Home / Thriller / Peta Yang Tak Pernah Ada / Ketukan di Ruang Rahasia

Share

Ketukan di Ruang Rahasia

Author: Flo_ris
last update Last Updated: 2025-02-21 22:01:18

Ruangan itu sunyi, hanya ada suara napas lembut El yang tertidur pulas di samping Julian. Cahaya redup dari lentera kecil di sudut ruangan memberikan sedikit penerangan di tengah kegelapan.

Namun, tiba-tiba El merasakan sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Matanya perlahan terbuka, dan ia langsung menyadari sesuatu—ia harus buang air kecil.

El menggigit bibirnya, ragu untuk membangunkan Julian. Tapi jika ia pergi sendiri, itu terlalu menyeramkan. Ruangan ini begitu sunyi dan asing, apalagi mereka masih berada di tempat yang penuh misteri.

Dengan hati-hati, El mengulurkan tangannya dan mengguncang lengan Julian pelan.

"Jul... Julian..." bisiknya lirih.

Julian mengerjap pelan, kelopak matanya bergerak sebelum akhirnya terbuka sepenuhnya. Matanya yang masih sedikit mengantuk menatap El dengan teduh, seolah bertanya tanpa kata-kata.

"Ada apa?" suaranya terdengar serak karena baru bangun tidur.

El menelan ludah, merasa malu untuk mengatakannya. Tapi ia tidak punya pilihan lain.

"Aku... mau buang air kecil," katanya hampir berbisik.

Julian yang mendengar itu sempat diam sejenak, lalu menghela napas panjang. Ia mengusap wajahnya sebelum akhirnya bangun perlahan, duduk di samping El.

"Kenapa nggak langsung bilang aja?" gumamnya, lalu menoleh ke sekeliling ruangan.

Untungnya, di ruang rahasia itu ada sebuah kamar mandi kecil di pojok ruangan. Meskipun sudah lama tidak digunakan, setidaknya masih bisa dipakai.

"Kebetulan ada kamar mandi di sana," kata Julian sambil menunjuk ke sudut ruangan. "Ayo, aku temani."

El mengangguk pelan. Ia mulai bangun, tapi saat ia melangkah, lantai kayu di bawahnya berderit cukup keras.

Julian refleks menahan lengan El, matanya langsung serius.

"Hati-hati. Jangan sampai bikin suara terlalu keras," bisiknya. "Lantainya udah tua, bisa aja ada yang rapuh."

El menelan ludah, lalu mengangguk. Ia mencoba melangkah lebih pelan, tapi tetap saja merasa ragu.

Julian, tanpa banyak bicara, langsung menggenggam tangan El dengan erat.

"Biar aku pegangin," katanya dengan suara tenang.

El menatap tangannya yang kini berada dalam genggaman Julian. Hangat. Nyaman. Bahkan di situasi seperti ini, Julian tetap menjadi Julian—seseorang yang selalu perhatian terhadap hal-hal kecil yang dilakukan El.

Mereka berjalan pelan menuju kamar mandi. Begitu sampai di depan pintunya, Julian berhenti dan menatap El.

"Aku tunggu di sini. Kalau ada apa-apa, panggil," ucapnya.

El mengangguk cepat, lalu segera masuk ke dalam kamar mandi kecil itu. Sementara itu, Julian tetap berdiri di depan pintu, memastikan semuanya aman.

Dalam hatinya, Julian tahu satu hal pasti—perhatiannya pada El bukan hanya sekadar refleks atau kebiasaan. Ini sudah menjadi bagian dari dirinya.

Sesuatu yang sudah ada sejak lama. Sesuatu yang tidak akan berubah.

.

.

.

Di bawah sana, para orang misterius itu telah tertidur pulas, tetapi mereka tidak lengah sepenuhnya. Sebagian dari mereka tetap berjaga, bergantian mengawasi keadaan.

Salah satu penjaga, seorang pria bertubuh tegap dengan sorot mata tajam, sedang melakukan patroli di sekitar halaman belakang. Malam begitu sunyi, hanya ada suara dedaunan yang bergesekan tertiup angin.

Langkahnya ringan namun terlatih, berjalan perlahan menyusuri setiap sudut. Namun, saat ia hendak berbalik menuju pintu utama, telinganya menangkap sesuatu.

KREEEKK...

Deritan kayu yang sangat pelan, tapi cukup jelas untuk didengar oleh seseorang yang terbiasa berjaga di malam hari.

Pria itu menghentikan langkahnya seketika. Matanya menyipit, menajamkan pendengarannya. Ia mendongak ke atas, ke arah loteng yang gelap.

Hening.

Tidak ada suara lain yang menyusul setelahnya.

Ia tetap diam di tempatnya, menunggu beberapa detik. Apakah ada pergerakan lain? Apakah hanya suara bangunan tua yang memuai karena udara malam?

Setelah beberapa saat, semuanya tetap sunyi. Tidak ada suara yang mencurigakan.

Pria itu menarik napas pelan, tapi rasa curiganya belum sepenuhnya hilang. Ia mengamati loteng itu sekali lagi sebelum akhirnya melanjutkan patrolinya.

Di atas sana, Julian dan El sama sekali tidak menyadari bahwa suara deritan kayu tadi telah mengundang tanya.

Mereka masih berada dalam keheningan ruangan rahasia, berpikir bahwa malam itu akan berlalu dengan tenang.

Tanpa mereka sadari, kecurigaan telah tumbuh di benak seseorang di bawah sana. Dan jika mereka tidak berhati-hati, rahasia yang mereka sembunyikan mungkin tidak akan bertahan lama.

Di bawah sana, seseorang yang sejak tadi merasa curiga mulai mengetuk-ngetuk dinding.

Tok… Tok…

Semakin lama, ketukan itu semakin keras.

Tok! Tok! TOK! TOK!

Hingga akhirnya—

BRAK!

Sebuah pukulan keras menghantam dinding kayu, menimbulkan suara yang nyaring dan menggema di seluruh rumah tua itu.

Para penjaga yang sedang tertidur langsung tersentak bangun, sebagian besar meraih senjata mereka dengan refleks.

"Apa yang kau lakukan?!" Salah satu dari mereka berseru dengan nada kesal.

Laki-laki yang mengetuk itu mengabaikan protes mereka. Tangannya masih menempel di dinding, matanya menatap tajam, seolah mencari sesuatu yang tersembunyi.

"Ada sesuatu di balik dinding ini," katanya yakin. "Aku mendengar suara aneh tadi."

Suasana menjadi tegang. Beberapa orang mulai saling bertukar pandang, sementara yang lain mencoba mendengarkan dengan saksama.

Tiba-tiba, suara berat dan tegas memecah keheningan.

"Ada apa ini? Kenapa membuat gaduh tengah malam?"

Seseorang yang lebih berwibawa muncul dari dalam kegelapan. Dialah bos mereka—seorang pria paruh baya dengan tatapan tajam yang penuh kewaspadaan.

Orang-orang yang tadinya gaduh langsung terdiam.

"Laporan sekarang," perintahnya dengan suara rendah, tetapi penuh tekanan.

Pria yang tadi mengetuk dinding segera menjelaskan, "Aku mendengar suara dari atas loteng. Aku yakin ada sesuatu di balik dinding ini."

Sang bos mengernyit, lalu melirik ke arah dinding yang dimaksud. Ia mendekat, mengetuknya sekali dengan kepalan tangan.

Di sisi lain, di dalam ruang rahasia, El sudah sangat ketakutan.

Tubuhnya bergetar hebat, matanya membesar penuh kecemasan.

"Jul..." bisiknya hampir tanpa suara, suaranya tercekat di tenggorokan.

Julian bisa merasakan ketakutan El. Ia sendiri tidak bisa menyangkal bahwa dadanya juga terasa sesak oleh rasa khawatir.

Tetapi ia tidak bisa membiarkan kepanikan menguasai mereka.

Dengan lembut, ia menarik El ke dalam pelukannya, membiarkan El bersandar ke dadanya.

"Ssst... tenang, El," bisiknya pelan, suaranya serak tapi penuh ketegasan.

El mencengkeram lengan Julian, seolah itu satu-satunya hal yang bisa membuatnya tetap merasa aman.

Julian menahan napas sejenak, mendengarkan suara-suara di luar. Ia tahu, jika mereka tidak berhati-hati, mereka bisa ditemukan kapan saja.

Mereka hanya bisa berharap... dinding ini cukup kuat untuk menyembunyikan mereka lebih lama lagi.

El menunduk, rasa bersalah menguasai dirinya. Ia menggigit bibir, mencoba menahan air matanya yang hampir jatuh.

"Jul... kalau kita ketahuan, itu mungkin salahku..." bisik El dengan suara bergetar. "Kalau saja aku tidak ingin BAK, suara kayu tadi tidak akan terdengar..."

Julian menatapnya dengan lembut, lalu menggeleng pelan. "Jangan salahkan dirimu, El. Ini bukan salahmu."

"Tapi—"

"Ssst..." Julian menyentuh pundak El, mencoba menenangkannya. "Apa pun yang terjadi, aku akan melindungimu."

El menatap Julian, matanya penuh kekhawatiran. "Tapi bagaimana kalau mereka menemukan kita?"

Julian menarik napas dalam-dalam, berusaha tetap tenang meskipun jantungnya sendiri berdegup kencang. "Kalau sampai mereka tahu kita di sini... kita harus segera mencari cara untuk keluar."

El masih merasa gelisah, tapi melihat keteguhan di mata Julian membuatnya sedikit lebih tenang. Ia mengangguk pelan, lalu mendekat, merapatkan tubuhnya di samping Julian.

Julian meremas pelan tangan El. "Percayalah padaku, El. Kita akan baik-baik saja."

Di luar, suara ketukan di dinding masih terdengar, semakin lama semakin kuat. Bayangan bahaya semakin nyata.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Ruang Bawah Tanah (2)

    Ruangan bawah tanah itu terasa sunyi setelah percakapan terakhir mereka. El menatap kakek Nate dengan penuh harap, menunggu jawaban yang bisa menjelaskan semua kebingungannya. Namun, yang ia dapatkan hanyalah tatapan penuh pertimbangan dari pria tua itu. Kakek Nate menghela napas panjang, menggenggam tongkatnya lebih erat sebelum akhirnya berbicara. "El... aku tahu kau ingin jawaban. Tapi saat ini, kita tidak punya waktu untuk membicarakan masa lalu." El mengerutkan kening. "Maksud kakek?" "Saat ini, ada hal yang jauh lebih penting dibanding menjelaskan semuanya padamu. Percayalah, waktunya akan tiba. Kau akan mengetahui semuanya ketika saatnya benar-benar tepat," kata kakek Nate dengan nada serius. El mengepalkan tangannya di atas meja. "Tapi aku berhak tahu! Ini tentang keluargaku, tentang siapa aku sebenarnya! Bagaimana bisa aku terus melangkah tanpa mengetahui kebenarannya?" Nate yang berdiri di samping kakeknya ikut angkat bicara. "El, aku tahu ini sulit. Tapi kakek benar. K

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Ruang Bawah Tanah

    Ketika lift bawah tanah itu semakin mendekati tujuannya, cahaya mulai tampak. Awalnya hanya seberkas samar, namun semakin lama semakin terang, hingga akhirnya mereka sampai di sebuah ruangan yang begitu luas. El, Julian, dan bahkan Nate—yang biasanya tak terkejut oleh apapun—terpaku melihat pemandangan di hadapan mereka. Ruangan ini tidak seperti yang mereka bayangkan. Lampu-lampu besar menerangi setiap sudutnya, membuat tempat ini tampak seperti fasilitas penelitian canggih yang tersembunyi jauh di bawah tanah. El melangkah keluar dari mobil terlebih dahulu, matanya menjelajahi sekeliling dengan penuh kekaguman. “Ini lebih besar dari rumahku,” gumamnya tak percaya. Julian mengikuti di belakangnya, wajahnya dipenuhi rasa penasaran. “Apa tempat ini?” tanyanya pada Nate. Namun, sebelum Nate sempat menjawab, terdengar suara langkah kaki mendekat. Dari sudut ruangan, seorang gadis muncul. Ia mengenakan setelan jas berwarna hitam dengan emblem kecil di dada kirinya. Rambutnya ditata ra

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Rahasia di Ruang Bawah Tanah

    Setelah memastikan bahwa anak buah Liam benar-benar pergi, Nate memberi isyarat cepat kepada El dan Julian. Tanpa membuang waktu, mereka segera naik ke dalam mobil. Nate dengan cekatan menyalakan mesin, lalu menancapkan gas, membuat mobil melaju kencang meninggalkan lokasi. “El, pastikan tidak ada yang mengikuti kita,” perintah Nate dengan nada tegas namun tetap tenang. El menoleh ke belakang, matanya tajam mengawasi setiap kendaraan yang melintas di kejauhan. “Sejauh ini aman. Tapi kita harus tetap waspada,” ucapnya. Julian yang duduk di kursi penumpang depan menggenggam peta erat di tangannya. Perjalanan ini terasa semakin menegangkan, dan mereka tahu bahwa setiap detik sangat berharga. Sementara itu, Nate dengan satu tangan di kemudi, tangan lainnya merogoh ponselnya. Dia segera menghubungi seseorang. “Paman, kami sedang dalam perjalanan. Pastikan ruang bawah tanah sudah siap. Kami tidak bisa mengambil risiko,” ucap Nate dengan suara serius. Dari seberang telepon, terdengar s

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Perjalanan Panjang

    Di sebuah sudut kota yang diterangi lampu jalan redup, Liam Cornelius berdiri dengan tatapan tajam. Rokok di tangannya mengepulkan asap tipis ke udara malam. Wajahnya dingin, penuh perhitungan. Dia tak suka kegagalan, apalagi jika itu terjadi di bawah komandonya."Sebar ke seluruh penjuru kota. Jangan ada satu sudut pun yang terlewat," perintahnya dengan suara berat dan tegas.Beberapa anak buahnya yang masih meringis kesakitan akibat pertempuran di rumah tua sebelumnya hanya bisa mengangguk. Meski tubuh mereka penuh memar, mereka tahu lebih baik patuh daripada menghadapi murka Liam."Kita harus menemukan mereka sebelum mereka bertindak lebih jauh," lanjut Liam. "Orang-orang itu bukan sekadar pelarian biasa. Mereka membawa sesuatu yang penting."Sementara itu, di sisi lain kota…El, Julian, dan Nate berada di rumah El, berusaha memulihkan tenaga mereka setelah malam yang panjang dan menegangkan. El duduk di sofa, tangannya memegang secangkir teh hangat, namun pikirannya melayang jauh.

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Mantan Tentara Bayaran

    Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, akhirnya mereka tiba di perbatasan antara jalan desa misterius itu dan perkotaan. Selama perjalanan keluar, mereka tidak melihat satu pun tanda kehidupan—tidak ada warga desa yang berjalan kaki, tidak ada kendaraan yang melintas. Hanya hutan sunyi yang menemani mereka sepanjang jalan.Namun, begitu roda mobil melewati batas desa dan memasuki wilayah kota, semuanya berubah. Jalanan mulai tampak normal, dengan kendaraan yang berlalu-lalang dan orang-orang yang sibuk dengan aktivitas mereka. Seolah desa yang mereka tinggalkan barusan tidak pernah ada dalam peta dunia nyata.El menarik napas lega, menyandarkan kepalanya ke jendela. “Akhirnya kita keluar juga...” gumamnya.Julian yang duduk di belakang melirik ke arah Nate yang tetap fokus mengemudi. “Sepertinya kita beruntung.”“El lebih dari beruntung,” Nate menimpali, suaranya datar. “Kalian bisa saja tidak keluar hidup-hidup.”Ucapan itu membuat El dan Julian terdiam sejenak. Perasaan lega ka

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Pertolongan Pria Asing

    Di tengah ketegangan yang mencekik, El dan Julian membeku. Tangan mereka masih saling menggenggam erat, mencoba menemukan kekuatan dalam satu sama lain.Tiba-tiba, suara benturan keras terdengar dari luar. Suara pukulan, desahan kesakitan, dan tubuh yang terhempas ke lantai menggema di seluruh ruangan.El menelan ludah. “Mereka bertengkar?” bisiknya nyaris tak terdengar.Julian menggeleng pelan, matanya tajam menatap pintu kayu di hadapan mereka. “Aku rasa ini bukan sekadar perkelahian biasa…”Suara gaduh semakin brutal, terdengar jeritan dan suara sesuatu yang jatuh keras ke lantai. Kemudian—hening.El menahan napas, ketakutannya semakin menjadi-jadi. Tidak ada satu pun suara dari luar. Hanya ada keheningan yang mencekam.Kemudian, suara langkah kaki terdengar. Tidak terburu-buru, tapi tegap dan penuh keyakinan.Julian langsung berdiri di depan El, siap melindunginya jika yang datang adalah musuh lain.Pegangan pada gagang pintu berderit pelan. Lalu, pintu terbuka.Di ambang pintu, b

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Pelarian Tanpa Jejak

    ..Julian menarik napas dalam-dalam sebelum perlahan mendorong pintu loteng. Setiap gerakan dilakukan dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan suara yang mencurigakan. Engsel yang sudah berkarat membuatnya harus bekerja ekstra pelan agar tidak berderit dan menarik perhatian siapa pun yang masih berjaga di bawah.Begitu celah pintu cukup terbuka, Julian mencondongkan tubuhnya sedikit untuk mengintip ke bawah. Matanya awas, menyapu setiap sudut ruangan. Keheningan masih menyelimuti tempat itu, tetapi ia tidak bisa gegabah.Ia berbalik, menatap El yang masih berjongkok di loteng dengan ekspresi cemas. Julian memberi isyarat dengan satu jari di depan bibirnya, lalu perlahan menuruni loteng.Setelah kedua kakinya menginjak lantai, Julian tetap diam di tempat, menajamkan pendengarannya.Hanya ada suara angin yang berdesir di luar dan sesekali bunyi nyamuk yang beterbangan. Tidak ada tanda-tanda pergerakan dari para penjaga di bawah.Julian kembali mendongak ke atas dan memberi isyara

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Rencana Pelarian

    Suasana mendadak menjadi hening.El masih memeluk Julian erat, tetapi perlahan, ia melepaskan diri. Tubuhnya gemetar, meskipun udara di ruangan itu tidak begitu dingin. Tatapannya penuh kecemasan saat ia menoleh ke arah Julian.Julian dengan sigap mematikan lentera di tangannya. Seketika, ruangan itu tenggelam dalam kegelapan pekat. Tidak ada cahaya sedikit pun yang bisa menuntun pandangan mereka.Di bawah, terdengar suara langkah kaki yang perlahan semakin mendekat. El bisa merasakan napasnya sendiri yang tersengal karena gugup."Mereka masuk ke kamar di bawah kita," bisik Julian sangat pelan, hampir tidak terdengar.El menelan ludah, tangannya meremas kuat lengan Julian. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi ketakutannya menahan suaranya.Julian menajamkan pendengarannya. Suara langkah kaki itu berputar di dalam kamar, seperti seseorang yang sedang mencari sesuatu. Terdengar suara benda digeser, mungkin meja atau kursi yang ada di dalam ruangan tersebut."Sepertinya mereka sedang memeri

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Ketukan di Ruang Rahasia

    Ruangan itu sunyi, hanya ada suara napas lembut El yang tertidur pulas di samping Julian. Cahaya redup dari lentera kecil di sudut ruangan memberikan sedikit penerangan di tengah kegelapan.Namun, tiba-tiba El merasakan sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Matanya perlahan terbuka, dan ia langsung menyadari sesuatu—ia harus buang air kecil.El menggigit bibirnya, ragu untuk membangunkan Julian. Tapi jika ia pergi sendiri, itu terlalu menyeramkan. Ruangan ini begitu sunyi dan asing, apalagi mereka masih berada di tempat yang penuh misteri.Dengan hati-hati, El mengulurkan tangannya dan mengguncang lengan Julian pelan."Jul... Julian..." bisiknya lirih.Julian mengerjap pelan, kelopak matanya bergerak sebelum akhirnya terbuka sepenuhnya. Matanya yang masih sedikit mengantuk menatap El dengan teduh, seolah bertanya tanpa kata-kata."Ada apa?" suaranya terdengar serak karena baru bangun tidur.El menelan ludah, merasa malu untuk mengatakannya. Tapi ia tidak punya pilihan lain."Aku... ma

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status