Bab Utama : 2/2 Selesai. Bab Extra Author : 2/2 Selesai. Author berikan dua bab extra sebagai tanda permintaan maaf karena rilis bab yang sangat telat hari ini ... terima kasih.
Tubuhnya nyaris runtuh, namun tatapan Helzavar belum padam.Ia tersenyum miring, meski darah masih menetes dari sudut bibirnya. “Kau pikir … itu cukup?” bisiknya pelan, lalu membentak, “Aku belum kalah! Aku adalah pilar terakhir Paviliun Xarxis!”Aura hitam mulai bangkit lagi dari dalam tubuhnya—pelan tapi pasti disertai energi kegelapan yang mulai menguasainya.“AAARRRGGGH ...!!!”Langit bergetar saat Helzavar meraung.Suara teriakannya bukan sekadar pekikan putus asa—itu adalah raungan seorang raksasa yang menolak tenggelam sendirian. Gema suaranya melintas cakrawala, membuat awan menggulung gelisah dan angin membungkus medan tempur dengan desiran kematian.Dengan kedua tangan yang sudah berlumuran luka dan darah, Helzavar merentangkan tangan ke langit, lalu menyilangkan jari-jari patahnya dalam gerakan ritual kuno. Di sekelilingnya, pusaran aura hitam meledak, menyedot energi dari tanah, udara, dan bahkan bayangan yang semula diam. Langit berdenyut merah, seolah mengenali bahwa ses
“Selamat datang di Kubah Seribu Jiwa,” bisik Elyra dengan nada selembut bisikan maut, wajahnya tampak tenang namun matanya berkilat dengan kegilaan. “Tempat semua kesalahanmu ... ditagih dengan derita tanpa akhir.”Tapi Kevin hanya memejamkan matanya.Sekejap kemudian, Pedang Dewa Ilahi di tangannya bergetar. Getarannya halus, namun cukup kuat untuk membuat udara berdesir seperti bisikan masa lampau. Di sekeliling pedangnya, cahaya-cahaya suci mulai muncul. Kabut kelabu terbelah, memperlihatkan bayangan-bayangan samar—sosok-sosok agung dari masa lalu, dewa-dewa tanpa bentuk namun memancarkan cahaya ilahi yang menusuk pandangan.Dengan suara tenang, Kevin membuka mulutnya.“Phantom Gods Blast.”Dalam sekejap, para bayangan Kevin itu bergerak. Mereka meluncur dari ujung pedangnya—bukan sebagai serangan fisik, melainkan sebagai penghakiman spiritual. Mereka tidak mengayunkan senjata atau menebas tubuh Elyra. Mereka menghantam jiwanya, menyapu bersih lapisan-lapisan kesadaran, mengoyak ko
Udara terasa makin tebal. Awan di langit berkumpul membuat suasana semakin panas. Namun di tengah tekanan itu, Kevin hanya berdiri diam. Tubuhnya santai, tangannya di sisi tubuh, dan seulas senyum malas mengembang di sudut bibirnya.Kevin menyalakan rokoknya seakan ttidak ada bahaya dan kejadian apapun yang akan menimpanya.Ia mengangkat bahu, seolah yang dibicarakan hanyalah perkelahian remeh di warung pinggir jalan."Banyak yang bilang begitu padaku," ucapnya tenang sambil menghembuskan asap rokoknya, sorot matanya menembus Helzavar seakan pimpinan tertinggi Paviliun Xarxis ini bukanlah siapa-siapa baginya . "Tapi sejauh ini ... mereka semua mati."Sunyi.Lalu keheningan itu pecah seketika.“BANGSAT! Beraninya kau anggap remeh kemampuan kami ... aku akan tunjukkan kemampuan Paviliun Xarxis yang sebenarnya.Helzavar mengangkat tangannya ke atas langit. Sebuah mantra kuno terlepas dari bibirnya dalam bahasa roh yang telah lama terlupakan. Suara itu bukan sekadar bunyi—ia menggetarkan
Langkah Kevin terhenti, seolah ada kekuatan tak terlihat yang mencengkeram tubuhnya. Suara desir angin mendadak lenyap, digantikan oleh kesunyian yang menekan dada—sunyi yang membuat detak jantung terdengar begitu keras di telinga.Langit yang sebelumnya cerah membiru—mendadak retak seperti kaca dihantam palu ilahi. Dari retakan itu, aura mengerikan merambat turun. Udara membeku seketika. Embun yang menggantung di daun-daun pepohonan runtuh membeku dan pecah seperti kristal halus. Tanah bergetar hebat, retakan-retakan kecil menjalar di antara akar-akar dan batu.Seketika, formasi kuno yang selama ini tersembunyi di bawah fondasi Paviliun Xarxis menyala, seolah bangkit dari tidur panjangnya. Asap emas membumbung, membentuk lingkaran raksasa bertabur rune bercahaya. Lima gunung di sekeliling area itu seakan tunduk pada kekuatan formasi, dikelilingi oleh energi spiritual yang berputar-putar seperti pusaran badai."Apa yang kau lakukan, Kevin..." bisik seorang tetua dari kejauhan, nyaris
Seketika panik melanda para cultivator Paviliun Xarxis. Ratusan pasang mata menyaksikan Formasi Iblis Suci—yang seharusnya menjadi pertahanan mutlak Paviliun Xarxis—runtuh hanya dalam hitungan detik. Dan di tengah reruntuhan rune yang menyala padam, Kevin masih berdiri. Tidak terluka. Tidak goyah sedikitpun.Dari atas atap paviliun utama, beberapa tetua memandang dari kejauhan dengan wajah pucat pasi.“Dia ... dia memenggal Komandan Zeth ... hanya dengan satu tangan ...”gumam seorang tetua, suaranya nyaris tak terdengar karena tubuhnya gemetar. “Zeth punya kekuatan delapan bintang ... itu ... mustahil...”Seorang tetua lain menelan ludah. Tangannya meremas jubah putihnya hingga kusut.“Ini bukan balas dendam biasa. Ini ... ini pembasmian ... Dia tidak datang untuk bertarung. Dia datang untuk MENGHABISI.”Dan benar saja. Kengerian belum mencapai puncaknya. Di tanah di mana darah mengalir seperti sungai dan tubuh-tubuh berserakan tanpa nama, Kevin perlahan mengangkat pandangannya ke ar
Di tangan Kevin, Pedang Iblis Suci berdenyut keras. Bilah hitamnya memancarkan aura merah tua, seolah jantung iblis berdegup dari dalamnya. Setiap detak pedang itu seperti selaras dengan degup jantung Kevin, menjadikan mereka satu kesatuan ... senjata dan pembantaiannya.“... Kalian memilih neraka,” bisiknya pelan, namun gaungnya seperti gema maut yang menyusup hingga ke tulang para cultivator Paviliun Xarxis.DOR!Letupan keras mengguncang udara saat Kevin melesat maju, meninggalkan bayangan hitam di belakangnya. Udara seperti disobek oleh kecepatan tak masuk akal itu, menciptakan ledakan sonik yang menggetarkan dada siapa pun yang mendengarnya.Detik berikutnya—kepanikan meledak.Tubuh-tubuh terangkat dari tanah, bukan karena kemampuan spiritual, tapi karena leher mereka telah terpisah dari tubuh. Darah menyembur ke segala arah, menciptakan hujan merah pekat yang jatuh di atas baju perang, tanah, dan wajah-wajah ketakutan. Kepala-kepala berjatuhan seperti buah yang dipetik paksa dar
Langit di atas Saint City tampak sangat gelap dan kelam dengan anyaknya awan-awan hiam yan eeak seakan hidup melahap langit dengan rakusnya. Bukan senja yang datang menyelimuti kota megah itu, melainkan kabut darah, debu kehancuran, dan aroma daging terbakar yang menguar dari reruntuhan lapangan utama Paviliun Xarxis.Tragedi besar sedang terjadi di Paviliun Xarxis yang merupakan paviliun yang paling berkuasa di Saint City.Udara terasa panas, bukan oleh matahari, tapi oleh energi spiritual yang liar dan tak terkendali. Tanah yang dahulu halus dan dihiasi ukiran simbol kekuasaan kini berubah menjadi kawah yang hangus dan retak, dihiasi tubuh-tubuh penjaga yang tercabik, terlempar, bahkan kehilangan bentuk manusianya. Darah membentuk genangan tipis, mengalir menyatu dengan tanah... seperti tinta merah yang menuliskan awal dari neraka.Sebuah jeritan melengking mengguncang udara.“KEPUNG DIA! JANGAN BIARKAN DIA KELUAR DARI PAVILIUN!!”Suara itu datang dari seorang komandan muda, wajahny
Di ujung lapangan yang telah hancur lebur, tubuh Gaius Fong tersungkur berlutut, kedua tangannya gemetar, dan lututnya berlumur darah. Aura spiritualnya koyak, seperti jaring laba-laba yang robek diterjang badai. Segel pertahanannya kini hanya tinggal pecahan cahaya yang perlahan menghilang.Wajah Gaius mendongak, matanya melemah tapi tak sepenuhnya padam.“Jadi ... ini kekuatan dari seorang pewaris Paviliun Drakenis yang telah kehilangan segalanya...” katanya pelan, lebih seperti gumaman untuk dirinya sendiri.Kevin diam. Namun angin yang lewat membawa suaranya dalam hembusan terakhir:“Ini baru permulaan ... Jalan pemusnahan masih panjang.”Langit Saint City belum sepenuhnya kembali cerah. Awan gelap yang bergulung perlahan masih menyisakan getar listrik di udara, seolah langit pun belum yakin apakah pertempuran itu telah benar-benar usai.Di tengah lapangan yang hangus dan retak, Kevin Drakenis melangkah perlahan. Sepatu botnya menjejak tanah gosong yang masih panas, meninggalkan be
Kevin menarik napas panjang. Matanya bersinar lebih terang dari sebelumnya, dan aura di sekeliling tubuhnya berubah—lebih gelap, lebih padat, lebih mengancam.“Demon Strike Sword.”Suara itu keluar dari bibir Kevin seperti bisikan kutukan.Aura iblis tiba-tiba meledak dari tubuhnya, menggulung langit dan bumi dalam satu desiran. Dari balik punggungnya, bayangan kepala iblis raksasa muncul perlahan. Wajahnya dipenuhi tanduk, taring, dan mata merah menyala seperti bara. Nafas iblis itu memancarkan tekanan jiwa yang menusuk sampai ke tulang para penonton.Setiap tebasan Kevin kini mengandung lebih dari sekadar energi. Ia membawa racun spiritual—sejenis kekuatan yang tidak hanya melukai tubuh, tapi menyusup ke dalam jiwa, menggigit kesadaran, dan menanamkan rasa takut yang menusuk hingga akar roh.Gaius menatap pedang itu, wajahnya kini mulai menunjukkan ketegangan.“Pedang ... dan teknik itu ...” gumamnya. “Kau benar-benar menggunakan kegelapan sebagai pemicunya.”Kevin melangkah maju. Se