Share

Rencana Pelarian

Author: Flo_ris
last update Last Updated: 2025-02-22 18:57:52

Suasana mendadak menjadi hening.

El masih memeluk Julian erat, tetapi perlahan, ia melepaskan diri. Tubuhnya gemetar, meskipun udara di ruangan itu tidak begitu dingin. Tatapannya penuh kecemasan saat ia menoleh ke arah Julian.

Julian dengan sigap mematikan lentera di tangannya. Seketika, ruangan itu tenggelam dalam kegelapan pekat. Tidak ada cahaya sedikit pun yang bisa menuntun pandangan mereka.

Di bawah, terdengar suara langkah kaki yang perlahan semakin mendekat. El bisa merasakan napasnya sendiri yang tersengal karena gugup.

"Mereka masuk ke kamar di bawah kita," bisik Julian sangat pelan, hampir tidak terdengar.

El menelan ludah, tangannya meremas kuat lengan Julian. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi ketakutannya menahan suaranya.

Julian menajamkan pendengarannya. Suara langkah kaki itu berputar di dalam kamar, seperti seseorang yang sedang mencari sesuatu. Terdengar suara benda digeser, mungkin meja atau kursi yang ada di dalam ruangan tersebut.

"Sepertinya mereka sedang memeriksa setiap sudut," gumam Julian dalam hati.

El semakin menempel pada Julian, jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia merasa seolah bisa terdengar oleh siapa pun yang ada di bawah.

Tiba-tiba—

Tok. Tok. Tok.

Seseorang mengetuk-ngetuk dinding di bawah mereka.

El sontak menutup mulutnya sendiri agar tidak mengeluarkan suara. Dadanya naik turun, rasa takut menguasainya.

Julian juga menahan napas, memastikan mereka tetap setenang mungkin.

Ketukan itu semakin lama semakin keras.

BRAK!

Suara pukulan tiba-tiba menggema. Seseorang di bawah mereka jelas mulai curiga.

"Lihat dinding ini," suara berat seorang pria terdengar. "Sepertinya ada sesuatu di baliknya."

El mencengkeram lengan Julian lebih erat.

"Tenang," bisik Julian sangat pelan di telinganya.

Ia tahu mereka masih aman, setidaknya untuk sekarang. Ruang rahasia tempat mereka bersembunyi hanya bisa terbuka dengan mekanisme dari lentera yang mereka bawa naik tadi. Tanpa lentera itu, pintu tersembunyi ini hanya tampak seperti dinding kayu biasa.

Dari bawah, suara percakapan masih terdengar.

"Bos, mungkin ini hanya dinding biasa. Tidak ada celah atau pegangan untuk membukanya."

"Tapi tadi aku jelas mendengar suara sesuatu dari atas sini."

"Ah, mungkin tikus besar."

Hening.

El bisa merasakan bagaimana Julian menahan napas, menunggu reaksi orang-orang di bawah.

Kemudian, terdengar suara helaan napas kasar.

"Baiklah. Tapi tetap periksa seluruh tempat ini. Aku tidak mau ada yang terlewat."

Langkah kaki perlahan menjauh.

El yang sejak tadi menahan napas, akhirnya menghembuskannya perlahan. Matanya mencari Julian dalam gelap.

"Kita selamat?" bisiknya nyaris tanpa suara.

Julian mengangguk samar, meskipun El tidak bisa melihatnya dalam gelap.

"Untuk sementara, iya."

Tapi mereka tahu, bahaya belum sepenuhnya pergi.

Langkah kaki perlahan menjauh.

El dan Julian akhirnya bisa bernapas lega, meskipun dada mereka masih naik turun akibat ketegangan barusan. Suasana kembali hening, hanya terdengar desiran angin yang masuk melalui celah kayu di ruangan itu.

Julian mengarahkan pandangannya ke lubang kecil di dinding, mencoba melihat situasi di luar. Dari sudut itu, ia bisa mengintip sebagian ruangan di bawah mereka.

"Bagaimana?" bisik El, suaranya masih sedikit bergetar.

Julian menghela napas. "Mereka belum pergi sepenuhnya, tapi untuk sementara, sepertinya aman."

El menggigit bibirnya, pikirannya kalut. "Kita tidak bisa bertahan di sini terus. Mereka semakin curiga..."

Julian mengangguk. Ia juga tahu, semakin lama mereka berdiam di sini, semakin besar kemungkinan mereka ditemukan.

Ia menoleh ke sekeliling ruangan, mencari celah lain yang mungkin bisa dijadikan jalan keluar. Tapi ruangan ini benar-benar tertutup, hanya memiliki satu pintu rahasia yang terhubung ke kamar di bawah—dan jelas bukan pilihan yang bijak untuk keluar dari sana.

El mencoba menajamkan pandangannya di dalam gelap. "Kalau kita melompat dari loteng, menurutmu bisa?"

Julian menatapnya sejenak sebelum menggeleng. "Terlalu tinggi. Kita bisa cedera, dan itu malah akan mempersulit kita sendiri."

El menggigit kukunya, frustasi.

"Kita harus menemukan cara lain sebelum pagi datang," gumam Julian, suaranya terdengar mantap.

El mendesah, tangannya menggenggam lengan Julian dengan erat. Ia masih bisa merasakan dinginnya keringat di telapak tangannya sendiri.

Julian memperhatikan bagaimana El masih gemetar. Tanpa berpikir panjang, ia segera menarik El ke dalam dekapannya.

El membeku sejenak. Dadanya menempel pada tubuh Julian, merasakan hangat yang seketika menenangkan tubuhnya yang gemetar.

Julian tidak mengatakan apa-apa, hanya membiarkan El bersandar padanya. Tangannya bergerak perlahan di punggung El, menepuknya pelan.

"Aku di sini," bisiknya. "Kita pasti akan keluar dari sini."

El memejamkan mata, mencoba meredam ketakutannya.

Untuk saat ini, satu-satunya yang bisa mereka lakukan adalah tetap tenang dan mencari jalan keluar sebelum semuanya terlambat.

Di bawah, suasana tegang masih menyelimuti ruangan. Seorang pria bertubuh besar duduk di atas kursi tua dengan tangan bersedekap, wajahnya penuh ketidaksabaran.

"Kita tidak boleh pulang dengan tangan kosong," suaranya dalam dan penuh tekanan. "Jika kita kembali tanpa apa pun, nyawa kita yang akan menjadi taruhannya."

Anak buahnya saling pandang, raut wajah mereka berubah cemas. Mereka tahu bahwa bos mereka tidak main-main.

"Tapi, bos... Kita sudah menggeledah hampir seluruh ruangan. Tidak ada apa pun di sini kecuali barang-barang usang," salah satu dari mereka berbicara dengan hati-hati.

Sang bos menyipitkan mata, menatap tajam anak buahnya yang bicara. "Dan kau pikir aku akan percaya begitu saja? Rumah ini tidak mungkin kosong! Ada sesuatu yang disembunyikan di sini."

Ia berdiri, langkahnya berat dan penuh kewaspadaan. Matanya menyapu seluruh sudut ruangan, lalu berhenti tepat di bawah loteng.

"Sesuatu di sini terasa aneh..." gumamnya, hampir tidak terdengar.

Anak buahnya mengikuti arah pandangnya, beberapa dari mereka mulai merasa tidak nyaman.

"Kalau hari ini kita tidak dapat apa-apa, besok kita kembali lagi," lanjut sang bos, nada suaranya tak terbantahkan. "Aku yakin, di rumah ini ada sesuatu yang kita cari."

Di loteng, El dan Julian menahan napas. Mereka mendengar dengan jelas ancaman itu.

El mencengkeram lengan Julian dengan erat, matanya penuh ketakutan. "Mereka akan kembali besok..." bisiknya hampir tanpa suara.

Julian menatapnya, rahangnya mengeras. Mereka tidak punya pilihan selain menemukan jalan keluar sebelum hari esok datang.

El dan Julian terdiam di sudut ruang rahasia. Pikiran mereka berputar mencari cara untuk keluar dari rumah itu sebelum fajar tiba. Mereka tahu, jika tetap bertahan di sini, cepat atau lambat orang-orang di bawah akan menemukan mereka.

Dari celah papan, mereka bisa mendengar suara langkah kaki yang mulai menjauh. Meski begitu, kewaspadaan masih menyelimuti mereka.

Julian menoleh ke arah El, suaranya rendah tapi tegas. "Kita harus bersiap. Begitu ada kesempatan, kita harus segera pergi."

El mengangguk, menekan ketakutannya dalam-dalam. Ia segera bergerak, mengambil peti kecil yang sejak tadi mereka sembunyikan. Untuk menghindari kecurigaan jika ada yang melihat tasnya nanti, ia membungkus peti itu dengan baju gantinya sebelum memasukkannya ke dalam tas.

Sementara itu, peta yang mereka temukan ia simpan terpisah. Dengan hati-hati, ia melipatnya serapi mungkin, memastikan tidak ada bagian yang kusut. Kemudian, ia memasukkannya ke dalam lapisan jaketnya, di antara kain agar tidak mudah terlihat atau jatuh.

Julian mengawasi setiap gerakan El dengan cermat. Setelah semua siap, ia menatap El dan berbisik, "Sekarang kita hanya butuh satu hal lagi—kesempatan."

El menarik napas dalam-dalam, menatap pintu rahasia di hadapan mereka. Ia tahu, begitu mereka melangkah keluar dari tempat ini, mereka akan memasuki babak baru yang lebih berbahaya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Ruang Bawah Tanah (2)

    Ruangan bawah tanah itu terasa sunyi setelah percakapan terakhir mereka. El menatap kakek Nate dengan penuh harap, menunggu jawaban yang bisa menjelaskan semua kebingungannya. Namun, yang ia dapatkan hanyalah tatapan penuh pertimbangan dari pria tua itu. Kakek Nate menghela napas panjang, menggenggam tongkatnya lebih erat sebelum akhirnya berbicara. "El... aku tahu kau ingin jawaban. Tapi saat ini, kita tidak punya waktu untuk membicarakan masa lalu." El mengerutkan kening. "Maksud kakek?" "Saat ini, ada hal yang jauh lebih penting dibanding menjelaskan semuanya padamu. Percayalah, waktunya akan tiba. Kau akan mengetahui semuanya ketika saatnya benar-benar tepat," kata kakek Nate dengan nada serius. El mengepalkan tangannya di atas meja. "Tapi aku berhak tahu! Ini tentang keluargaku, tentang siapa aku sebenarnya! Bagaimana bisa aku terus melangkah tanpa mengetahui kebenarannya?" Nate yang berdiri di samping kakeknya ikut angkat bicara. "El, aku tahu ini sulit. Tapi kakek benar. K

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Ruang Bawah Tanah

    Ketika lift bawah tanah itu semakin mendekati tujuannya, cahaya mulai tampak. Awalnya hanya seberkas samar, namun semakin lama semakin terang, hingga akhirnya mereka sampai di sebuah ruangan yang begitu luas. El, Julian, dan bahkan Nate—yang biasanya tak terkejut oleh apapun—terpaku melihat pemandangan di hadapan mereka. Ruangan ini tidak seperti yang mereka bayangkan. Lampu-lampu besar menerangi setiap sudutnya, membuat tempat ini tampak seperti fasilitas penelitian canggih yang tersembunyi jauh di bawah tanah. El melangkah keluar dari mobil terlebih dahulu, matanya menjelajahi sekeliling dengan penuh kekaguman. “Ini lebih besar dari rumahku,” gumamnya tak percaya. Julian mengikuti di belakangnya, wajahnya dipenuhi rasa penasaran. “Apa tempat ini?” tanyanya pada Nate. Namun, sebelum Nate sempat menjawab, terdengar suara langkah kaki mendekat. Dari sudut ruangan, seorang gadis muncul. Ia mengenakan setelan jas berwarna hitam dengan emblem kecil di dada kirinya. Rambutnya ditata ra

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Rahasia di Ruang Bawah Tanah

    Setelah memastikan bahwa anak buah Liam benar-benar pergi, Nate memberi isyarat cepat kepada El dan Julian. Tanpa membuang waktu, mereka segera naik ke dalam mobil. Nate dengan cekatan menyalakan mesin, lalu menancapkan gas, membuat mobil melaju kencang meninggalkan lokasi. “El, pastikan tidak ada yang mengikuti kita,” perintah Nate dengan nada tegas namun tetap tenang. El menoleh ke belakang, matanya tajam mengawasi setiap kendaraan yang melintas di kejauhan. “Sejauh ini aman. Tapi kita harus tetap waspada,” ucapnya. Julian yang duduk di kursi penumpang depan menggenggam peta erat di tangannya. Perjalanan ini terasa semakin menegangkan, dan mereka tahu bahwa setiap detik sangat berharga. Sementara itu, Nate dengan satu tangan di kemudi, tangan lainnya merogoh ponselnya. Dia segera menghubungi seseorang. “Paman, kami sedang dalam perjalanan. Pastikan ruang bawah tanah sudah siap. Kami tidak bisa mengambil risiko,” ucap Nate dengan suara serius. Dari seberang telepon, terdengar s

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Perjalanan Panjang

    Di sebuah sudut kota yang diterangi lampu jalan redup, Liam Cornelius berdiri dengan tatapan tajam. Rokok di tangannya mengepulkan asap tipis ke udara malam. Wajahnya dingin, penuh perhitungan. Dia tak suka kegagalan, apalagi jika itu terjadi di bawah komandonya."Sebar ke seluruh penjuru kota. Jangan ada satu sudut pun yang terlewat," perintahnya dengan suara berat dan tegas.Beberapa anak buahnya yang masih meringis kesakitan akibat pertempuran di rumah tua sebelumnya hanya bisa mengangguk. Meski tubuh mereka penuh memar, mereka tahu lebih baik patuh daripada menghadapi murka Liam."Kita harus menemukan mereka sebelum mereka bertindak lebih jauh," lanjut Liam. "Orang-orang itu bukan sekadar pelarian biasa. Mereka membawa sesuatu yang penting."Sementara itu, di sisi lain kota…El, Julian, dan Nate berada di rumah El, berusaha memulihkan tenaga mereka setelah malam yang panjang dan menegangkan. El duduk di sofa, tangannya memegang secangkir teh hangat, namun pikirannya melayang jauh.

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Mantan Tentara Bayaran

    Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, akhirnya mereka tiba di perbatasan antara jalan desa misterius itu dan perkotaan. Selama perjalanan keluar, mereka tidak melihat satu pun tanda kehidupan—tidak ada warga desa yang berjalan kaki, tidak ada kendaraan yang melintas. Hanya hutan sunyi yang menemani mereka sepanjang jalan.Namun, begitu roda mobil melewati batas desa dan memasuki wilayah kota, semuanya berubah. Jalanan mulai tampak normal, dengan kendaraan yang berlalu-lalang dan orang-orang yang sibuk dengan aktivitas mereka. Seolah desa yang mereka tinggalkan barusan tidak pernah ada dalam peta dunia nyata.El menarik napas lega, menyandarkan kepalanya ke jendela. “Akhirnya kita keluar juga...” gumamnya.Julian yang duduk di belakang melirik ke arah Nate yang tetap fokus mengemudi. “Sepertinya kita beruntung.”“El lebih dari beruntung,” Nate menimpali, suaranya datar. “Kalian bisa saja tidak keluar hidup-hidup.”Ucapan itu membuat El dan Julian terdiam sejenak. Perasaan lega ka

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Pertolongan Pria Asing

    Di tengah ketegangan yang mencekik, El dan Julian membeku. Tangan mereka masih saling menggenggam erat, mencoba menemukan kekuatan dalam satu sama lain.Tiba-tiba, suara benturan keras terdengar dari luar. Suara pukulan, desahan kesakitan, dan tubuh yang terhempas ke lantai menggema di seluruh ruangan.El menelan ludah. “Mereka bertengkar?” bisiknya nyaris tak terdengar.Julian menggeleng pelan, matanya tajam menatap pintu kayu di hadapan mereka. “Aku rasa ini bukan sekadar perkelahian biasa…”Suara gaduh semakin brutal, terdengar jeritan dan suara sesuatu yang jatuh keras ke lantai. Kemudian—hening.El menahan napas, ketakutannya semakin menjadi-jadi. Tidak ada satu pun suara dari luar. Hanya ada keheningan yang mencekam.Kemudian, suara langkah kaki terdengar. Tidak terburu-buru, tapi tegap dan penuh keyakinan.Julian langsung berdiri di depan El, siap melindunginya jika yang datang adalah musuh lain.Pegangan pada gagang pintu berderit pelan. Lalu, pintu terbuka.Di ambang pintu, b

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Pelarian Tanpa Jejak

    ..Julian menarik napas dalam-dalam sebelum perlahan mendorong pintu loteng. Setiap gerakan dilakukan dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan suara yang mencurigakan. Engsel yang sudah berkarat membuatnya harus bekerja ekstra pelan agar tidak berderit dan menarik perhatian siapa pun yang masih berjaga di bawah.Begitu celah pintu cukup terbuka, Julian mencondongkan tubuhnya sedikit untuk mengintip ke bawah. Matanya awas, menyapu setiap sudut ruangan. Keheningan masih menyelimuti tempat itu, tetapi ia tidak bisa gegabah.Ia berbalik, menatap El yang masih berjongkok di loteng dengan ekspresi cemas. Julian memberi isyarat dengan satu jari di depan bibirnya, lalu perlahan menuruni loteng.Setelah kedua kakinya menginjak lantai, Julian tetap diam di tempat, menajamkan pendengarannya.Hanya ada suara angin yang berdesir di luar dan sesekali bunyi nyamuk yang beterbangan. Tidak ada tanda-tanda pergerakan dari para penjaga di bawah.Julian kembali mendongak ke atas dan memberi isyara

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Rencana Pelarian

    Suasana mendadak menjadi hening.El masih memeluk Julian erat, tetapi perlahan, ia melepaskan diri. Tubuhnya gemetar, meskipun udara di ruangan itu tidak begitu dingin. Tatapannya penuh kecemasan saat ia menoleh ke arah Julian.Julian dengan sigap mematikan lentera di tangannya. Seketika, ruangan itu tenggelam dalam kegelapan pekat. Tidak ada cahaya sedikit pun yang bisa menuntun pandangan mereka.Di bawah, terdengar suara langkah kaki yang perlahan semakin mendekat. El bisa merasakan napasnya sendiri yang tersengal karena gugup."Mereka masuk ke kamar di bawah kita," bisik Julian sangat pelan, hampir tidak terdengar.El menelan ludah, tangannya meremas kuat lengan Julian. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi ketakutannya menahan suaranya.Julian menajamkan pendengarannya. Suara langkah kaki itu berputar di dalam kamar, seperti seseorang yang sedang mencari sesuatu. Terdengar suara benda digeser, mungkin meja atau kursi yang ada di dalam ruangan tersebut."Sepertinya mereka sedang memeri

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Ketukan di Ruang Rahasia

    Ruangan itu sunyi, hanya ada suara napas lembut El yang tertidur pulas di samping Julian. Cahaya redup dari lentera kecil di sudut ruangan memberikan sedikit penerangan di tengah kegelapan.Namun, tiba-tiba El merasakan sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Matanya perlahan terbuka, dan ia langsung menyadari sesuatu—ia harus buang air kecil.El menggigit bibirnya, ragu untuk membangunkan Julian. Tapi jika ia pergi sendiri, itu terlalu menyeramkan. Ruangan ini begitu sunyi dan asing, apalagi mereka masih berada di tempat yang penuh misteri.Dengan hati-hati, El mengulurkan tangannya dan mengguncang lengan Julian pelan."Jul... Julian..." bisiknya lirih.Julian mengerjap pelan, kelopak matanya bergerak sebelum akhirnya terbuka sepenuhnya. Matanya yang masih sedikit mengantuk menatap El dengan teduh, seolah bertanya tanpa kata-kata."Ada apa?" suaranya terdengar serak karena baru bangun tidur.El menelan ludah, merasa malu untuk mengatakannya. Tapi ia tidak punya pilihan lain."Aku... ma

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status