Nasib Mita ….“Apa nggak ada cara lain lagi, Dok? Saya nggak mungkin terus menerus meminta Dokter Rendi mengunjungi pasien.” Adrian terduduk lemas di depan dokter kejiwaan yang memiliki paras tenang itu. “Sebenarnya tidak ada yang tidak mungkin jika kita mau berusaha.” Dokter itu menatap lawan bicaranya serius. “Berbagai macam obat-obatan telah masuk ke tubuhnya. Saya khawatir kesehatannya semakin menurun. Berat badannya saja sudah turun sebanyak sepuluh kilogram dari awal dia masuk ke sini.”Adrian terdiam menyimak kalimat demi kalimat yang diutarakan oleh dokter. Entah apa yang harus ia lakukan lagi demi menyembuhkan kondisi mental Mita. Pagi itu, Adrian memaksa dokter untuk mengizinkannya masuk ke ruangan Mita di rawat.“Saya izinkan dengan satu syarat.”“Apa, Dok?” “Anda tidak boleh menuntut apa-apa pada pihak rumah sakit jiwa jika terjadi sesuatu yang merugikan Anda sendiri.”“Oke, saya setuju,” sahut Adrian, tanpa berpikir panjang. Ia hanya ingin mendekati Mita lalu mengajak
Hampir tujuh tahun sudah berlalu. Rupanya, sakit hati yang telah Pak Gunawan tancapkan di hati Daniel tak pernah memudar sama sekali. Bukan pria itu tak mau mencoba memaafkan, namun ingatannya selalu menolak lupa dengan bagaimana arogannya sang papa ketika itu. Daniel selalu terjebak dalam rasa sakit yang sangat dalam. Keluarganya sendiri yang telah membuatnya kehilangan harga diri hingga hancur. Ia telah kehilangan banyak hal dalam rentang waktu yang berdekatan. Kehilangan keluarga, cinta, juga kepercayaan.Beberapa menit berselang, Tania kembali ke kamar membawa kabar yang cukup mengusik ketenangan dalam sudut hatinya.“Mas, Pak Adrian bilang kondisi Kak Mita semakin parah. Kamu nggak mau melihatnya barang sebentar saja?” Tania mengusap lengannya dengan lembut. Daniel terdiam cukup lama, batinnya sedang berperang. Apakah ini sudah saatnya ia berdamai dengan keluarganya?“Mas, setidaknya bicaralah sendiri sama Pak Adrian. Aku nggak enak kalau kamu menghindar begini,” keluh Tania, la
Seperti pagi menjelang siang saat itu. Adrian baru saja sampai di gedung rumah sakit. Sedikit berlari pria itu mencari lift yang akan mengantarkannya ke lantai tiga. Di mana ruangan meeting para direksi berada.Melirik sisi lift yang mengkilap bagai kaca. Adrian lalu memperhatikan penampilannya sendiri. Bibirnya mencebik kesal menyadari kemejanya sedikit berantakan di bagian pinggang. “Gini amat ribetnya jadi pemimpin rumah sakit,” gerutunya sambil merapikan kemejanya yang masuk ke bagian celana. Lift berdenting, Adrian segera keluar dan berjalan tergesa menuju ruangan meeting. Dia berhenti sejenak untuk menarik napas sebelum membuka pintu besar yang di dalamnya telah berkumpul beberapa orang penting.“Selamat pagi semuanya,” sapa Adrian begitu kepalanya muncul dari balik pintu dan sapaan itu otomatis membuat seisi ruangan memusatkan perhatian padanya. Adrian tersenyum berwibawa.Seperti biasa beberapa orang yang memang tidak suka padanya akan melirik sinis sambil komat-kamit tidak
Seberapa besarnya dendam Daniel pada papanya, jika sudah menyinggung tentang kondisi kesehatan sang papa hatinya tersentuh juga. Namun, lagi-lagi egonya kembali menguasai. Bagaimana kalau papanya belum menerima dirinya kembali? Juga … apakah hatinya sudah baik-baik saja?“Kamu benar-benar mau melihat Papa kalau sudah nggak bernyawa?” sengit Adrian, menatap jengkel ke arah Daniel yang berdiri kaku di ambang pintu tanpa ekspresi khawatir sedikitpun.“Mas.” Tania baru saja kembali ke depan setelah mendengar suara Adrian yang cukup keras. Wanita itu meraih lengan Daniel dan mengusap pelan.“Ikut saja, Mas. Kamu beruntung masih memiliki orang tua. Jangan sampai menyesal seperti aku. Aku bahkan tidak sempat membahagiakan orang tuaku hingga ajal mereka menjemput.” Mata Tania berkaca-kaca saat mengatakan hal itu membuat Daniel kembali berpikir.Benar. Yang namanya kehilangan selalu membuat penyesalan yang tiada ujungnya. Daniel mengangguk sementara Adrian melihatnya sudah sangat geram. Masih
“Tunggu, Daniel!” Suara papanya yang serak dan lemah berhasil membuat langkah Daniel terhenti. “Tidakkah kamu kangen dengan Papa?” tanya Pak Gunawan dengan raut sedihnya.Dia tahu telah bersalah. Tidak seharusnya dia membuang putranya sendiri hanya karena sebuah kesalahan yang sebenarnya masih bisa dimaafkan. Sejatinya, manusia tidak ada yang luput dari dosa, begitu juga dengan Daniel yang pernah berbuat salah. Namun, tuntutan kehormatan yang harus selalu terjaga membuatnya menutup mata saat itu. Daniel menoleh dan tersenyum tipis. “Aku sudah menemukan keluarga baru yang benar-benar menerimaku apa adanya, Pa,” ujarnya. Seolah kembali menegaskan dia sudah tidak butuh pengakuan dari papanya. Pak Gunawan manggut-manggut masih dengan ekspresi sedih. “Syukurlah, Papa senang mendengarnya. Mungkin … sekarang kamu yang malu memiliki seorang Papa narapidana.”Daniel mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Itu tidak akan berpengaruh dalam kehidupan keluargaku, Pa.” Sakit, pedih. Lagi-lagi perka
"Apa yang menjadi alasanmu memintaku menggugurkan janin ini, Mas? Bukankah setiap orang yang menikah menginginkan hadirnya buah hati sebagai penerus generasi mereka kelak? Lalu, ada apa dengan kamu? Apa salahku sehingga kau meminta janinku untuk digugurkan?" Maira menatap Alfin–sang Suami dengan berurai air mata. Bulir-bulir bening terus saja menerobos keluar dari kedua kelopak matanya. kedua tangannya meremas kuat sprei yang terpasang di ranjang tempatnya duduk. Kabar kehamilan yang seharusnya menjadi hal paling membahagiakan, kini tak ubahnya seperti sebuah kutukan bagi Maira.Tampak pria di sampingnya menjambak rambutnya sendiri layaknya orang tengah frustasi, deru nafas pria itu terdengar lebih cepat dari biasanya. "Tolong lah Mai, kamu turuti saja apa mauku. Lagipula, aku juga belum siap memiliki anak." Dia menatap Maira dengan wajah memohon."Kalau nggak siap punya anak, kenapa setiap malam kau mengajakku berhubungan, Mas? Seharusnya kau pikirkan juga resikonya! Bukan malah sepe
Alfin yang baru keluar dari kamar mandi, tampak terkejut melihat istrinya menatap tajam padanya."Apa?" tanyanya penuh kebingungan. "Sejak kapan ponselmu terkunci, Mas? Apa yang sedang kau sembunyikan dariku?" tanya Maira dengan tatapan penuh selidik.Alfin yang tidak siap sebelumnya menjadi gelagapan. Dia berjalan tergesa menghampiri Maira, dan segera merebut kembali ponselnya dari tangan sang Istri."Apa sih? I–ini tuh nggak sengaja kekunci," ucap Alfin asal dengan suara sedikit gugup. Tangan pria itu segera mengutak-atik ponselnya. "Nih, sudah kebuka," ucapnya lagi seraya menyodorkan kembali ponsel itu pada Maira.Maira segera menyambar ponsel itu, dan segera mengecek pesan yang tadi masuk. Alis matanya naik sebelah. Lalu tersenyum miring. "Kau pikir aku bodoh, Mas." Wanita cantik itu bangkit dari bibir ranjang, perlahan melangkah mendekati sang Suami. Langkahnya terhenti tepat di depan suaminya, kepalanya mendongak menatap manik hitam milik Alfin. "Kemana pesan yang dikirimkan o
"Kandungan Ibu lemah, tadi Ibu mengalami pendarahan," jelas Dokter Rendi dengan suara pelan, namun begitu menyakitkan menerobos gendang telinga Maira. Hampir saja Maira menangis jika Dokter Rendi tak segera melanjutkan ucapannya."Janin Ibu masih bisa diselamatkan, untung saja Suami Ibu sigap segera mengantarkan ke rumah sakit. Terlambat sedikit saja mungkin kandungan Ibu sudah tidak bisa diselamatkan." lanjut Dokter Rendi. Kini Maira bisa bernafas lega. Janinnya selamat. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih berhati-hati menjaga calon buah hatinya."Terima kasih, Dok, sudah membantu menyelamatkan janin saya," ucap Maira tulus. "Berterimakasihlah pada Yang Maha Kuasa, Bu. Karena semua ini berkat pertolongan–Nya." Maira begitu kagum dengan dokter tampan itu. Selain berwibawa dokter itu juga sangat bijaksana. Kedua sudut bibir wanita cantik itu terangkat membentuk seulas senyum. Kepalanya mengangguk setuju dengan apa yang diucapkan Dokter Rendi. Untuk sejenak, Maira lupa denga