Share

Pesugihan Tumbal Nyai
Pesugihan Tumbal Nyai
Penulis: Dini Lisdianti

Awal Mula

Suara detak jam menemaniku malam ini. Masih kutunggu sampai waktu menunjukkan pukul 12 malam, tak lupa sesajen itu kutatah dengan rapi. Bunga berwarna-warni sudah tersedia di nampan, tak lupa sesuatu yang menjadi tumbalku malam ini.

Kehadiran Nyai Gayatri harus disambut dengan mewah. Sebab, ia yang memberiku gelimang harta. Rumah yang dulu bak gubuk derita, dalam hitungan bulan bisa berubah menjadi istana.

Tak lagi tangis anak karena kelaparan atau kekurangan susu. Semua aku dapatkan dengan mudah. Tetangga yang dulu mencemooh, bahkan menghina-sekarang seolah menganggapku saudara. Cih ... munafik!

Aku sudah bersiap untuk meminta lagi harta yang lebih banyak malam ini. Remang-remang terdengar suara kereta kecana. Bau khas melati dan bunga sedap malam sudah mulai tercium. Tanda-tanda kedatangan putri agung, penguasa lautan bisa kurasakan.

Duduk bersila di antara kepulan asap, kurapalkan doa dengan menaburkan sedikit kemenyan di antara asap-asap yang mulai menebal. Seketika tengkuk ini terasa dingin, bulu kuduk merinding merasakan kehadirannya.

Aku menutup mata sejenak, sambil teras membaca mantra. Dalam kegelapan, terasa setitik cahaya mulai menerobos. Aku bisa membayangkan, Nyai duduk dalam sebuah kereta kencana bersama dua pengawalnya.

Sekelebat aku bisa merasakan, jika ia mulai hadir di kamar ini. Kamar rahasia yang tidak boleh dimasukin oleh siapa pun. Nuansa keemasan serta hijau mendominasi dari kain-kain yang membentang sebagai hiasan. Begitu juga dengan ranjang khusus yang memang dipersiapkan jika Nyai ingin bertamu kapan saja.

Suara kereta kencana semakin keras. Dia sudah hadir di sini. Wangi kembang tercium tajam diikuti dengan bau khas dupa yang kian menyengat. Namun, mataku masih enggan terbuka. Aku ingin menyambutnya dengan sangat sakral.

Suara itu, suara kereta lonceng dari kereta kencana yang membuat bibirku tersenyum tipis. Sekali lagi dia sudah mulai mendekat. Embusan angin terasa kian menusuk, ini saatnya aku membuka mata.

Cahaya yang cukup menyilaukan dibarengi kedatangan sesosok wanita berbaju hijau dengan pakaian khas putri raja.

Wajahnya yang dingin dan datar menjadi sesuatu yang sudah tak asing bagiku.

"Selamat datang, Nyai," ucapku menundukkan kepala, memberinya penghormatan.

"Ada apa kau memanggilku?" tanyanya dengan nada dingin. Mantra khusus yang aku lafalkan, berhasil membawa Nyai kemari.

Aku terdiam sejenak seraya meyakinkan diri dengan apa yang akan kuminta padanya. Aku menunduk kembali mengatur napas dan menutup mata beberapa detik.

"Aku minta kekayaan yang lebih dari ini, Nyai," pintaku yakin.

Jantungku kian berdebar. Aku tahu, ini terlalu serakah. Padahal, beberapa minggu yang lalu aku baru saja meminta hal serupa. Namun, aku masih butuh untuk membeli sepetak tanah yang nanti bisa diurus oleh Mas Darman. Tentunya agar warga tidak curiga dari mana kekayaan ini didapatkan.

Aku pun bisa memperkerjakan warga dan menjadikan mereka budak Nyai Gayatri. Tentu saja.

Dia hanya diam tak menggubris pernyataanku. Dari matanya terlihat dia menatapku dengan tajam, suasana berubah semakin hening dan mencekam. Angin berembus semakin kencang sampai mengibas rambutku yang terurai.

"Apa yang akan kau berikan untukku?" tanyanya dingin.

Kali ini Nyai tampak serius. Biasanya, ia hanya melirik sesajenku dan mengabulkan semuanya. Apa Nyai akan meminta hal yang lebih dari ini?

Aku bergeming beberapa detik, berharap kali ini aku tak salah berucap. "Apa saja yang Nyai mau, akan saya berikan," tegasku.

Suasana kembali hening. Jantungku berpacu semakin tak karuan. Aku takut Nyai meminta hal yang tak bisa aku kabulkan. Namun, bukankah itu risiko?

"Aku ingin sesuatu yang berharga darimu."

Kata-kata darinya membuatku menelan ludah. Sesuatu yang berharga? Aku memutar otak, apa yang harus kuberikan padanya? Aku menoleh ke arah perut yang sudah mulai terlihat menonjol lalu mengusapnya perlahan.

Seketika aku menoleh ke arah Nyai Gayatri, ia menyunggingkan sedikit senyum dan melirik tanganku yang meraba-raba area perut.

Pikiran jahat itu merasuk seketika. Aku mengangguk yakin dengan apa yang aku berikan padanya.

"Baik, Nyai. Sudah saya pikirkan dengan matang," tegasku. Aku yakin isi kepala kami sama. Tak apa, semua yang kulakukan demi harta dan kekuasaan.

Nyai mengangkat alisnya, aku mengerti jika dia sedang bertanya apa yang akan aku berikan padanya?

"Ambil anak dalam rahimku kapan pun kau mau," ucapku tegas sambil mengusap perut yang sudah memasuki kehamilan empat bulan.

Seketika Nyai menyeringai. Tawa dari sosok yang kupuja pecah dalam keheningan malam ini diikuti suara burung gagak dari luar, seolah ikut bersorak menemani tawa Nyai yang terasa memekakkan telinga.

"Kau yakin?"

"Saya yakin, Nyai." Aku kembali menegaskan ucapan, agar Nyai percaya pada janji yang sudah kubuat. Toh, kehamilan ini tidak aku harapkan. Semua karena Kang Darman. Padahal, aku sudah bilang tidak ingin punya anak lagi.

"Baiklah. Sepeninggalku nanti, bukalah kotak hitam yang biasa aku suguhkan padamu. Tapi, ingat, jika kau ingkar dengan janjimu, maka kau yang akan menjadi tumbalku."

Kata-kata Nyai kali ini terdengar menggelegar. Aku hanya mengangguk mengiyakan apa yang ia lontarkan.

Cahaya itu kembali muncul dibarengi dengan angin yang begitu kencang, mata ini tertutup tak mampu mengimbangi cahaya yang menyilaukan. Perlahan semua mulai meredup dan keheningan kembali terasa mengisi ruangan khusus untuk penyambutan Nyai.

Aku bergegas mengambil kotak hitam dalam lemari. Setelah kubuka, bibir ini tersenyum puas dengan apa yang didapatkan malam ini.

"Terima kasih, Nyai," ucapku senang.

Aku kembali memasukan kotak hitam ke dalam lemari kemudian berjalan ke arah ranjang. Mataku menelisik ke setiap sudut ruangan ini.

Bibirku menyunggingkan senyum, kala ingat hari itu, di mana aku dan Mas Darman berdiskusi tentang kehidupan yang serba susah.

"Tidak ada cara lagi, Mas." Air mataku berderai, melihat nasi kering hanya dengan taburan garam.

"Tapi itu perbuatan dosa, Dek. Kita sama saja menyembah setan," ucapnya dengan nada lesu.

"Mas, sekarang pikirkan anak kita saja. Kamu rela melihat dia makan dengan kerupuk atau tahu dan tempe setiap hari? Terus, sekolahnya nunggak. Kamu rela?"

Dia terdiam sesaat. Wajahnya kian pucat. Aku yakin, Mas Darman sedang dihantui rasa bersalah karena tidak mampu memberikan kebahagiaan pada anak dan istrinya.

"Waktu keluarga kamu ngehina aku, kamu gak bisa ngomong, 'kan? Karena pada kenyataannya kita pantas dihina, Mas." Suaraku kian gemetar, membuat Mas Darman memejamkan matanya beberapa saat.

Tak berapa lama, aku mengambil jemari suamiku, menggenggamnya dengan sangat erat. Aku berusaha meyakinkan, jika semua akan baik-baik saja. Kehidupan kami harus lebih baik dari sebelumnya untuk membuktikan, jika Mas Darman juga pantas dihargai oleh semua saudaranya.

Sampai akhirnya, aku memberi waktu pada Mas Darman untuk memikirkan permintaanku ini. Saat malam tiba, aku berpura-pura tidur, sedangkan Mas Darman tampak gusar. Beberapa kali ia masuk dan keluar kamar.

Esok paginya, aku sengaja tidak menyiapkan sarapan. Tentunya agar Mas Darman semakin merasa bersalah.

"Dek, Mas mau bicara." Suara bariton itu mulai memecah keheningan di antara kami.

"Kenapa, Mas?" tanyaku menatapnya dengan seulas senyum.

"Aku setuju untuk mendatangi Ki Kusno. Aku sudah bertekad ingin membahagiakan kalian." Matanya terlihat berapi-api. Membuat aku menghela napas lega.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status