Selamat pagi ... Bab pertama hari ini ... Bab Utama : 1/2 Bab Bonus Gems : 0/8
Apakah Kevin masih mampu mengenalinya? Masih mau mempercayainya? Atau… yang tersisa di benak Kevin kini hanyalah kebencian pada sosok yang memakai wajahnya—Helena palsu—yang telah menghancurkan dantian dan meredianya, merenggut martabatnya, dan … membantai seluruh isi Paviliun Drakenis?Ia menggigit bibirnya, keras. Rasa asin darah menguar di lidahnya, menciptakan jejak nyata dari keputusan yang mulai mengeras dalam hatinya. Matanya tetap menatap Kevin, seolah menanamkan tekadnya ke dalam siluet pria itu.“Aku akan membuktikan siapa aku,” bisiknya lagi, kali ini lebih tegas, seperti sumpah yang diukir di udara. “Bahwa aku adalah Helena yang mencintaimu. Bukan bayangan yang mencoreng semua kenangan itu.”Namun …Belum sekarang.Belum saat luka-luka lama sembuh sepenuhnya. Belum saat seluruh bayangan pengkhianatan sirna dari pandangan mata orang-orang. Ia tahu langkah tergesa hanya akan memperkeruh kebenaran.Untuk saat ini, cukup baginya untuk melihatnya dari jauh.Cukup baginya untuk
Hembusan angin menggerakkan helai-helai rambutnya, menyibak luka batin yang selama ini tertutup oleh waktu dan keheningan. Suara gemericik air dari sungai kecil di bawah bukit tempatnya berdiri menyatu dengan degup jantung yang tak menentu—simfoni dari luka lama yang kembali menganga.Ia menghela napas panjang, namun berat. Dunia Naga, Seiryu, memang telah menempa tubuhnya dengan keras. Latihan brutal, medan yang kejam, dan keheningan ribuan hari telah membentuk kekuatan dalam dirinya—baik dalam tenaga maupun keteguhan. Tapi ada hal yang tidak bisa dibentuk oleh waktu ... luka karena dikhianati oleh darah dagingnya sendiri.Albert Caraxis.Ayah sekaligus dalang dari permainan rumit yang membuatnya menghilang dari dunia. Lelaki yang membangun Paviliun Caraxis hanya untuk kemudian membungkusnya dengan rahasia dan manipulasi.Dan kini, kabar itu datang seperti petir di tengah musim kering—Kevin Drakenis, sang pewaris Paviliun Drakenis, telah kembali. Pemuda yang menghilang dalam kabut ke
Angin siang mengalir pelan namun tajam, menyelinap di antara sela dedaunan dan mengibaskan helaian rambut panjang Helena. Rambut keperakannya terangkat ringan, menari di udara sebelum kembali jatuh menutupi sebagian wajahnya yang selama ini tersembunyi dalam bayang pepohonan. Untuk sesaat, sinar matahari menembus celah rindang dan menyinari matanya—sepasang mata yang dulu membekukan hati para lawan, kini memantulkan kilau berbeda.Ada sesuatu yang berkecamuk di dalamnya. Sorot tajam yang dulu dingin dan tanpa ragu, kini menyimpan percikan yang tak pernah ia sangka akan kembali muncul. Perasaan. Rasa yang telah ia kubur dalam pengasingan panjang—seperti abu dalam salju, perlahan menghilang... atau setidaknya itulah yang ia yakini.Tiga jarum perak melesat nyaris tak terdengar. Secepat kilat, mereka menembus lapisan bawah jubah sutra merah marun yang membungkus tubuh Helena. Ujungnya menggurat nyaris menyentuh kulit, meninggalkan bekas robekan kecil dan rasa panas yang menyelinap sepert
WUUUSSSHH ...!!!Kilatan perak melesat dari tangan Kevin, cepat seperti kilat, menusuk ke arah semak-semak lebat di sisi gerbang utama. Tiga jarum perak itu menancap di batang pohon, menggetarkan ranting dan memecah keheningan sore.Claudia bereaksi secepat bayangan. Dalam sekejap, ia melesat ke arah sumber gangguan, tubuhnya membelah udara, diikuti dua pengawal yang menyusul dari belakang tanpa banyak bicara. Suara dedaunan terinjak dan ranting patah terdengar samar dari kejauhan.Kevin berdiri diam di tempat, matanya tajam mengawasi tiap gerakan.“Chief!” seru Claudia, napasnya masih memburu saat ia melangkah cepat mendekati Kevin. Di tangannya, sehelai kain sutra merah yang sobek melambai tertiup angin siang. “Pengintai itu sudah pergi. Tapi kami menemukan ini—potongan kain, sepertinya milik seorang wanita.” “Tidak ada siapa pun,” lapor Claudia. “Tapi seseorang jelas ada di sana… dan memata-matai dari kejauhan.”Kevin mengambil kain itu dari tangan Claudia, mengamatinya dalam diam
“Claudia masih di belakang?” tanya Kevin tanpa menoleh.“Ya, Tuan. Baron Vasper bersama Amanda Vasper dalam kendaraan kedua. Nona Claudia memimpin pengawalan di belakang mereka. Formasi tetap terkunci.”Kevin mengangguk, lebih pada dirinya sendiri. “Bagus.”Beberapa saat setelah meninggalkan jalan utama, mobil mereka mulai menuruni jalur sempit yang meliuk-liuk menembus rerimbunan hutan kecil menuju lembah. Sinar matahari pagi menerobos celah dedaunan, membentuk bayangan belang-belang di permukaan mobil. Udara mulai berubah—lebih sejuk, lebih tenang, dan membawa serta aroma tanah basah yang khas. Di kejauhan, seperti muncul dari kabut tipis pagi, berdirilah Paviliun Vasper.Bangunan itu jauh dari kesan mewah. Tak ada pilar marmer, tak ada gerbang batu besar, apalagi patung penjaga berkepala naga seperti yang biasa terlihat di markas Paviliun besar lainnya. Yang ada hanyalah kompleks sederhana dari kayu tua yang dirawat dengan penuh perhatian. Pagar tanaman hijau mengelilinginya, membe
Udara di halaman utama Paviliun Dracarys masih menyimpan bekas pertarungan besar itu—bau asap, aroma darah kering, dan dinginnya es yang perlahan mencair di sela-sela retakan lantai batu. Di tengah semua itu, Clara Vasper berdiri tegak, pakaian putihnya melambai pelan ditiup angin pagi. Sorot matanya lembut tapi tegas saat menatap ke arah kamar mewah, tempat Ravena terbaring.“Aku akan tetap di sini,” ucapnya akhirnya, suaranya jernih meski kelelahan tampak jelas di wajahnya. “Ravena butuh perawatan yang lebih dari sekadar ramuan. Dia butuh seseorang yang mengingatkannya bahwa dia tidak sendirian.”Baron Vasper, ayahnya, menoleh, alisnya mengernyit sedikit, tapi ia tak berkata apa-apa untuk beberapa saat. Sang istri, Amanda Vasper, hanya menunduk, menyetujui dalam diam.Claudia, yang berdiri di dekat gerbang utama, memberi isyarat pada para pengawal. Dengan sigap, beberapa pria bersenjata membuka jalan dan memastikan keamanan di sekitar area kendaraan.Tak lama kemudian, suara deru pe
Claudia mengangguk pelan. “Ya, Chief.”"Apa dua lainnya?" tanyanya, kini dengan nada yang lebih penasaran. Ada nada siaga dalam intonasinya, seolah ia bersiap menerima kabar tak menyenangkan.Claudia membuka file catatan dari tabletnya. Masing-masing file menguraikan deskripsi detail masing-masing artefak.“Yang pertama adalah Pedang Iblis Suci,” ujarnya. “Sebuah pedang panjang yang dilapisi ukiran sihir kegelapan dan cahaya. Konon, pedang ini hanya bisa digunakan oleh mereka yang pernah bersentuhan dengan dua sisi kekuatan: iblis dan ilahi. Dan …”Ia menatap Kevin dengan sedikit ragu.“... pedang ini adalah lambang kebanggaan dari Paviliun Xarxis di Saint City.”Mata Kevin langsung menyipit mendengar nama itu. Nafasnya tertahan sesaat. Ada riak di dalam dirinya, seperti ombak yang tiba-tiba menghantam dinding tenang.“Paviliun Xarxis?” ulang Kevin. “Itu ... salah satu dari paviliun besar, kan?”Claudia tampak berhenti sejenak, menimbang-nimbang jawabannya. “Benar. Salah satu yang ter
Ravena terbaring tenang di atas ranjang sihir yang dilapisi jaring mantra pelindung. Napasnya mulai kembali stabil, namun kulitnya masih terlihat pucat kebiruan, dan suhu tubuhnya tetap tak wajar—lebih dingin dari salju musim dingin.Kevin duduk di sisi ranjang, matanya tak lepas dari wajah gadis itu. Satu tangannya menggenggam tangan Ravena yang kurus dan dingin, sementara tangan lainnya memegang pecahan batu Vermillion Vein yang hancur dalam proses penyegelan tadi.Pecahan itu berkilau samar, sisa-sisa energi spiritualnya nyaris lenyap, seperti bara api yang hampir padam.Ia menghela napas berat. “Batu itu ... sudah tak bisa digunakan lagi,” gumamnya. “Jika Roh Iblis Es bangkit sekali lagi dan aku tidak siap …”Keringat dingin mengalir di pelipis Kevin meski suhu ruangan sangat dingin. Pikiran itu terus berputar dalam kepalanya—bagaimana jika Ravena kembali kehilangan kendali? Bagaimana jika ia tak sempat menyelamatkannya lagi?Langkah cepat dan ringan menggema dari luar ruang medi
Dari bawah reruntuhan yang hangus terbakar, Claudia berdiri membeku, jari-jarinya mencengkeram dinding yang nyaris runtuh. Debu dan abu beterbangan di udara, membentuk kabut kelabu yang menggantung pekat. Napasnya tercekat di tenggorokan, seolah paru-parunya lupa cara bekerja. Matanya membelalak, menatap sosok yang menggantung di udara dengan campuran tak percaya dan kekaguman yang mencekam.“Chief … kau …” suaranya gemetar, hampir seperti doa, “… kau berhasil …”Di sisinya, Valkyrie menyipitkan mata, mengamati dengan sorot penuh perhitungan. Rambut peraknya melambai ringan ditiup angin panas pertempuran. Ia menyunggingkan senyum tipis, begitu tenang dan mengintimidasi dalam keheningan yang rapuh. “Menarik … sangat menarik …” gumamnya, seolah tengah menimbang sesuatu yang jauh lebih dalam dari yang tampak.Di atas mereka, Kevin melayang perlahan turun. Tubuhnya menggigil—antara kelelahan dan ketegangan luar biasa yang baru saja ia lepaskan. Peluh bercampur darah mengalir dari pelipisn