Bab Bonus Gems : 1/4 Bab bonus yang lebih panjang sehingga menarik untuk dibaca santai sambil menikmati cemilan :)
“Kau terlalu bersih, Brianstrom…” gumamnya di antara napas kasar, bibirnya mengering oleh darah.“Tak punya dosa… tak punya luka.”Ia mendongak, menatap mata musuhnya yang tak goyah.“Tapi aku? Aku... punya semua beban dunia.”Dan dalam kalimat itu, bukan hanya keluh kesah, tapi kutukan. Setiap luka. Setiap kehilangan. Setiap jiwa yang telah ia lihat jatuh demi keadilan yang hampa. Semua itu kini berpadu menjadi kekuatan.Kevin melompat ke udara. Gerakannya memecahkan tekanan angin.Langit bergemuruh. Angin mengaum seperti makhluk buas yang baru saja dilepaskan.Awan di atasnya berputar cepat, berkilat, lalu membeku.Suhu turun drastis. Embun es menari di udara seperti debu halus dari surga yang marah.“Rain of Thousand Ice Swords – Heaven’s Fall!”Dan saat itu juga—langit pecah.CRAAASSSHHH!!!Dari balik awan putih beku, sepuluh ribu pedang es spiritual meluncur turun. Setiap bilah tidak sekadar tajam... mereka membawa memori.Dendam. Rasa sakit. Penyesalan. Pengkhianatan.Semua pera
Langit menggantung suram di atas medan yang hancur—sunyi, dingin, namun menyesakkan. Awan hitam menggulung, berputar-putar seperti pusaran kegelapan yang ditarik dari neraka. Kilat sesekali menyambar, namun tak bersuara, seakan seluruh semesta menahan napas, takut mengganggu detik-detik terakhir dari sebuah takdir yang akan runtuh.Dari sisa-sisa pertarungan yang telah menjadi abu, sosok Kevin muncul bagaikan sisa kutukan yang belum terselesaikan.Jubahnya compang-camping, darah mengering menempel di dada dan lengan. Tapi dari tubuhnya, sesuatu yang lebih kuno dari darah manusia mulai menyala. Aura merah tua, diselimuti kobaran api ungu, menjulur dari pori-porinya seperti asap dari dunia roh.Ia berdiri. Diam. Memandang musuhnya yang tak jauh di depannya.Tangan kanannya terangkat perlahan.Seolah setiap gerakannya menantang langit itu sendiri untuk ikut turun bertarung."Phantom Fire Blood... Final Severance."Ucapannya bukan hanya pengucapan jurus, tapi sumpah penghabisan. Sebuah de
Langit membentang kaku seperti busur surgawi yang ditarik hingga batas terakhirnya. Cahaya senja tertelan oleh awan-awan keunguan yang berdenyut, berkilau dengan energi surgawi yang begitu pekat hingga udara di sekitarnya terasa seperti kaca tipis yang siap pecah. Sunyi menyelimuti daratan, tapi bukan sunyi yang menenangkan—melainkan sunyi yang menggigit, menekan dada dan menelusup hingga ke sumsum.Di tengah medan yang retak oleh tekanan Qi, Brianstrom Seraphblade berdiri tegak seperti sosok dari legenda kuno. Jubah putih perak berkilau tertiup angin yang seolah muncul dari dimensi lain, memutar helaiannya bak nyala api lambat. Ia mengangkat satu tangan perlahan, gerakannya tenang—tapi langit merespons seperti anak panah dilepaskan.SRAAAKKK—!Udara mendesing. Tapi petir tidak menyambar. Justru dunia sekitarnya terasa seperti menjerit dalam diam.Dua belas pedang spiritual melayang melingkari Brianstrom, mengeluarkan suara lirih… bukan suara logam, melainkan erangan tua yang terasa s
Petir melesat, menyayat awan seperti belati membuka luka lama. Kilatan cahaya menari di antara kepulan hitam, bukan membawa harapan, tapi mengabarkan kehancuran yang akan datang. Di bawahnya, tanah bergemuruh lirih, seakan ikut mengerang dalam ketegangan. Tidak ada angin. Tidak ada suara. Alam semesta menahan napasnya.Dan di tengah kehampaan itu, satu sosok melompat ke udara.Kevin Drakenis.Tubuhnya menembus semburan panas yang masih membekas dari tinju Orojin sebelumnya—seperti menantang kekuatan api kuno dengan tekad yang tak bisa dibakar. Dalam satu gerakan senyap, ia memutar tubuh di langit, jubahnya melambai seperti serpihan malam.Dari bibirnya, satu kalimat meluncur pelan—seperti nyanyian kematian yang hanya dimengerti oleh langit dan kegelapan.“King of Darkness.”Dan pada saat itu, dunia... berubah.Aura hitam meledak dari tubuh Kevin. Tapi ini bukan sekadar aura gelap—melainkan kekosongan yang nyata, semesta yang kehilangan warna dan suara. Cahaya tak memantul, melainkan di
Awan hitam mengalir deras di angkasa, berputar seperti naga kuno yang terbangun setelah tidur ribuan tahun. Mereka tak hanya menyelimuti cahaya matahari, tapi juga menyedot harapan yang tersisa dari tanah. Petir berkilat di sela gulungan itu, bukan dengan kilau putih, melainkan merah gelap seperti darah dewa yang dirapal ke langit.Di tengah medan perang yang telah hancur, hanya satu raksasa masih berdiri tegak: Orojin Vastfist.Sosoknya bagaikan pilar dari zaman sebelum catatan sejarah. Tubuhnya dipahat oleh elemen keras dan panas; setiap inci kulitnya menyala seperti arang merah yang dilapisi magma spiritual. Lava mengalir dari pori-porinya, menciptakan genangan merah panas di tempat ia berpijak. Setiap napasnya adalah dengusan kawah aktif, dan mata—dua bola api neraka yang menatap seperti raja yang tak pernah tahu artinya kalah.Ia mendongak. Rahangnya mengeras. Kedua lengannya—besar, kokoh, tak tertandingi—terangkat tinggi ke udara, seolah hendak memeluk langit lalu meremukkannya.
Langit masih belum benar-benar pulih dari luka besar yang ditorehkan oleh sihir Nivandrel. Retakan-retakan halus bagai guratan pecahan kaca masih membekas di langit ungu kelam, dan cahaya matahari hanya berani mengintip dari balik awan yang tersayat. Tapi kedamaian itu hanya sekejap.DUK. DUK. DUK.Tiga hentakan kaki. Dan Pulau Neraka mulai kehilangan ketenangannya.Debu beterbangan. Batu-batu pecah dan terpental ke udara. Tanah bergetar seolah menolak apa yang akan muncul dari bayangannya. Suara itu—tidak hanya keras, tapi penuh bobot. Setiap langkah adalah pernyataan: bahwa kekuatan murni kini turun ke arena.Dari balik kabut lava dan puing-puing api surgawi, muncullah satu sosok yang membuat udara sendiri memadat.Orojin Vastfist.Ia adalah sisa dari zaman sebelum zaman, ketika tanah terlarang belum tahu bagaimana berbicara dan langit masih belajar menyinari. Sosok raksasa itu kini berdiri seperti pilar alam yang tak pernah bergeser.Tingginya menyentuh pucuk-pucuk awan rendah, dan