Suara detak jam menemaniku malam ini. Masih kutunggu sampai waktu menunjukkan pukul 12 malam, tak lupa sesajen itu kutatah dengan rapi. Bunga berwarna-warni sudah tersedia di nampan, tak lupa sesuatu yang menjadi tumbalku malam ini.
Kehadiran Nyai Gayatri harus disambut dengan mewah. Sebab, ia yang memberiku gelimang harta. Rumah yang dulu bak gubuk derita, dalam hitungan bulan bisa berubah menjadi istana.Tak lagi tangis anak karena kelaparan atau kekurangan susu. Semua aku dapatkan dengan mudah. Tetangga yang dulu mencemooh, bahkan menghina-sekarang seolah menganggapku saudara. Cih ... munafik!Aku sudah bersiap untuk meminta lagi harta yang lebih banyak malam ini. Remang-remang terdengar suara kereta kecana. Bau khas melati dan bunga sedap malam sudah mulai tercium. Tanda-tanda kedatangan putri agung, penguasa lautan bisa kurasakan.Duduk bersila di antara kepulan asap, kurapalkan doa dengan menaburkan sedikit kemenyan di antara asap-asap yang mulai menebal. Seketika tengkuk ini terasa dingin, bulu kuduk merinding merasakan kehadirannya.Aku menutup mata sejenak, sambil teras membaca mantra. Dalam kegelapan, terasa setitik cahaya mulai menerobos. Aku bisa membayangkan, Nyai duduk dalam sebuah kereta kencana bersama dua pengawalnya.Sekelebat aku bisa merasakan, jika ia mulai hadir di kamar ini. Kamar rahasia yang tidak boleh dimasukin oleh siapa pun. Nuansa keemasan serta hijau mendominasi dari kain-kain yang membentang sebagai hiasan. Begitu juga dengan ranjang khusus yang memang dipersiapkan jika Nyai ingin bertamu kapan saja.Suara kereta kencana semakin keras. Dia sudah hadir di sini. Wangi kembang tercium tajam diikuti dengan bau khas dupa yang kian menyengat. Namun, mataku masih enggan terbuka. Aku ingin menyambutnya dengan sangat sakral.Suara itu, suara kereta lonceng dari kereta kencana yang membuat bibirku tersenyum tipis. Sekali lagi dia sudah mulai mendekat. Embusan angin terasa kian menusuk, ini saatnya aku membuka mata.Cahaya yang cukup menyilaukan dibarengi kedatangan sesosok wanita berbaju hijau dengan pakaian khas putri raja.Wajahnya yang dingin dan datar menjadi sesuatu yang sudah tak asing bagiku."Selamat datang, Nyai," ucapku menundukkan kepala, memberinya penghormatan."Ada apa kau memanggilku?" tanyanya dengan nada dingin. Mantra khusus yang aku lafalkan, berhasil membawa Nyai kemari.Aku terdiam sejenak seraya meyakinkan diri dengan apa yang akan kuminta padanya. Aku menunduk kembali mengatur napas dan menutup mata beberapa detik."Aku minta kekayaan yang lebih dari ini, Nyai," pintaku yakin.Jantungku kian berdebar. Aku tahu, ini terlalu serakah. Padahal, beberapa minggu yang lalu aku baru saja meminta hal serupa. Namun, aku masih butuh untuk membeli sepetak tanah yang nanti bisa diurus oleh Mas Darman. Tentunya agar warga tidak curiga dari mana kekayaan ini didapatkan.Aku pun bisa memperkerjakan warga dan menjadikan mereka budak Nyai Gayatri. Tentu saja.Dia hanya diam tak menggubris pernyataanku. Dari matanya terlihat dia menatapku dengan tajam, suasana berubah semakin hening dan mencekam. Angin berembus semakin kencang sampai mengibas rambutku yang terurai."Apa yang akan kau berikan untukku?" tanyanya dingin.Kali ini Nyai tampak serius. Biasanya, ia hanya melirik sesajenku dan mengabulkan semuanya. Apa Nyai akan meminta hal yang lebih dari ini?Aku bergeming beberapa detik, berharap kali ini aku tak salah berucap. "Apa saja yang Nyai mau, akan saya berikan," tegasku.Suasana kembali hening. Jantungku berpacu semakin tak karuan. Aku takut Nyai meminta hal yang tak bisa aku kabulkan. Namun, bukankah itu risiko?"Aku ingin sesuatu yang berharga darimu."Kata-kata darinya membuatku menelan ludah. Sesuatu yang berharga? Aku memutar otak, apa yang harus kuberikan padanya? Aku menoleh ke arah perut yang sudah mulai terlihat menonjol lalu mengusapnya perlahan.Seketika aku menoleh ke arah Nyai Gayatri, ia menyunggingkan sedikit senyum dan melirik tanganku yang meraba-raba area perut.Pikiran jahat itu merasuk seketika. Aku mengangguk yakin dengan apa yang aku berikan padanya."Baik, Nyai. Sudah saya pikirkan dengan matang," tegasku. Aku yakin isi kepala kami sama. Tak apa, semua yang kulakukan demi harta dan kekuasaan.Nyai mengangkat alisnya, aku mengerti jika dia sedang bertanya apa yang akan aku berikan padanya?"Ambil anak dalam rahimku kapan pun kau mau," ucapku tegas sambil mengusap perut yang sudah memasuki kehamilan empat bulan.Seketika Nyai menyeringai. Tawa dari sosok yang kupuja pecah dalam keheningan malam ini diikuti suara burung gagak dari luar, seolah ikut bersorak menemani tawa Nyai yang terasa memekakkan telinga."Kau yakin?""Saya yakin, Nyai." Aku kembali menegaskan ucapan, agar Nyai percaya pada janji yang sudah kubuat. Toh, kehamilan ini tidak aku harapkan. Semua karena Kang Darman. Padahal, aku sudah bilang tidak ingin punya anak lagi."Baiklah. Sepeninggalku nanti, bukalah kotak hitam yang biasa aku suguhkan padamu. Tapi, ingat, jika kau ingkar dengan janjimu, maka kau yang akan menjadi tumbalku."Kata-kata Nyai kali ini terdengar menggelegar. Aku hanya mengangguk mengiyakan apa yang ia lontarkan.Cahaya itu kembali muncul dibarengi dengan angin yang begitu kencang, mata ini tertutup tak mampu mengimbangi cahaya yang menyilaukan. Perlahan semua mulai meredup dan keheningan kembali terasa mengisi ruangan khusus untuk penyambutan Nyai.Aku bergegas mengambil kotak hitam dalam lemari. Setelah kubuka, bibir ini tersenyum puas dengan apa yang didapatkan malam ini."Terima kasih, Nyai," ucapku senang.Aku kembali memasukan kotak hitam ke dalam lemari kemudian berjalan ke arah ranjang. Mataku menelisik ke setiap sudut ruangan ini.Bibirku menyunggingkan senyum, kala ingat hari itu, di mana aku dan Mas Darman berdiskusi tentang kehidupan yang serba susah."Tidak ada cara lagi, Mas." Air mataku berderai, melihat nasi kering hanya dengan taburan garam."Tapi itu perbuatan dosa, Dek. Kita sama saja menyembah setan," ucapnya dengan nada lesu."Mas, sekarang pikirkan anak kita saja. Kamu rela melihat dia makan dengan kerupuk atau tahu dan tempe setiap hari? Terus, sekolahnya nunggak. Kamu rela?"Dia terdiam sesaat. Wajahnya kian pucat. Aku yakin, Mas Darman sedang dihantui rasa bersalah karena tidak mampu memberikan kebahagiaan pada anak dan istrinya."Waktu keluarga kamu ngehina aku, kamu gak bisa ngomong, 'kan? Karena pada kenyataannya kita pantas dihina, Mas." Suaraku kian gemetar, membuat Mas Darman memejamkan matanya beberapa saat.Tak berapa lama, aku mengambil jemari suamiku, menggenggamnya dengan sangat erat. Aku berusaha meyakinkan, jika semua akan baik-baik saja. Kehidupan kami harus lebih baik dari sebelumnya untuk membuktikan, jika Mas Darman juga pantas dihargai oleh semua saudaranya.Sampai akhirnya, aku memberi waktu pada Mas Darman untuk memikirkan permintaanku ini. Saat malam tiba, aku berpura-pura tidur, sedangkan Mas Darman tampak gusar. Beberapa kali ia masuk dan keluar kamar.Esok paginya, aku sengaja tidak menyiapkan sarapan. Tentunya agar Mas Darman semakin merasa bersalah."Dek, Mas mau bicara." Suara bariton itu mulai memecah keheningan di antara kami."Kenapa, Mas?" tanyaku menatapnya dengan seulas senyum."Aku setuju untuk mendatangi Ki Kusno. Aku sudah bertekad ingin membahagiakan kalian." Matanya terlihat berapi-api. Membuat aku menghela napas lega.Seminggu dari obrolan itu, aku dan Mas Darman melakukan perjalanan yang lumayan jauh dengan menyewa motor milik tetangga. Namun, karena rumah Ki Kusno masuk ke pedalaman, terpaksa kendaraan roda dua itu kami titipkan ke rumah salah satu saudaraku yang bersebelahan dengan desa tempat Ki Kusno.Mereka bertanya aku dan Darman akan ke mana, tetapi sebisa mungkin kami memberi alasan yang masuk akal. Beruntung mereka tipe orang yang tidak peduli pada orang susah seperti kami, jadi dengan cepat aku dan Mas Darman berjalan menuju area hutan di desa ini.Satu jam telah berlalu. Kulangkahkan kaki menyusuri jalanan terjal. Sejauh mata memandang hanya berjumpa dengan pepohonan yang amat rindang dan suara binatang-binatang kecil menambah kesan jauh dari kehidupan kota. Napas terengah menahan lelah karena perjalanan ini cukup jauh."Kamu yakin, Dek?" tanya Mas Darman, suamiku. "Aku yakin, Mas. Untuk apa aku berjalan sejauh ini jika keyakinanku tidaklah kuat," ucapku tegas meyakinkan suami.Mas Dar
Kehidupan yang perih ini membuatku yakin untuk tetap mengikuti cara sesat. Syurga dan neraka bukan urusan orang lain, cukup aku hadapi nanti. Toh, yang merasakan perih adalah aku, mereka hanya bicara tanpa memberi kami makan.Suara lolongan anjing menjadi saksi kerasnya usaha kami malam ini. Hawa aneh kian merasuk, dibarengi dengan suara jeritan malam yang entar dari mana berasal. Aku melirik ke arah suamiku, ia terlihat tegang. Dia pria yang baik, mau menuruti permintaan istrinya bahkan menggadaikan iman sekalipun.Seperti yang dipaparkan ki Kusno, malam ini aku dan Mas Darman mengikuti langkahnya untuk menemui sang pemberi kekayaan. Keheningan malam dan cahaya bulan purnama akan menjadi saksi ketika sang ratu memberikan segala kekuasaannya. Di atas tebing tinggi, ditemani suara desir ombak aku berdiri dengan penuh percaya diri. Harapan akan kejayaan sudah berada di depan mata, kini tak ada yang mampu menggoyahkan langkah kami.Ki Kusno mulai mempersiapkan sesajen yang sudah kami
Aku berpikir keras dengan permintaan Nyai untuk memberikan suamiku kepadanya. Apa yang harus aku jawab? Sementara Mas Darman hanya terdiam tak memberi masukan. Apa saat ini dia marah? atau menyerahkan semua keputusan ini kepadaku? Tiba-tiba saja aku perasaanku berubah gamang. Ya, wanita mana yang mau berbagi ranjang dengan orang lain. Jangankan ranjang, bahkan berbagi cinta saja sudah sangat menyakitkan. "Dek, kalau kamu tidak mau, jangan kita teruskan. Ini pasti akan menyakitimu," bisik Mas Darman tiba-tiba. Seketika aku menelan ludah, dadaku benar-benar sesak. Akan tetapi, setan seolah berkata, "Sakit mana jika dibandingkan dengan hinaan dari mereka di luar sana?" Mataku terpejam sejenak lalu menarik napas beberapa kali. Baiklah, aku tak ingin semua berakhir sampai di sini."Saya setuju, Nyai," ucapku lantang. Aku tahu ada rasa kecewa di hati Mas Darman setelah ini. Begitu juga dengan perasaanku.Terlihat dari sudut mata, Mas Darman menoleh dan menatapku murka. Aku tidak peduli
Semua usaha sudah pasti akan ada hasilnya. Sama seperti yang aku alami saat ini. Bedanya, semua seakan mimpi karena terlalu singkat dan instan.Di sinilah aku sekarang, berdiri seraya menghirup aroma kebebasan. Aroma kemewahan. Kehidupanku kemarin, sudah aku tinggalkan. Tidak akan pernah jadi kenangan indah karena tidak ada yang indah saat itu.Mataku berbinar seketika kala menatap rumah mewah dengan tersenyum puas. Yang kami lakukan setelah mendapat harta adalah membeli rumah layak dan meninggalkan rumah kumuh milik ibu mertuaku. Rasanya ingin segera memamerkan segalanya pada mereka yang kemarin meremehkanku."Bagus sekali rumahnya, Bu," ucap Lisa dengan sangat antusias.Senyumku semakin lebar melihat anak-anak yang begitu bahagia dengan rumah barunya. Rumah dua lantai dengan dominasi cat berwarna putih dan gold memberi kesan mewah dan elegan. Kami sudah mengatur semua kamar masing-masing termasuk kamar ritualku untuk bertemu dengan Nyai."Mas, antarkan Ibu ke kamar! Aku ingin bicara
Aku menggosok mata dan melirik jam dinding dengan rasa kantuk yang luar biasa. Ternyata aku terbangun di tengah malam, karena jam menunjukkan tepat pukul dua belas malam. Badanku terasa lelah setelah membantu Ibu membereskan barang saat pindahan. Rasanya semua ini hanya mimpi. Aku memiliki kamar bagus karena biasanya kami tidur dalam satu ruangan dengan berdesak-desakkan. Pengap, panas, bahkan ingin mendapat angin pun harus memakai kipas tangan.Sekarang aku tidak menyangka, Ibu dan Ayah bekerja dengan giat hingga bisa membeli rumah semewah ini. Sekarang aku punya AC sendiri di kamar, tidak kegerahan lagi seperti kemarin. Entah mengapa rasanya malam ini haus sekali. Aku harus turun ke bawah untuk mengambil air minum. Ternyata tidur di lantai atas cukup merepotkan sampai harus menuruni anak tangga dengan suasana yang begitu gelap. Ya, di sini gelap dan dingin. Sesekali kuusap tengkuk karena hawa aneh yang begitu menusuk, ditambah bau melati yang begitu menyengat. Akhir-akhir ini Ibu
Aku masuk ke sebuah kamar dengan membawa sarapan di atas nampan dan meletakannya pada meja sisi ranjang. Gorden masih tertutup rapat. Kubuka perlahan agar matahari pagi ini bisa masuk dengan leluasa.Gadis itu masih terlelap. Kubelai pucuk kepalanya dengan lembut sampai akhirnya mata itu mulai terbuka perlahan. "Ibu ...!" Gadisku memeluk dengan erat sembari menangis ketakutan. Aku hanya membalas dekapan itu dengan membelai rambutnya yang panjang."Tenanglah, Lisa!" Aku mencoba menjadi sosok ibu yang selalu ada di saat ia membutuhkan."Aku takut, Bu," ucap putriku lirih. Aku tak bisa berkata apa-apa selain membalas pelukannya yang begitu erat dengan tubuh bergetar hebat."Ibu, tunggu!" Lisa melepaskan pelukannya. "Apa yang terjadi padaku, Bu?" Aku hanya tersenyum dan menghapus air mata yang sudah membasahi pipi merahnya. "Katakan, Bu!" "Ibu tidak tahu, Lisa. Ibu hanya mendengar teriakanmu. Saat masuk, kamu sudah dalam keadaan tergeletak di ujung sana," jelasku menunjuk salah satu
Bulan purnama telah tiba, hari di mana tumbal akan kami berikan kepada Nyai. Perjanjian sudah kusepakati tanpa sepengetahuan Mas Darman, ia tak boleh tahu tentang apa yang aku janjikan kepada Nyai.Kami merapikan kamar untuk pemanggilan Nyai. Sesajen dan syarat lainnya sudah tersedia dengan rapi. Entah mengapa pikiranku selalu teringat pada Lisa, padahal keadaannya berangsur pulih dan sudah bisa masuk sekolah kembali. "Marni ...!" Panggilan dari Mas Darman membuatku terperanjat. "Iya, Mas?" "Kamu kenapa?" Aku menggeleng perlahan. Dia tidak boleh tahu dengan apa yang kupikirkan. Aku akan menjadi seorang pengecut di mata Mas Darman, jika ia mengetahui ketakutan dalam hatiku tentang keadaan keluarga kami ke depannya."Apa sudah selesai semuanya?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.Mas Darman yang sedang menyiapkan berbagai macam bunga berhenti dan mengangguk. "Sudah ko, Dek," ucapnya menyimpan semua peralatan di atas meja. Aku harus bertanya sekali lagi pada Mas Darman, apa dia sudah
Aku masih memandangi Mas Darman yang menangisi jenazah Ibunya. Dari dimandikan sampai dikafani Mas Darman setia disisi Ibu. Aku benar-benar tidak mengerti dengan semua yang terjadi. Lalu, siapa yang menemani ritual malam tadi? Kami dan para warga mengiringi jenazah Ibu ke tempat peristirahatan terakhir. Suamiku terlihat sedikit tegar untuk kali ini, ia ikut masuk ke liang lahat untuk menemani Ibu yang terakhir kali. Proses pemakaman telah usai. Kami sekeluarga berjalan beriringan. Tak ada sepatah kata pun yang terucap, bahkan aku tidak berani bertanya pada Mas Darman tentang kejadian yang tengah menimpanya semalam."Pak ... Bu!" Panggilan dari arah belakang membuatku menoleh. Tampak Ustaz Zul tergesa-gesa menghampiri kami. "Pak ... Bu, ada yang ingin saya bicarakan," ucapnya dengan sedikit terengah-engah. Aku segera menoleh ke arah Lisa, lantas memerintahkannya untuk pulang terlebih dahulu, "Lisa, kamu pulang duluan, sekalian bawa adikmu! Nanti kami menyusul." Lisa mengangguk da