Share

Main Dukun

Seminggu dari obrolan itu, aku dan Mas Darman melakukan perjalanan yang lumayan jauh dengan menyewa motor milik tetangga. Namun, karena rumah Ki Kusno masuk ke pedalaman, terpaksa kendaraan roda dua itu kami titipkan ke rumah salah satu saudaraku yang bersebelahan dengan desa tempat Ki Kusno.

Mereka bertanya aku dan Darman akan ke mana, tetapi sebisa mungkin kami memberi alasan yang masuk akal. Beruntung mereka tipe orang yang tidak peduli pada orang susah seperti kami, jadi dengan cepat aku dan Mas Darman berjalan menuju area hutan di desa ini.

Satu jam telah berlalu. Kulangkahkan kaki menyusuri jalanan terjal. Sejauh mata memandang hanya berjumpa dengan pepohonan yang amat rindang dan suara binatang-binatang kecil menambah kesan jauh dari kehidupan kota. Napas terengah menahan lelah karena perjalanan ini cukup jauh.

"Kamu yakin, Dek?" tanya Mas Darman, suamiku.

"Aku yakin, Mas. Untuk apa aku berjalan sejauh ini jika keyakinanku tidaklah kuat," ucapku tegas meyakinkan suami.

Mas Darman hanya mengangguk, ia meraih tanganku untuk bisa berjalan beriringan dengannya. Kami semakin mempercepat langkah untuk segera sampai ke tempat tujuan, tempat di mana seseorang bisa membawa kami pada kehidupan yang lebih baik.

Jalan ini terasa begitu mulus tanpa hambatan, lantas bibirku tersenyum tipis saat melihat tempat yang kami maksud sudah berada di depan mata.

Angin terasa begitu kencang menerpa tubuh kami saat mendekati sebuah gubuk di pertengahan hutan ini. Aku mengusap tengkuk perlahan karena hawa dingin begitu kuat terasa saat ini. Takut, tentu saja berkecambuk dalam hati. Namun, tekad ini sudah berhasil mengalahkan rasa apa pun yang mencoba menghadang.

Langkahku terhenti saat tangan Mas Darman menarik dan tubuhnya mematung di tempat.

"Ada apa, Mas?" tanyaku heran.

"Perasaanku tidak enak, Dek."

Aku hanya menggeleng dan menarik kembali tanganya agar segera mendekat pada rumah tua itu. Semua tidak boleh berhenti sampai di sini, ini sudah terlalu jauh untuk menyerah.

Dari jarak dekat terlihat dua orang berpakaian serba hitam berjaga di depan pintu, aku yakin jika mereka adalah anak buah dari pemilik rumah.

"Permisi, apa ini rumahnya Ki Kusno?" tanyaku.

Mereka terlihat saling memandang satu sama lain.

"Betul, ada perlu apa?" tanya salah satu di antara mereka.

"Apa boleh saya bertemu dengan beliau?" tanyaku kembali.

"Sebentar." Salah satu dari mereka masuk, mungkin dia akan memberitahukan kedatangan kami pada Ki Kusno. Tak berselang lama, pria bertubuh kurus itu mempersilakan kami masuk.

"Tinggal masuk saja, dan kamarnya ada di sebelah kiri." Aku hanya mengangguk dan menarik kembali tangan Mas Darman untuk segera mengikuti langkah ini.

Rumah bilik biasa yang jauh dari kesan angker. Namun, saat masuk ada sesuatu yang menyita perhatian yaitu lukisan wanita dengan memakai pakaian khas putri raja berwarna hijau. Tatapan mata yang tegas dan wajah yang ayu itu seolah memancarkan sesuatu yang kuat yang tak bisa dijelaskan.

"Dek, masuk!" ajakan Mas Darman membuyarkan lamunanku, entah mengapa rasanya enggan berpaling dari lukisan tersebut. Kamar yang di maksud penjaga tadi sudah di hadapan kami, aku dan Mas Darman saling pandang. Aku mengerti dari tatapan Mas Darman dia ingin bertanya untuk kesekian kalinya tentang keyakinan yang bisa membawa raga ke tempat ini.

Aku hanya tersenyum tipis dan mengangguk lagi, akhirnya kami segera masuk ke dalam kamar yang hanya ditutup oleh gorden berwarna putih polos. Aku merasakan kembali embusan angin kencang yang bertiup sampai membuat bulu kuduk merinding, seketika mata ini menerawang pada ruangan yang gelap dengan pencahayaan yang mengandalkan beberapa lilin di setiap sudut.

"Masuklah!" ucap seorang pria yang yang masih tidak terlihat. Kami pun segera mendekati sumber suara dan akhirnya jelas sudah siapa yang menyuruh kami masuk. Seorang pria berjanggut panjang dengan perawakan tambun duduk di antara peralatan sesajen, setauku seperti itu. Akhirnya aku dan Mas Darman duduk dihadapannya.

"Ada tujuan apa kalian datang kemari?" tanyanya dengan suara yang menggelegar.

Aku dan Mas Darman tak ada yang mau menjawab. Kami malah saling berpandangan kembali, seperti memberi perintah satu sama lain. Aku pun menelan ludah dan memberanikan diri untuk menyebutkan maksud dan tujuan.

"Kami ingin kaya, Ki," jawabku singkat.

"Kekayaan apa yang ingin kalian capai?" tanya Ki Kusno seperti meledek.

"Aku ingin harta yang banyak tanpa embel-embel lelah bekerja."

Pria itu menyalakan rokok dan meniupkan asapnya ke arah kami. Aku hanya mengibas dengan tangan secara perlahan.

"Gampang. Tapi yang sulit adalah syarat yang harus kalian penuhi saat harta itu sudah berada dalam genggaman. Terkadang manusia suka lupa saat mereka sudah berada dipuncak. Lupa siapa yang sudah memberi," tegasnya.

Aku terdiam sejenak, melirik Mas Darman yang hanya membisu menatap lurus ke depan. Apa dia kurang yakin dengan jalan yang akan kita ambil saat ini? aku tertunduk, jika memang dia tidak yakin ini semua tidak akan berjalan baik, pikirku.

"Memang syaratnya apa, Ki?" tanya Mas Darman.

"Banyak, dan salah satunya adalah tumbal yang harus kalian berikan. Termasuk nyawa dari seseorang yang kalian sayangi. Apa kalian sanggup?"

Hening. Semua terasa begitu sunyi saat kata itu terdengar sangat jelas. Lagi-lagi tak ada jawaban, seolah semuanya terasa berat untuk diungkapkan. Pria itu meniupkan kembali kepulan asap rokok, itu membuatku kembali tersadar dalam lamunan.

"Saya siap apa pun persyaratannya," ucapku yakin. Mas Darman terlihat menoleh ke arahku, tapi aku tidak peduli sama sekali.

"Siapa namamu?"

"Marni ... dan ini suami saya Darman."

"Kau sungguh tidak terlihat takut, Marni." Ia terkekeh, seperti menertawakan diriku.

"Karena sebuah penghinaan atas kemiskinan menutup rapat mata hati saya untuk melihat sebuah kebenaran. Saya mohon, Ki ... penuhi permintaan ini," pintaku memaksa.

Dia menatapku dingin. Suasana berubah menjadi hening, sementara aku membalas tatapan itu seperti memberi keyakinan jika memang ini jalan yang ingin ditempuh.

"Baiklah. Kembalilah malam jumat nanti dengan membawa sesajen yang lengkap. Kalian akan kupertemukan dengan Nyai Gayatri."

"Siapa itu, Ki?" tanya Mas Darman. Dia baru mau membuka suaranya kali ini.

"Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang pulang dan persiapkan semuanya."

"Baik, Ki. Terima kasih," ucapku menunduk.

Akan kupersiapkan segalanya sampai menemukan kehidupan yang lebih baik. Tak peduli jurang mana yang akan kulewati, sekalipun harus tersungkur sampai lapisan terdalam. Niat dan tekat ini sudah bulat. Persetan dengan apa yang mereka katakan tentang baik dan buruk, yang jelas aku ingin bahagia dengan semua yang akan didapatkan nanti.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status