Ellara Veloz, seorang jurnalis muda, mengalami mimpi aneh yang terus berulang. Dalam mimpi itu, ia melihat sebuah rumah tua yang asing baginya. Di loteng rumah itu, tersembunyi sebuah peti misterius—dan di permukaannya, terdapat garis-garis samar yang membentuk rute menuju sesuatu yang tak diketahui. Terobsesi dengan mimpi tersebut, El mencoba menelusuri jejaknya. Namun, yang ia temukan justru lebih aneh dari yang dibayangkan—tidak ada satu pun catatan tentang desa dalam mimpinya, seolah-olah tempat itu tidak pernah ada dalam sejarah. Bersama sahabatnya, Julian Edward, El berangkat mencari desa itu. Perjalanan mereka dipenuhi keanehan: jalanan yang hanya terlihat di bawah cahaya tertentu, pemukiman yang sepi tanpa tanda kehidupan, dan bangunan tua yang tampaknya telah lama ditinggalkan. Namun, semakin jauh mereka melangkah, semakin banyak sosok asing yang mulai memburu mereka—seakan ada sesuatu dalam peti itu yang tidak boleh ditemukan. Apa sebenarnya rahasia di balik peti tersebut? Mengapa desa itu seakan terhapus dari dunia? Dan yang lebih mengerikan, apakah mereka benar-benar siap menghadapi jawabannya? Perjalanan ini bukan hanya tentang menemukan sesuatu yang hilang—tetapi mengungkap sesuatu yang seharusnya tetap terkubur selamanya.
View MoreKota Ravenshire, Larut Malam
Ellara Veloz duduk di tepi ranjangnya, terengah-engah dengan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Mimpi itu datang lagi. Bukan sekadar bunga tidur, tapi pesan yang terasa begitu nyata. Seorang pria tua—wajahnya samar, suaranya serak dan berat—berbisik di telinganya, "Pergilah ke desa itu. Ada sesuatu yang harus kau temukan." Lalu, bayangan sebuah rumah tua muncul. Loteng berdebu. Sebuah peti kayu tua. Tangannya meraba kunci yang tertanam di dalamnya, sebelum semuanya menghilang dalam kabut pekat. El menggigit bibirnya, mencoba mengabaikan ketukan aneh di dadanya. Ini bukan pertama kalinya ia bermimpi seperti itu. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. "Desa tempat kakek tinggal…" bisiknya pada dirinya sendiri. Ia menyalakan lampu meja dan meraih laptopnya. Beberapa pencarian di internet tentang desa itu tidak menghasilkan banyak informasi. Tempat itu hampir tidak terdokumentasikan. Hanya ada beberapa artikel lama tentang seorang pria tua yang tinggal di sana bertahun-tahun lalu. Kakeknya. Tanpa pikir panjang, keesokan paginya El mulai bersiap. Ia memasukkan beberapa pakaian, jurnal catatannya, dan kamera kecil ke dalam ransel. Perjalanan ini bisa jadi hanya omong kosong, tapi perasaannya mengatakan sebaliknya. Saat El menuruni tangga rumahnya, suara ketukan di pintu depan membuatnya terhenti. Ia menghela napas sebelum membukanya. Di ambang pintu, seorang pria berdiri dengan tangan bersedekap, alisnya berkerut tajam. Julian Edward. “Jadi kau benar-benar akan pergi?” suaranya terdengar setengah kesal, setengah khawatir. El mengangguk, “Aku hanya ingin memastikan sesuatu. Mungkin hanya perasaan aneh yang tidak berdasar.” Julian mendengus. “Desa asing di antah berantah, seorang diri, tanpa informasi yang jelas. Itu bukan sekadar ‘perasaan aneh’, El. Itu gila.” “Aku baik-baik saja. Lagipula, aku hanya ingin melihat-lihat. Mungkin aku akan kembali ke sini dalam sehari.” Julian menatapnya lama, seakan menimbang-nimbang sesuatu. “Biar aku ikut.” El langsung menggeleng. “Tidak perlu. Aku tidak mau merepotkanmu, Julian. Kau punya pekerjaan, dan aku yakin ini bukan hal yang penting.” Julian memijit pelipisnya. “El, ini bukan tentang pekerjaan. Aku hanya tidak suka ide kau pergi sendirian ke tempat yang bahkan belum pernah kau kunjungi.” El tersenyum kecil. “Aku sudah dewasa, Julian. Aku bisa menjaga diri sendiri.” Julian menghela napas panjang, tahu betapa keras kepalanya sahabatnya itu. “Setidaknya, tetap terhubung denganku. Jika ada sesuatu yang aneh, hubungi aku segera.” El mengangguk sebelum melangkah keluar, tidak menyadari bahwa keputusan ini akan mengubah hidupnya. Karena sesuatu—atau seseorang—sedang menunggu di desa itu. Dan rahasia yang terkubur di loteng kakeknya bukan hanya miliknya seorang. Julian yang khawatir dengan El bersedekap di ambang pintu, wajahnya masih penuh tekad meskipun El telah menolak keikutsertaannya berkali-kali. "Aku ikut, El." El menghembuskan napas panjang, menyandarkan tubuhnya di dinding. "Julian, aku bisa menjaga diriku sendiri. Aku tidak mau merepotkanmu." Julian menatapnya tajam. "Bukan soal merepotkan. Aku tidak bisa membiarkanmu pergi sendiri ke tempat yang bahkan kau sendiri tidak tahu apa yang menunggumu di sana." El diam. Ia tahu Julian keras kepala, dan semakin ia menolak, semakin pria itu akan berusaha membantah. Pada akhirnya, ia menyerah. "Baiklah, terserah. Tapi kau yang nyetir," ujar El sambil melemparkan kunci mobil ke tangan Julian. Julian menangkapnya dengan mudah, menyeringai kecil. "Keputusan yang bijak." Mereka memasukkan barang bawaan ke bagasi, lalu melangkah masuk ke dalam mobil. Begitu mesin dinyalakan dan mobil melaju di jalan raya, El hanya duduk diam, menatap kosong ke luar jendela. Julian meliriknya sejenak sebelum membuka suara. "Apa yang kau pikirkan?" El menggeleng pelan. "Entahlah. Aku merasa ada sesuatu yang… aneh. Mimpi itu terasa begitu nyata." Julian menghela napas. "Dan kau memilih mengejarnya, ke desa yang bahkan tidak ada di peta?" El tersenyum tipis. "Bukankah itu menarik?" Julian mendengus. "Kau benar-benar tidak berubah." Sejenak, hening menyelimuti mereka. Julian diam-diam melirik El. Gadis itu memang keras kepala, tapi itulah yang membuatnya semakin peduli. Ia sudah lama menyimpan perasaan untuk El, sejak SMA. Tapi ia lebih memilih berada di sisinya sebagai sahabat daripada mengambil risiko merusak hubungan mereka. Untuk mencairkan suasana, Julian akhirnya menyalakan musik. "Setidaknya, kita bisa menikmati perjalanan enam jam ini dengan sedikit hiburan." El hanya tersenyum kecil, membiarkan Julian mengendalikan perjalanan. --- Peristirahatan Pertama Setelah dua jam berkendara, perut mereka mulai memberontak. Mereka memutuskan berhenti di sebuah rest area kecil di pinggir jalan. "Kita makan dulu, sebelum aku berubah jadi monster kelaparan," kata Julian sambil keluar dari mobil. El tertawa kecil. "Aku juga butuh kopi." Mereka memasuki sebuah warung sederhana dan memesan makanan. Sambil menunggu, El menyandarkan kepalanya di meja. "Kau yakin tidak mau kembali saja?" Julian bertanya, setengah bercanda, setengah serius. El mengangkat kepalanya, menatap Julian dengan alis terangkat. "Kalau aku bilang iya, kau juga akan ikut mundur?" Julian tersenyum miring. "Tentu tidak." El tertawa kecil. "Itu dia. Jadi kita tetap melanjutkan perjalanan." Setelah makan, mereka membeli beberapa botol air dan camilan sebelum kembali ke mobil. . . Peristirahatan Terakhir Enam jam perjalanan berlalu, mereka akhirnya tiba di rest area terakhir sebelum memasuki desa yang mereka tuju. Mereka turun untuk membeli makanan ringan sebagai bekal. Saat itulah El menyadari sepasang suami istri tua yang berdiri tak jauh dari mereka, memperhatikan dengan seksama. Awalnya, El mengabaikannya. Tapi ketika pasangan itu perlahan berjalan mendekat, ia mulai merasa sedikit gelisah. "Kalian hendak ke mana?" tanya pria tua itu dengan nada hati-hati. Julian langsung menjawab, "Kami menuju desa A." Ekspresi pria itu langsung berubah, seperti kebingungan sekaligus khawatir. Namun, ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menoleh pada istrinya, lalu tanpa sepatah kata pun, mereka berdua pergi begitu saja. El dan Julian saling bertukar pandang. "Apa itu tadi?" tanya El. Julian mengangkat bahu. "Tidak tahu. Tapi sepertinya mereka terkejut saat mendengar tujuan kita." El mengernyit, tetapi akhirnya menggeleng. "Lupakan saja. Mungkin hanya kebetulan." Mereka kembali ke mobil, melanjutkan perjalanan. Beberapa kilometer kemudian, mereka melihat sebuah gerbang kayu besar dengan papan tua bertuliskan: "Selamat Datang di Desa XXX."Sejak mimpi itu, El tak pernah benar-benar tidur dengan tenang. Bahkan saat Nate dan Lucien bercanda atau bertengkar kecil seperti biasa, pikirannya terus kembali ke tempat itu — desa tersembunyi, cahaya yang memanggil, dan keputusan besar yang belum sempat ia buat. Ia belum menceritakan apapun. Bukan karena tidak percaya, tapi karena... ia takut. Takut mereka akan khawatir. Takut mimpi itu membawa pertanda yang terlalu berat untuk dibagi. Malam pun berlalu dalam sunyi. Dan saat fajar masih tersembunyi di balik kabut pagi, mereka bertiga duduk membentuk lingkaran kecil di dekat rerimbunan hutan suci, cahaya dari jalur itu masih terlihat berdenyut lembut dari kejauhan, seperti detak jantung yang hidup di tanah. "Kita terlalu gegabah tadi," kata Nate akhirnya, memecah keheningan. "Kita harus mundur sejenak. Rencanakan semuanya." Lucien mengangguk setuju, lalu menoleh pada wanita tua yang masih berdiri di dekat batang pohon tua, seakan menyatu dengan waktu itu sendiri. "Apakah benar
Langkah El menyusul Nate dan Julian yang sudah berada di depan. Tapi saat mereka mulai menapaki jalanan setapak yang basah oleh embun, sebuah cahaya tiba-tiba menyala dari dalam tas yang dibawa Julian. “Astaga… jamnya!” seru Julian, buru-buru mengeluarkannya. Jam pemberian Lucien—yang sempat menyala dan menunjukkan peta sebelumnya—kembali memancarkan cahaya biru keemasan. Namun kali ini berbeda. Peta yang muncul bukan lagi berupa jalur panjang atau lokasi samar. Kini, dari jam itu terpancar jalur bercahaya yang hidup, melayang di udara seperti benang cahaya, mengarah lurus ke arah timur laut, menembus rimbunnya pepohonan yang membentuk batas hutan suci desa. Mereka bertiga saling pandang. El terpaku, tubuhnya terasa hangat saat mendekati jalur cahaya itu—seolah cahaya itu mengenalnya. Tiba-tiba suara lembut namun tegas terdengar dari belakang mereka. Wanita tua itu—yang sebelumnya menceritakan asal-usul El—berdiri di ujung jalan, membawa tongkat kayu yang dihiasi ukiran simbol ku
Malam itu langit begitu kelam, seolah menandakan sesuatu yang besar akan terjadi. Bintang-bintang tertutup kabut tipis, dan udara terasa berat, menggantung di antara pepohonan yang merunduk diam. Wanita misterius itu berdiri di ambang jalan kecil yang mengarah ke bagian terdalam dari desa, tempat yang bahkan Nate dan Julian tak pernah dengar sebelumnya. “El,” katanya lembut, “tempat yang akan kita datangi ini… disebut Valeyra. Dalam bahasa kuno, artinya ‘ingatan yang belum selesai.’ Di sana, kau akan bisa melihat semua yang selama ini tersembunyi darimu. Tapi ada satu syarat—satu ujian yang harus kau lalui.” El melirik ke belakang, kepada Nate dan Julian. Tapi wanita itu menggeleng. “Hanya kau yang bisa masuk. Hanya kau yang memiliki kunci.” Jalanan itu gelap, hanya diterangi lentera gantung yang menyala redup, menggantung seperti bintang di pohon-pohon tua. “Ujiannya… seperti apa?” tanya El pelan. “Bukan ujian kekuatan atau logika,” jawab wanita itu. “Ini adalah ujian ha
El masih menatap wanita itu dengan kebingungan yang membuncah. Jemarinya menggenggam gelas air yang tadi disuguhkan, dingin dan bening seperti kristal. Ia tak berpikir macam-macam saat meneguknya perlahan, hanya ingin menghilangkan haus dan menenangkan degup jantung yang tak juga mereda sejak mereka tiba di desa ini. Namun, begitu tetes terakhir air itu menyentuh tenggorokannya, tubuh El menegang. Sejenak, dunia di sekitarnya menjadi hening. Suara obrolan samar dari Nate dan Julian menghilang, berganti dengan desiran angin dan denting suara lonceng kecil, seolah berasal dari tempat yang jauh. Napas El tercekat. Pandangannya kabur, tapi tidak gelap. Justru sebaliknya—terang. Terlalu terang. Seketika, serangkaian gambar melintas dalam pikirannya. Terlalu cepat, terlalu kabur—tapi sangat nyata. Ia melihat seorang anak kecil berlari-lari di tengah taman yang dipenuhi bunga bercahaya. Cahaya itu bukan seperti cahaya matahari biasa, tapi memancar dari kelopak-kelopaknya sendiri. Anak i
Di tengah kebingungan mereka yang berdiri terpaku di depan rumah berlapis emas itu, tiba-tiba Lucien, yang sejak tadi lebih banyak diam dan mengamati, mengerutkan kening. Sebuah dorongan aneh muncul di benaknya, mendorongnya untuk membuka peta yang terhubung dengan jam pintarnya—perangkat yang selama ini mereka andalkan dalam perjalanan.Dengan gerakan cepat namun hati-hati, ia menekan permukaan jam, dan seketika peta holografik muncul melayang di atas pergelangannya. Cahaya lembutnya menyinari wajah Lucien yang mulai menunjukkan ekspresi serius. Ia memperbesar tampilan, fokus pada titik lokasi tempat mereka berdiri saat ini.Lalu ia membeku.“Guys...” suara Lucien pelan, nyaris berbisik. “Lihat ini.”Julian dan El segera menoleh. Nate yang berdiri sedikit di belakang juga ikut melangkah mendekat.Di layar peta, ada satu titik menyala terang, lebih kuat dibandingkan tempat lain yang mereka lewati selama perjalanan. Warna merah keemasan yang menyala lembut, mencolok di antara wilayah-w
Dengan penuh pertimbangan dan ketegangan yang menyesakkan dada, mereka akhirnya melangkah masuk melewati gerbang pohon raksasa itu. Seolah ada lapisan tak kasat mata yang mereka tembus—sekejap kabut menyelimuti pandangan, membuat langkah mereka limbung.Namun, hanya dalam beberapa detik, kabut itu sirna. Mata mereka terbuka lebar saat melihat pemandangan yang tak pernah mereka duga.Di hadapan mereka terbentang sebuah pemukiman luas—sebuah desa yang tampak begitu hidup. Rumah-rumah kayu dengan arsitektur klasik berdiri rapi, dihiasi lentera gantung yang menyala redup meski hari masih terang. Jalanan dipenuhi oleh orang-orang—pria, wanita, anak-anak—berpakaian khas yang tak mereka kenali, seolah berasal dari zaman atau dunia yang berbeda. Mereka lalu-lalang dengan wajah damai dan aktivitas biasa: membawa keranjang, berbincang di depan toko, atau menimba air dari sumur desa.“Apa ini...” bisik El, matanya berkaca-kaca karena bingung sekaligus takjub.Julian melangkah maju perlahan, eksp
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments