Home / Thriller / Peta Yang Tak Pernah Ada / Di Antara Rahasia dan Rasa

Share

Di Antara Rahasia dan Rasa

Author: Flo_ris
last update Last Updated: 2025-02-20 20:31:21

Julian mencoba memeriksa sekelilingnya, berharap menemukan sesuatu yang bisa dijadikan alas tidur. Ia membuka beberapa laci meja tua, menggeser beberapa barang di sudut ruangan, namun hasilnya nihil.

"Tidak ada apa-apa..." gumamnya pelan, menghela napas kecewa.

El yang sedari tadi memperhatikannya merasa tidak tega. Julian sudah banyak membantunya dalam perjalanan ini, dan sekarang dia harus tidur di lantai dingin tanpa alas.

Hening sejenak.

Akhirnya, dengan sedikit ragu, El berkata, "Jul... kalau kamu mau, kita bisa tidur di kasur ini bersama."

Julian terkejut, menatap El dengan mata membesar. "Apa? Enggak, El. Aku enggak apa-apa tidur di bawah."

El menggeleng pelan. "Kasur ini memang kecil, tapi lebih baik daripada kamu tidur di lantai tanpa alas. Lagipula, kita sama-sama kedinginan."

Julian masih ragu, tapi melihat ekspresi serius di wajah El, ia tahu El benar-benar tulus.

Akhirnya, setelah menimbang-nimbang, ia mengangguk pelan. "Baiklah... tapi aku tidur di sisi luar."

El tersenyum kecil, lalu bergeser memberi ruang.

Mereka pun berbaring di kasur sempit itu, dengan posisi membelakangi satu sama lain.

Malam terasa semakin sunyi, hanya terdengar suara napas mereka dan sesekali derit kayu dari bawah.

Di luar, orang-orang itu masih berjaga. Tapi di dalam loteng, El dan Julian berusaha beristirahat, meskipun hati mereka masih dipenuhi kecemasan.

Jantung Julian berdegup kencang saat punggungnya bersentuhan dengan punggung El. Rasanya sulit bernapas, bukan karena ketakutan terhadap orang-orang di bawah, tapi karena sesuatu yang lain. Sesuatu yang selama ini ia pendam.

Julian berdehem pelan, mencoba mencairkan suasana. "El... kamu udah tidur?" tanyanya dengan suara rendah.

El yang sejak tadi juga belum bisa tidur, menjawab lirih, "Belum... Aku enggak bisa tidur."

Jantung El pun berdetak cepat, perasaan aneh menyelimuti dirinya. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan saat ini.

Hening sejenak.

Akhirnya, tanpa sadar, mereka berdua membalikkan badan secara bersamaan. Kini, mata mereka saling bertemu dalam cahaya remang lentera.

Suasana semakin canggung.

Julian menelan ludah, mencoba mengalihkan pikirannya. Ia berusaha bercerita tentang hal-hal random—tentang perjalanan mereka, tentang misteri peti, bahkan tentang masa-masa sekolah dulu. Tapi semua itu sia-sia. Perasaan yang lebih dominan terus mendesak di dalam dadanya.

Akhirnya, setelah sekian lama menahan, Julian mengumpulkan keberanian. Ia menatap El dalam-dalam, lalu dengan suara sedikit bergetar, ia berkata, "El... ada sesuatu yang harus aku bilang ke kamu."

El tidak menunjukkan ekspresi terkejut. Ia hanya diam, menunggu Julian melanjutkan.

Julian semakin gugup. Biasanya, El akan bereaksi cepat terhadap hal-hal tak terduga. Tapi kali ini, dia hanya menatapnya dengan tenang, seolah sudah mengetahui apa yang akan dikatakan Julian.

Itu membuat Julian semakin bingung. Apakah El sudah menyadarinya sejak lama? Ataukah ini hanya perasaannya saja?

Dan pertanyaannya sekarang—haruskah ia benar-benar mengatakannya?

Julian menarik napas dalam-dalam.

Ia tahu ini bukan waktu yang tepat. Tempat ini juga jauh dari kata ideal. Tapi jika ia terus menunda, perasaan ini akan semakin membebaninya.

Ia melirik El yang masih dalam dekapannya, tubuhnya terasa sedikit gemetar, mungkin karena ketakutan, atau mungkin karena sesuatu yang lain.

Sudah cukup.

Julian mengeratkan dekapannya, membuat El sedikit tersentak. Lalu, dengan suara rendah dan tenang, ia berbisik di telinga El,

"Aku mencintaimu."

El membeku di tempat. Jantungnya seakan berhenti berdetak.

Julian melanjutkan, suaranya tetap stabil, seolah perasaannya tidak sedang mengacaukan pikirannya.

"Sudah sejak lama... Aku selalu menyukaimu, El. Tapi aku tidak ingin perasaan ini merusak persahabatan kita. Karena bagaimanapun, persahabatan kita lebih penting dari apa pun."

El masih diam, otaknya mencoba memahami kata-kata Julian yang begitu mendadak.

Julian tersenyum tipis, meskipun hatinya berdebar kencang. Ia tidak menunggu jawaban, tidak ingin memaksa.

"Aku tidak mengharapkan jawaban darimu sekarang," lanjutnya tenang. "Lebih baik kau tetap fokus dengan misimu dulu."

Perlahan, ia melepaskan dekapannya, memberi jarak, lalu menatap El yang masih terdiam dengan tatapan sulit diartikan.

Julian kemudian berdiri, kembali ke mode "cool" seperti biasa. "Ayo tidur, kita harus bersiap untuk besok," katanya santai, seolah tidak baru saja mengungkapkan sesuatu yang besar.

Namun, di balik ekspresi tenangnya, hanya Julian yang tahu seberapa keras dadanya masih berdetak saat ini.

El tersentak. Tanpa sadar, tangannya bergerak menarik pergelangan tangan Julian, menahannya agar tidak pergi terlalu jauh.

Julian menoleh, sedikit terkejut. "Kenapa?" tanyanya pelan.

El menunduk sesaat, lalu menguatkan dirinya untuk berbicara.

"Aku... lebih nyaman seperti ini," ucapnya lirih. "Berada dalam dekapanmu... Aku merasa lebih tenang. Lebih terlindungi."

Julian terdiam, lalu tersenyum tipis. Ia kembali berbaring di samping El tanpa banyak bicara, memberikan kenyamanan yang diminta El tanpa perlu bertanya lebih lanjut.

Mereka mencoba mencairkan suasana canggung yang sempat muncul di antara mereka. Julian mulai bercerita tentang hal-hal acak, tentang kejadian lucu di sekolah, tentang makanan favoritnya yang selalu kehabisan di kantin, bahkan tentang kejadian memalukan saat ia kecil.

El terkekeh pelan mendengarnya. Ia merasa jauh lebih ringan sekarang.

Namun, di sela obrolan mereka, El tiba-tiba bergumam, lebih kepada dirinya sendiri, "Jantungku juga... lagi nggak baik-baik saja sekarang."

Julian meliriknya sekilas, diam-diam menahan senyum.

"Tapi... Aku belum bisa memberi jawaban apa pun untuk saat ini," lanjut El dengan nada lebih pelan.

Julian menatapnya sebentar, lalu mengangguk dengan tenang.

"Aku mengerti," jawabnya singkat.

Ia benar-benar tidak mempermasalahkannya. Yang penting, sekarang mereka ada di sini—bersama.

El diam dalam posisi itu, telinganya masih menempel di dada Julian. Ia bisa dengan jelas mendengar degup jantung Julian yang berdebar kencang.

"Jul… jantungmu berisik sekali," gumamnya pelan, suaranya terdengar menggelitik. "Seperti ada orang yang sedang menabuh gendang di telingaku."

Julian yang mendengarnya langsung menegang. Wajahnya memanas, sesuatu yang jarang terjadi pada dirinya yang selalu terlihat tenang dan dingin. Tanpa sadar, ia memalingkan wajahnya ke samping, mencoba menyembunyikan ekspresi malunya.

El yang penasaran langsung mendongak, ingin melihat reaksinya. Namun, Julian dengan sigap tetap membuang muka, menolak menatapnya.

Senyum kecil muncul di wajah El. Kali ini, ia yang menang.

"Jadi begini ya, kalau Julian malu…" gumamnya, suaranya penuh godaan.

Julian menghela napas, masih enggan menoleh. "Diam."

El tertawa kecil, merasa puas karena akhirnya bisa melihat sisi lain dari Julian—sisi yang selama ini tidak pernah ditunjukkannya pada siapa pun.

El menatap Julian lekat-lekat, mencoba mencari jawaban di matanya. Setelah beberapa saat hening, ia akhirnya bertanya dengan suara pelan,

"Sejak kapan?"

Julian terdiam. Ia menatap langit-langit loteng yang gelap, seolah mencari jawaban di sana. Butuh beberapa detik baginya untuk merangkai kata-kata yang tepat.

"Mungkin… sejak pandangan pertama," jawabnya akhirnya. "Tapi saat itu, aku selalu menepisnya. Kupikir itu hanya rasa kagum karena kamu memang… cantik."

El mengerjap, tidak menyangka akan jawaban itu.

Julian menghela napas pelan, lalu menatap El dengan serius. "Aku baru sadar akhir-akhir ini… bahwa perasaan itu bukan sekadar kagum. Padahal, ternyata perasaan ini sudah tumbuh sejak lama."

El menggigit bibirnya, mencoba mencerna kata-kata Julian. Ada sesuatu dalam suara Julian yang membuat hatinya bergetar.

"Jadi… kamu menahannya selama ini?" tanyanya lagi, masih belum percaya.

Julian mengangguk, lalu tersenyum tipis. "Ya. Karena aku takut. Takut kalau perasaan ini malah merusak segalanya."

El terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Hanya suara napas mereka yang terdengar di antara kesunyian loteng.

El masih diam, mencoba mencerna semua yang baru saja dikatakan Julian. Suasana di antara mereka terasa lebih hangat, tapi juga masih ada sedikit canggung yang tersisa.

Julian menghela napas pelan, lalu berkata, "Kita harus istirahat. Besok perjalanan kita masih panjang."

El mengangguk kecil. "Iya, kamu benar."

Mereka berdua kemudian membenahi posisi tidur mereka. Julian membiarkan El berbaring lebih nyaman, sementara dirinya tetap sedikit berjaga.

"Selamat tidur, El," bisik Julian pelan.

El menoleh sedikit, menatap Julian dengan senyum tipis. "Selamat tidur, Jul."

Suasana kembali sunyi, hanya terdengar suara napas mereka yang mulai teratur. Meski masih banyak hal yang belum terselesaikan, untuk saat ini, mereka memilih untuk beristirahat. Agar besok, mereka bisa kembali ke kota dengan pikiran yang lebih jernih.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Ruang Bawah Tanah (2)

    Ruangan bawah tanah itu terasa sunyi setelah percakapan terakhir mereka. El menatap kakek Nate dengan penuh harap, menunggu jawaban yang bisa menjelaskan semua kebingungannya. Namun, yang ia dapatkan hanyalah tatapan penuh pertimbangan dari pria tua itu. Kakek Nate menghela napas panjang, menggenggam tongkatnya lebih erat sebelum akhirnya berbicara. "El... aku tahu kau ingin jawaban. Tapi saat ini, kita tidak punya waktu untuk membicarakan masa lalu." El mengerutkan kening. "Maksud kakek?" "Saat ini, ada hal yang jauh lebih penting dibanding menjelaskan semuanya padamu. Percayalah, waktunya akan tiba. Kau akan mengetahui semuanya ketika saatnya benar-benar tepat," kata kakek Nate dengan nada serius. El mengepalkan tangannya di atas meja. "Tapi aku berhak tahu! Ini tentang keluargaku, tentang siapa aku sebenarnya! Bagaimana bisa aku terus melangkah tanpa mengetahui kebenarannya?" Nate yang berdiri di samping kakeknya ikut angkat bicara. "El, aku tahu ini sulit. Tapi kakek benar. K

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Ruang Bawah Tanah

    Ketika lift bawah tanah itu semakin mendekati tujuannya, cahaya mulai tampak. Awalnya hanya seberkas samar, namun semakin lama semakin terang, hingga akhirnya mereka sampai di sebuah ruangan yang begitu luas. El, Julian, dan bahkan Nate—yang biasanya tak terkejut oleh apapun—terpaku melihat pemandangan di hadapan mereka. Ruangan ini tidak seperti yang mereka bayangkan. Lampu-lampu besar menerangi setiap sudutnya, membuat tempat ini tampak seperti fasilitas penelitian canggih yang tersembunyi jauh di bawah tanah. El melangkah keluar dari mobil terlebih dahulu, matanya menjelajahi sekeliling dengan penuh kekaguman. “Ini lebih besar dari rumahku,” gumamnya tak percaya. Julian mengikuti di belakangnya, wajahnya dipenuhi rasa penasaran. “Apa tempat ini?” tanyanya pada Nate. Namun, sebelum Nate sempat menjawab, terdengar suara langkah kaki mendekat. Dari sudut ruangan, seorang gadis muncul. Ia mengenakan setelan jas berwarna hitam dengan emblem kecil di dada kirinya. Rambutnya ditata ra

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Rahasia di Ruang Bawah Tanah

    Setelah memastikan bahwa anak buah Liam benar-benar pergi, Nate memberi isyarat cepat kepada El dan Julian. Tanpa membuang waktu, mereka segera naik ke dalam mobil. Nate dengan cekatan menyalakan mesin, lalu menancapkan gas, membuat mobil melaju kencang meninggalkan lokasi. “El, pastikan tidak ada yang mengikuti kita,” perintah Nate dengan nada tegas namun tetap tenang. El menoleh ke belakang, matanya tajam mengawasi setiap kendaraan yang melintas di kejauhan. “Sejauh ini aman. Tapi kita harus tetap waspada,” ucapnya. Julian yang duduk di kursi penumpang depan menggenggam peta erat di tangannya. Perjalanan ini terasa semakin menegangkan, dan mereka tahu bahwa setiap detik sangat berharga. Sementara itu, Nate dengan satu tangan di kemudi, tangan lainnya merogoh ponselnya. Dia segera menghubungi seseorang. “Paman, kami sedang dalam perjalanan. Pastikan ruang bawah tanah sudah siap. Kami tidak bisa mengambil risiko,” ucap Nate dengan suara serius. Dari seberang telepon, terdengar s

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Perjalanan Panjang

    Di sebuah sudut kota yang diterangi lampu jalan redup, Liam Cornelius berdiri dengan tatapan tajam. Rokok di tangannya mengepulkan asap tipis ke udara malam. Wajahnya dingin, penuh perhitungan. Dia tak suka kegagalan, apalagi jika itu terjadi di bawah komandonya."Sebar ke seluruh penjuru kota. Jangan ada satu sudut pun yang terlewat," perintahnya dengan suara berat dan tegas.Beberapa anak buahnya yang masih meringis kesakitan akibat pertempuran di rumah tua sebelumnya hanya bisa mengangguk. Meski tubuh mereka penuh memar, mereka tahu lebih baik patuh daripada menghadapi murka Liam."Kita harus menemukan mereka sebelum mereka bertindak lebih jauh," lanjut Liam. "Orang-orang itu bukan sekadar pelarian biasa. Mereka membawa sesuatu yang penting."Sementara itu, di sisi lain kota…El, Julian, dan Nate berada di rumah El, berusaha memulihkan tenaga mereka setelah malam yang panjang dan menegangkan. El duduk di sofa, tangannya memegang secangkir teh hangat, namun pikirannya melayang jauh.

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Mantan Tentara Bayaran

    Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, akhirnya mereka tiba di perbatasan antara jalan desa misterius itu dan perkotaan. Selama perjalanan keluar, mereka tidak melihat satu pun tanda kehidupan—tidak ada warga desa yang berjalan kaki, tidak ada kendaraan yang melintas. Hanya hutan sunyi yang menemani mereka sepanjang jalan.Namun, begitu roda mobil melewati batas desa dan memasuki wilayah kota, semuanya berubah. Jalanan mulai tampak normal, dengan kendaraan yang berlalu-lalang dan orang-orang yang sibuk dengan aktivitas mereka. Seolah desa yang mereka tinggalkan barusan tidak pernah ada dalam peta dunia nyata.El menarik napas lega, menyandarkan kepalanya ke jendela. “Akhirnya kita keluar juga...” gumamnya.Julian yang duduk di belakang melirik ke arah Nate yang tetap fokus mengemudi. “Sepertinya kita beruntung.”“El lebih dari beruntung,” Nate menimpali, suaranya datar. “Kalian bisa saja tidak keluar hidup-hidup.”Ucapan itu membuat El dan Julian terdiam sejenak. Perasaan lega ka

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Pertolongan Pria Asing

    Di tengah ketegangan yang mencekik, El dan Julian membeku. Tangan mereka masih saling menggenggam erat, mencoba menemukan kekuatan dalam satu sama lain.Tiba-tiba, suara benturan keras terdengar dari luar. Suara pukulan, desahan kesakitan, dan tubuh yang terhempas ke lantai menggema di seluruh ruangan.El menelan ludah. “Mereka bertengkar?” bisiknya nyaris tak terdengar.Julian menggeleng pelan, matanya tajam menatap pintu kayu di hadapan mereka. “Aku rasa ini bukan sekadar perkelahian biasa…”Suara gaduh semakin brutal, terdengar jeritan dan suara sesuatu yang jatuh keras ke lantai. Kemudian—hening.El menahan napas, ketakutannya semakin menjadi-jadi. Tidak ada satu pun suara dari luar. Hanya ada keheningan yang mencekam.Kemudian, suara langkah kaki terdengar. Tidak terburu-buru, tapi tegap dan penuh keyakinan.Julian langsung berdiri di depan El, siap melindunginya jika yang datang adalah musuh lain.Pegangan pada gagang pintu berderit pelan. Lalu, pintu terbuka.Di ambang pintu, b

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Pelarian Tanpa Jejak

    ..Julian menarik napas dalam-dalam sebelum perlahan mendorong pintu loteng. Setiap gerakan dilakukan dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan suara yang mencurigakan. Engsel yang sudah berkarat membuatnya harus bekerja ekstra pelan agar tidak berderit dan menarik perhatian siapa pun yang masih berjaga di bawah.Begitu celah pintu cukup terbuka, Julian mencondongkan tubuhnya sedikit untuk mengintip ke bawah. Matanya awas, menyapu setiap sudut ruangan. Keheningan masih menyelimuti tempat itu, tetapi ia tidak bisa gegabah.Ia berbalik, menatap El yang masih berjongkok di loteng dengan ekspresi cemas. Julian memberi isyarat dengan satu jari di depan bibirnya, lalu perlahan menuruni loteng.Setelah kedua kakinya menginjak lantai, Julian tetap diam di tempat, menajamkan pendengarannya.Hanya ada suara angin yang berdesir di luar dan sesekali bunyi nyamuk yang beterbangan. Tidak ada tanda-tanda pergerakan dari para penjaga di bawah.Julian kembali mendongak ke atas dan memberi isyara

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Rencana Pelarian

    Suasana mendadak menjadi hening.El masih memeluk Julian erat, tetapi perlahan, ia melepaskan diri. Tubuhnya gemetar, meskipun udara di ruangan itu tidak begitu dingin. Tatapannya penuh kecemasan saat ia menoleh ke arah Julian.Julian dengan sigap mematikan lentera di tangannya. Seketika, ruangan itu tenggelam dalam kegelapan pekat. Tidak ada cahaya sedikit pun yang bisa menuntun pandangan mereka.Di bawah, terdengar suara langkah kaki yang perlahan semakin mendekat. El bisa merasakan napasnya sendiri yang tersengal karena gugup."Mereka masuk ke kamar di bawah kita," bisik Julian sangat pelan, hampir tidak terdengar.El menelan ludah, tangannya meremas kuat lengan Julian. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi ketakutannya menahan suaranya.Julian menajamkan pendengarannya. Suara langkah kaki itu berputar di dalam kamar, seperti seseorang yang sedang mencari sesuatu. Terdengar suara benda digeser, mungkin meja atau kursi yang ada di dalam ruangan tersebut."Sepertinya mereka sedang memeri

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Ketukan di Ruang Rahasia

    Ruangan itu sunyi, hanya ada suara napas lembut El yang tertidur pulas di samping Julian. Cahaya redup dari lentera kecil di sudut ruangan memberikan sedikit penerangan di tengah kegelapan.Namun, tiba-tiba El merasakan sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Matanya perlahan terbuka, dan ia langsung menyadari sesuatu—ia harus buang air kecil.El menggigit bibirnya, ragu untuk membangunkan Julian. Tapi jika ia pergi sendiri, itu terlalu menyeramkan. Ruangan ini begitu sunyi dan asing, apalagi mereka masih berada di tempat yang penuh misteri.Dengan hati-hati, El mengulurkan tangannya dan mengguncang lengan Julian pelan."Jul... Julian..." bisiknya lirih.Julian mengerjap pelan, kelopak matanya bergerak sebelum akhirnya terbuka sepenuhnya. Matanya yang masih sedikit mengantuk menatap El dengan teduh, seolah bertanya tanpa kata-kata."Ada apa?" suaranya terdengar serak karena baru bangun tidur.El menelan ludah, merasa malu untuk mengatakannya. Tapi ia tidak punya pilihan lain."Aku... ma

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status