Udara di ruang alkimia itu dipenuhi aroma logam dan embun herbal yang samar. Suasana hening, nyaris beku, seolah waktu menahan napasnya sendiri. Di tengah ruangan yang dilingkupi lingkaran sihir kuno, cairan padat melayang dan berputar lambat di udara. Tidak seperti air biasa—zat itu berkilau seperti kaca cair, mengalir dan berdenyut dengan napasnya sendiri. Satu per satu butiran bercahaya melayang turun, bergerak dalam tarian teratur menuju telapak tangan Kevin, seolah ditarik oleh kekuatan purba yang tak kasat mata.Aura spiritual memancar dari tubuhnya seperti gelombang panas di atas api. Matanya menyala tajam, penuh konsentrasi yang nyaris menyakitkan untuk disaksikan. Aliran energi di sekitarnya bergemuruh pelan, tak terdengar oleh telinga biasa namun bisa dirasakan oleh tulang. Setiap helaan napas Kevin menggetarkan ruang, membuat udara berdesir aneh.Claudia berdiri tak jauh di belakangnya, namun satu hentakan kecil dari energi yang terlepas membuat tubuhnya mundur setapak, refl
“Gubernur sedang tidak berada di tempat, Chief!” suara Claudia terdengar lembut namun jelas, membuyarkan fokus Kevin yang sedang menatap ke luar jendela kaca paviliun. “Beliau baru akan pulang untuk menghadiri pesta ulang tahunnya—tiga hari lagi.”Kevin mengerutkan kening, baru tersadar. Ia mengira Gubernur masih berada di Kota Godam. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat—ia sudah menyusun rencana matang untuk melampiaskan dendamnya, namun ternyata harus menunda. Ulang tahun Gubernur ke-55, itulah momen yang ditunggu. Dan ternyata, ia masih harus menanti.“Benar juga katamu…” gumam Kevin pelan, matanya menatap lantai seperti sedang menimbang-nimbang. Ia menghela napas panjang, lalu mengangguk mantap. “Kalau begitu, aku akan menyembuhkan Ravena terlebih dahulu. Dia lebih penting sekarang.”Lalu ia menoleh, menatap Claudia. “Apa kalian punya tempat penginapan untukku?”Claudia melangkah mendekat dengan langkah ringan namun penuh keyakinan. Wajahnya menyimpan senyum—senyum manis yang se
Kevin berdiri di sana, memandangi pintu yang baru saja tertutup. Jantungnya berdetak cepat. Ia merasa aneh—bukan karena takut, tapi karena bagian dari dirinya yang sudah lama tertidur kini mulai terbangun. Bukan hanya hasrat fisik, tapi juga kerinduan akan kedekatan, sentuhan, dan kehangatan yang bukan berasal dari pertempuran atau intrik.Beberapa menit kemudian, pintu kembali terbuka perlahan. Claudia masuk dengan mengenakan jubah malam berbahan tipis berwarna senada dengan rambutnya. Jubah itu nyaris menyatu dengan kulitnya, menyembunyakan dan memperlihatkan dalam takaran yang pas. Ia terlihat bagaikan dewi malam yang turun dari langit, membawa janji kenyamanan yang tak bisa dijelaskan.Kevin duduk di sisi ranjang berukuran besar yang tertata rapi. Tangannya bertumpu di lutut, pandangannya mengikuti Claudia yang berjalan ke arahnya dengan langkah tenang. Ia berhenti di depannya, lalu berlutut perlahan.“Chief…” ucap Claudia, suaranya begitu pelan hingga nyaris tertelan udara. “Sebel
Pagi datang perlahan, membawa cahaya keemasan yang menyelinap masuk lewat celah tirai kamar. Sinar matahari pagi memantul di dinding marmer, menciptakan siluet lembut yang menari di permukaan ranjang.Kevin terbangun pelan. Matanya terbuka perlahan, menyesuaikan diri dengan cahaya. Untuk sesaat, ia merasa asing… lalu menyadari kehangatan tubuh di sampingnya. Claudia masih tertidur, wajahnya damai, nafasnya teratur seperti melodi yang menenangkan.Rambut panjang Claudia terserak di bantal, dan tangannya masih menggenggam lengan Kevin seperti enggan melepaskannya. Kevin hanya menatapnya sejenak—sebuah senyum kecil terbit di sudut bibirnya. Ada ketenangan yang aneh. Mungkin karena ia tak merasa sendiri pagi ini.Ia membelai pipi Claudia pelan, dan perempuan itu mengerjapkan matanya, lalu membuka mata perlahan. Saat melihat Kevin menatapnya, senyumnya langsung tumbuh.“Pagi, Chief…” ucap Claudia dengan suara serak manja khas seseorang yang baru terbangun.“Pagi, Claudia.” Kevin membalas, s
Ravena mengangguk kecil, wajahnya sedikit menegang. “Kadang-kadang… saat aku tidur, aku merasa seperti tenggelam di dalam es. Aku bahkan mendengar suara… seperti bisikan, Kak.”Kevin tidak langsung menjawab. Ia merogoh saku dalam jubah hitamnya dan mengeluarkan sebuah batu kristal berwarna merah menyala. Permukaannya berdenyut pelan, seolah hidup. Ia mengikat kristal itu pada sebuah benang merah yang tebal, lalu mengalungkannya ke leher Ravena.“Ini Vermillion Vein. Batu ini bisa menekan pengaruh Darah Iblis Es dalam tubuhmu,” ujarnya sambil merapikan posisi liontin itu di dada adiknya. Suaranya lembut, hampir seperti nyanyian penenang. “Aku akan mengajarimu teknik penekanan energi itu nanti, tapi untuk sekarang… percayakan semuanya pada batu ini. Aku masih punya urusan penting.”Mata Ravena berkaca-kaca. “Kakak… kamu selalu datang di saat aku butuh.”Kevin tersenyum, senyum langka yang hanya muncul di hadapan satu orang di dunia ini—Ravena.“Tentu saja aku akan selalu datang,” bisikny
Angin pagi menyusup lembut ke sela-sela dinding kayu Paviliun Dracarys, membawa serta aroma tanah basah yang baru saja disirami embun malam. Harum bunga camelia yang mekar di taman belakang berpadu dengan wangi kayu cendana, menciptakan atmosfer yang seharusnya menenangkan. Namun, ketegangan pekat menggantung di udara, seolah-olah waktu sendiri enggan bergerak.Kevin Drakenis berdiri membelakangi cahaya matahari yang masih malu-malu muncul di ufuk timur. Siluet tubuhnya menjulang, kaku seperti patung prajurit yang siap terjun ke medan perang. Di hadapannya, Claudia Xander berdiri dengan tangan terlipat di dada, sorot matanya tajam namun dibalut kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan.“Kau yakin tak mau membawa beberapa pengawal saja, Chief?” Suaranya lirih tapi jelas, serupa bisikan angin yang menyapu permukaan danau. “Mereka bisa membantumu, atau setidaknya berjaga dari jauh.”Kevin tidak langsung menjawab. Matanya menyipit, memandangi titik jauh di balik jendela terbuka. Rahangnya
Di antara langkah-langkah Kevin yang menyusuri Kota Nagapolis, kenangan masa lalu muncul satu per satu—tak diundang, namun tak bisa diabaikan.Tawa renyah sang adik, Ravena, ketika mereka bermain petak umpet di halaman belakang. Suara sang ayah yang tegas namun penuh cinta saat mengajarinya teknik bela diri. Kehangatan pelukan ibu yang selalu membuat segalanya terasa baik-baik saja.Namun semua itu telah hilang. Direnggut. Dibakar. Dihancurkan.Yang tersisa hanyalah serpihan kenangan… dan bara dendam yang tak pernah padam.Saat tiba di depan Paviliun Drakenis, Kevin berdiri mematung. Napasnya memburu, bukan karena kelelahan, melainkan karena ledakan emosi yang begitu kuat, begitu nyata, hingga nyaris membuat tubuhnya bergetar.Bangunan di depannya berdiri megah. Terlalu megah.Dinding yang dulu kusam kini berkilau, dengan pilar-pilar baru berukir motif naga modern. Gerbang utama—yang dulu hanya dari kayu tua—kini dibuat dari baja mengilap, berlapis anti karat. Mewah. Dingin. Tak
Saat itu, waktu seolah melambat. Angin pagi berhenti berhembus. Embun di rerumputan bergeming. Dunia diam, menunggu denting pertama dari pedang yang akan berbicara atas nama dendam.Langkah Kevin terhenti hanya tiga tapak dari dua penjaga gerbang. Mata mereka menajam, urat di leher menegang, jemari menggenggam gagang pedang mereka erat-erat, siap untuk bertindak. Tapi Kevin hanya berdiri diam, lalu—dengan tenang, nyaris malas—tangannya bergerak ke pinggang, jari-jarinya menyentuh gagang pedang.Tak ada ketegangan dalam gerakannya. Tidak ada ancaman. Seolah ia tengah mengambil sapu tangan, bukan senjata pembunuh. Udara pagi terasa menebal, menanti sesuatu yang tak bisa dihindari.Lalu—SREEET!Cahaya dingin dari logam berkelebat.Darah menyembur ke udara, menari dalam kabut merah yang samar. Suara pedangnya bahkan nyaris tak terdengar—secepat itu, setajam itu. Dalam satu ayunan halus, tanpa teriakan, tanpa peringatan, dua tubuh ambruk bersamaan. Kepala mereka terlepas dari bahu, menggel
Suara itu, meski tipis, menembus kabut peperangan, menusuk langsung ke relung hati Kevin. Tubuhnya yang semula membeku perlahan bangkit. Tangannya mengusap darah yang mengalir dari sudut bibir, dan di matanya—di balik luka, amarah, dan lelah—muncul seberkas cahaya baru ... harapan.“Benar …” bisik Kevin pelan, nyaris seperti doa. “Jika kekuatan Dewa tidak cukup … maka aku akan membakar jiwaku untuknya.”Dengan gerakan pelan namun penuh tekad, ia mengangkat pedang ke atas kepala. Cahaya baru mulai berpendar—bukan hanya satu warna, tapi perpaduan merah menyala, emas menyilaukan, dan biru setenang samudra. Udara seakan menghirup napas panjang, sunyi sesaat sebelum ledakan keajaiban.“PHOENIX FLAME BLAST!!”Jeritan mantra itu memecahkan keheningan. Dari ujung pedang, api abadi meluncur deras, menggumpal membentuk sosok burung phoenix yang megah. Sayapnya terentang lebar, memercikkan bara ke langit-langit, matanya menyala seperti dua matahari kecil yang membawa kehidupan sekaligus kematian
Gerakan Kevin sangat cepat dengan lesatan yang menyerupai petir ilahi.Namun …Ting!Dengan gerakan sehalus angin berbisik, Roh Iblis Es mengangkat satu jari. Sebuah dinding es bening muncul, begitu keras hingga serangan Kevin berhenti seolah menebas gunung batu. Kilatan cahaya mental pecah ke segala arah, menyulut percikan petir yang menghantam lantai, dinding, bahkan langit-langit, menciptakan letupan-letupan kecil.Kevin mendarat, lututnya sedikit menekuk, napasnya memburu seperti binatang yang terperangkap. Uap putih mengepul dari bibirnya saat udara makin tipis, makin dingin. Telapak tangannya menggenggam erat gagang pedang, dan di matanya, hanya satu pantulan yang tersisa ... Ravena, atau mungkin, harapan kecil yang masih tersisa di dalam tubuh yang kini dikuasai darah iblis es.“Cepat, tapi … masih ragu …” desisan itu merayap di udara seperti kabut tipis yang mencabik-cabik ketenangan, menusuk gendang telinga dan bergetar hingga ke tulang belakang. Mata merah menyala Roh Iblis
Asap pertarungan masih menggantung tipis di udara, aroma logam darah bercampur dengan bau batu hangus. Namun, di tengah keheningan yang menggantung, terdengar suara halus—retakan, seperti kaca tipis yang mulai pecah. Mata Claudia membelalak, Kevin menegakkan tubuhnya, tatapannya tajam tertuju pada altar batu yang perlahan berubah warna.Retakan itu bukan retakan biasa. Bukan akibat pukulan atau ledakan. Dingin ekstrem merembes keluar dari tubuh Ravena yang terbaring di atas altar. Aura biru pucat mengalir lembut dari pori-porinya, melilit di udara seperti kabut hidup, memadat menjadi kepingan-kepingan es yang melayang, berputar pelan seperti bintang mati yang kehilangan cahayanya.Dan kemudian ...KRAAAK!Satu dentuman tajam menggema, membuat seluruh ruangan bergetar. Tubuh Ravena terangkat perlahan, melayang di atas altar yang kini dilapisi es biru bening, begitu murni hingga memantulkan cahaya seperti kaca suci. Es itu menjalar cepat, membungkus kulitnya, menyelimuti darahnya, bahka
Kevin menggertakkan giginya. “Aku di sini!” bentaknya lantang, tak gentar. Sorot matanya membalas tatapan iblis itu dengan api semangat yang membara. “Kalau kau memang iblis yang menyiksanya selama ini … maka mari kita akhiri semua ini, di sini dan sekarang!”Tanpa ragu, ia mengangkat batu Vermillion Vein yang kini menyala bagai bara hidup di telapak tangannya. Aura api spiritual di sekelilingnya memekik, memutar arus energi panas yang menusuk kulit. Dengan teknik pamungkasnya—Heavenly Flame Binding Seal—Kevin menghantamkan batu itu langsung ke dada Ravena.Seketika, ledakan cahaya merah keemasan menerangi seluruh ruangan seperti fajar surgawi yang membakar malam tergelap. Api spiritual dari batu Vermillion mengalir deras ke dalam tubuh Ravena, membakar roh iblis dari dalam. Suara jeritan itu berubah—dari teriakan kemarahan menjadi raungan kesakitan, lalu menjadi pekikan sekarat. Sosok iblis itu menggeliat dan menjerit, tubuhnya bergulung dalam pusaran api spiritual yang membakar tak h
Langkah Claudia terdengar cepat namun tenang. Dari balik mantel hitamnya yang dilapisi jimat pelindung, ia mengeluarkan sebuah peti besi perak dengan ukiran rumit dan segel mantra berlapis-lapis yang berpendar merah menyala. Begitu peti itu dibuka, hawa panas menyeruak ke seisi ruangan.Di dalamnya, batu Vermillion Vein berwarna merah darah berdenyut pelan seperti jantung hidup—menyala dan bernafas. Aura panasnya luar biasa, hingga uap tipis langsung naik dari lantai batu di sekitarnya, seolah batu itu hendak membakar dunia sekitarnya hanya dengan kehadirannya.Claudia memandang Kevin dan mengangguk pelan. “Energinya murni. Tapi tidak stabil. Kita hanya punya satu kesempatan, Chief!” katanya dengan suara tegang.Kevin mengulurkan tangan. Saat jemarinya menyentuh permukaan batu itu, rasa panasnya menembus ke dalam tulangnya. Tapi ia tidak mundur. Dengan satu tarikan napas panjang, ia berkata, “Kita mulai sekarang.”Ia duduk bersila di atas lingkaran segel kuno yang digoreskan dengan dar
Langit di atas Kota Nagapolis secara perlahan berubah warna. Kabut kelabu yang menyelimuti kota sepanjang malam mulai tersibak oleh sinar pertama fajar. Matahari pagi mengintip malu-malu dari balik cakrawala, memancarkan cahaya keemasan yang membasahi atap-atap paviliun, menciptakan bayangan panjang yang menyapu jalanan yang masih sepi.Namun, ketenangan itu tidak berlaku di dalam Paviliun Dracarys.Langkah-langkah tergesa menggema di lorong batu menuju ruang bawah tanah yang tersembunyi jauh di jantung kompleks. Udara di sana terasa berat, penuh aura spiritual yang bergolak tak terkendali. Asap tipis yang mengandung aroma besi dan belerang mengambang di udara, menyusup ke dalam paru-paru dan memberi rasa perih di hidung. Tanah pun bergetar halus, seolah menahan energi yang nyaris meledak dari dalam.Di dalam ruang pemurnian kuno yang dipenuhi ukiran naga berwajah muram dan simbol-simbol langit beku, Ravena terbaring di atas altar batu obsidian. Permukaannya dingin, namun dikelilingi a
Pria tua itu tertawa pelan, ujung jarinya mengetuk botol kaca itu. “Sangat … sebanding,” bisiknya, mata logamnya berkilat.Mata pria tua itu berkilat tajam, seperti sepasang batu permata logam yang memantulkan cahaya neraka. Bibirnya melengkung ke dalam seringai licik, rasa puas terpancar dari setiap kerutan wajahnya. Dengan gerakan halus, ia mengangkat tangan, memberi isyarat kecil pada asistennya — seorang pemuda kurus bermata cekung, aura spiritualnya lemah tapi tangannya cekatan.Pemuda itu mendekati sebuah peti kayu hitam, terikat benang-benang spiritual merah yang berdenyut samar, seolah hidup. Dengan mantra pelan, segel-segel itu terbuka satu per satu, memancarkan kilatan kecil cahaya merah. Saat tutup peti terbuka, udara di dalam tenda mendadak menghangat, bahkan membakar ujung-ujung rambut.Di dalam peti, terbaring sebuah batu merah menyala — Vermillion Vein, tampak seperti bara hidup yang bernafas. Setiap detik, pancaran panasnya menggetarkan udara, menciptakan riak-riak tip
Di puncak tertinggi Paviliun Dracarys, Kevin berdiri tegak, siluetnya terpotong cahaya remang lampu-lampu kota yang berkedip di kejauhan. Matanya, tajam dan penuh tekad, menatap cakrawala seolah mencoba menembus jarak yang memisahkannya dari takdir yang sebentar lagi datang menghantam. Angin memainkan ujung jubahnya, membuatnya berkibar pelan, seperti sayap naga yang sedang merentang di bawah cahaya samar bulan.Di bawah, di dalam ruangan pusat komando, Claudia nyaris tak berhenti bergerak. Rambutnya yang hitam berantakan menempel di pelipis, sementara jemarinya sibuk menari di atas layar komunikasi holografik. Suara Claudia terdengar cepat, teratur, tapi ada tepi kegelisahan yang merayap di ujung nadanya. “Chief, satu petunjuk mengarah ke Pasar Gelap Agarthium, Centralpolis,” ucapnya dengan suara yang agak serak, kelelahan mulai menggerogoti tenaganya. “Ada rumor… seorang kolektor eksentrik menyimpan batu Vermillion Vein, jenis merah pekat, yang telah melewati ritus pemurnian api na
Cahaya lampu di dalam kamar Paviliun Dracarys masih bergetar lembut, memantul di atas lantai marmer yang sempat diselimuti kabut dingin dari kekuatan Darah Iblis Es milik Ravena. Setelah kekacauan itu mereda, Kevin menoleh ke arah Clara yang tengah berjongkok di sudut ruangan, tubuhnya gemetar meskipun hawa dingin sudah mulai menghilang.Kevin menghampirinya, perlahan berlutut hingga sejajar dengan mata gadis itu. Tatapannya lembut, jauh berbeda dari sosok dingin yang beberapa saat lalu mengeksekusi Gubernur Adam Smith tanpa ragu.“Kamu tidak apa-apa, Clara?” tanyanya pelan, suara itu terdengar seperti pelukan hangat di tengah sisa-sisa badai.Clara mengangguk kecil, tapi suaranya serak saat menjawab.“Aku ... aku baik-baik saja, Kev. Tapi ... Vena?” Matanya beralih, mencari sosok yang ia sayangi. “Bagaimana dengan Ravena? Dia … tidak terluka, kan?”Kevin mengangguk meyakinkan. “Dia sudah kembali... masih pingsan, tapi aku berhasil menstabilkan auranya. Dia akan baik-baik saja.”Sebelu