Ruangan itu sunyi, hanya ada suara napas lembut El yang tertidur pulas di samping Julian. Cahaya redup dari lentera kecil di sudut ruangan memberikan sedikit penerangan di tengah kegelapan.
Namun, tiba-tiba El merasakan sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Matanya perlahan terbuka, dan ia langsung menyadari sesuatu—ia harus buang air kecil. El menggigit bibirnya, ragu untuk membangunkan Julian. Tapi jika ia pergi sendiri, itu terlalu menyeramkan. Ruangan ini begitu sunyi dan asing, apalagi mereka masih berada di tempat yang penuh misteri. Dengan hati-hati, El mengulurkan tangannya dan mengguncang lengan Julian pelan. "Jul... Julian..." bisiknya lirih. Julian mengerjap pelan, kelopak matanya bergerak sebelum akhirnya terbuka sepenuhnya. Matanya yang masih sedikit mengantuk menatap El dengan teduh, seolah bertanya tanpa kata-kata. "Ada apa?" suaranya terdengar serak karena baru bangun tidur. El menelan ludah, merasa malu untuk mengatakannya. Tapi ia tidak punya pilihan lain. "Aku... mau buang air kecil," katanya hampir berbisik. Julian yang mendengar itu sempat diam sejenak, lalu menghela napas panjang. Ia mengusap wajahnya sebelum akhirnya bangun perlahan, duduk di samping El. "Kenapa nggak langsung bilang aja?" gumamnya, lalu menoleh ke sekeliling ruangan. Untungnya, di ruang rahasia itu ada sebuah kamar mandi kecil di pojok ruangan. Meskipun sudah lama tidak digunakan, setidaknya masih bisa dipakai. "Kebetulan ada kamar mandi di sana," kata Julian sambil menunjuk ke sudut ruangan. "Ayo, aku temani." El mengangguk pelan. Ia mulai bangun, tapi saat ia melangkah, lantai kayu di bawahnya berderit cukup keras. Julian refleks menahan lengan El, matanya langsung serius. "Hati-hati. Jangan sampai bikin suara terlalu keras," bisiknya. "Lantainya udah tua, bisa aja ada yang rapuh." El menelan ludah, lalu mengangguk. Ia mencoba melangkah lebih pelan, tapi tetap saja merasa ragu. Julian, tanpa banyak bicara, langsung menggenggam tangan El dengan erat. "Biar aku pegangin," katanya dengan suara tenang. El menatap tangannya yang kini berada dalam genggaman Julian. Hangat. Nyaman. Bahkan di situasi seperti ini, Julian tetap menjadi Julian—seseorang yang selalu perhatian terhadap hal-hal kecil yang dilakukan El. Mereka berjalan pelan menuju kamar mandi. Begitu sampai di depan pintunya, Julian berhenti dan menatap El. "Aku tunggu di sini. Kalau ada apa-apa, panggil," ucapnya. El mengangguk cepat, lalu segera masuk ke dalam kamar mandi kecil itu. Sementara itu, Julian tetap berdiri di depan pintu, memastikan semuanya aman. Dalam hatinya, Julian tahu satu hal pasti—perhatiannya pada El bukan hanya sekadar refleks atau kebiasaan. Ini sudah menjadi bagian dari dirinya. Sesuatu yang sudah ada sejak lama. Sesuatu yang tidak akan berubah. . . . Di bawah sana, para orang misterius itu telah tertidur pulas, tetapi mereka tidak lengah sepenuhnya. Sebagian dari mereka tetap berjaga, bergantian mengawasi keadaan. Salah satu penjaga, seorang pria bertubuh tegap dengan sorot mata tajam, sedang melakukan patroli di sekitar halaman belakang. Malam begitu sunyi, hanya ada suara dedaunan yang bergesekan tertiup angin. Langkahnya ringan namun terlatih, berjalan perlahan menyusuri setiap sudut. Namun, saat ia hendak berbalik menuju pintu utama, telinganya menangkap sesuatu. KREEEKK... Deritan kayu yang sangat pelan, tapi cukup jelas untuk didengar oleh seseorang yang terbiasa berjaga di malam hari. Pria itu menghentikan langkahnya seketika. Matanya menyipit, menajamkan pendengarannya. Ia mendongak ke atas, ke arah loteng yang gelap. Hening. Tidak ada suara lain yang menyusul setelahnya. Ia tetap diam di tempatnya, menunggu beberapa detik. Apakah ada pergerakan lain? Apakah hanya suara bangunan tua yang memuai karena udara malam? Setelah beberapa saat, semuanya tetap sunyi. Tidak ada suara yang mencurigakan. Pria itu menarik napas pelan, tapi rasa curiganya belum sepenuhnya hilang. Ia mengamati loteng itu sekali lagi sebelum akhirnya melanjutkan patrolinya. Di atas sana, Julian dan El sama sekali tidak menyadari bahwa suara deritan kayu tadi telah mengundang tanya. Mereka masih berada dalam keheningan ruangan rahasia, berpikir bahwa malam itu akan berlalu dengan tenang. Tanpa mereka sadari, kecurigaan telah tumbuh di benak seseorang di bawah sana. Dan jika mereka tidak berhati-hati, rahasia yang mereka sembunyikan mungkin tidak akan bertahan lama. Di bawah sana, seseorang yang sejak tadi merasa curiga mulai mengetuk-ngetuk dinding. Tok… Tok… Semakin lama, ketukan itu semakin keras. Tok! Tok! TOK! TOK! Hingga akhirnya— BRAK! Sebuah pukulan keras menghantam dinding kayu, menimbulkan suara yang nyaring dan menggema di seluruh rumah tua itu. Para penjaga yang sedang tertidur langsung tersentak bangun, sebagian besar meraih senjata mereka dengan refleks. "Apa yang kau lakukan?!" Salah satu dari mereka berseru dengan nada kesal. Laki-laki yang mengetuk itu mengabaikan protes mereka. Tangannya masih menempel di dinding, matanya menatap tajam, seolah mencari sesuatu yang tersembunyi. "Ada sesuatu di balik dinding ini," katanya yakin. "Aku mendengar suara aneh tadi." Suasana menjadi tegang. Beberapa orang mulai saling bertukar pandang, sementara yang lain mencoba mendengarkan dengan saksama. Tiba-tiba, suara berat dan tegas memecah keheningan. "Ada apa ini? Kenapa membuat gaduh tengah malam?" Seseorang yang lebih berwibawa muncul dari dalam kegelapan. Dialah bos mereka—seorang pria paruh baya dengan tatapan tajam yang penuh kewaspadaan. Orang-orang yang tadinya gaduh langsung terdiam. "Laporan sekarang," perintahnya dengan suara rendah, tetapi penuh tekanan. Pria yang tadi mengetuk dinding segera menjelaskan, "Aku mendengar suara dari atas loteng. Aku yakin ada sesuatu di balik dinding ini." Sang bos mengernyit, lalu melirik ke arah dinding yang dimaksud. Ia mendekat, mengetuknya sekali dengan kepalan tangan. Di sisi lain, di dalam ruang rahasia, El sudah sangat ketakutan. Tubuhnya bergetar hebat, matanya membesar penuh kecemasan. "Jul..." bisiknya hampir tanpa suara, suaranya tercekat di tenggorokan. Julian bisa merasakan ketakutan El. Ia sendiri tidak bisa menyangkal bahwa dadanya juga terasa sesak oleh rasa khawatir. Tetapi ia tidak bisa membiarkan kepanikan menguasai mereka. Dengan lembut, ia menarik El ke dalam pelukannya, membiarkan El bersandar ke dadanya. "Ssst... tenang, El," bisiknya pelan, suaranya serak tapi penuh ketegasan. El mencengkeram lengan Julian, seolah itu satu-satunya hal yang bisa membuatnya tetap merasa aman. Julian menahan napas sejenak, mendengarkan suara-suara di luar. Ia tahu, jika mereka tidak berhati-hati, mereka bisa ditemukan kapan saja. Mereka hanya bisa berharap... dinding ini cukup kuat untuk menyembunyikan mereka lebih lama lagi. El menunduk, rasa bersalah menguasai dirinya. Ia menggigit bibir, mencoba menahan air matanya yang hampir jatuh. "Jul... kalau kita ketahuan, itu mungkin salahku..." bisik El dengan suara bergetar. "Kalau saja aku tidak ingin BAK, suara kayu tadi tidak akan terdengar..." Julian menatapnya dengan lembut, lalu menggeleng pelan. "Jangan salahkan dirimu, El. Ini bukan salahmu." "Tapi—" "Ssst..." Julian menyentuh pundak El, mencoba menenangkannya. "Apa pun yang terjadi, aku akan melindungimu." El menatap Julian, matanya penuh kekhawatiran. "Tapi bagaimana kalau mereka menemukan kita?" Julian menarik napas dalam-dalam, berusaha tetap tenang meskipun jantungnya sendiri berdegup kencang. "Kalau sampai mereka tahu kita di sini... kita harus segera mencari cara untuk keluar." El masih merasa gelisah, tapi melihat keteguhan di mata Julian membuatnya sedikit lebih tenang. Ia mengangguk pelan, lalu mendekat, merapatkan tubuhnya di samping Julian. Julian meremas pelan tangan El. "Percayalah padaku, El. Kita akan baik-baik saja." Di luar, suara ketukan di dinding masih terdengar, semakin lama semakin kuat. Bayangan bahaya semakin nyata.Sejak mimpi itu, El tak pernah benar-benar tidur dengan tenang. Bahkan saat Nate dan Lucien bercanda atau bertengkar kecil seperti biasa, pikirannya terus kembali ke tempat itu — desa tersembunyi, cahaya yang memanggil, dan keputusan besar yang belum sempat ia buat. Ia belum menceritakan apapun. Bukan karena tidak percaya, tapi karena... ia takut. Takut mereka akan khawatir. Takut mimpi itu membawa pertanda yang terlalu berat untuk dibagi. Malam pun berlalu dalam sunyi. Dan saat fajar masih tersembunyi di balik kabut pagi, mereka bertiga duduk membentuk lingkaran kecil di dekat rerimbunan hutan suci, cahaya dari jalur itu masih terlihat berdenyut lembut dari kejauhan, seperti detak jantung yang hidup di tanah. "Kita terlalu gegabah tadi," kata Nate akhirnya, memecah keheningan. "Kita harus mundur sejenak. Rencanakan semuanya." Lucien mengangguk setuju, lalu menoleh pada wanita tua yang masih berdiri di dekat batang pohon tua, seakan menyatu dengan waktu itu sendiri. "Apakah benar
Langkah El menyusul Nate dan Julian yang sudah berada di depan. Tapi saat mereka mulai menapaki jalanan setapak yang basah oleh embun, sebuah cahaya tiba-tiba menyala dari dalam tas yang dibawa Julian. “Astaga… jamnya!” seru Julian, buru-buru mengeluarkannya. Jam pemberian Lucien—yang sempat menyala dan menunjukkan peta sebelumnya—kembali memancarkan cahaya biru keemasan. Namun kali ini berbeda. Peta yang muncul bukan lagi berupa jalur panjang atau lokasi samar. Kini, dari jam itu terpancar jalur bercahaya yang hidup, melayang di udara seperti benang cahaya, mengarah lurus ke arah timur laut, menembus rimbunnya pepohonan yang membentuk batas hutan suci desa. Mereka bertiga saling pandang. El terpaku, tubuhnya terasa hangat saat mendekati jalur cahaya itu—seolah cahaya itu mengenalnya. Tiba-tiba suara lembut namun tegas terdengar dari belakang mereka. Wanita tua itu—yang sebelumnya menceritakan asal-usul El—berdiri di ujung jalan, membawa tongkat kayu yang dihiasi ukiran simbol ku
Malam itu langit begitu kelam, seolah menandakan sesuatu yang besar akan terjadi. Bintang-bintang tertutup kabut tipis, dan udara terasa berat, menggantung di antara pepohonan yang merunduk diam. Wanita misterius itu berdiri di ambang jalan kecil yang mengarah ke bagian terdalam dari desa, tempat yang bahkan Nate dan Julian tak pernah dengar sebelumnya. “El,” katanya lembut, “tempat yang akan kita datangi ini… disebut Valeyra. Dalam bahasa kuno, artinya ‘ingatan yang belum selesai.’ Di sana, kau akan bisa melihat semua yang selama ini tersembunyi darimu. Tapi ada satu syarat—satu ujian yang harus kau lalui.” El melirik ke belakang, kepada Nate dan Julian. Tapi wanita itu menggeleng. “Hanya kau yang bisa masuk. Hanya kau yang memiliki kunci.” Jalanan itu gelap, hanya diterangi lentera gantung yang menyala redup, menggantung seperti bintang di pohon-pohon tua. “Ujiannya… seperti apa?” tanya El pelan. “Bukan ujian kekuatan atau logika,” jawab wanita itu. “Ini adalah ujian ha
El masih menatap wanita itu dengan kebingungan yang membuncah. Jemarinya menggenggam gelas air yang tadi disuguhkan, dingin dan bening seperti kristal. Ia tak berpikir macam-macam saat meneguknya perlahan, hanya ingin menghilangkan haus dan menenangkan degup jantung yang tak juga mereda sejak mereka tiba di desa ini. Namun, begitu tetes terakhir air itu menyentuh tenggorokannya, tubuh El menegang. Sejenak, dunia di sekitarnya menjadi hening. Suara obrolan samar dari Nate dan Julian menghilang, berganti dengan desiran angin dan denting suara lonceng kecil, seolah berasal dari tempat yang jauh. Napas El tercekat. Pandangannya kabur, tapi tidak gelap. Justru sebaliknya—terang. Terlalu terang. Seketika, serangkaian gambar melintas dalam pikirannya. Terlalu cepat, terlalu kabur—tapi sangat nyata. Ia melihat seorang anak kecil berlari-lari di tengah taman yang dipenuhi bunga bercahaya. Cahaya itu bukan seperti cahaya matahari biasa, tapi memancar dari kelopak-kelopaknya sendiri. Anak i
Di tengah kebingungan mereka yang berdiri terpaku di depan rumah berlapis emas itu, tiba-tiba Lucien, yang sejak tadi lebih banyak diam dan mengamati, mengerutkan kening. Sebuah dorongan aneh muncul di benaknya, mendorongnya untuk membuka peta yang terhubung dengan jam pintarnya—perangkat yang selama ini mereka andalkan dalam perjalanan.Dengan gerakan cepat namun hati-hati, ia menekan permukaan jam, dan seketika peta holografik muncul melayang di atas pergelangannya. Cahaya lembutnya menyinari wajah Lucien yang mulai menunjukkan ekspresi serius. Ia memperbesar tampilan, fokus pada titik lokasi tempat mereka berdiri saat ini.Lalu ia membeku.“Guys...” suara Lucien pelan, nyaris berbisik. “Lihat ini.”Julian dan El segera menoleh. Nate yang berdiri sedikit di belakang juga ikut melangkah mendekat.Di layar peta, ada satu titik menyala terang, lebih kuat dibandingkan tempat lain yang mereka lewati selama perjalanan. Warna merah keemasan yang menyala lembut, mencolok di antara wilayah-w
Dengan penuh pertimbangan dan ketegangan yang menyesakkan dada, mereka akhirnya melangkah masuk melewati gerbang pohon raksasa itu. Seolah ada lapisan tak kasat mata yang mereka tembus—sekejap kabut menyelimuti pandangan, membuat langkah mereka limbung.Namun, hanya dalam beberapa detik, kabut itu sirna. Mata mereka terbuka lebar saat melihat pemandangan yang tak pernah mereka duga.Di hadapan mereka terbentang sebuah pemukiman luas—sebuah desa yang tampak begitu hidup. Rumah-rumah kayu dengan arsitektur klasik berdiri rapi, dihiasi lentera gantung yang menyala redup meski hari masih terang. Jalanan dipenuhi oleh orang-orang—pria, wanita, anak-anak—berpakaian khas yang tak mereka kenali, seolah berasal dari zaman atau dunia yang berbeda. Mereka lalu-lalang dengan wajah damai dan aktivitas biasa: membawa keranjang, berbincang di depan toko, atau menimba air dari sumur desa.“Apa ini...” bisik El, matanya berkaca-kaca karena bingung sekaligus takjub.Julian melangkah maju perlahan, eksp