Selamat membaca, semoga kalian suka.
Jauh beberapa kilo dari tempat Jesy berada, Devi menatap ponsel dengan perasaan jengkel luar biasa. Satu baris chat Jessy, berhasil membuat ia tak nyaman untuk melanjutkan pekerjaan. Kini ia meletakan ponsel di laci, diam. Melamun. Sebuah bingkai foto ukuran kecil bergambar dirinya dengan Jessy saling berpelukan, ia tatap sejenak lalu Devi lalu terpejam.Devi bertanya pada dirinya sendiri mengapa Jessy sekarang sedikit berubah. Sedikit keras kepala dan sulit di atur. Pertanyaan itu berputar-putar terus menerus tanpa titik terang hingga kurang lebih sepuluh menit.Terdengar dari luar suara ketukan pintu di ikuti seseorang membuka pintu. “Ganggu ngak?” tanya Iqbal.“Ngak.”“Ada masalah?” tanya Iqbal, melangkah lalu duduk di kursi depan Devi.Kedua alis Devi mengkerut. “Tidak.” Pandangan mata ke arah lantai sengaja menghindari kontak mata dengan Iqbal.“Yakin?”Devi tersenyum sinis Iqbal. “Mengapa kamu bertanya demikian.”“Kelihatan resah begitu.” Iqbal tersenyum lebar. Pria yang sudah b
Kini Iqbal diam, kalimat yang keluar dari bibir Devi benar-benar tali yang menjerat leher. Membuat sulit sekali bernafas. Wajah pria berkulit putih kecoklatan itu kini mulai memerah. Sebaris kalimat yang terlontar dari mulut Devi seperti cambuk yang merobek kembali luka lama yang mulai berangsur sembuh. Bagi Iqbal kalimat itu sebuah penghinaan dan juga fakta sebenarnya. Penghinaan, yang sebenarnya Iqbal punya anak. Dan fakta sebenarnya, ia belum pernah sampai mendidik anak itu karena ajal memisahkan. Iqbal benar-benar terluka. Ruangan dingin ber AC tak mampu memandamkan dua dada yang sedang terbakar amarah. Beberapa detik ruangan itu hening. Susi menarik napas panjang berusaha mengusai keadaan. “Dev, begini kami hanya memberi pandangan lain. Apa kamu ngak sadar jika pemikiranmu itu semakin memperkeruh keadaan?” Susi terpaksa mengambil alih kendali sebelum Iqbal marah besar. Karena ia tahu jika kalimat yang baru saja di ucapkan Susi benar-benar melukai hati Iqbal. “Apa maksutmu?” S
Dua bola mata Iqbal menatap lekat-lekat Devi yang melangkah pergi meninggalkan meja kerjanya. Ia tak bisa marah dengan ucapan Devi, bukan karena wanita itu bosnya. Tapi Iqbal lebih mengimani ucapan Devi. Mengakui jika ia tak punya anak. Orang-orang sekitarnya sudah mengatakan jika ia memiliki anak sekaligus pasangan hanya saja beda alam. Sebuah hiburan konyol bagi Iqbal.Bicara tentang anak, cinta dan pasangan hingga saat ini menjadi cambuk sakti, sekali lempar membuat Iqbal tak berdaya. Jiwanya goyah terluka parah. Dan tidak semua orang mengerti kesakitan yang Iqbal derita selama ini.Bahkan lama tinggal di Surabaya sedikit pun ia tak berani mendekati wanita. Rasa takut kehilangan menikam setiap saat jika ia memikirkan sosok wanita. Jika siap mencintai sesuatu, maka harus siap kehilangan, begitulah prinsip rasa memiliki. Dan Iqbal belum mampu jika harus kehilangan untuk sekian kalinya.Beberapa kali orang-orang mendorongnya untuk move on. Yang artinya mencari wanita lain, tapi ia sen
Bukan tanpa sebab Jessy menginginkan ke salon. Percakapan dengan Re siang tadi masih terlanjut di chat W******p, apa saja bisa jadi tema bahan obrolan termasuk komik kesukaan Re. Dan Re menawarkan beberapa seri komik One Piece pada Jessy. Tentu itu adalah kesempatan emas untuk Jessy. Bukan komik gratisan, dan sebenarnya ia tidak menyukai kisah fantasi yang sulit dimengerti oleh akal sehat. Akan tetapi demi bertemu dengan Re untuk ke dua kalinya Jessy menginginkan komik itu. Jika komik itu sudah di tangan Jessy, itu berarti kesempatan bertemu dengan Re untuk sekian kalinya bakal terbuka lebar. Dan besok mereka sepakat untuk ketemuan di taman. Kini dalam otak Jessy untuk kencan pertama dia harus cantik. Minimal rambut lurus dan rapi, wajah bersih, badan harum. Dan itu artinya ia butuh ke salon. Sebuah garis alam yang senada. Jessy secara lapang menginginkan ke salon untuk mempersiapkan kencan besok. Dan itu artinya Devi juga akan senang akhirnya Jessy dengan senang hati pergi ke salon
Rona pancar kebahagian Jessy semakin padam. Mata berkaca-kaca menahan kecewa. “Ma ngak bisa begitu dong!”“Bisa kalo mama yang minta.”“Tapi temenku sekarang sudah di taman. Kasihan nungguin aku.” Mata Jessy sedikit berkaca-kaca, perasaan marah sulit dibendung tapi tak bisa ia luapkan di hadapan Devi.“Kamu ngelawan Mama? Kenapa sih Jes sekarang susah dibilangin?”“Bukan begitu Ma. Tapi Jessy sudah janjian dari kemarin.”“Lagian kamu ngak izin dulu sama Mama.” Suara Devi semakin tinggi.Jessy tertunduk lesu dengan air mata berlinang. “Aku kan cuma mau ambil buku.”“Ya sudah Mama antar.” Devi mulai luluh ketika ia melihat wajah sedih menyelimuti Jessy.Kencan pertama Jessy gagal total dan kegagalan itu sudah Jessy prediksi sebelumnya. Devi tidak akan membiarkan Jessy pergi sendirian tanpa dirinya atau Pak Yo. Kini ia mulai menyesali mengapa musti mengatakan apa adanya pada Devi.Seharusnya ia mengatakan akan pergi dengan teman-teman wanita bukan pria. Pastinya Devi akan mengizinkan. To
Perang dingin itu belum usai hingga sarapan ke esok harinya. Jessy masih dengan mulut rapat, lekuk wajah kaku. Dan hal itu sering terjadi jika Jessy sedang marah. Sebaliknya bagi Devi hal itu bukan hal yang memberatkan pikiran, ia sudah biasa dengan sikap kaku Jessy. Toh berjalan waktu nanti semua akan membaik.“Untuk sekolah SMA, mama udah dapat sekolah yang pas buat kamu Jes. Sekolah ternama, ramah untuk siswi putri dan kurikulumnya menurut mama bagus.” Devi tersenyum manis sambil memandang wajah Jessy yang semakin tertunduk. “Mama juga sudah daftarkan Jessy les matematika dan fisika juga. Mungkin nanti juga akan ada les model, Mama pengen nanti kalau Jessy udah tujuh belas tahun jadi model di salon Mama.”Jessy terdiam, lemas. Selera makan semakin menghilang bahkan semangkuk sup sedari tadi hanya ia incim kurang dari tiga kali. Dan kini benar-benar ia tak ingin melanjutkan sarapan. Perutnya terasa sudah penuh seketika sejak Devi mengatakan urusan sekolah.Dua mata Devi mulai menga
Hari ini tidak sepenuhnya menyebalkan untuk Devi, karena sore hari pukul tiga ia telah menandatangi kontrak kerja sama dengan brand fashion terkenal di Indonesia dan dua tahun belakangan sudah masuk ke skala Internasional. ERINA, sebuah brand fashion baju yang kini sedang digadungi nyaris semua lapisan masyarakat Indonesia.Setidaknya dengan kolaborasi dengan brand ERINA, sudah dipastikan produk sekaligus salon yang Devi kelolah bakal semakin melesat. Bukan hanya di Indonesia tapi juga kawasan Asia Tenggara.“Untuk urusan model serahkan pada saya. Saya akan mencari model atau artis yang bisa membawa berlian untuk produk kita.” Pria dengan rambut hitam mengkilat itu melepas kaca matanya, dilipat lalu diselipkan ke kantong kemeja. Ialah Erlangga pria berusia empat puluh tahun, pemilik tunggal brand ERINA.“Tentu saya akan senang. Saya percaya pilihan Pak Erlangga. Semua tahu jika beberapa tahun ini ERINA tidak pernah gagal mengeluarkan produk.” Devi tersenyum puas. Begitu pula dengan Su
Devi sengaja datang lebih awal di restoran tempat ia akan meeting. Ia memilih restoran di hotel paling terkenal mewah di Surabaya dengan menu-menu ala Itali. Beberapa kali Susi dan Iqbal sedikit komentar tentang restoran yang dianggapnya sedikit berlebihan. Akan tetapi hal itu tidak jadi beban Devi. Ia rela datang satu jam lebih awal untuk memastikan semua maksinal. Menu makanan, minuman ia memilih yang paling laris dan enak. Ia bahkan berani memberi tips khusus untuk kepala staf pelayan restoran itu, untuk tidak mengecewakan dirinya apa lagi relasi bisnis. Hal itu ia lakukan bukan hanya semata-mata meeting dengan Erlangga tetapi bakal calon tiga model yang akan membintangi produknya. Semua bukan orang sembarangan. Salah satunya ia Devi kenal betul. Luar dan dalam model itu. Sepuluh tahun berlalu sejak berpisah dengan Rangga kini ia harus bertemu kembali. Bukan untuk urusan pribadi tapi untuk urusan bisnis. Hal itu ia benci tapi sulit sekali untuk ia hindari. Dan semua itu terjadi