Suasana mendadak menjadi hening.
El masih memeluk Julian erat, tetapi perlahan, ia melepaskan diri. Tubuhnya gemetar, meskipun udara di ruangan itu tidak begitu dingin. Tatapannya penuh kecemasan saat ia menoleh ke arah Julian. Julian dengan sigap mematikan lentera di tangannya. Seketika, ruangan itu tenggelam dalam kegelapan pekat. Tidak ada cahaya sedikit pun yang bisa menuntun pandangan mereka. Di bawah, terdengar suara langkah kaki yang perlahan semakin mendekat. El bisa merasakan napasnya sendiri yang tersengal karena gugup. "Mereka masuk ke kamar di bawah kita," bisik Julian sangat pelan, hampir tidak terdengar. El menelan ludah, tangannya meremas kuat lengan Julian. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi ketakutannya menahan suaranya. Julian menajamkan pendengarannya. Suara langkah kaki itu berputar di dalam kamar, seperti seseorang yang sedang mencari sesuatu. Terdengar suara benda digeser, mungkin meja atau kursi yang ada di dalam ruangan tersebut. "Sepertinya mereka sedang memeriksa setiap sudut," gumam Julian dalam hati. El semakin menempel pada Julian, jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia merasa seolah bisa terdengar oleh siapa pun yang ada di bawah. Tiba-tiba— Tok. Tok. Tok. Seseorang mengetuk-ngetuk dinding di bawah mereka. El sontak menutup mulutnya sendiri agar tidak mengeluarkan suara. Dadanya naik turun, rasa takut menguasainya. Julian juga menahan napas, memastikan mereka tetap setenang mungkin. Ketukan itu semakin lama semakin keras. BRAK! Suara pukulan tiba-tiba menggema. Seseorang di bawah mereka jelas mulai curiga. "Lihat dinding ini," suara berat seorang pria terdengar. "Sepertinya ada sesuatu di baliknya." El mencengkeram lengan Julian lebih erat. "Tenang," bisik Julian sangat pelan di telinganya. Ia tahu mereka masih aman, setidaknya untuk sekarang. Ruang rahasia tempat mereka bersembunyi hanya bisa terbuka dengan mekanisme dari lentera yang mereka bawa naik tadi. Tanpa lentera itu, pintu tersembunyi ini hanya tampak seperti dinding kayu biasa. Dari bawah, suara percakapan masih terdengar. "Bos, mungkin ini hanya dinding biasa. Tidak ada celah atau pegangan untuk membukanya." "Tapi tadi aku jelas mendengar suara sesuatu dari atas sini." "Ah, mungkin tikus besar." Hening. El bisa merasakan bagaimana Julian menahan napas, menunggu reaksi orang-orang di bawah. Kemudian, terdengar suara helaan napas kasar. "Baiklah. Tapi tetap periksa seluruh tempat ini. Aku tidak mau ada yang terlewat." Langkah kaki perlahan menjauh. El yang sejak tadi menahan napas, akhirnya menghembuskannya perlahan. Matanya mencari Julian dalam gelap. "Kita selamat?" bisiknya nyaris tanpa suara. Julian mengangguk samar, meskipun El tidak bisa melihatnya dalam gelap. "Untuk sementara, iya." Tapi mereka tahu, bahaya belum sepenuhnya pergi. Langkah kaki perlahan menjauh. El dan Julian akhirnya bisa bernapas lega, meskipun dada mereka masih naik turun akibat ketegangan barusan. Suasana kembali hening, hanya terdengar desiran angin yang masuk melalui celah kayu di ruangan itu. Julian mengarahkan pandangannya ke lubang kecil di dinding, mencoba melihat situasi di luar. Dari sudut itu, ia bisa mengintip sebagian ruangan di bawah mereka. "Bagaimana?" bisik El, suaranya masih sedikit bergetar. Julian menghela napas. "Mereka belum pergi sepenuhnya, tapi untuk sementara, sepertinya aman." El menggigit bibirnya, pikirannya kalut. "Kita tidak bisa bertahan di sini terus. Mereka semakin curiga..." Julian mengangguk. Ia juga tahu, semakin lama mereka berdiam di sini, semakin besar kemungkinan mereka ditemukan. Ia menoleh ke sekeliling ruangan, mencari celah lain yang mungkin bisa dijadikan jalan keluar. Tapi ruangan ini benar-benar tertutup, hanya memiliki satu pintu rahasia yang terhubung ke kamar di bawah—dan jelas bukan pilihan yang bijak untuk keluar dari sana. El mencoba menajamkan pandangannya di dalam gelap. "Kalau kita melompat dari loteng, menurutmu bisa?" Julian menatapnya sejenak sebelum menggeleng. "Terlalu tinggi. Kita bisa cedera, dan itu malah akan mempersulit kita sendiri." El menggigit kukunya, frustasi. "Kita harus menemukan cara lain sebelum pagi datang," gumam Julian, suaranya terdengar mantap. El mendesah, tangannya menggenggam lengan Julian dengan erat. Ia masih bisa merasakan dinginnya keringat di telapak tangannya sendiri. Julian memperhatikan bagaimana El masih gemetar. Tanpa berpikir panjang, ia segera menarik El ke dalam dekapannya. El membeku sejenak. Dadanya menempel pada tubuh Julian, merasakan hangat yang seketika menenangkan tubuhnya yang gemetar. Julian tidak mengatakan apa-apa, hanya membiarkan El bersandar padanya. Tangannya bergerak perlahan di punggung El, menepuknya pelan. "Aku di sini," bisiknya. "Kita pasti akan keluar dari sini." El memejamkan mata, mencoba meredam ketakutannya. Untuk saat ini, satu-satunya yang bisa mereka lakukan adalah tetap tenang dan mencari jalan keluar sebelum semuanya terlambat. Di bawah, suasana tegang masih menyelimuti ruangan. Seorang pria bertubuh besar duduk di atas kursi tua dengan tangan bersedekap, wajahnya penuh ketidaksabaran. "Kita tidak boleh pulang dengan tangan kosong," suaranya dalam dan penuh tekanan. "Jika kita kembali tanpa apa pun, nyawa kita yang akan menjadi taruhannya." Anak buahnya saling pandang, raut wajah mereka berubah cemas. Mereka tahu bahwa bos mereka tidak main-main. "Tapi, bos... Kita sudah menggeledah hampir seluruh ruangan. Tidak ada apa pun di sini kecuali barang-barang usang," salah satu dari mereka berbicara dengan hati-hati. Sang bos menyipitkan mata, menatap tajam anak buahnya yang bicara. "Dan kau pikir aku akan percaya begitu saja? Rumah ini tidak mungkin kosong! Ada sesuatu yang disembunyikan di sini." Ia berdiri, langkahnya berat dan penuh kewaspadaan. Matanya menyapu seluruh sudut ruangan, lalu berhenti tepat di bawah loteng. "Sesuatu di sini terasa aneh..." gumamnya, hampir tidak terdengar. Anak buahnya mengikuti arah pandangnya, beberapa dari mereka mulai merasa tidak nyaman. "Kalau hari ini kita tidak dapat apa-apa, besok kita kembali lagi," lanjut sang bos, nada suaranya tak terbantahkan. "Aku yakin, di rumah ini ada sesuatu yang kita cari." Di loteng, El dan Julian menahan napas. Mereka mendengar dengan jelas ancaman itu. El mencengkeram lengan Julian dengan erat, matanya penuh ketakutan. "Mereka akan kembali besok..." bisiknya hampir tanpa suara. Julian menatapnya, rahangnya mengeras. Mereka tidak punya pilihan selain menemukan jalan keluar sebelum hari esok datang. El dan Julian terdiam di sudut ruang rahasia. Pikiran mereka berputar mencari cara untuk keluar dari rumah itu sebelum fajar tiba. Mereka tahu, jika tetap bertahan di sini, cepat atau lambat orang-orang di bawah akan menemukan mereka. Dari celah papan, mereka bisa mendengar suara langkah kaki yang mulai menjauh. Meski begitu, kewaspadaan masih menyelimuti mereka. Julian menoleh ke arah El, suaranya rendah tapi tegas. "Kita harus bersiap. Begitu ada kesempatan, kita harus segera pergi." El mengangguk, menekan ketakutannya dalam-dalam. Ia segera bergerak, mengambil peti kecil yang sejak tadi mereka sembunyikan. Untuk menghindari kecurigaan jika ada yang melihat tasnya nanti, ia membungkus peti itu dengan baju gantinya sebelum memasukkannya ke dalam tas. Sementara itu, peta yang mereka temukan ia simpan terpisah. Dengan hati-hati, ia melipatnya serapi mungkin, memastikan tidak ada bagian yang kusut. Kemudian, ia memasukkannya ke dalam lapisan jaketnya, di antara kain agar tidak mudah terlihat atau jatuh. Julian mengawasi setiap gerakan El dengan cermat. Setelah semua siap, ia menatap El dan berbisik, "Sekarang kita hanya butuh satu hal lagi—kesempatan." El menarik napas dalam-dalam, menatap pintu rahasia di hadapan mereka. Ia tahu, begitu mereka melangkah keluar dari tempat ini, mereka akan memasuki babak baru yang lebih berbahaya.Sejak mimpi itu, El tak pernah benar-benar tidur dengan tenang. Bahkan saat Nate dan Lucien bercanda atau bertengkar kecil seperti biasa, pikirannya terus kembali ke tempat itu — desa tersembunyi, cahaya yang memanggil, dan keputusan besar yang belum sempat ia buat. Ia belum menceritakan apapun. Bukan karena tidak percaya, tapi karena... ia takut. Takut mereka akan khawatir. Takut mimpi itu membawa pertanda yang terlalu berat untuk dibagi. Malam pun berlalu dalam sunyi. Dan saat fajar masih tersembunyi di balik kabut pagi, mereka bertiga duduk membentuk lingkaran kecil di dekat rerimbunan hutan suci, cahaya dari jalur itu masih terlihat berdenyut lembut dari kejauhan, seperti detak jantung yang hidup di tanah. "Kita terlalu gegabah tadi," kata Nate akhirnya, memecah keheningan. "Kita harus mundur sejenak. Rencanakan semuanya." Lucien mengangguk setuju, lalu menoleh pada wanita tua yang masih berdiri di dekat batang pohon tua, seakan menyatu dengan waktu itu sendiri. "Apakah benar
Langkah El menyusul Nate dan Julian yang sudah berada di depan. Tapi saat mereka mulai menapaki jalanan setapak yang basah oleh embun, sebuah cahaya tiba-tiba menyala dari dalam tas yang dibawa Julian. “Astaga… jamnya!” seru Julian, buru-buru mengeluarkannya. Jam pemberian Lucien—yang sempat menyala dan menunjukkan peta sebelumnya—kembali memancarkan cahaya biru keemasan. Namun kali ini berbeda. Peta yang muncul bukan lagi berupa jalur panjang atau lokasi samar. Kini, dari jam itu terpancar jalur bercahaya yang hidup, melayang di udara seperti benang cahaya, mengarah lurus ke arah timur laut, menembus rimbunnya pepohonan yang membentuk batas hutan suci desa. Mereka bertiga saling pandang. El terpaku, tubuhnya terasa hangat saat mendekati jalur cahaya itu—seolah cahaya itu mengenalnya. Tiba-tiba suara lembut namun tegas terdengar dari belakang mereka. Wanita tua itu—yang sebelumnya menceritakan asal-usul El—berdiri di ujung jalan, membawa tongkat kayu yang dihiasi ukiran simbol ku
Malam itu langit begitu kelam, seolah menandakan sesuatu yang besar akan terjadi. Bintang-bintang tertutup kabut tipis, dan udara terasa berat, menggantung di antara pepohonan yang merunduk diam. Wanita misterius itu berdiri di ambang jalan kecil yang mengarah ke bagian terdalam dari desa, tempat yang bahkan Nate dan Julian tak pernah dengar sebelumnya. “El,” katanya lembut, “tempat yang akan kita datangi ini… disebut Valeyra. Dalam bahasa kuno, artinya ‘ingatan yang belum selesai.’ Di sana, kau akan bisa melihat semua yang selama ini tersembunyi darimu. Tapi ada satu syarat—satu ujian yang harus kau lalui.” El melirik ke belakang, kepada Nate dan Julian. Tapi wanita itu menggeleng. “Hanya kau yang bisa masuk. Hanya kau yang memiliki kunci.” Jalanan itu gelap, hanya diterangi lentera gantung yang menyala redup, menggantung seperti bintang di pohon-pohon tua. “Ujiannya… seperti apa?” tanya El pelan. “Bukan ujian kekuatan atau logika,” jawab wanita itu. “Ini adalah ujian ha
El masih menatap wanita itu dengan kebingungan yang membuncah. Jemarinya menggenggam gelas air yang tadi disuguhkan, dingin dan bening seperti kristal. Ia tak berpikir macam-macam saat meneguknya perlahan, hanya ingin menghilangkan haus dan menenangkan degup jantung yang tak juga mereda sejak mereka tiba di desa ini. Namun, begitu tetes terakhir air itu menyentuh tenggorokannya, tubuh El menegang. Sejenak, dunia di sekitarnya menjadi hening. Suara obrolan samar dari Nate dan Julian menghilang, berganti dengan desiran angin dan denting suara lonceng kecil, seolah berasal dari tempat yang jauh. Napas El tercekat. Pandangannya kabur, tapi tidak gelap. Justru sebaliknya—terang. Terlalu terang. Seketika, serangkaian gambar melintas dalam pikirannya. Terlalu cepat, terlalu kabur—tapi sangat nyata. Ia melihat seorang anak kecil berlari-lari di tengah taman yang dipenuhi bunga bercahaya. Cahaya itu bukan seperti cahaya matahari biasa, tapi memancar dari kelopak-kelopaknya sendiri. Anak i
Di tengah kebingungan mereka yang berdiri terpaku di depan rumah berlapis emas itu, tiba-tiba Lucien, yang sejak tadi lebih banyak diam dan mengamati, mengerutkan kening. Sebuah dorongan aneh muncul di benaknya, mendorongnya untuk membuka peta yang terhubung dengan jam pintarnya—perangkat yang selama ini mereka andalkan dalam perjalanan.Dengan gerakan cepat namun hati-hati, ia menekan permukaan jam, dan seketika peta holografik muncul melayang di atas pergelangannya. Cahaya lembutnya menyinari wajah Lucien yang mulai menunjukkan ekspresi serius. Ia memperbesar tampilan, fokus pada titik lokasi tempat mereka berdiri saat ini.Lalu ia membeku.“Guys...” suara Lucien pelan, nyaris berbisik. “Lihat ini.”Julian dan El segera menoleh. Nate yang berdiri sedikit di belakang juga ikut melangkah mendekat.Di layar peta, ada satu titik menyala terang, lebih kuat dibandingkan tempat lain yang mereka lewati selama perjalanan. Warna merah keemasan yang menyala lembut, mencolok di antara wilayah-w
Dengan penuh pertimbangan dan ketegangan yang menyesakkan dada, mereka akhirnya melangkah masuk melewati gerbang pohon raksasa itu. Seolah ada lapisan tak kasat mata yang mereka tembus—sekejap kabut menyelimuti pandangan, membuat langkah mereka limbung.Namun, hanya dalam beberapa detik, kabut itu sirna. Mata mereka terbuka lebar saat melihat pemandangan yang tak pernah mereka duga.Di hadapan mereka terbentang sebuah pemukiman luas—sebuah desa yang tampak begitu hidup. Rumah-rumah kayu dengan arsitektur klasik berdiri rapi, dihiasi lentera gantung yang menyala redup meski hari masih terang. Jalanan dipenuhi oleh orang-orang—pria, wanita, anak-anak—berpakaian khas yang tak mereka kenali, seolah berasal dari zaman atau dunia yang berbeda. Mereka lalu-lalang dengan wajah damai dan aktivitas biasa: membawa keranjang, berbincang di depan toko, atau menimba air dari sumur desa.“Apa ini...” bisik El, matanya berkaca-kaca karena bingung sekaligus takjub.Julian melangkah maju perlahan, eksp