mulai berair.

“Bukankah tadi dia menirumu?” tanyanya yang malah mendapatkan pukulan kedua.

Ayumi mendengar semuanya, perdebatan kecil itu memicu kerucutan di bibir. Lama-kelamaan suara mereka mengganggu ketenangan, apalagi Dean mulai menimpali obrolan. Kesabaran Ayumi sudah terjun ke jurang, ia meremas kertas sembari menggumamkan umpatan.

“Diam!”

Ada begitu banyak bahu yang melonjak, detik berikutnya mata-mata yang penasaran itu kembali mengarah padanya.

“Kalian bertiga sangat mengganggu!”

Redo bangkit dengan tangan di pinggang, ia hendak memberikan serangan balasan. Namun niatnya luruh begitu Guru Nia muncul dari balik pintu.

Lagi-lagi bibir Arkan bergetar, tanpa perintah pria itu menyumbangkan tawa renyahnya. Padahal manusia di samping kanan dan kirinya tengah melemparkan aura permusuhan.

“Awas aja,” gumam Redo sembari mengarahkan dua jari ke matanya dan Ayumi secara bergantian.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pertemuan Kedua : Dia yang Kembali   Jangan Mendekatiku

    Di kejauhan, ada sebatang pohon rimbun yang berhasil tertutupi kabut tebal. Berkat hujan yang tiba-tiba turun, pemandangan sekitar menjadi sedikit kabur. Arkan mendorong dua gelas ke hadapan Ayumi, namun gadis itu masih belum sadar. Diam-diam dia menekan pegangan sendok dengan telinga terlipat, persis seperti kelinci yang ketakutan. Sekali lagi ia bertanya, "Ada apa?" Pria itu mulai lelah. Secara alami ia menggerakkan Ayumi ke kursi samping dan menduduki tempatnya. Sekuncup kenangan muncul ketika jemari keduanya tak sengaja bergesekan. Begitu pandangan mereka bertemu, hidup di masa depan seolah menjadi ilusi. Karena saat ini, baik Ayumi atau pun Arkan tengah berlarian di masa lampau. Suasana melambat dengan aroma tanah yang mulai menyebar. Di luar, ada banyak kilatan yang menyambar. Ribuan ranting saling menggenggam satu sama lain. Dalam ketenangan yang nyata, Ayumi mulai mengalihkan atensi. Buru-buru ia melambai pada Eky yang baru saja melangkah masuk. Pemuda itu bersenand

  • Pertemuan Kedua : Dia yang Kembali   Apa Lagi?

    Cinta lahir ketika hati bertabrakan.____________________________________Matahari yang terik membuat udara terasa panas. Dalam cahaya yang menyilaukan, Ayumi melihat seorang pria muda tengah bersandar di pintu kayu. Senyum besar menggantung pada mulut, sementara insan lain menjelma menjadi bingkai sunyi. Karena kebisingan yang ada tak cukup keras untuk bisa menembus gendang telinga. Pelan-pelan gadis itu menjejalkan kaki sembari mengencangkan sudut pakaian. Tangan kecilnya meringkuk di ujung baju. Gesekan antara sol sepatu dan lantai terdengar samar. Bayangan halus yang tergambar juga turut melayang."Ar!"Tiba-tiba suara jernihnya keluar, menghasilkan gema panjang.Ketika masih muda, ambisi seperti menu makan di pagi hari. Bahkan kegagalan terdengar seperti bualan yang dibesar-besarkan.Saat Ayumi mengambil langkah lebih cepat, bola-bola mata itu terlempar semakin dalam. Ada banyak hal yang membuatnya berdebar, terutama senyuman Arkan. "Tidak masuk?"Tepukan pada lengan mendarat d

  • Pertemuan Kedua : Dia yang Kembali   Bagaimana Kabarmu?

    Hal-hal manis pun akan berubah pahit jika berlebihan. ____________________________________Jangkrik-jangkrik kecil bersenandung di padang rumput. Gelapnya langit malam semakin membuat mereka kegirangan.Arkan berpakaian lebih santai hari ini. Celana pendeknya menggantung selutut, menyisakan dua batang sumpit yang panjang dan kurus.Diam-diam Ayumi menunduk lalu berkata, "Bagaimana kabarmu?"Begitu dia memberanikan diri, dorongan dari telapak tangan besar menghantamnya ke sudut pagar.Sontak Ayumi terhenyak, punggungnya runtuh dengan jujur.Arkan sang pelaku hanya menurunkan mata lantas tiba-tiba tertawa. "Apa pedulimu?" tanyanya.Tanpa basa-basi, ia meletakkan tangan pada kepala Ayumi. Bibirnya berucap senang, "Bukankah kamu yang memilih untuk pergi?"Gadis itu terdiam, seolah pita suaranya dipotong dari dalam. Tak ada yang bisa dia lontarkan sebagai bantahan, sosok menyebalkan Arkan kemarin kembali hadir di hadapannya. Selama perjalanan pulang, Ayumi hanya mampu memakukan pandangan

  • Pertemuan Kedua : Dia yang Kembali   Kontradiksi

    Cinta muda tidak pernah mati, mereka selalu jatuh di tempatnya. ____________________________________Sekelompok burung pipit kecil melayang-layang di udara, mereka tampak sangat senang. Bulu cokelat kekuningan itu bertebaran dengan cepat, hampir memenuhi separuh atensi.Arkan berjalan di bawahnya bersama Yin. Kaki berlapis sepatu putih itu terayun hati-hati. Sebelah tangannya bersembunyi di saku celana, sementara yang lain memainkan sebuah kunci. Dari kejauhan, punggung rapuh seseorang melintas perlahan. Arkan tidak berbicara, namun langkahnya bergerak mengikuti di belakang.Mereka memasuki lorong yang sunyi, sapuan angin pada dedaunan di luar terlihat jelas dari balik kaca besar. Pot-pot bunga di sudut koridor tampak angkuh dalam kesendirian.Ayumi mendadak buta, genangan air di lantai kantor membuatnya terhuyung beberapa langkah. Mata bulat itu membola dengan tangan menggapai sekitar, meminta pertolongan. Tiga detik lagi bokongnya siap menghantam bumi, namun tiba-tiba telapak tan

  • Pertemuan Kedua : Dia yang Kembali   Bercak Merah dalam Kenangan

    Banyak orang bertanya, bagaimana dunia bekerja untuk orang sepertiku dan orang sepertimu.____________________________________Suara pintu yang dibanting mengguncang langit senja. Mata Ayumi menjadi lebih terbuka, seakan-akan ia bisa memasukan seseorang ke dalamnya. "Mengapa dia begitu menyebalkan?" Gemaannya masih terdengar bahkan ketika dia telah menapaki jalanan. Melewati barisan lampu di setiap sisi. Tepat saat Ayumi berbelok ke kanan, seseorang memasuki bangunan yang sama dari arah berlawanan. Dia tampak tersenyum sembari menenteng tas hitam. Langkahnya terayun santai, mengikuti irama lagu yang mengalun di daun telinga. Ada sekitar tiga tikungan sebelum Ayumi mencapai jalan utama. Beberapa siswa keluar dari gerbang sekolah. Tanpa sadar, Ayumi tertarik pada sepasang remaja yang baru saja melintas. Ia mengikuti dengan seksama setiap gerakan, posisi, dan ekspresi mereka yang halus. Seolah ditarik ke dasar laut, pikiran Ayumi mengalami kekosongan. Semua hal yang terekam oleh ma

  • Pertemuan Kedua : Dia yang Kembali   Aku Harus Membawamu

    Kulit ari yang tipis bergerak menggulir layar. Kacamata berbingkai perak itu turun mengikuti gerakan Eky yang menunduk. Ia berbicara terus terang, "Aku tidak mengenalnya secara pribadi, namun temanku telah lama bekerja dengannya." Diam-diam Ayumi menarik bibir, "Apa ini sebuah keberuntungan?" Angin musim hujan yang suram telah berlalu, saat ini hanya tersisa tarian kelopak bunga. Bahkan ketika kaki Ayumi berjalan mengitari lobi, senyumnya masih secerah tadi. Di jalan kenanga yang padat, kendaraan roda empat saling berpacu lebih dulu. Dari segala jenis keramaian, gadis itu mengusap permukaan lutut. Masih ada sisa waktu sebelum bus tiba, Ayumi menarik ponsel untuk sekadar mengenyahkan kesendirian. Email balasan dari Bomi sudah ia baca ratusan kali. Rasa-rasanya kalimat yang tertata rapi itu sangat nyaman untuk diucapkan. "Aku benar-benar bahagia!" Jeritan kecil berhasil membelah keheningan. Beberapa pasang mata tampak menoleh sebentar lalu kembali mengabaikan. Suara pin

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status