Cuaca panas menyengat setiap kulit yang telanjang, saat waktu masih menunjukan pukul sembilan pagi. Devi membuka pintu mobil, buru-buru melangkah sekilas menoleh mengisaratkan Tarjo untuk meninggalkanya.
Tanganya mendorong hendle pintu, memasuki salon yang berdiri di jajaran ruko dua lantai.
“Pagi Bu Devi!”
Seru dua orang pegawai salon yang sedang merapikan majalah di atas meja.
Seperti biasa Devi tak menjawab, hanya mengangguk pelan dan melanjutkan langkahnya melewati beberapa kursi yang biasa untuk pengunjung potong rambut.
Di sudut ruangan paling belakang sebelahan dengan tangga tampak meja sederhana, di atasnya terdapat beberapa alat tulis, buku motifasi, buku seputar mengandung dan leptop. Perlahan Devi duduk, sambil tangannya menyalakan leptop di hadapnya.
Perlahan lapak tangannya membelai halus perut yang mulai buncit.
Bayi yang ia kandung sekarang sudah mulai memasuki usia 4 bulan 2 minggu. Baru satu minggu lalu bayinya sudah mulai bergerak lembut mencolek permukaan kulit perutnya.
Bermodalkan uang pesangon, tabungan yang selama ini ia miliki, menjual semua perhiasan dan membali skin care harga murah untuk hemat, Devi membuka usaha salon, tepat saat usia kandungnya memasukin usia satu bulan.
Setiap hari memeras otak dan tenaga, bagaimana cara uang bisa berputar dengan cepat? Karena ia punya beberapa perkerja yang harus menerima gaji setiap bulannya, belum lagi kebutuhan pribadi, biaya oprasional salon dan lain-lainya.
“Siva bagaimana pengunjung bulan ini, ada complain?” tanya Devi.
Siva melangkah mendekat ke depan meja kerja Devi. “Ndak Bu, memasuki bulan ke tiga mulai ramai, mereka yang pernah datang ke sini dan kembali dengan membawa teman atau saudaranya.”
Dua kali Devi mengangguk puas, marketing yang ia jalankan berhasil. Social media menjadi alat promosi yang Devi gunakan untuk mendapatkan pelanggan, lengkap dengna penawaran dan promo murah setiap minggunya. Dia berhasil mengaet kaum milinial untuk jadi pelanggan tetap.
Dirinya juga membayar mahal kursus perawatan rambut untuk ke dua pegawainya. Siva dan Ani di didik menjadi seorang yang ahli di bidang penataan rambut, mulai dari memotong rambut, perwarnaan rambut dan semua yang berhubungan dengan rambut di kepala.
Memasuki usia kandungan ke delapan tubuhnya mulai mengembang. Tidak hanya perutnya besar tapi pantatnya ikut melebar, nafsu makan yang menggila membuat pipinya semakin berisi, bukan hanya itu,lengan, paha dan betis mengambang sempurna.
Berkali-kali Namy mengomel karena Devi terus-terusan makan setiap jamnya. Ngeri melihat nafsu makan ibu hamil kalo sedang kalab, kalo tai kucing bisa dimakan pasti sudah dilahap.
“Astaga Devi, bukanya tadi jam tujuh sudah makan sama sop. Ini baru jam delapan sudah beli bubur ayam?” Nampak wajah cemas Namy.
Devi tersenyum malu. “Devi pengen bubur ayam Bu. Ngak tahan.”
“Silahkan makan! Tapi dibatasi kamu sedang hamil besar. Kata dokter-kan kamu harus diet,” omelan Namy yang sudah sekian kalinya.
“Ini sudah dibatasi Bu, sini aku suapin!” Satu sendok bubur tepat di hadapan Namy.
“Tuhan”
Namy memalingkan badan sambil menepuk kening. Rasanya sudah lelah setiap saat harus mengatakan hal sama pada Devi, untuk diet. Dirinya begitu kuatir. Dokter bilang jika bayinya usia delapan bulan berat tiga kilo, jika beratnya bertambah akan menyulitkan persalinan Devi.
Devi hanya tersenyum melihat raut wajah kesal Namy, dan kembali menyantap bubur ayam yang tinggal beberapa sendok.
Alasanya nafsu makannya bertambah bukan semata-mata kehamilannya, tapi stres berat ketika teringat dengan Devan. Ya hanya Devan yang mampu membuat Devi benar-benar merana.
Untuk tetap waras dia harus bahagia, dan saat ini yang mampu membahagikannya adalah makanan.
Semakin tua usia kandungnya Devi merasa semakin pilu, kini makanan apa saja tak bisa meluluhkan hatinya. Otaknya mulai terusik masalalu. Membayangkan Devan di sampingnya, mengelus lembut perutnya dan bernyanyi untuk bayi yang ia kandung. Bersama-sama merapikan baju bayi dan selalu menemani dirinya control sampai proses melahirkan. Pasti itu akan sangat indah.
Tapi, itu hanya sepintas dia akan teringat peristiwa laknat pada malam itu.
Dua tubuh manusia yang menyatu di atas hubungan yang haram.
Beberapa hari terakir setiap malam Devi sering menangis sendirian, merasa rapuh dan tak berguna, jika pagi tiba ia akan tengelam pada segudang kesibukan.
Jika dirinya bisa memilih ia ingin siang sepanjang hari, tanpa malam agar bayang-bayang Devan tak menghampiri.
Nyatanya kepergianya yang berratus-ratus kilo meter tak mampu menghapus kenangan perih, yang ada Devi hanya lari dari kenyataan.
“Ada apa? Kok belum tidur?” tanya Namy.
Devi yang duduk di kursi kayu teras rumah terhentak. “Hmmm belum ngantuk Bu.”
“Angin malan tidak baik untuk ibu hamil. Masuk dan tidurlah!.” Namy duduk di kursi kayu sebelah Devi.
Devi menarik nafas panjang. Punggungnya ia senderkan ke badan kursi, sambil mengusap lembut perutnya. “Sebentar lagi Devi tidur Bu. Ibu tidurlah dulu!” ujar Devi dengan senyuman terpaksa.
“Kamu mikirin Devan?” Namy memandang Devi.
Jantung Devi bergetar, entah mengapa setelah nama terucap begitu saja dari bibir Namy. Wajahnya berpaling dari pandangan Namy, dua kali dirinya menelan ludah. Sesaat suasana hening, ada hanya angin yang berhembus mesra membelai daun-daun di taman depan rumah.
“Apakah benar yang ibu tanyakan?” Namy kembali memecah keheningan.
Air bening mengalir di pipi halus nan lebar, cepat-cepat Devi mengusap dengan punggung tangannya. “Tidak. Devi sama sekali tidak memikirkan dia Bu?”
“Lalu kenapa kamu menangis?” Namy menyentuh pipi basah Devi.
“Devi bahagia anak ini akan segera lahir Bu.” Senyuman pilu menghiasi wajah Devi.
Kini wajah Namy yang tertunduk, angin kembali menyapa kulitnya yang mulai keriput. Suasana kembali hening, dirinya merasakan kebohongan pada putri kesayanganya.
“Sampai kapan kamu akan pura-pura baik-baik saja?”
Devi memandang Namy berusaha tetap tersenyum manis. “Aku memang baik-baik saja Bu.”
“Aku yang melahirkanmu. Aku satu-satunya orang yang mencubitmu jika kamu berbohong waktu kecil.” Namy terdiam dan menarik nafas sejenak. “Tapi sekang Devi sudah dewasa jika bohong tidak mungkin Ibu cubit lagi. Jujurlah! Jangan kamu tutupi apa pun dari ibu!” Senyuman Namy mengembang sempurna.
Devi tertawa teringat sesuatu, apa yang dikatakan Namy benar. Diri-nya-lah yang mencubit Devi saat tak jujur. Waktu kelas enam SD, Devi mencuri mangga milik Pak Samin milik tetangga desa sebelah. Pak Samin sudah hilang sabar ulah Devi sekian kalinya, akirnya datang ke rumah dan melaporkan kenakalan Devi.
Untuk pertama dan terakir kalinya Namy mencubit bokongnya, baru dirinya berkata jujur jika telah mencuri mangga milik Pak Samin.
“Ngomong sama Ibu, jangan senyum-senyum sendiri!” tandas Namy.
“Apa yang salah ya Bu dari aku? Kenapa Mas Dev-,” ucapan Devi terhenti, rasanya dirinya tak kuasa untuk menyebut nama orang yang menyakitinya.
Tangan Namy meremas lengan Devi yang sudah sebesar pentungan, wajahnya tenang lengkap dengan senyuman yang menghangatkan. “Ujian tidak memihak kepada mana yang benar atau salah!”
“Tapi… “ suara pelan penuh kekalutan terdengar dari bibir Devi.
“Berhenti lari dari kenyataan! Sampai kapan kamu sembunyi dari Devan?” tandas tegas Namy.
*
Saat – saat yang tak ditunggu telah tiba. Usai kandungan Devi memasuki sembilam bulan.
Kata bidan akan lahir dua minggu lagi. Tapi itu kata bidan, bagaimana dengan kata Tuhan yang menciptakan jabang bayi di rahim Devi?
Satu minggu lebih awal, mulas dua jam sekali secara teratur terus Devi rasakan. Dan ritme antara sakit pinggul dan mulas di rasa setiap menitnya.
Servik sudah melebar hampir sepuluh senti, rasa sudah berkali-kali mencoba mengejan tapi si bayi tak kunjung keluar. Air bening keluar begitu saja bercampur dengan lendir melalu jalan lahir bayi.
Keringat bercucuran membasahi kening Devi, seorang wanita usia tiga puluh tahun tepat di hadapannya memakai masker, dan sarung tangan karet. Terus memberi aba-aba kapan ia harus mengambil nafas, dan mengejan.
Tulang seluruh tubuhnya terasa remuk, dadanya terasa kembang kempis, tenaganya hampir habis tapi bayi tak kunjung keluar. Hasratnya ingin terus mengejan. Dan sekian kalinya gagal.
“Kita muali coba sekali lagi ya Bu! Ibu mengejan saja seperti mau BAB!” ujar Bidan yang terlihat mulai panik.
Di luar ruangan Namy memejamkan mata dan bibirnya terus komat kamit dan hadapnya Tarjo terus berjalan mondar mandir meskipun istrinya sudah melahirkan tiga kali, tapi mendengar teriakan orang melahirkan masih sama. Sama-sama mengerikan.
“Ayo lebih kuat lagi Bu, ini kepalanya udah kelihatan!”
Sesaat bidan itu mengambil gunting yang mirip gunting stainless pada umumnya, dengan bagian ujung melengkung ke atas. Hanya hitungan detik bidan dengan cepat membuat irisan bedan di atara paha besar Devi. Dengan terpaksa bidan melakukan episiotomy karena sudah lebih dari satu jam bayi tak kunjung lahir.
Di detik yang sama Devi menjerit kesakitan, kedua tanganya mengepal erat.
“Ahhh!”
Terasa benda besar keluar dari badannya, sesaat suara tangisan bayi mungil terdengar memenuhi ruangan.
Namy yang berada di luar ruangan berdiri berusaha mengintip di cela-cela pintu, rasa haru benar-benar menyelimuti hatinya. Tarjo berkali-kali mengucap kata “amin” lengkap dengan air di sudut kelopak matanya.
Sembilan menit berlalu seorang suster mengendong bayi berselimut kain warna biru muda.
“Selamat Bu bayinya sehat cantik!” ucap suster.
Devi mengangguk. “Terimakasih banyak Suster,” ucap Devi untuk pertama kalinya setelah sekilan lama dirinya tak mengucapkan kata itu pada siapa pun.
Air matanya menetes tak henti-hentinya ketika bayi mungil seberat tiga kilo tujuh one berada tepat di dadanya. Bibir mungil bergerak-gerak mencari sumber kehidupan, beberapa saat kemudian ia menemukan sumber air kehidupan.
Bayi perempuan yang cerdas, bibir mungilnya menghisap puting Devi. Matanya sendu memandang Devi seolah-olah berbicara “terimakasih telah melahirkanya.”
Tak pernah terbayangkah sebelumnya jika proses menyusui begitu menyakitkan. Tidak sekedar mengeluarkan tetek di balik baju lalu dekatkan di mulut bayi. Tak sesederhana itu bagi ibu baru, termasuk Devi.Ketika mulut mungil warna kebiruan dengan lahap berusaha menghisap tonjolan di dada Devi. Rasanya luar biasa perih, sakit seperti diiris dengan sebilah pisau. Rasa itu semakin menyakitkan ketika si mungil Jessy tiba-tiba menangis setelah satu menit menghisab tonjolan di dada Devi.Tak ada air berwarna putih yang keluar dari tubuh Devi, yang ada cairan kental berwarna kuning . Itu pun keluar saat Devi menekan keras bagian ujung putingnya. Bukan hanya buah dadanya saja yang sakit, tapi hatinya juga ikut merasakan ngilu. Ibu mana yang tak merana jika air kehidupan tak kunjung keluar?Namy terus mendesak untuk memberikan susu formula pada bayi Jessy, kuatir dengan cucu kesayangnya telah menguning sebab ku
Tiga bulan yang lalu, sebelum Jessy lahir Devi sudah merasakan beban berat soal uang. Empat orang yang berkerja untuknya. Tarjo, Mbok Min dan dua pegawai salon semua harus di gaji. Uang tabungan hampir terkuras habis untuk modal, sedangkan salon Devi belum seberapa ramai walapun setiap harinya selalu ada peningkat pengunjung.Keuntungan salon cukup untuk membayar dua pegawai dan membeli kebutuhan salon. Perkiraan satu tahun baru berjalan normal, syukur-syukur semakin meningkat.Dengan sangat terpaksa Devi berniat memperhentikan Tarjo, berkurangnya satu pegawai bisa mengurangi beban pikirnya. Toh dirinya bisa mengendari mobil sendiri.Uang warna merah empat puluh lembar sudah siap di amplop, Devi berniat menghampiri Tarjo yang sedang duduk di teras. Siapa sangka orang tua itu sedang berbicara di telefon.Devi tidak tahu persis Tarjo bicara dengan siapa yang jelas menganggil
Waktu berlalu begitu cepat tak terasa proses mengandung, melahirkan hingga menyusui telah terlewati dengan susah payah. Tiga tahun penuh perjuangan. Bukan hanya soal merawat anak dan mendidiknya tapi proses pemulihan luka yang terus saja dicoba dan dicoba lagi namun tak kunjung sembuh dengan sempurna. Tidak semua kesakitan melahirkan nestapa. Kadang kesakitan melahirkan kekuatan bagi mereka yang mau berjuang Devi memang gagal dalam urusan cinta tapi untuk hal lain dirinya pemenangnya. Patah hati tidak menghancurkan seluruh hidupnya. Luka yang masih membara setiap kali melihat pelupuk mata gadis kecil yang kini berusia dua tahun, dua bola mata itu mengingatkan pada sosok bajingan, sosok lelaki yang pernah Devi cinta dan selalu dibanggakan. Tapi hanya gadis kecil itu yang menjadi semangat hidup Devi, ambisinya besar untuk memberikan semua hal yang istimewa. Termasuk
Hay pembaca yang tersayang, saya mengucapkan permintaan maaf yang sebesar-besarnya jika up date bab terlambat hingga tiga minggu lamanya. Bismillah dengan ini saya lanjutkan lagi menulis untuk menghibur kalian semua. * Kini Jessy kecil menangis meronta di pelukan Devi yang berjalan meninggalkan pusaran makam ayahnya. Pria di sebarang mulai melepas kaca mata yang melingkar di kedua bola matanya, seolah-olah menganggu pandanganya, kini matanya tajam melihat Devi yang mulai menjauh. “Sudah sayang, itu bukan mainan!” Devi mencium kening Jessy yang masih meraung-raung. Secepat kilat tangan kanannya membuka pintu mobil dan masuk, seolah-olah bersembunyi di dalam mobil. Jantungnya kini berdekat kencang, matanya terus melihat kebelakang tak memperdulikan Jessy yang tantrum. Devi benar-benar kwatir jika sosok itu menghampirinya. Tapi yang terlihat hanya tubuh gemuk Namy yang menuju mobil. &nbs
Rangga mulai menyadari sikap kakak iparnya yang semakin dingin. Setatusnya sebagai adik kandung Devan tidaklah pantas jika ikut campur rumah tangga yang mereka jalani, memang lancang tapi rasa penasaran tidak bisa ia bendung. Apa lagi pertemuannya dengan Jessy membuat hatinya terus bertanya-tanya sebenarnya apa yang terjadi dengan rumah tangga kakaknya. “Saya minta maaf Mbak, jika tidak sopan,” celetuk Rangga memecah keheningan, sorot matanya begitu tenang tapi tak ada keberanian untuk memandang Devi. Devi tak menjawab hanya mengangguk pelan, beberapa kali menarik nafas panjang berusaha membuang semua sumbatan di dalam dadanya. “Hmmm, Jessy itu anak Mbak?” Devi tersenyum kecut. “Ya,” jawabnya. Kali ini air mata Devi menetes perlahan, bibir warna kemerahanya perlahan menyampaikan tutur kata masalalu yang teramat kelam. Nadanya tak beraturan kadang tinggi sesaat kem
“Saya anak satu-satunya dan saya kelurganya. Saya yang akan mengantarnya hingga keliang kubur.” Mata Devi mantap penuh kemarahan pada suster di hadapanya.Kemarahan di dalam diri Devi sebenarnya kepada perampok-perampok itu, tapi entah mengapa suster itu berhasil memantik kemarahan Devi semakin menjadi. Ya, sekarang Devi tak punya siapa pun selain Jessy. Namy sejak kecil adalah anak tunggal dan keluarga dari Ayah Devi hanya satu yaitu kakak kandung Ayah yang sudah menetap di Amerika.Suster itu lantas tertunduk dan pergi begitu saja tak mengucapkan apa pun, mungkin hatinya sedikit tersinggung dengan ucapan ketus Devi tapi dirinya cukup mengerti atau bahkan sering meladeni orang yang kehilangan semacam Devi.Semua berjalan cepat dan mulus. Devi ikut memandikan Namy sambil mengendong Jessy yang tertidur lelap dan menyaksikan proses pengkafanan yang dilakukan oleh petugas rumah sakit. Satu jam kemudian Devi tela
Lima menit lebih dua detik Devi menangis di pelukan Rangga setelah dirasa gumpalan di dalam dada telah memudar Devi perlahan melepas dekapannya.“Di mana Jessy?”Rangga tersenyum tipis dan menjawab, “Jessy pulang bersama Pak Saman dan istrinya. Katanya mau di ajak mandi dan makan.”“Aku terlalu sibuk dengan kesedihanku hingga melupakan orang yang butuh perhatianku.” Senyuman getir menghiasai wajah Devi.Keduanya berdiri kembali tertunduk memandang bungga segar di atas gundukan makam. Saat itulah Devi tersadar akan kehadiran Rangga di makam bukan suatu kebetulan belaka. Sekilas Devi melirik tubuh jangkung Rangga dan kembali menghapus air mata yang membasahi pipinya.“Kamu tahu dari mana ibuku meninggal?” Suara pelan Devi memecah keheningan.“Hari ini adalah hari kematian Ibu, tepat yang ke tiga tahun. Niatk
Ada sesuatu hal yang tak begitu sederhana untuk dikatakan di antara dua manusia yang mempunyai unek-unek berbeda. Rangga sekarang sedikit canggung setelah mengentahui jika awal mula kesalahan terletak pada kakak kandungnya bukan Devi yang pergi begitu saja tanpa alasan. Hal itulah yang tidak pernah dibicarakan Devan waktu itu, hanya mengatakan jika Devi pergi begitu saja tanpa alasan yang jelas. Rangga juga membantu Devan kala itu untuk menyakinkan pada Lydia jika kakak iparnya itu orang baik-baik walaupun tak berbuah manis. Tapi dirinya menjadi tempat ternyaman Lydia untuk menumpahkan isi hati perihal Devan dan menantunya yang tak kunjung hamil meskipun Rangga lebih banyak mendengarkan. Saat itu memang Rangga tak tertarik untuk ikut campur urusan rumah tangga Devan. Ada sedikit penyelasan di hati Rangga mengapa ibunya mati lebih cepat sebelum melihat cucu yang dinantikan benar-benar hadir ke dunia, tapi Rangga lebih menyesali menutupi r