“Bekerja di bidang apa Bu?” tanya Max sangat kaku.“Jangan panggil Bu. Terlalu formal. Panggil saya Devi,” pungkas Devi tegas.Max menelan ludah. Dia salah lagi. “Oh maaf Devi. Kamu bekerja di bidang apa?”“Salon kecantikan. Kamu?”“Kontruksi. Pantas saja.” Max tersenyum lebar ke arah Devi sambil mengendalikan kemudi.Kening Devi sedikit mengkerut. “Pantas apa?”“Cantik.”Devi tersenyum lalu melihat ke arah jalan raya yang semakin padat. Dia tidak terlalu tertarik dengan jawaban Max, menurutnya terlalu berlebihan.Entah angin dari mana, ucapan Susi kembali mengema. Seperti kaset yang diputar berulang dengan kalimat yang sama. “Cobalah dekat dengan pria dan lunakan hatimu.”Max tidak terlalu buruk. Di usia yang sama dengan Devi yang telah memasuki kepala empat tubuhnya masih segar bugar dan tampan. Bicaranya juga sopan, memiliki anak seusia Jessy. Dia pasti juga pengalaman menjadi orang tua. Pasti cukup nyambung untuk sekedar bicara dan ngobrol lebih jauh.Devi mulai berpresepsi tentan
Bagaimana jika dirimu diberi dua pilihan yang sama-sama punya konsekunsi besar? Bertahan dengan orang yang salah atau pergi dengan sejuta dendam? Tepat pukul satu dini hari Devi sampai pekarang rumah, di badannya masih melekat pakaian formal, bekas rapat siang tadi di Surabaya. Bibir dipenuhi senyuman, kedua netra tertujuh pada kue coklat lengkap dengan tulisan anniversary satu tahun dan satu lilin yang menyala di tengah-tengah kue. Langkah kaki jenjang dengan balutan celana panjang warna hitam dan alas kaki sepatu flat dengan bungga di bagian tengah, penuh kehati-hatian melangkah menuju pintu. Satu tangannya merogoh saku blazer hitam yang melekat di tubuhnya, mengambil kunci rumah yang sengaja ia bawa. Dengan sangat hati-hati Devi mendorong pegangan pintu agar tak mengeluarkan suara, berharap kejutan untuk suaminya sesuai harapan. Langkah kakinya masuk ruang tamu yang remang-remang minim cahaya.
Devi sampai di halaman rumah Namy, ibunya. Tubuhnya lemas tak berdaya di ambang pintu. Tangganya terus mengetuk pintu dengan kasar. “Ibu bangun! Tolong bangun Ibu!” jerit Devi. Terdengar dari dalam suara kunci pintu dibuka, wanita tua dengan tubuh sedikit berisi keluar dengan panik, tangannya gementar membuka pintu. Tahu benar suara dari luar adalah suara jerit putri semata wayangnya. “Kamu sa—sama siapa?” tanya Namy. Devi tak menjawab. Yang ada hanya isak tangis dari mulutnya. Kedua tangganya membungkam mulutnya. Perlahan Namy meraih pundak Devi membimbingnya masuk dan duduk di kursi kayu jati di ruang tamu. “Kenapa menangis tengah malam begini?” tanya Namy sangat kuatir. Mulut Namy terus bertanya kamu kenapa, dengan siapa kemari dan banyak hal yang ia sudah lontarkan tapi tak ada jawaba
Pagi semakin terang, fajar mulai semakin percaya diri menampakan cahayanya. Dua sejoli berjalan terburu-buru masuk kedalam mobil, lalu tancap gas meninggalkan pekarangan rumah, seolah-olah sedang dikejar babi hutan. “Kenapa sih harus terburu-buru? Masih pagi juga!” Mulut Dewi monyong sambil merilik Devan yang sedang sibuk memutar stir mobil. “Bukan begitu, kalo kesiangan dikit nanti tetangga tahu kamu di rumah. Kamu mau mereka lihat kamu?” tanya Devan santai. Dewi mengeleng pelan, wajahnya sedikit kusut karena kecewa. Memang sial nasib seorang wanita simpanan. Ia harus bersembunyi seperti pencuri, walapun sama-sama suka. Sebenarnya Dewi sudah muak dengan semua ini, tapi apa daya perasaan yang sudah terlanjur dalam, sulit untuk menjauh dari Devan, sedetik pun. “Sudah jangan cemberut! Nanti aku kasih uang buat ke salon ya!” Devan menoleh kea rah Dewi sambil tersenyum mempesona.
Hay pembaca yang baik hati, saya Zedan Zee sebagai penulis mengucapkan terimakasi telah menikmati tulisan saya. Oh ya… kalian dapat mengomentari setiap paragaf yang kalian baca, dengan klik paragaf yang ingin kalian beri komentar, lalu klik icon komentar. Dan saya harap kalian meluangkan waktu untuk memberikan bintang lima untuk karya saya!Memberi bintang lima itu gratis dan saya akan bahagia jika kalian melakukanya. Ingat! Membahagikan orang lain itu pahalanya banyak, maukan dapat pahala yang banyak? Selamat membaca!*Tepat hari ini Devi terakir di kantor, sekilas itu termenung memandang ruangan kerja yang selama ini menjadi tempat ternyaman setelah rumah, yang sekarang sudah menjadi neraka. Pikiranya terus menari-nari tak menentu, kecerdasan otaknya saat ini rasanya benar-benar menghilang. Nyaris ia frustasi dengan garis takdirnya.“Tuhan, aku harus bagaimana?” keluh Devi
Mario memasukkan kedua tanggannya ke dalam saku celana, kedua bola matanya memandang pemandangan sedih. Devi memeluk rekan-rekanya di kantor satu persatu. Semua jajaran staf dan manajer sudah berusaha untuk mengurungkan niatnya, tapi pecuma. Devi tetap ingin mengundurkan diri.Setiap rekannya bertanya alasan ia mengundurkan diri, hanya satu kata yang terlontar “bosan”. Jawaban bohong dan tak masuk akal. Hanya Mario-lah yang tahu persis alasan Devi mengapa ia berhenti berkerja.Devi memang terkenal dengan sikapnya yang keras kepala, ucapanya tegas dan singkat. Tidak bisa di ganggu gugat. Ya… oleh itu ia terkenal manajer paling angkuh, jangan sampai membuat kesalahan kalo tidak mau dicerca sampai tengah malam. Tapi di dalam dirinya memancarkan karisma, mungkin kalo laki-laki ia begitu berwibawa.Dia juga terkenal baik kepada semua rekan kerja, dari jabatan office boy sampai CEO sekalipun. Tidak pel
Udara malam di musim kering terasa dingin, kalo orang Jawa bilang musim bedidih. Tak heran jika siang panas seperti membakar kulit, jika menjelang malam udara seperti di puncak gunung. Dingin sekali.Seorang wanita usia hampir kepala tiga narik nafas panjang sambil memandang langit, luas tak terbatas, kedua lengan tanganya menyila di depan dadanya merasakan hawa dingin menyapu kulitnya.Masih sama seperti dulu di saat merasakan gundah gulana, Devi akan selalu menatap langit. Sambil mengucapkan sesuatu dalam hatinya“Masalahku kecil, di banding nikmat yang Kuasa.” Kalimat itu yang selalu terbesit jika ia merasa resah. Semacam matra ajaib yang selalu ia ulang-ulang dalam hatinya.Semua berawal dari Ayah Devi sewaktu kecil, ketika dirinya mengeluh saat kesulitan mengerjakan PR atau hal apa pun yang membuatnya tak suka. Hingga dirinya menjelang dewasa selalu terucap dari bibir Ayah.
Cuaca panas menyengat setiap kulit yang telanjang, saat waktu masih menunjukan pukul sembilan pagi. Devi membuka pintu mobil, buru-buru melangkah sekilas menoleh mengisaratkan Tarjo untuk meninggalkanya.Tanganya mendorong hendle pintu, memasuki salon yang berdiri di jajaran ruko dua lantai.“Pagi Bu Devi!”Seru dua orang pegawai salon yang sedang merapikan majalah di atas meja.Seperti biasa Devi tak menjawab, hanya mengangguk pelan dan melanjutkan langkahnya melewati beberapa kursi yang biasa untuk pengunjung potong rambut.Di sudut ruangan paling belakang sebelahan dengan tangga tampak meja sederhana, di atasnya terdapat beberapa alat tulis, buku motifasi, buku seputar mengandung dan leptop. Perlahan Devi duduk, sambil tangannya menyalakan leptop di hadapnya.Perlahan lapak tangannya membelai halus perut yang mulai buncit.