Kehidupan yang perih ini membuatku yakin untuk tetap mengikuti cara sesat. Syurga dan neraka bukan urusan orang lain, cukup aku hadapi nanti. Toh, yang merasakan perih adalah aku, mereka hanya bicara tanpa memberi kami makan.
Suara lolongan anjing menjadi saksi kerasnya usaha kami malam ini. Hawa aneh kian merasuk, dibarengi dengan suara jeritan malam yang entar dari mana berasal.Aku melirik ke arah suamiku, ia terlihat tegang. Dia pria yang baik, mau menuruti permintaan istrinya bahkan menggadaikan iman sekalipun.Seperti yang dipaparkan ki Kusno, malam ini aku dan Mas Darman mengikuti langkahnya untuk menemui sang pemberi kekayaan. Keheningan malam dan cahaya bulan purnama akan menjadi saksi ketika sang ratu memberikan segala kekuasaannya.Di atas tebing tinggi, ditemani suara desir ombak aku berdiri dengan penuh percaya diri. Harapan akan kejayaan sudah berada di depan mata, kini tak ada yang mampu menggoyahkan langkah kami.Ki Kusno mulai mempersiapkan sesajen yang sudah kami bawa sesuai perintahnya. Dengan menghadap ke arah laut dia mulai bersila dan menyatukan kedua telapak tangannya dibarengi dengan mantra-mantra yang terdengar samar, sementara aku dan Mas Darman hanya duduk di belakang mengikuti segala arahannya. Embusan angin laut begitu kencang membuatku sesekali meniup telapak tangan."Wahai penguasa lautan, terimalah persembahan dari kami. Bukalah pintu menuju gerbang sang Ratu, izinkan kami memasuki alam yang tak dapat kami tembus. Pinjamkan kekuatanmu, berikan pada kami!" teriak Ki Kusno dengan merentangkan tangannya dan menyatukannya kembali.Seketika ombak riuh, lolongan anjing menggema membuat suasana semakin mencekam. Alam pun gencar meniupkan udara yang membuat tubuhku terasa bergetar.Tunggu, aku mendengar sesuatu. Aku mendengar suara gamelan dengan samar-samar. Pundakku terasa begitu berat saat ini dan kepalaku sangat sakit."Kenapa, Dek," ucap Mas Darman. Mungkin dia melihatku memijit kepala beberapa kali."Mas mendengar sesuatu?" bisikku."Mendengar apa?""Suara gamelan itu, Mas."Mas Darman hanya menggeleng pelan. Kepalaku semakin sakit dan semua terasa begitu melayang. Entah hawa aneh apa yang aku rasakan, semua terasa begitu kuat dan berbeda. Sungguh, aku tidak bisa menjelaskan ini secara lisan."Tahan!" tiba-tiba saja Ki Kusno berteriak seperti itu. Aku dan Mas Darman hanya bertatapan memberi isyarat jika kami tidak mengerti dengan apa yang Ki Kusno lontarkan."Marni ... Pusatkan pikiranmu! jangan sampai kau lengah dan menyerahkan dirimu pada alam." Suara Ki Kusno meracau tidak jelas, "Lawan sebisamu!" tegasnya lagi.Aku hanya mengangguk. Meskipun dia tidak melihatnya, tapi aku yakin jika dia mengetahuinya.Tiba-tiba saja suara gamelan itu menghilang seketika. Sakit kepala dan hawa aneh yang merasuk tadi pun hilang dengan sendirinya. Ki Kusno berdiri dari tempat bersila dan mengajak kami pergi."Sudah selesai, Ki?" tanya suamiku."Belum, kita akan turun dari tebing ini dan masuk ke dalam gua di ujung sana. Kalian akan bertemu Nyai di tempat itu."Aku dan Mas Darman kembali saling pandang. Tak ada pertanyaan satu sama lain yang bisa dilontarkan. Kami hanya bisa mengikuti semua perintah dari Ki Kusno untuk mengikuti langkah kakinya.Mata ini mulai menerawang saat lalaki tua itu mengajak kami masuk ke dalam gua yang sangat gelap. Suara gemercik air dan decitan kelelawar menambah kesan mistis yang sangat kuat. Ki Kusno mulai menyalakan obor yang sudah tersusun dengan rapi pada setiap sudut gua."Ini adalah tempat pertapaan, tempat berinteraksi antara aku dan Nyai Gayatri. Aku tekankan pada kalian untuk tetap fokus saat acara pemanggilan nanti, jangan saling berbicara satu sama lain.""Baik, Ki," jawabku dan Mas Darman bersamaan."Satu lagi ... aku akan membiarkan kalian berinteraksi sendiri. Masalah perjanjian kalian dengan Nyai bukan urusanku lagi. Kalian mengerti?"Aku mengangguk perlahan."Baiklah, kita mulai," ucap Ki Kusno yang langsung duduk di antara kain putih yang sudah direntangkan. Di atasnya tampak beberapa macam bunga dan kendi berisikan dupa yang menancap. Pria itu mulai menyalakan dupa satu per satu."Duduklah! tutup mata kalian dan posisikan tubuh kalian seperti sedang bertapa. Jangan pernah buka mata sebelum ada yang memberi perintah," ucap Ki Kusno dengan tegas.Mas Darman pun langsung melakukan apa yang diperintahkan, sementara mata ini memandang wajahnya sesaat. Ingin sekali berkata jika saat ini perasaanku takut, namun Mas Darman pasti akan menertawakan sikapku ini.Tidak, aku tidak boleh lemah saat semua sudah akan terjadi. Aku menarik napas dalam-dalam dan segera memosisikan diri seperti yang suamiku lakukan.Semua terasa begitu hening dan pengap. Ingin sekali membuka mata dan menyaksikan apa yang terjadi, tapi semua harus dijalani sesuai apa yang diperintahkan. Wangi dupa sudah mulai tercium, aku yakin jika Ki Kusno sedang melakukan ritualnya."Nyai ... Aku mengundangmu untuk datang kemari. Hadirlah dengan membawa kekuatan dan kekuasaanmu," ucap Ki Kusno memecah kesunyian di dalam gua."Datanglah Nyai, datanglah!"Pundakku terasa berat kembali dan suara itu hadir dengan sangat jelas. Bukan suara gamelan seperti di awal, tapi ini adalah suara ular berdesis. Kenapa? kenapa tubuhku terasa sangat kaku? apa ini? ada sesuatu yang sedang menggerayangi tubuhku saat ini dan baunya sangat busuk sekali. Rasa mual mulai menembus perutku karena bau yang tak bisa kutahan. Tidak, aku yakin ini hanya ujian untuk menguji keyakinan.Bau itu menghilang perlahan, sekarang berganti dengan wangi dari bunga melati yang begitu pekat. Apa dia sudah hadir?Kereta kencana? ini suara kereta kencana. Dia datang, akhirnya dia datang. Nyai sudah hadir di tengah-tengah kami."Buka mata kalian!" perintah Ki Kusno.Mata ini terbuka secara perlahan. Kian lama semakin jelas siapa yang ada di hadapan kami. Sosok wanita cantik berwajah dingin dan bermata tegas dengan baju serba hijau bak ratu kerajaan."Ada apa kau memanggilku?""Ampun, Nyai. Maaf jika saya lancang memanggilmu, tapi ada yang ini bertemu denganmu?"Ki Kusno membalikkan wajah dan menganggukkan kepala. Aku mengerti jika dia memberi kesempatan untukku dan Mas Darman untuk mengutarakan maksud dan tujuan.Dengan menarik napas aku berkata, "Nyai, saya Marni beserta Mas Darman, ingin meminta kekayaan kepadamu. Apa pun persyaratannya akan saya penuhi," ucapku tanpa menatapnya.Keheningan kembali menyelimuti, suara gagak terdengar begitu nyaring."Kau yakin akan menjadi pengikut setiaku?" tanya Nyai dengan nada dingin."Yakin, Nyai," tegasku.Hening kembali."Jika begitu biarkan suamimu di sini untuk melayaniku."Pernyataan itu begitu menggelegar di telingaku. Aku segera mengangkat wajah dan mengalihkan pandangan ke arah Mas Darman yang masih menatap lurus ke depan.Haruskah ini semua kulakukan?Berbulan-bulan Lisa menjalani pengobatan baik medis juga rukiah, akhirnya membuahkan hasil. Ia sudah jarang ketakutan lagi, bahkan dirinya sudah bisa tidur secara teratur. Kyai Ilham membangun benteng dengan meningkatkan pengajian rutin di luar jam pesantren. Tentunya, untuk mencegah datangnya serangan gaib. Tidak ada yang tidak mungkin saat semua dipasrahkan pada Gusti Allah, semua kehidupan di pesantren kembali normal. Beberapa minggu yang lalu, saat tengah melaksanakan wirid di kamar pribadinya, Kyai Ilham dikejutkan oleh angin yang tiba-tiba masuk ke kamarnya. Jendela kamar itu terbuka lebar hingga gordennya melambai tertiup angin. .Lamat-lamat beliau mendengar suara kereta kencana. Kyai Ilham tahu, siapa yang akan mengusiknya malam ini. Bibir sang Kyai tak henti melafalkan kalimat zikir, meminta pertolongan pada Allah agar senantiasa dilindungi. Sedari siang memang perasaannya tidak enak. Kyai Ilham sampai meminta Andi dan Lisa untuk wirid malam dan tidak boleh lepas dari Wud
Aku dan Mas Andi sudah bersiap-siap untuk pergi ke suatu tempat. Ya, aku sudah membiasakan diri memanggilnya 'Mas'. Kami mengenakan pakaian lengkap berwarna hitam yang khas untuk menuju ke tempat ini. Tidak ada perbincangan sama sekali yang mampu terucap dari bibirku, lantaran ini semua benar-benar mendesak dan terjadi begitu cepat.“Udah selesai? Kita langsung berangkat sekarang.” Mas Andi berjalan lebih dulu menyalip langkahku yang masih berhenti di tempat. Lamat-lamat aku mengiyakan dan melangkah pula ke arahnya. Motor hitam besar milik Mas Andi telah terparkir beberapa waktu lalu.“Kamu tau jalannya?” tanyaku spontan. Pria itu mengangguk dengan ragu-ragu.“Kurang tau sebenarnya Karena aku enggak ikut ke sana waktu itu.”“Jadi gimana?” Sejurus saling berbicara seperti ini, tiba-tiba langkah seseorang mendekat kemari. Kulihat matang-matang ada seorang wanita paruh baya muncul dari pintu utama.“Bu Nyai? Mau ke mana?” tanyaku sembari mengernyit. Aku seolah tak paham melihat penampila
Lisa berjalan tergopoh-gopoh. Ia melangkah dari rumah sakit, untuk sampai ke rumah. Aroma obat dan bekas infus yang selama ini menemani waktunya perlahan masih bisa dirasakan dan begitu menyeruak di indra penciuman yang dirasakan olehnya. Keadaan saat ini sangat membuat Lisa sadar bahwa keberadaannya di tempat ini memang kerap sekali memakan waktu yang panjang.Derap langkah kakinya menyertai keberadaan dan perjalanan. Sesekali bau-bau obat khas tempat umum berbaur obat-obatan tersebut lekat menusuk hidungnya. Lisa terus melangkah tanpa memikirkan apa pun.“Kamu yakin mau pulang? Kondisinya belum stabil, loh.” Andi, seorang pemuda yang memiliki wajah tampan itu terlihat berjalan menghampiri. Ia pun juga baru tiba dari rumah setelah melewati beberapa perjalanan beberapa saat lalu.“Iya, aku udah mendingan, kok. Kamu tenang aja.” Lisa menghela napas. Senyum yang lekat terlihat dari sudut bibir mungilnya membuat sosok lawan bicara ikut mengedarkan senyum balik. Pergerakan mereka saat ini
Lisa turun dari kendaraan roda empat perlahan. Setelah menjalani perawatan intensif beberapa waktu di rumah sakit, akhirnya ia diperbolehkan pulang.Pulang? Bahkan ia sendiri tidak mempunyai rumah yang bisa disebut sebagai tempat tinggal. Lebih tepatnya kembali ke pesantren karena tempat inilah Lisa bernaung selama beberapa waktu belakangan ini. Tentu ia bisa menyebutnya rumah, sebab sang ayah juga tinggal di sini.Bagi seorang anak, arti pulang bukanlah ke rumah, tetapi kepada orang tua. Karena orang tua itu sendiri adalah rumah ternyaman bagi anak-anaknya, termasuk Lisa yang merasa ayah adalah rumah satu-satunya. Senyuman hangat teman-teman di pondok menyambut kepulangannya. Kata dokter ... Lisa terbaring koma selama hampir dua bulan. Ditambah masa penyembuhan yang hampir satu bulan. Berarti total lama berada di rumah sakit selama tiga bulan. Tidak bisa dibayangkan bagaimana repotnya Kyai dan Bu Nyai dalam mengurus Lisa. Rasanya ia tidak punya muka untuk kembali ke sana, tapi apa
Tidak bisa dibayangkan bagaimana repotnya Kyai dan Bu Nyai dalam mengurus Lisa. Rasanya ia tidak punya muka untuk kembali ke sana, tapi apa daya Lisa tidak punya pilihan.Bu Nyai menuntun gadis itu menuju kamar. Bukan kamarnya dulu saat awal datang ke sini, tetapi kamar yang ditempati kemarin. Yaitu kamar di rumah utama Kyai Ilham. Kamar di mana ia mengalami hal aneh malam itu, hingga masih ingat sakitnya jeratan di leher. Mungkin itu juga yang menyebabkan Lisa harus berada di rumah sakit dalam waktu yang tidak sebentar.“Jangan pikirkan apa pun. Kamu harus cepat sehat, ada orang-orang yang sedang menunggu kamu. Jangan kecewakan mereka.”Lisa tersenyum. Tentu rasa rindu juga sama pada sang ayah. Gadis itu jadi tidak sabar menemuinya. Namun, kata Bu Nyai nanti dulu, kondisinya saat ini sedang tidak bisa berjalan jauh. Sampai di sini dengan selamat saja sudah syukur Alhamdulillah.Bu Nyai meninggalkan kamar setelah Lisa terbaring dengan selimut yang menutup sampai bagian dada. Suara deb
Seorang pemuda baru saja kembali dari sebuah tempat. Baju dan celananya sedikit terkena lumpur basah, tidak banyak, hanya di bagian ujung celana dan lengan baju.Dia segera membersihkan diri setelah sampai di rumah, kemudian pergi ke pesantren untuk menemui seseorang.“Assalamualaikum,” sapanya setelah berada di depan sebuah ruangan. Menunggu sang empunya mempersilakan dirinya masuk.“Waalaikumsalam.” Seseorang membuka pintu, memperlihatkan wajah tua tapi penuh wibawa.“Andi, silakan masuk.”Kyai Ilham, pemilik ruangan itu mempersilakan pemuda yang tak lain adalah Andi untuk masuk. Pemuda itu sudah mengatakan sebelumnya bahwa hari ini akan datang dengan maksud khusus.Kyai Ilham sedikit penasaran, karena baru kali ini Andi datang dengan maksud lain selain berkunjung atau memeriksa kesehatan para santri dan penghuni lainnya. Dengan senang hati dia menyambut kedatangan Andi.Dua cangkir teh terhidang di meja sebelum mereka memulai pembicaraan yang hanya diketahui oleh sebelah pihak.“Ad