Home / Horor / Pesugihan Kandang Bubrah / 231. Tidak Semua Jejak Menghilang

Share

231. Tidak Semua Jejak Menghilang

Author: Ndraa Archer
last update Last Updated: 2025-04-17 09:42:28

Langit biru yang muncul tadi pagi perlahan mulai tertutup awan kembali. Tapi kali ini tidak gelap, hanya mendung yang menggantung ringan—seperti kabut tipis yang ragu turun sebagai hujan.

Di dalam rumah, Jatinegara duduk di bawah jendela ruang tengah. Pensil warnanya tidak bergerak hari ini, hanya tergeletak di sebelah buku gambar yang masih kosong.

Sudah dua hari sejak mereka mengunjungi makam Arif. Tidak ada suara ketukan. Tidak ada bayangan yang berdiri di halaman. Tidak ada apa-apa selain angin yang datang dan pergi tanpa arah.

Lila mengamati anaknya dari meja makan. Ia sedang melipat pakaian, tapi pikirannya tidak di sana.

“Kamu nggak gambar lagi?” tanyanya pelan, memecah keheningan.

Jatinegara menggeleng. “Nggak ada yang mau digambar, Bu. Semua sudah pulang.”

Lila tersenyum tipis, walau hatinya belum sepenuhnya percaya. Ia tahu, kadang anak-anak bisa lebih jujur dari orang dewasa… tapi juga lebih pa

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Pesugihan Kandang Bubrah   232. Kursi Kosong di Bawah Pohon

    "Jatinegara! Jangan lari-lari di dalam rumah!" tegur Lila dari arah dapur sambil membawa piring kotor.Anak itu tidak menjawab, hanya tertawa kecil dan berlari menuju ruang tengah, lalu berhenti tepat di depan jendela besar yang menghadap ke halaman. Ia menempelkan wajahnya ke kaca, matanya fokus ke satu titik di luar sana.Hari itu, langit Desa Misahan tampak mendung. Angin lembut mengayun ranting-ranting pohon tua di halaman depan. Suasana rumah tenang, terlalu tenang, seperti tengah menyembunyikan bisikan rahasia yang enggan keluar dari celah dinding.Lila meletakkan piring ke dalam ember air sabun, lalu menyeka tangannya dengan kain lap. Ia berjalan perlahan menuju anaknya yang masih berdiri menatap ke luar."Kamu lihat apa, Jati?" tanyanya sambil ikut menoleh ke luar jendela.Jatinegara menunjuk ke arah pohon besar. Di bawahnya, ada kursi kayu reyot yang tampak tua dan ditinggalkan. Kursi itu sebenarnya tidak pernah ada di halaman rumah mereka. Lila tahu betul setiap sudut tempat

    Last Updated : 2025-04-17
  • Pesugihan Kandang Bubrah    233. Kehadiran yang Tak Terlihat

    Pagi datang dengan cahaya abu-abu yang enggan menyinari penuh. Kabut masih menempel di dedaunan dan kaca jendela, seolah malam belum benar-benar berakhir.Lila berdiri di dapur sambil memandangi air mendidih dalam panci. Tangannya menggenggam gagang panci, tapi pikirannya tidak berada di sana. Malam tadi masih berputar di kepalanya—kursi yang tidak bergeser, lampu teras yang padam sendiri, dan suara retakan dari bingkai foto Arif yang berubah.Suasana rumah tetap hening. Terlalu hening untuk ukuran pagi hari. Bahkan suara burung pun enggan berkicau. Biasanya, pagi-pagi seperti ini terdengar kicauan dari burung-burung pipit yang bersarang di bawah genting. Tapi hari ini, bahkan angin pun tampak enggan menyentuh daun jendela."Bu... tadi malam aku mimpi lagi," ucap Jatinegara dari balik pintu dapur.Lila menoleh. Anaknya sudah rapi, duduk di kursi sambil menggambar lagi. Kali ini, kertasnya penuh dengan warna abu-abu dan hitam. Tidak ada bentuk manusi

    Last Updated : 2025-04-18
  • Pesugihan Kandang Bubrah   234. Kursi Pemanggil

    Pagi kembali datang, tapi tak membawa terang. Awan gelap menggantung di atas atap rumah, dan angin dingin menyusup dari celah-celah jendela yang tertutup rapat. Udara pagi itu mengandung sesuatu yang lebih dari sekadar kelembapan—ada beban, ada isyarat.Lila tidak langsung bangun dari tidurnya. Malam sebelumnya terlalu panjang, terlalu berat. Ketukan di dapur, cangkir asing yang muncul entah dari mana, dan pandangan Jatinegara yang kosong saat ia menggambarkan 'teman' dari makhluk yang duduk di kursi itu membuat kepalanya penuh sesak. Bahkan dalam tidur, bayangan kursi tua itu seolah masih hadir, menggantung seperti lukisan muram di benaknya.Ketika akhirnya ia membuka mata, ia mendapati Jatinegara sudah tidak ada di tempat tidur. Rasa cemas langsung menjalar."Jati?" panggilnya pelan.Tidak ada jawaban.Lila beranjak cepat, membuka pintu kamar dan menelusuri rumah. Suara langkah kecil terdengar dari halaman depan.Dengan napas tertahan, Lila membuka pintu perlahan. Dan di sanalah Jat

    Last Updated : 2025-04-19
  • Pesugihan Kandang Bubrah   235. Panggilan Jiwa

    Kabut belum surut. Udara di sekitar rumah Lila berubah seperti lem, berat dan lengket, menyelimuti setiap jengkal ruang dengan ketakutan yang tidak terlihat namun terasa nyata. Jam dinding berhenti berdetak. Api lilin yang semula menyala di tengah ruangan telah padam, meninggalkan aroma hangus dan serpihan hitam di atas lantai.Sosok tinggi di ambang pintu tidak bergerak, tapi keberadaannya menyelimuti seisi rumah dengan tekanan yang membuat dada mereka sesak. Jatinegara bersembunyi di balik pelukan Lila, matanya menatap lurus ke sosok itu tanpa berkedip."Dia... masih di sini," gumamnya.Dimas menggenggam benda tajam di tangan kanannya—pisau dapur yang sebelumnya ia bawa hanya sebagai bentuk pertahanan diri, kini tampak seperti sehelai ranting rapuh."Kau yakin ini bukan halusinasi?" bisiknya pada Lila, suaranya nyaris tenggelam dalam desau angin.Lila menggeleng. "Ini nyata. Terlalu nyata."Mata-mata di tubuh makhluk itu terus bergerak, seolah memindai setiap niat, setiap bisikan ke

    Last Updated : 2025-04-19
  • Pesugihan Kandang Bubrah   236. Sisa Garis Gelap

    Fajar menyapa dengan warna jingga pucat di langit Desa Misahan. Matahari akhirnya muncul, meski masih malu-malu di balik sisa kabut yang lambat menghilang. Rumah Lila untuk pertama kalinya terasa hening tanpa tekanan. Tidak ada kursi tua di halaman. Tidak ada bisikan. Tidak ada mata-mata yang mengintai dari kegelapan.Dimas duduk di beranda depan, tangannya memegang cangkir teh hangat. Ia menatap halaman kosong, tempat di mana kursi itu dulu berdiri tegak. Kini, hanya tanah lembap dan jejak samar abu yang tertinggal, seolah semua hanya mimpi buruk panjang yang akhirnya berakhir. Namun dalam hatinya, ia masih menyimpan kegelisahan. Karena dari semua pengalaman supranatural yang mereka alami, Dimas tahu satu hal: tidak ada yang benar-benar selesai, hanya tertidur.Lila keluar membawa selimut untuk Jatinegara, yang duduk memeluk lutut di lantai dekat tiang rumah. Mata anak itu tampak sembab, tapi tatapannya tenang. Ada kedewasaan yang terlalu cepat tumbuh di dalam dirinya

    Last Updated : 2025-04-20
  • Pesugihan Kandang Bubrah   237. Awal yang Sunyi

    Hari-hari setelah kepergian kabut dan lenyapnya kursi tua itu terasa aneh bagi Lila. Tidak ada lagi langkah misterius di malam hari. Tidak ada mimpi-mimpi basah oleh bayangan dan mata-mata yang mengintip dari balik dedaunan. Rumah mereka, untuk pertama kalinya sejak lama, benar-benar terasa seperti rumah. Namun justru di situlah sunyi terasa lebih tajam. Seakan rumah itu harus belajar ulang bagaimana rasanya damai tanpa rasa takut yang diam-diam menyelinap.Di pagi hari, Dimas mulai kembali mengurus kebun kecilnya. Ia mencangkul, menyiram, dan menanam benih cabai dan tomat. Gerakannya perlahan, tapi pasti. Setiap tanah yang ia buka, ia perhatikan dalam-dalam, memastikan tak ada sisa dari masa lalu yang masih tertanam di sana. Ia tahu, luka yang tak terlihat bisa menyelinap dari celah terkecil. Tapi tanah itu kini terasa hangat. Aroma tanah basah, suara serangga, dan angin pagi mengajaknya bicara dengan cara yang menenangkan.Di sela kegiatannya, Dimas kadang menengadah

    Last Updated : 2025-04-20
  • Pesugihan Kandang Bubrah   238. Melangkah Pelan

    Pagi yang lembut menyapa rumah Lila dengan embun di setiap sudut daun. Suara ayam jantan dari kejauhan dan aroma kayu basah menyatu dalam ketenangan yang selama ini mereka rindukan. Pagi itu tidak tergesa-gesa. Seakan dunia ingin memberi mereka waktu untuk bernapas sedikit lebih lama. Sinar matahari belum benar-benar menembus pepohonan, tapi hangatnya terasa menyusup perlahan ke dalam rumah, seperti menenangkan luka lama yang akhirnya bisa bernapas.Lila menyapu halaman dengan pelan. Jemarinya menggenggam gagang sapu dengan tenang, tidak lagi seperti dulu saat setiap suara dedaunan membuatnya waspada. Sekarang, ia bisa menikmati gesekan halus sapu dengan tanah. Di dekatnya, Jatinegara duduk di bawah pohon jambu, menggambar sambil sesekali mengamati langit. Langit biru pagi itu bersih, hanya dihiasi jejak awan yang terbentuk dari angin malam sebelumnya."Bu," katanya sambil tetap menggambar, "kalau kita pindah nanti, boleh nggak aku bawa tanah dari sini?"

    Last Updated : 2025-04-20
  • Pesugihan Kandang Bubrah   239. Meninggalkan Rumah

    Hari terakhir di rumah tua itu tiba lebih cepat dari yang mereka bayangkan. Matahari baru saja menyembul dari balik bukit ketika Lila membuka jendela dan menghirup udara pagi yang basah. Kabut tipis menggantung rendah di halaman, seperti selimut terakhir yang diberikan alam pada tempat itu sebelum perpisahan yang tak terhindarkan.Bau kayu, tanah lembap, dan wangi samar dari bunga melati liar yang tumbuh di sudut pagar memenuhi udara. Rasanya seperti aroma yang menempel dalam ingatan, seolah rumah itu sendiri menginginkan mereka untuk tetap tinggal, meskipun Lila tahu sudah waktunya untuk pergi. Dimas sedang mengikat barang-barang di atas motor gerobak sewaan yang akan mengangkut sebagian besar milik mereka ke tempat baru di kota sebelah. Pekerjaannya tampak terburu-buru, tetapi dia terlihat seperti tidak memperhatikan apapun selain tugasnya. Di belakangnya, suara gemericik ranting yang bergesekan dengan angin terdengar semakin keras, seperti ada yang mencoba untuk mengingatk

    Last Updated : 2025-04-21

Latest chapter

  • Pesugihan Kandang Bubrah   Terima kasih ya, Teman-teman....

    Terima kasih ya, Teman-teman...Nggak kerasa, ya? Kita udah bareng-bareng dari Bab 1 sampai Bab 262. Cerita Arif Mahoni dan dunia mistis Kandang Bubrah udah nemenin kita selama berbulan-bulan (atau bahkan tahunan? hahaha maksud aku akhir tahun2024-2025 seolah tahunan). Rasanya nano-nano banget nulis cerita ini kadang aku tuh merinding, kadang nangis sendiri, kadang pengin nyubit karakter buatan sendiri.Tapi yang bikin aku terus semangat nulis sampai tamat itu kalian. Iya, kalian yang tiap update langsung baca. Yang rela ngulang bab-bab sebelumnya, yang rajin komentar, yang kirim DM /WA langsung penuh semangat, bahkan yang suka nyebutin adegan favorit, tau ngak? kalian tuh the real MVP. Tanpa kalian, cerita ini mungkin nggak akan pernah selesai.Shout-out khusus buat pembaca aktif dan penggemar setia yang dari awal udah jadi saksi hidupnya Arif. Kalian tahu siapa kalian, kan? Yang suka bikin teori, yang marah kalau tokohnya nyebelin, yang minta ending macem-macem, sampai yang suka ngan

  • Pesugihan Kandang Bubrah   262. Menjelang Senja

    Senja datang perlahan seperti kabut tipis yang menyelimuti perbukitan di kejauhan. Cahaya jingga merambat di dinding rumah, memantulkan warna emas pada bingkai foto dan kaca jendela yang berembun. Di beranda, Lila duduk ditemani secangkir wedang jahe dan suara angin lembut yang menyisir pohon kenanga.Hari itu, seluruh warga desa berkumpul di balai untuk doa bersama. Jatinegara diminta untuk menyampaikan sepatah dua patah kata sebagai perwakilan generasi muda. Lila tak ikut, tubuhnya sudah terlalu letih. Tapi ia tidak sendiri. Ia ditemani segala kenangan yang selama ini disimpannya dalam diam.Ia menatap foto Arif yang kini terbingkai lebih kokoh dari sebelumnya. Dalam hati, ia berbicara, seperti berbicara pada seseorang yang duduk di sampingnya."Aku nggak tahu berapa lama lagi waktu akan memberiku ruang, Rif. Tapi aku nggak takut. Aku sudah lihat kamu dalam mimpiku. Aku pernah tinggal bersama bayang-bayangmu. Dan sekarang, aku tinggal di dunia yang kita bentuk bersama... meski kau l

  • Pesugihan Kandang Bubrah   261. Surat yang Tak Pernah Terkirim

    "Kepada Dimas...Jika kau memang pernah ada, terima kasih sudah menemani aku di dunia yang tak nyata itu. Mungkin kau hanya bayangan, bentukan dari rasa sepi dan kehilangan. Tapi dalam mimpi itu, aku merasa dicintai, aku merasa dilindungi, dan aku merasa masih punya masa depan.Kau hadir ketika aku paling rapuh, dan kau tinggal hingga aku kembali kuat. Itu lebih dari cukup.Hari ini, aku menatap hidupku apa adanya. Tak ada Dimas. Yang ada hanyalah Arif, suamiku yang telah lama tiada. Dan Jatinegara, anak kami yang kini berdiri kokoh meski tumbuh tanpa pelukan ayahnya.Aku tidak lagi bertanya kenapa hidup tak seperti dalam mimpiku. Aku hanya bersyukur, karena pernah punya keberanian untuk mencintai—meski hanya dalam tidur panjangku."Lila berhenti menulis. Air mata mengalir perlahan di pipinya. Tapi ia tersenyum. Ada sesuatu yang lega dalam dirinya. Seperti beban yang lama mengendap akhirnya luruh bersama hujan pagi itu.Ia melipat surat itu perlahan, lalu meletakkannya di dalam kotak

  • Pesugihan Kandang Bubrah   260. Antara Kenangan dan Kenyataan

    Mungkin memang tidak ada Dimas. Tapi ada Arif, yang dulu pernah ia cintai, yang memberinya Jatinegara. Ada dirinya yang kuat. Ada kenangan yang meskipun hanya mimpi, terasa nyata hingga akhir hayat.Hari itu, udara di Desa Misahan membawa aroma kenanga dan tanah basah. Lila duduk di kursi rotan di beranda rumah, selimut menutupi kakinya yang mulai sulit digerakkan. Di sampingnya, secangkir teh melati mengepul pelan. Suasana begitu hening, namun tidak sunyi. Heningnya menenangkan, seperti bisikan yang sudah akrab didengar selama puluhan tahun.Jatinegara sibuk menyapu halaman. Tubuhnya tinggi tegap, langkahnya mantap. Beberapa kali ia melirik ke arah ibunya, memastikan Lila baik-baik saja. Sesekali, ia melempar senyum. Lila membalasnya dengan anggukan kecil.“Bu, nanti siang aku masak sop ya,” seru Jatinegara dari kejauhan.“Jangan lupa kasih seledri,” jawab Lila pelan, suaranya mulai bergetar, tapi masih hangat.Jatinegara tertawa. “Iya, Bu. Aku ingat.”Lila menatap langit. Awan putih

  • Pesugihan Kandang Bubrah   259. Tangan yang Menyatu

    Dalam perjalanan pulang, Lila dan Dimas mampir ke kebun warga. Beberapa anak muda sedang bangun rumah kaca kecil dari bilah bambu dan plastik bening."Lagi nyoba tanam tomat, Bu," kata salah satu dari mereka. "Sama cabai dikit-dikit."Lila jongkok, memperhatikan tanah yang baru dicangkul."Bagus. Rawat baik-baik ya. Ini bukan cuma kebun. Ini cara kita berdamai."Dimas membantu memasang atap plastik, ikut mengikat tali rafia. Saat selesai, mereka duduk di bawah pohon, menikmati air kelapa muda yang baru dipetik."Rasanya beda, ya," gumam Lila sambil menatap langit. "Bukan karena hutannya udah nggak ada, tapi karena sekarang, kita udah bisa narik napas tanpa takut."Dimas mengangguk. "Dan kita nggak sendiri lagi."Ia menggenggam tangan Lila. Di sekitar mereka, suara tawa, palu, dan cangkul menyatu jadi musik baru desa itu.Malamnya, Lila mencatat di buku hariannya:“Hari ini aku lihat wajah-wajah yang dulu takut, sekarang tersenyum. Lengan-lengan yang dulu hanya memeluk ketakutan, sekar

  • Pesugihan Kandang Bubrah   258. Selimut Pagi

    Dimas duduk di sebelahnya. "Kamu ingat waktu dulu kita duduk seperti ini tapi sambil memegangi jimat dan pisau garam?"Lila tertawa pelan. "Dan merapal doa setiap kali angin bertiup terlalu kencang. Sekarang, angin hanya angin."Setelah sarapan, mereka mengajak Jatinegara ke ladang milik warga yang mulai dikelola bersama. Dulu tanah itu tak tersentuh karena diyakini ‘tidak bersih’, tapi kini warga mulai menanam jagung, cabai, dan kacang panjang di sana.“Tanah ini dulu menyerap banyak darah dan rahasia,” kata Pak Suroto, warga tertua di desa. “Tapi anak-anak sekarang akan menyiramnya dengan air dan tawa. Itu cukup. Lebih dari cukup.”Lila membantu menanam bibit, sementara Dimas menggali parit kecil bersama pemuda desa. Jatinegara asyik bermain tanah dengan anak-anak lain.“Dulu aku ingin pergi dari sini,” kata Lila sambil menepuk tanah. “Sekarang, aku ingin menua di sini.”Dimas memandangnya dengan mata hangat. “Kita akan menua di sini. Bersama.”Sore hari, langit mulai berwarna jingg

  • Pesugihan Kandang Bubrah   257. Langit yang Terbuka

    "Apa yang harus kami lakukan?" tanya Lila.Bu Retno menggenggam tangan Lila erat."Kalian harus kembali ke tempat asal semua ini. Hutan Misahan. Di sanalah jejak terakhir Arif terkubur. Dan mungkin... hanya di sanalah kalian bisa benar-benar membebaskan diri dari bayangannya."Malam pun tiba.Lila duduk di samping tempat tidur Jatinegara, menatap wajah anaknya yang kini tampak lebih dewasa dari usianya."Besok, Ayah dan Ibu harus pergi sebentar," bisiknya."Ke mana?" tanya Jatinegara mengantuk."Ke tempat yang dulu pernah kita tinggalkan. Tapi kali ini, untuk menutup semuanya."Jatinegara menggenggam jari ibunya. "Jangan lama-lama, ya. Aku tunggu di sini."Lila mencium kening anaknya. "Kami janji akan kembali."Dan di luar rumah, pohon mangga bergoyang pelan. Angin malam membawa bisikan samar:"Tutup yang terbuka dan lepaskan yang tertinggal."Langkah Lila sudah semakin dekat. Dia sudah tidak sanggup menghadapi segala kejadian itu.Esok hari, mereka akan kembali ke hutan.Pagi itu, si

  • Pesugihan Kandang Bubrah   256. Bisikan Terakhir

    Malam itu, mereka berdua duduk di teras, menatap bintang sambil berbicara pelan."Kamu pikir ini... sisa dari dunia yang dulu?" tanya Lila, nada suaranya penuh kekhawatiran."Mungkin," jawab Dimas. "Atau mungkin, ini bentuk baru. Bentuk dari semua luka, ketakutan, dan harapan yang pernah kita alami."Lila memeluk dirinya sendiri, merasa sedikit dingin."Aku cuma takut," katanya. "Takut kalau kita belum benar-benar bebas."Dimas meraih tangan Lila, menggenggamnya erat."Apa pun yang terjadi, kita hadapi bersama. Kita sudah lewati kegelapan. Kita bisa lewati apa pun," katanya, penuh keyakinan.Lila tersenyum tipis. "Aku percaya itu."Angin malam berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dan bunga kenanga. Di kejauhan, suara serangga malam berdengung pelan, seperti irama alam yang mengiringi percakapan mereka.Beberapa hari kemudian, saat Lila membawa Jatinegara bermain di taman kecil mereka, anak itu menunjuk ke arah tunas mangga yang kini tumbuh setinggi pinggang orang dewasa. Daunny

  • Pesugihan Kandang Bubrah   255. Tanda-Tanda Kehidupan Baru

    Namun, dalam keheningan malam, ada kalanya Lila terbangun. Bukan karena ketakutan, melainkan karena rindu. Rindu akan kenangan yang perlahan memudar—ulang tahun pertama Jatinegara, suara tawa Arif di halaman, percakapan-percakapan kecil yang dulu terasa biasa tapi kini sangat berarti.Setiap kali rindu itu datang, Lila akan duduk di beranda, menatap bintang, dan berbicara dalam hati."Terima kasih, Rif. Karena cinta dan keberanianmu, kami bisa bertahan."Di dalam rumah, Jatinegara dan Dimas tidur tenang, di bawah atap yang kini benar-benar menjadi rumah, bukan lagi tempat berteduh dari kegelapan.Dan di taman kecil itu, di tempat biji mangga ditanam, sebuah tunas kecil mulai muncul, menghijau di bawah sinar matahari.Tanda kehidupan baru.Tanda bahwa di balik setiap luka, selalu ada harapan yang tumbuh.Mereka telah kehilangan banyak. Tapi mereka juga telah menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga:Kehidupan, cinta, dan keberanian untuk melangkah maju, meski jalan itu pernah dipenuh

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status