Julian mencoba memeriksa sekelilingnya, berharap menemukan sesuatu yang bisa dijadikan alas tidur. Ia membuka beberapa laci meja tua, menggeser beberapa barang di sudut ruangan, namun hasilnya nihil.
"Tidak ada apa-apa..." gumamnya pelan, menghela napas kecewa. El yang sedari tadi memperhatikannya merasa tidak tega. Julian sudah banyak membantunya dalam perjalanan ini, dan sekarang dia harus tidur di lantai dingin tanpa alas. Hening sejenak. Akhirnya, dengan sedikit ragu, El berkata, "Jul... kalau kamu mau, kita bisa tidur di kasur ini bersama." Julian terkejut, menatap El dengan mata membesar. "Apa? Enggak, El. Aku enggak apa-apa tidur di bawah." El menggeleng pelan. "Kasur ini memang kecil, tapi lebih baik daripada kamu tidur di lantai tanpa alas. Lagipula, kita sama-sama kedinginan." Julian masih ragu, tapi melihat ekspresi serius di wajah El, ia tahu El benar-benar tulus. Akhirnya, setelah menimbang-nimbang, ia mengangguk pelan. "Baiklah... tapi aku tidur di sisi luar." El tersenyum kecil, lalu bergeser memberi ruang. Mereka pun berbaring di kasur sempit itu, dengan posisi membelakangi satu sama lain. Malam terasa semakin sunyi, hanya terdengar suara napas mereka dan sesekali derit kayu dari bawah. Di luar, orang-orang itu masih berjaga. Tapi di dalam loteng, El dan Julian berusaha beristirahat, meskipun hati mereka masih dipenuhi kecemasan. Jantung Julian berdegup kencang saat punggungnya bersentuhan dengan punggung El. Rasanya sulit bernapas, bukan karena ketakutan terhadap orang-orang di bawah, tapi karena sesuatu yang lain. Sesuatu yang selama ini ia pendam. Julian berdehem pelan, mencoba mencairkan suasana. "El... kamu udah tidur?" tanyanya dengan suara rendah. El yang sejak tadi juga belum bisa tidur, menjawab lirih, "Belum... Aku enggak bisa tidur." Jantung El pun berdetak cepat, perasaan aneh menyelimuti dirinya. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan saat ini. Hening sejenak. Akhirnya, tanpa sadar, mereka berdua membalikkan badan secara bersamaan. Kini, mata mereka saling bertemu dalam cahaya remang lentera. Suasana semakin canggung. Julian menelan ludah, mencoba mengalihkan pikirannya. Ia berusaha bercerita tentang hal-hal random—tentang perjalanan mereka, tentang misteri peti, bahkan tentang masa-masa sekolah dulu. Tapi semua itu sia-sia. Perasaan yang lebih dominan terus mendesak di dalam dadanya. Akhirnya, setelah sekian lama menahan, Julian mengumpulkan keberanian. Ia menatap El dalam-dalam, lalu dengan suara sedikit bergetar, ia berkata, "El... ada sesuatu yang harus aku bilang ke kamu." El tidak menunjukkan ekspresi terkejut. Ia hanya diam, menunggu Julian melanjutkan. Julian semakin gugup. Biasanya, El akan bereaksi cepat terhadap hal-hal tak terduga. Tapi kali ini, dia hanya menatapnya dengan tenang, seolah sudah mengetahui apa yang akan dikatakan Julian. Itu membuat Julian semakin bingung. Apakah El sudah menyadarinya sejak lama? Ataukah ini hanya perasaannya saja? Dan pertanyaannya sekarang—haruskah ia benar-benar mengatakannya? Julian menarik napas dalam-dalam. Ia tahu ini bukan waktu yang tepat. Tempat ini juga jauh dari kata ideal. Tapi jika ia terus menunda, perasaan ini akan semakin membebaninya. Ia melirik El yang masih dalam dekapannya, tubuhnya terasa sedikit gemetar, mungkin karena ketakutan, atau mungkin karena sesuatu yang lain. Sudah cukup. Julian mengeratkan dekapannya, membuat El sedikit tersentak. Lalu, dengan suara rendah dan tenang, ia berbisik di telinga El, "Aku mencintaimu." El membeku di tempat. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Julian melanjutkan, suaranya tetap stabil, seolah perasaannya tidak sedang mengacaukan pikirannya. "Sudah sejak lama... Aku selalu menyukaimu, El. Tapi aku tidak ingin perasaan ini merusak persahabatan kita. Karena bagaimanapun, persahabatan kita lebih penting dari apa pun." El masih diam, otaknya mencoba memahami kata-kata Julian yang begitu mendadak. Julian tersenyum tipis, meskipun hatinya berdebar kencang. Ia tidak menunggu jawaban, tidak ingin memaksa. "Aku tidak mengharapkan jawaban darimu sekarang," lanjutnya tenang. "Lebih baik kau tetap fokus dengan misimu dulu." Perlahan, ia melepaskan dekapannya, memberi jarak, lalu menatap El yang masih terdiam dengan tatapan sulit diartikan. Julian kemudian berdiri, kembali ke mode "cool" seperti biasa. "Ayo tidur, kita harus bersiap untuk besok," katanya santai, seolah tidak baru saja mengungkapkan sesuatu yang besar. Namun, di balik ekspresi tenangnya, hanya Julian yang tahu seberapa keras dadanya masih berdetak saat ini. El tersentak. Tanpa sadar, tangannya bergerak menarik pergelangan tangan Julian, menahannya agar tidak pergi terlalu jauh. Julian menoleh, sedikit terkejut. "Kenapa?" tanyanya pelan. El menunduk sesaat, lalu menguatkan dirinya untuk berbicara. "Aku... lebih nyaman seperti ini," ucapnya lirih. "Berada dalam dekapanmu... Aku merasa lebih tenang. Lebih terlindungi." Julian terdiam, lalu tersenyum tipis. Ia kembali berbaring di samping El tanpa banyak bicara, memberikan kenyamanan yang diminta El tanpa perlu bertanya lebih lanjut. Mereka mencoba mencairkan suasana canggung yang sempat muncul di antara mereka. Julian mulai bercerita tentang hal-hal acak, tentang kejadian lucu di sekolah, tentang makanan favoritnya yang selalu kehabisan di kantin, bahkan tentang kejadian memalukan saat ia kecil. El terkekeh pelan mendengarnya. Ia merasa jauh lebih ringan sekarang. Namun, di sela obrolan mereka, El tiba-tiba bergumam, lebih kepada dirinya sendiri, "Jantungku juga... lagi nggak baik-baik saja sekarang." Julian meliriknya sekilas, diam-diam menahan senyum. "Tapi... Aku belum bisa memberi jawaban apa pun untuk saat ini," lanjut El dengan nada lebih pelan. Julian menatapnya sebentar, lalu mengangguk dengan tenang. "Aku mengerti," jawabnya singkat. Ia benar-benar tidak mempermasalahkannya. Yang penting, sekarang mereka ada di sini—bersama. El diam dalam posisi itu, telinganya masih menempel di dada Julian. Ia bisa dengan jelas mendengar degup jantung Julian yang berdebar kencang. "Jul… jantungmu berisik sekali," gumamnya pelan, suaranya terdengar menggelitik. "Seperti ada orang yang sedang menabuh gendang di telingaku." Julian yang mendengarnya langsung menegang. Wajahnya memanas, sesuatu yang jarang terjadi pada dirinya yang selalu terlihat tenang dan dingin. Tanpa sadar, ia memalingkan wajahnya ke samping, mencoba menyembunyikan ekspresi malunya. El yang penasaran langsung mendongak, ingin melihat reaksinya. Namun, Julian dengan sigap tetap membuang muka, menolak menatapnya. Senyum kecil muncul di wajah El. Kali ini, ia yang menang. "Jadi begini ya, kalau Julian malu…" gumamnya, suaranya penuh godaan. Julian menghela napas, masih enggan menoleh. "Diam." El tertawa kecil, merasa puas karena akhirnya bisa melihat sisi lain dari Julian—sisi yang selama ini tidak pernah ditunjukkannya pada siapa pun. El menatap Julian lekat-lekat, mencoba mencari jawaban di matanya. Setelah beberapa saat hening, ia akhirnya bertanya dengan suara pelan, "Sejak kapan?" Julian terdiam. Ia menatap langit-langit loteng yang gelap, seolah mencari jawaban di sana. Butuh beberapa detik baginya untuk merangkai kata-kata yang tepat. "Mungkin… sejak pandangan pertama," jawabnya akhirnya. "Tapi saat itu, aku selalu menepisnya. Kupikir itu hanya rasa kagum karena kamu memang… cantik." El mengerjap, tidak menyangka akan jawaban itu. Julian menghela napas pelan, lalu menatap El dengan serius. "Aku baru sadar akhir-akhir ini… bahwa perasaan itu bukan sekadar kagum. Padahal, ternyata perasaan ini sudah tumbuh sejak lama." El menggigit bibirnya, mencoba mencerna kata-kata Julian. Ada sesuatu dalam suara Julian yang membuat hatinya bergetar. "Jadi… kamu menahannya selama ini?" tanyanya lagi, masih belum percaya. Julian mengangguk, lalu tersenyum tipis. "Ya. Karena aku takut. Takut kalau perasaan ini malah merusak segalanya." El terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Hanya suara napas mereka yang terdengar di antara kesunyian loteng. El masih diam, mencoba mencerna semua yang baru saja dikatakan Julian. Suasana di antara mereka terasa lebih hangat, tapi juga masih ada sedikit canggung yang tersisa. Julian menghela napas pelan, lalu berkata, "Kita harus istirahat. Besok perjalanan kita masih panjang." El mengangguk kecil. "Iya, kamu benar." Mereka berdua kemudian membenahi posisi tidur mereka. Julian membiarkan El berbaring lebih nyaman, sementara dirinya tetap sedikit berjaga. "Selamat tidur, El," bisik Julian pelan. El menoleh sedikit, menatap Julian dengan senyum tipis. "Selamat tidur, Jul." Suasana kembali sunyi, hanya terdengar suara napas mereka yang mulai teratur. Meski masih banyak hal yang belum terselesaikan, untuk saat ini, mereka memilih untuk beristirahat. Agar besok, mereka bisa kembali ke kota dengan pikiran yang lebih jernih.Sejak mimpi itu, El tak pernah benar-benar tidur dengan tenang. Bahkan saat Nate dan Lucien bercanda atau bertengkar kecil seperti biasa, pikirannya terus kembali ke tempat itu — desa tersembunyi, cahaya yang memanggil, dan keputusan besar yang belum sempat ia buat. Ia belum menceritakan apapun. Bukan karena tidak percaya, tapi karena... ia takut. Takut mereka akan khawatir. Takut mimpi itu membawa pertanda yang terlalu berat untuk dibagi. Malam pun berlalu dalam sunyi. Dan saat fajar masih tersembunyi di balik kabut pagi, mereka bertiga duduk membentuk lingkaran kecil di dekat rerimbunan hutan suci, cahaya dari jalur itu masih terlihat berdenyut lembut dari kejauhan, seperti detak jantung yang hidup di tanah. "Kita terlalu gegabah tadi," kata Nate akhirnya, memecah keheningan. "Kita harus mundur sejenak. Rencanakan semuanya." Lucien mengangguk setuju, lalu menoleh pada wanita tua yang masih berdiri di dekat batang pohon tua, seakan menyatu dengan waktu itu sendiri. "Apakah benar
Langkah El menyusul Nate dan Julian yang sudah berada di depan. Tapi saat mereka mulai menapaki jalanan setapak yang basah oleh embun, sebuah cahaya tiba-tiba menyala dari dalam tas yang dibawa Julian. “Astaga… jamnya!” seru Julian, buru-buru mengeluarkannya. Jam pemberian Lucien—yang sempat menyala dan menunjukkan peta sebelumnya—kembali memancarkan cahaya biru keemasan. Namun kali ini berbeda. Peta yang muncul bukan lagi berupa jalur panjang atau lokasi samar. Kini, dari jam itu terpancar jalur bercahaya yang hidup, melayang di udara seperti benang cahaya, mengarah lurus ke arah timur laut, menembus rimbunnya pepohonan yang membentuk batas hutan suci desa. Mereka bertiga saling pandang. El terpaku, tubuhnya terasa hangat saat mendekati jalur cahaya itu—seolah cahaya itu mengenalnya. Tiba-tiba suara lembut namun tegas terdengar dari belakang mereka. Wanita tua itu—yang sebelumnya menceritakan asal-usul El—berdiri di ujung jalan, membawa tongkat kayu yang dihiasi ukiran simbol ku
Malam itu langit begitu kelam, seolah menandakan sesuatu yang besar akan terjadi. Bintang-bintang tertutup kabut tipis, dan udara terasa berat, menggantung di antara pepohonan yang merunduk diam. Wanita misterius itu berdiri di ambang jalan kecil yang mengarah ke bagian terdalam dari desa, tempat yang bahkan Nate dan Julian tak pernah dengar sebelumnya. “El,” katanya lembut, “tempat yang akan kita datangi ini… disebut Valeyra. Dalam bahasa kuno, artinya ‘ingatan yang belum selesai.’ Di sana, kau akan bisa melihat semua yang selama ini tersembunyi darimu. Tapi ada satu syarat—satu ujian yang harus kau lalui.” El melirik ke belakang, kepada Nate dan Julian. Tapi wanita itu menggeleng. “Hanya kau yang bisa masuk. Hanya kau yang memiliki kunci.” Jalanan itu gelap, hanya diterangi lentera gantung yang menyala redup, menggantung seperti bintang di pohon-pohon tua. “Ujiannya… seperti apa?” tanya El pelan. “Bukan ujian kekuatan atau logika,” jawab wanita itu. “Ini adalah ujian ha
El masih menatap wanita itu dengan kebingungan yang membuncah. Jemarinya menggenggam gelas air yang tadi disuguhkan, dingin dan bening seperti kristal. Ia tak berpikir macam-macam saat meneguknya perlahan, hanya ingin menghilangkan haus dan menenangkan degup jantung yang tak juga mereda sejak mereka tiba di desa ini. Namun, begitu tetes terakhir air itu menyentuh tenggorokannya, tubuh El menegang. Sejenak, dunia di sekitarnya menjadi hening. Suara obrolan samar dari Nate dan Julian menghilang, berganti dengan desiran angin dan denting suara lonceng kecil, seolah berasal dari tempat yang jauh. Napas El tercekat. Pandangannya kabur, tapi tidak gelap. Justru sebaliknya—terang. Terlalu terang. Seketika, serangkaian gambar melintas dalam pikirannya. Terlalu cepat, terlalu kabur—tapi sangat nyata. Ia melihat seorang anak kecil berlari-lari di tengah taman yang dipenuhi bunga bercahaya. Cahaya itu bukan seperti cahaya matahari biasa, tapi memancar dari kelopak-kelopaknya sendiri. Anak i
Di tengah kebingungan mereka yang berdiri terpaku di depan rumah berlapis emas itu, tiba-tiba Lucien, yang sejak tadi lebih banyak diam dan mengamati, mengerutkan kening. Sebuah dorongan aneh muncul di benaknya, mendorongnya untuk membuka peta yang terhubung dengan jam pintarnya—perangkat yang selama ini mereka andalkan dalam perjalanan.Dengan gerakan cepat namun hati-hati, ia menekan permukaan jam, dan seketika peta holografik muncul melayang di atas pergelangannya. Cahaya lembutnya menyinari wajah Lucien yang mulai menunjukkan ekspresi serius. Ia memperbesar tampilan, fokus pada titik lokasi tempat mereka berdiri saat ini.Lalu ia membeku.“Guys...” suara Lucien pelan, nyaris berbisik. “Lihat ini.”Julian dan El segera menoleh. Nate yang berdiri sedikit di belakang juga ikut melangkah mendekat.Di layar peta, ada satu titik menyala terang, lebih kuat dibandingkan tempat lain yang mereka lewati selama perjalanan. Warna merah keemasan yang menyala lembut, mencolok di antara wilayah-w
Dengan penuh pertimbangan dan ketegangan yang menyesakkan dada, mereka akhirnya melangkah masuk melewati gerbang pohon raksasa itu. Seolah ada lapisan tak kasat mata yang mereka tembus—sekejap kabut menyelimuti pandangan, membuat langkah mereka limbung.Namun, hanya dalam beberapa detik, kabut itu sirna. Mata mereka terbuka lebar saat melihat pemandangan yang tak pernah mereka duga.Di hadapan mereka terbentang sebuah pemukiman luas—sebuah desa yang tampak begitu hidup. Rumah-rumah kayu dengan arsitektur klasik berdiri rapi, dihiasi lentera gantung yang menyala redup meski hari masih terang. Jalanan dipenuhi oleh orang-orang—pria, wanita, anak-anak—berpakaian khas yang tak mereka kenali, seolah berasal dari zaman atau dunia yang berbeda. Mereka lalu-lalang dengan wajah damai dan aktivitas biasa: membawa keranjang, berbincang di depan toko, atau menimba air dari sumur desa.“Apa ini...” bisik El, matanya berkaca-kaca karena bingung sekaligus takjub.Julian melangkah maju perlahan, eksp