Ayumi dan Arkan adalah teman sekelas, mereka menjalin hubungan ketika duduk di bangku SMA. Perpisahan keduanya tak berjalan baik hari itu, Ayumi hanya meninggalkan secarik kertas tanpa penjelasan. Hal itu membuat Arkan membencinya. Dibalik sikapnya yang tak acuh, ternyata Ayumi menyimpan banyak kekecewaan. Bibi yang selama ini merawatnya jatuh sakit. Ayumi tidak memiliki uang, dengan terpaksa biaya kuliah yang selama ini ia kumpulkan digunakan untuk membayar tagihan rumah sakit. Setahun berlalu, Ayumi masih mendambakan kehidupan layaknya teman-teman sebaya. Dengan segala upaya ia bekerja lebih keras, merantau ke pusat kota untuk menghasilkan uang. Ia mengantarkan berbagai hidangan ke meja-meja di cafe dan terkadang menjadi penjaga perpustakaan kecil di sekitar bangunan yang menjulang tinggi. Seolah mendapatkan kembali kesempatan, Ayumi berhasil memasuki universitas impiannya. Dengan penuh kebahagiaan ia mencari Arkan yang sudah menjadi mahasiswa tahun kedua. Saat itu mentari bersinar sangat terang, seolah semesta menunjukkan betapa jauh perbedaan antara dirinya dan Arkan. Pria itu sangat pintar, punya banyak teman dan hidup berkecukupan. Lambat laun ia semakin merasa rendah diri. Kenangan tentang perpisahan hari itu kembali menghantui Ayumi, diam-diam dia kembali menjauh. 5 tahun kemudian mereka di pertemukan lagi. Arkan sudah menjadi komikus dan Ayumi bekerja di perusahaan webkomik. Saat itu ide Ayumi dicuri secara paksa oleh atasannya, karena tak ingin mengakui kekalahan Ayumi bertekad untuk mendapatkan ide baru. Tak disangka komikus yang selama ini ia incar ternyata adalah mantan kekasihnya.
Voir plusUntuk sebagian orang, masa putih abu adalah masa yang menyenangkan. Dan untuk sebagian orang lainnya, tak ada yang berbeda.
____________________________________ Juli, 2014 Tahun pelajaran baru resmi digelar. Siswa-siswi yang beberapa waktu lalu menikmati hari liburnya mulai memasuki gerbang sekolah. Di sepanjang jalan menuju bangunan, ribuan bunga kencana menyambut dengan bahagia. Sosoknya yang bermekaran di pagi hari menjadi simbol semangat. Namun ketika malam tiba, mereka kehabisan tenaga dan memilih untuk menjatuhkan diri ke bumi. Meski begitu jangan ragukan kegigihannya, karena esok hari bunga kencana itu akan tumbuh lagi. Ayumi berjalan sembari membaca buku. Sebelah tangannya mengetuk dagu dengan hafalan yang terus dilontarkan. Gadis itu tidak tinggi, apalagi ukuran bajunya yang kebesaran membuat dia terlihat semakin kecil. Rambut hitam yang diikat menjadi satu pun menambah kesan biasa saja. Satu-satunya hal yang mencolok darinya hanyalah cekungan di kedua pipi yang timbul ketika ia tersenyum. Kelas masih sepi, Ayumi memutuskan untuk kembali terkubur bersama buku-buku pelajarannya. Mencatat materi dengan tenang sembari menunggu pembelajaran dimulai. "Apa-apaan ini?" Suara yang menggema tak berhasil mengganggunya. Dengan posisi menunduk, Ayumi menekuri tulisannya. "Ini sudah tahun keempat, apa kamu tidak bosan sekelas denganku?" "Benar-benar bikin gila," dengkus Meta masih mengacau di meja Ayumi. Setelah berucap demikian, gadis itu mendudukkan diri di tempat yang sama. Wajahnya menekuk, dengan cepat kedua tangannya menopang dagu. "Kenapa aku duduk di sini?" tanyanya pada diri sendiri. Ayumi melirik dengan gelengan kepala, lantas kembali membisu dalam dunianya. Bisikan dari meja depan membuat Ayumi mengangkat dagu. Meta yang tadinya cemberut pun kini tengah menerbitkan senyum. Seorang pria keluar dari kerumunan. Tingginya yang menjulang melewati sela-sela meja. Jika saja pria itu tidak menghempaskan tas dengan kencang, pasti Ayumi enggan untuk peduli. "Maaf," tuturnya setelah mendudukkan diri di kursi. Ayumi tak menjawab, ia memutar matanya malas dan kembali membatasi diri. Melihat itu, Arkan melirik dengan santai. Gadis di seberangnya tengah memakukan pandangan pada buku yang terbuka. Rambut ekor kudanya bergerak ke sana kemari ketika ia menggeleng dengan kencang. Tubuhnya kurus, namun ia memiliki kulit yang putih. Sontak Arkan menggeleng, merutuki isi kepala yang tidak ada gunanya. "Selama tiga tahun ke depan kalian akan berada di kelas yang sama. Silahkan untuk saling mengenal dan berkerjasama. Tak peduli kamu merasa pintar atau tidak, beradaptasi dengan lingkungan sekitar adalah prioritas utama." Setelah kalimat pembuka itu terlontar, pembelajaran benar-benar dimulai. Suasana yang awalnya bising kini sudah meredup. Suara coretan di papan tulis menjelma menjadi melodi yang indah. Burung-burung yang bersantai di ranting pohon ikut bernyanyi. Mereka semua bersorak gembira untuk para remaja yang tengah menata masa depannya. Ayumi terdiam, penjelasan yang baru saja sampai ke telinganya terdengar begitu asing. Dengan cepat ia membalik halaman pada salah satu buku yang menumpuk di meja. Menelisik daftar isi dengan hati-hati. "Hei." Arkan menggerakkan penanya di udara, ia berusaha keras untuk menarik perhatian gadis di samping kanannya. "Apa?" Dengan kesal Ayumi berbalik. Tatapan tajam ia todongkan pada manusia yang tak henti-hentinya bersuara. "Daftar isi pun dipelajari," ujarnya sembari menarik ujung bibir. Ada raut mencibir yang tergambar samar di wajah tampannya. Satu tangan menopang dagu, dan tangan lainnya memutar pena. Melihat tingkah pemuda itu, Ayumi mendelik. Ia menutup rapat buku yang terbuka dengan kedua tangan. "Bukan urusan kamu," ucapnya setelah mengalihkan pandangan. Matahari sudah berada di puncak. Beberapa kali angin berhembus kencang, membiarkan tirai yang menggantung menari bersamanya. Seseorang di barisan belakang mulai terkantuk-kantuk. Belajar selama empat jam membuat seperempat penghuni ruangan kewalahan, sisanya masih baik-baik saja. Ketika hari mulai kehilangan masa jayanya, dan rasa semangat sudah hilang dari tempatnya, pembelajaran resmi berakhir. Ayumi sedang memasukkan buku saat tiba-tiba sebuah pensil meluncur ke arahnya. "Maaf-maaf!" Tepat setelah benda itu mendarat di kepala bagian kiri, serobotan dari meja seberang membuat Ayumi menggeram kesal. Tangan kirinya meremas pensil hingga patah. Dua orang di barisan belakang saling memandang, mereka tersentak oleh pemandangan yang tengah bersitegang. "Berhenti bermain-main!" Sembari berlalu Ayumi melemparkan potongan kayu itu ke tempat semula. Mengikuti punggungnya yang menjauh, tatapan-tatapan tak habis pikir mengarah ke pintu. Arkan masih membeku di tempat, jemari kanannya memungut pensil yang patah dengan mulut terbuka. Tampaknya perdebatan ia dengan sang teman membuat benda itu menjumpai tempat yang salah. "Dia seperti monster!" seru Redo yang tadi menjadi dalang kejahatan. "Monster dengan dua tanduk merah," sambung Dean meletakkan kedua jari telunjuknya di kepala. Siswa-siswi yang masih tersisa mulai tertawa terbahak-bahak. Tingkah para pemuda tampan itu berhasil meramaikan kelas yang hampir kosong. Di tengah rasa lelah, tawa bahagia melintas tanpa rencana. Arkan menunduk dengan napas berhembus pelan. Jari kirinya yang ramping menyentuh alis, kedua matanya terpaku pada benda dalam genggaman. Satu senyuman terbit, secara alami wajahnya menjadi lebih tampan. Rambutnya terpotong rapi, mungkin karena hari ini adalah hari pertamanya di SMA Cendana. "Sudahlah, ayo pulang." Tanpa diduga, Arkan memasukkan potongan pensil itu ke dalam tas. "Mengapa kamu memasukkan benda itu?" tanya Redo dengan dahi mengerut. Baginya bukan hanya pikiran gadis-gadis saja yang tidak terbaca, namun pria di hadapannya juga. "Bukan urusan kamu!" Saat kalimat itu selesai diucapkan, wajah kesal Ayumi melintas jelas di benak Arkan. Lagi-lagi satu senyuman terbit tanpa alasan. Redupnya langit tak menjadi alasan untuk Arkan tetap bersinar. Tiga pria tampan itu berpisah di jalan bercabang. Arkan melanjutkan langkah dengan sebelah tangan mendiami saku celana. Di ujung taman, ia mendapati seorang gadis tengah bermain ayunan. Tubuh berseragam kebesaran itu bergerak riang. Tarikan di bibir membuatnya terlihat semakin cantik, apalagi dua lesung pipit ikut timbul ke permukaan. Untuk sepersekian detik, Arkan terpesona padanya. Rambut hitam yang tadinya terikat tinggi mulai turun ke bawah. Beberapa anak rambut yang nakal menjelma menjadi bingkai. Di bawah sinar rembulan, ia menjumpai keindahan yang tiada duanya.Di kejauhan, ada sebatang pohon rimbun yang berhasil tertutupi kabut tebal. Berkat hujan yang tiba-tiba turun, pemandangan sekitar menjadi sedikit kabur. Arkan mendorong dua gelas ke hadapan Ayumi, namun gadis itu masih belum sadar. Diam-diam dia menekan pegangan sendok dengan telinga terlipat, persis seperti kelinci yang ketakutan. Sekali lagi ia bertanya, "Ada apa?" Pria itu mulai lelah. Secara alami ia menggerakkan Ayumi ke kursi samping dan menduduki tempatnya. Sekuncup kenangan muncul ketika jemari keduanya tak sengaja bergesekan. Begitu pandangan mereka bertemu, hidup di masa depan seolah menjadi ilusi. Karena saat ini, baik Ayumi atau pun Arkan tengah berlarian di masa lampau. Suasana melambat dengan aroma tanah yang mulai menyebar. Di luar, ada banyak kilatan yang menyambar. Ribuan ranting saling menggenggam satu sama lain. Dalam ketenangan yang nyata, Ayumi mulai mengalihkan atensi. Buru-buru ia melambai pada Eky yang baru saja melangkah masuk. Pemuda itu bersenand
Cinta lahir ketika hati bertabrakan.____________________________________Matahari yang terik membuat udara terasa panas. Dalam cahaya yang menyilaukan, Ayumi melihat seorang pria muda tengah bersandar di pintu kayu. Senyum besar menggantung pada mulut, sementara insan lain menjelma menjadi bingkai sunyi. Karena kebisingan yang ada tak cukup keras untuk bisa menembus gendang telinga. Pelan-pelan gadis itu menjejalkan kaki sembari mengencangkan sudut pakaian. Tangan kecilnya meringkuk di ujung baju. Gesekan antara sol sepatu dan lantai terdengar samar. Bayangan halus yang tergambar juga turut melayang."Ar!"Tiba-tiba suara jernihnya keluar, menghasilkan gema panjang.Ketika masih muda, ambisi seperti menu makan di pagi hari. Bahkan kegagalan terdengar seperti bualan yang dibesar-besarkan.Saat Ayumi mengambil langkah lebih cepat, bola-bola mata itu terlempar semakin dalam. Ada banyak hal yang membuatnya berdebar, terutama senyuman Arkan. "Tidak masuk?"Tepukan pada lengan mendarat d
Hal-hal manis pun akan berubah pahit jika berlebihan. ____________________________________Jangkrik-jangkrik kecil bersenandung di padang rumput. Gelapnya langit malam semakin membuat mereka kegirangan.Arkan berpakaian lebih santai hari ini. Celana pendeknya menggantung selutut, menyisakan dua batang sumpit yang panjang dan kurus.Diam-diam Ayumi menunduk lalu berkata, "Bagaimana kabarmu?"Begitu dia memberanikan diri, dorongan dari telapak tangan besar menghantamnya ke sudut pagar.Sontak Ayumi terhenyak, punggungnya runtuh dengan jujur.Arkan sang pelaku hanya menurunkan mata lantas tiba-tiba tertawa. "Apa pedulimu?" tanyanya.Tanpa basa-basi, ia meletakkan tangan pada kepala Ayumi. Bibirnya berucap senang, "Bukankah kamu yang memilih untuk pergi?"Gadis itu terdiam, seolah pita suaranya dipotong dari dalam. Tak ada yang bisa dia lontarkan sebagai bantahan, sosok menyebalkan Arkan kemarin kembali hadir di hadapannya. Selama perjalanan pulang, Ayumi hanya mampu memakukan pandangan
Cinta muda tidak pernah mati, mereka selalu jatuh di tempatnya. ____________________________________Sekelompok burung pipit kecil melayang-layang di udara, mereka tampak sangat senang. Bulu cokelat kekuningan itu bertebaran dengan cepat, hampir memenuhi separuh atensi.Arkan berjalan di bawahnya bersama Yin. Kaki berlapis sepatu putih itu terayun hati-hati. Sebelah tangannya bersembunyi di saku celana, sementara yang lain memainkan sebuah kunci. Dari kejauhan, punggung rapuh seseorang melintas perlahan. Arkan tidak berbicara, namun langkahnya bergerak mengikuti di belakang.Mereka memasuki lorong yang sunyi, sapuan angin pada dedaunan di luar terlihat jelas dari balik kaca besar. Pot-pot bunga di sudut koridor tampak angkuh dalam kesendirian.Ayumi mendadak buta, genangan air di lantai kantor membuatnya terhuyung beberapa langkah. Mata bulat itu membola dengan tangan menggapai sekitar, meminta pertolongan. Tiga detik lagi bokongnya siap menghantam bumi, namun tiba-tiba telapak tan
Banyak orang bertanya, bagaimana dunia bekerja untuk orang sepertiku dan orang sepertimu.____________________________________Suara pintu yang dibanting mengguncang langit senja. Mata Ayumi menjadi lebih terbuka, seakan-akan ia bisa memasukan seseorang ke dalamnya. "Mengapa dia begitu menyebalkan?" Gemaannya masih terdengar bahkan ketika dia telah menapaki jalanan. Melewati barisan lampu di setiap sisi. Tepat saat Ayumi berbelok ke kanan, seseorang memasuki bangunan yang sama dari arah berlawanan. Dia tampak tersenyum sembari menenteng tas hitam. Langkahnya terayun santai, mengikuti irama lagu yang mengalun di daun telinga. Ada sekitar tiga tikungan sebelum Ayumi mencapai jalan utama. Beberapa siswa keluar dari gerbang sekolah. Tanpa sadar, Ayumi tertarik pada sepasang remaja yang baru saja melintas. Ia mengikuti dengan seksama setiap gerakan, posisi, dan ekspresi mereka yang halus. Seolah ditarik ke dasar laut, pikiran Ayumi mengalami kekosongan. Semua hal yang terekam oleh ma
Kulit ari yang tipis bergerak menggulir layar. Kacamata berbingkai perak itu turun mengikuti gerakan Eky yang menunduk. Ia berbicara terus terang, "Aku tidak mengenalnya secara pribadi, namun temanku telah lama bekerja dengannya." Diam-diam Ayumi menarik bibir, "Apa ini sebuah keberuntungan?" Angin musim hujan yang suram telah berlalu, saat ini hanya tersisa tarian kelopak bunga. Bahkan ketika kaki Ayumi berjalan mengitari lobi, senyumnya masih secerah tadi. Di jalan kenanga yang padat, kendaraan roda empat saling berpacu lebih dulu. Dari segala jenis keramaian, gadis itu mengusap permukaan lutut. Masih ada sisa waktu sebelum bus tiba, Ayumi menarik ponsel untuk sekadar mengenyahkan kesendirian. Email balasan dari Bomi sudah ia baca ratusan kali. Rasa-rasanya kalimat yang tertata rapi itu sangat nyaman untuk diucapkan. "Aku benar-benar bahagia!" Jeritan kecil berhasil membelah keheningan. Beberapa pasang mata tampak menoleh sebentar lalu kembali mengabaikan. Suara pin
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Commentaires