Bab Bonus Gems : 1/4 Bab bonus yang lebih panjang sehingga menarik untuk dibaca santai sambil menikmati cemilan :)
Beberapa cultivator mulai saling pandang. Ketakutan mendorong sebagian dari mereka untuk berbicara. Ada yang mulai menyebut nama kota. Ada yang menyebut sosok misterius yang pernah mereka lihat meninggalkan Saint City. Ada pula yang dengan suara gemetar menyebutkan nama seorang mantan tetua yang diduga berhubungan dengan Celestial Myrad.Kevin mendengarkan dengan saksama, tapi wajahnya tetap tak berubah—dingin, datar, tak memberi petunjuk apakah informasi mereka berguna atau tidak.Sementara rokok terus terbakar, bara merahnya menyusut perlahan ... seperti nyala harapan yang perlahan padam di mata mereka yang bersujud.“Jangan memohon pada iblis ini lagi!” seru seorang cultivator dengan wajah merah padam, darah menetes dari pelipisnya yang robek. Matanya membelalak penuh amarah dan keputusasaan. “Dia tidak akan membiarkan kita hidup-hidup! Dasar bajingan tak berhati!”Suasana di halaman Paviliun Xarxis mendadak membeku. Jeritannya menggema di dinding batu, bergema seperti ratapan terak
Langit di atas Saint City kembali membiru, tapi kedamaian itu hanyalah tipuan. Tanahnya masih basah oleh darah, sebagian sudah menghitam, sebagian lagi masih hangat, mengalir dari tubuh-tubuh yang belum dikuburkan. Asap tipis mengepul dari reruntuhan Paviliun Xarxis, seperti napas terakhir dari bangunan yang pernah berdiri dengan angkuh.Aroma besi—tajam, menusuk, dan penuh kematian—masih melekat di udara, menyusupi hidung dan tenggorokan, menyatu dengan hawa hangus dan debu reruntuhan.Di atas gerbang timur yang telah runtuh sebagian, seorang pria berdiri diam. Kevin.Bayangannya tegak menjulang di tengah puing, seperti siluet malaikat maut yang telah memutuskan siapa yang layak hidup dan siapa yang telah kehilangan hak itu. Jubahnya robek di sana-sini, bercak darah mengering di tepinya, dan ujungnya berkibar perlahan tertiup angin sore yang muram. Angin itu dingin—bukan karena cuaca, tapi karena sisa-sisa ketakutan yang menggantung di udara.Mata Kevin menyapu sisa-sisa kekuatan Pavi
“Aku tak ingin perang,” katanya akhirnya. Suaranya tidak membela, tidak pula memohon. Hanya menyatakan kebenaran seperti batu karang menyambut gelombang. “Aku ingin keseimbangan.”Keseimbangan. Kata itu menggantung di udara, terasa lebih berat daripada kelihatannya.Kael melangkah sedikit mendekat, namun tetap menjaga jarak aman. Kabut tipis di sekitarnya menyapu jubahnya, menimbulkan ilusi seolah ia bukan makhluk dari dunia ini.“Dan untuk itu,” lanjutnya, “seseorang sepertimu tidak bisa berjalan sendirian. Bahkan dengan warisan kekuatan ibumu sekalipun, kau hanya akan jatuh ... lebih cepat.”Helena tersentak. Rahangnya mengeras, dan tangan kirinya mengepal begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Kata-kata tentang ibunya adalah cambuk yang menyayat.Ia menatap Kael, mata hijaunya kini berkilat dalam kemarahan yang ditahan. “Sekutu bisa jadi pengkhianat,” katanya tajam, seperti pisau yang mengarah ke leher. “Dan kepercayaan ... tidak murah, Kael.”Kael mengangguk pelan, tidak te
Langkah kaki pria bertopeng itu menggema pelan di atas lantai batu basah, menciptakan irama aneh di tengah keheningan Distrik Hitam yang dilanda kabut malam. Setiap langkahnya tenang, nyaris tak bersuara, seolah ia tak berjalan, melainkan mengalir—seperti bayangan yang lahir dari malam itu sendiri.Helena memicingkan mata, tubuhnya tegang, jari-jarinya melayang di dekat gagang senjata. Meski lelah, nalurinya tetap waspada. Ada sesuatu dalam cara pria itu bergerak—mantap, tak tergesa, tapi tak juga ragu—yang membuat bulu kuduknya berdiri.Pria itu berhenti di hadapannya, dalam jarak yang cukup dekat untuk bicara, namun cukup jauh untuk menjaga rahasia. Dari balik topeng perak berhias ukiran naga terjalin, suaranya akhirnya terdengar.“Namaku Kael,” ucapnya, tenang namun dalam, seperti suara logam tua yang bergesekan di ruang kosong. Kata-kata itu bukan sekadar perkenalan ... ada beban di dalamnya. Sebuah pengakuan yang mengandung sejarah.Helena menahan napas. Udara malam terasa lebih d
Lorong yang retak – beberapa menit setelah pertarungan ...Asap dan debu masih menggantung berat di udara, seperti selimut tipis kematian yang belum mau enyah dari tempat itu. Bau logam dan belerang menusuk hidung, bercampur aroma hangus dari batu-batu yang terbakar sihir.Di tengah reruntuhan, Helena merangkak pelan, tubuhnya nyaris tanpa tenaga. Setiap gerakannya seperti ditarik gravitasi dari dunia lain. Tangannya gemetar, meraba puing-puing kasar yang dingin dan berdebu. Napasnya berat, terseret seperti rantai yang menggores paru-paru. Ada darah di sudut bibirnya, dan setiap helaan napas membawa nyeri menusuk di dadanya.Di balik pakaian robek dan tubuh yang lebam, liontin di dadanya masih menyala samar—denyutnya lemah, tapi hidup. Seolah menjadi satu-satunya bukti bahwa ia masih bernyawa.“Jangan mati ... jangan sekarang ...” bisiknya pelan, entah pada dirinya sendiri atau pada liontin itu.Dengan sisa kekuatan yang tinggal setipis benang, ia mencoba berdiri. Kakinya bergetar, lut
Siluet pertama menyala merah menyala, dengan aura panas membara yang membuat udara di sekelilingnya berdesis. Api menjilat lantai setiap kali ia bergerak.Siluet kedua tampak samar—seperti cermin pecah yang terus berubah bentuk. Ilusi mengalir dari tubuhnya, membuat kenyataan bergelombang, menyimpang, seolah-olah lorong itu sendiri mulai memutarbalikkan wujud.Siluet ketiga... Tak bisa dilihat. Tak berbentuk. Tapi ada. Tekanan mentalnya menghantam seperti ribuan jarum yang menembus kulit kepala, menusuk syaraf, mencabik fokus dan keseimbangan. Helena nyaris terhuyung, tapi ia menggigit bibir bawahnya sendiri, menahan rasa ingin muntah yang menghantam tenggorokan."Konsentrasi, Helena ..." gumamnya dengan tekad kuat.Siluet pertama menyerang duluan—sebuah sabetan api membelah udara, menyala terang seperti kilatan petir neraka.Helena melompat tinggi, tombaknya berputar dalam genggaman, menciptakan lengkungan cahaya di udara. Ia menghindar, lalu dalam gerakan balik yang mulus, me
Distrik Hitam ... Lorong Tengah.Tiga jam setelah Axel menghilang dari warung tua.Kabut menggantung rendah seperti racun yang belum sempat menguap. Tidak lagi hanya menyelimuti jalan, melainkan menelan seluruh dunia dalam diam. Cahaya lampu jalan berkelip mati satu per satu, seperti enggan menjadi saksi dari sesuatu yang akan terjadi.Langkah Helena merambat perlahan. Sepatunya menyentuh genangan air yang memantulkan bayangan-bayangan mengerikan dari langit gelap. Setiap gerakannya nyaris tak bersuara, diserap oleh kabut dan lorong-lorong batu yang basah. Ia mengenakan tudung panjang, dan jubah hitam kelam yang menyerap cahaya, seolah tubuhnya diciptakan dari bayangan itu sendiri.Di balik tudungnya, mata Helena tajam melihat sekelilingnya. Ia menggenggam liontin kecil yang tersembunyi di balik lapisan jubah, logamnya dingin menempel di dada, namun terasa seperti satu-satunya yang masih hidup dalam tubuh yang nyaris mati rasa.Jantungnya berdetak pelan, tapi tegas. Seperti genderang
Tubuhnya nyaris runtuh, namun tatapan Helzavar belum padam.Ia tersenyum miring, meski darah masih menetes dari sudut bibirnya. “Kau pikir … itu cukup?” bisiknya pelan, lalu membentak, “Aku belum kalah! Aku adalah pilar terakhir Paviliun Xarxis!”Aura hitam mulai bangkit lagi dari dalam tubuhnya—pelan tapi pasti disertai energi kegelapan yang mulai menguasainya.“AAARRRGGGH ...!!!”Langit bergetar saat Helzavar meraung. Suara teriakannya bukan sekadar pekikan putus asa—itu adalah raungan seorang raksasa yang menolak tenggelam sendirian. Gema suaranya melintas cakrawala, membuat awan menggulung gelisah dan angin membungkus medan tempur dengan desiran kematian.Dengan kedua tangan yang sudah berlumuran luka dan darah, Helzavar merentangkan tangan ke langit, lalu menyilangkan jari-jari patahnya dalam gerakan ritual kuno. Di sekelilingnya, pusaran aura hitam meledak, menyedot energi dari tanah, udara, dan bahkan bayangan yang semula diam. Langit berdenyut merah, seolah mengenali bahwa ses
“Selamat datang di Kubah Seribu Jiwa,” bisik Elyra dengan nada selembut bisikan maut, wajahnya tampak tenang namun matanya berkilat dengan kegilaan. “Tempat semua kesalahanmu ... ditagih dengan derita tanpa akhir.”Tapi Kevin hanya memejamkan matanya.Sekejap kemudian, Pedang Dewa Ilahi di tangannya bergetar. Getarannya halus, namun cukup kuat untuk membuat udara berdesir seperti bisikan masa lampau. Di sekeliling pedangnya, cahaya-cahaya suci mulai muncul. Kabut kelabu terbelah, memperlihatkan bayangan-bayangan samar—sosok-sosok agung dari masa lalu, dewa-dewa tanpa bentuk namun memancarkan cahaya ilahi yang menusuk pandangan.Dengan suara tenang, Kevin membuka mulutnya.“Phantom Gods Blast.”Dalam sekejap, para bayangan Kevin itu bergerak. Mereka meluncur dari ujung pedangnya—bukan sebagai serangan fisik, melainkan sebagai penghakiman spiritual. Mereka tidak mengayunkan senjata atau menebas tubuh Elyra. Mereka menghantam jiwanya, menyapu bersih lapisan-lapisan kesadaran, mengoyak kon