Bab Utama : 2/2 Selesai Bab Bonus : 1/2 Bab Extra : 0/1 Author akan memberikan Bab Extra di hari libur Nasional ...
Raisa tidak panik—tapi juga tidak tersenyum. Ia melompat mundur, tubuhnya meliuk bagai kelopak bunga yang diterpa badai, gesit dan anggun, namun tidak cukup cepat.SHUUUTT!Ujung roknya terbelah, dan dari bahunya mengucur darah segar, menetes cepat ke lantai yang retak.Raisa mencibir. Ia menyeka bahunya tanpa ekspresi, tapi mulutnya menyeringai dingin. Lalu, ia meludah—bukan darah, tapi cairan hitam berbuih yang menguarkan aroma racun dan besi panas.Cairan itu jatuh ke tanah dan menggeliat. Dalam sekejap, ia membentuk tubuh—makhluk setengah manusia setengah serangga dengan kulit mengkilap seperti eksoskeleton kumbang, mata majemuk menyala hijau, dan tangan yang berakhir pada cakar beracun.“VENOM INCARNATE!!” teriak Raisa, nadanya penuh kekuasaan, seolah memanggil entitas dari dasar neraka.Makhluk itu mengerang, lalu menyembur maju ke arah Kevin. Cakarnya menggores udara, meninggalkan jejak racun yang mendesis di udara, memenuhi ruangan dengan bau belerang dan kematian.Kevin menyi
Kevin berdiri tegak, tubuhnya seperti pilar baja di tengah badai racun. Di tangannya, Pedang Iblis Suci berdenyut dengan aura yang tidak hanya gelap—tetapi juga bercahaya ungu menyala, seperti nyala amarah dari dunia lain. Aura itu merayap di udara, membentuk pusaran samar yang menolak kabut dan kegelapan, seolah medan perang itu sendiri enggan mendekatinya.Saat jemarinya menggenggam gagang pedang lebih erat, sebuah getaran menyusup dari logam ke tulang-tulangnya. Bukan hanya getaran fisik—tapi bisikan, gambaran, dan kilasan teknik bertarung yang asing namun terasa akrab. Mereka mengalir deras ke dalam pikirannya, seolah roh pedang itu sendiri sedang menuangkan warisan kekuatannya langsung ke kesadaran Kevin."Gunakan aku sesukamu … dan belahlah langit serta neraka."Suara itu tidak lantang, tapi menggema seperti gaung dari kedalaman kekosongan. Dingin, namun memabukkan. Roh Pedang Iblis Suci mulai bangkit.Mata Kevin menyala, seberkas cahaya menyala di pupilnya seperti bara ungu yan
Tiba-tiba lantai bergetar, disertai dengungan rendah seperti suara ratusan roh menggumamkan mantra. Lilin-lilin di udara meledak menjadi nyala ungu menyilaukan, serpihan energinya membentuk pola spiral yang turun ke tanah, menguak lantai rahasia yang tersembunyi di tengah menara.Simbol-simbol roh mulai menjalar dari dinding, membentuk formasi aneh yang tampak hidup—bergerak perlahan seperti makhluk kuno yang baru dibangunkan dari tidur panjangnya. Aroma dupa hitam menyusup ke udara, pekat, panas, dan menusuk, seakan membakar hidung dan memicu halusinasi.Raisa melayang, tubuhnya terangkat oleh energi tak kasatmata. Ia melayang di atas arena yang kini menyala dengan cahaya ungu lembayung, senyumnya berubah menjadi sesuatu yang tidak manusiawi."Selamat datang di The Widow’s Nest, Kevin," bisiknya dengan nada hampir seperti nyanyian pemakaman. "Di sinilah para lelaki tangguh datang ... dan menjadi abu. Mari kita lihat seberapa kuat tekadmu."Kevin tak menjawab. Ia mengangkat tangan, da
Di puncak Menara Sembilan Bayangan, udara terasa berbeda—lebih pekat, lebih dingin, lebih berbisik. Di tengah ruangan yang dilingkupi bayangan yang tak sepenuhnya berasal dari cahaya atau kegelapan, berdiri sebuah singgasana kristal yang memantulkan warna-warna lembayung dan hitam, seperti malam yang tertangkap dalam es.Raisa Aleta duduk di sana, anggun seperti bayangan yang sedang bermimpi. Sekelilingnya, sembilan lilin ungu melayang di udara, nyalanya menari pelan tanpa tersentuh angin. Cahaya yang mereka pancarkan membentuk pola formasi spiritual, rumit dan menghipnotis—seperti jaring laba-laba yang dibuat oleh dewa, indah tapi mematikan. Garis-garis halus energi itu terhubung ke lantai, dinding, bahkan udara—menyusun perangkap diam yang hanya bisa dilihat oleh mata yang terlatih.Gaun Raisa memeluk tubuhnya seperti lautan malam, berkilau halus seperti serpihan bintang yang ditenun menjadi kain. Rambutnya disanggul rapi, dihiasi kristal merah tua—bukan sekadar permata, tapi pecaha
Di lantai tertinggi Menara Sembilan Bayangan, tempat di mana langit hampir bisa disentuh, tabir-tipis dari sutra roh menggantung seperti kabut malam yang jatuh dari bintang. Di balik tirai tersebut, suasana hening seolah waktu sendiri tak berani mengalir terlalu keras. Aroma dupa ungu yang membara perlahan menyusup ke udara, membawa wangi racun bunga silva—indah namun mematikan.Seorang wanita duduk bersila di atas singgasana melayang yang disusun dari fragmen kristal bayangan, berpendar lembut seperti denyut jantung dewa tua. Jubah merah marun yang membalut tubuhnya menjuntai tanpa menyentuh lantai, seolah udara di sekitarnya enggan menyentuh sosok itu.Matanya tertutup. Namun dari bibirnya terukir senyum halus, begitu tenang dan menggoda, seperti kelopak mawar yang sedang merekah—dan menyembunyikan duri beracun di baliknya. Itu bukan senyum biasa. Itu adalah senyum yang bisa memikat ... lalu membunuh tanpa peringatan."Kevin…" ucapnya dalam bisikan nyaris tak terdengar, namun penuh
Pagi keempat.Langit masih diselimuti kabut tipis saat siluet menara pusat Centralpolis perlahan muncul di kejauhan. Menara itu menjulang tinggi, angkuh, bagai tombak kuno yang menembus langit—seolah menantang para dewa untuk turun langsung dan menyaksikan dunia fana. Kabut keemasan yang mengelilinginya tampak berdenyut halus, mengikuti ritme formasi pelindung yang tak kasat mata, seperti jantung kota yang berdetak dari kedalaman spiritualnya.Centralpolis. Kota yang tidak mengenal tidur. Cahaya spiritual dari lampu-lampu berbentuk lotus dan orb melayang lembut di udara, menyinari jalanan berbatu giok yang disucikan oleh para biksu pada era pendirinya. Gedung-gedung menjulang bagaikan altar, dan dari setiap balkon megah para bangsawan, tercium aroma dupa langka bercampur dengan wangi bunga silva dan wewangian ilahi. Kabut tipis yang menggantung di udara menari-nari di antara jalan-jalan berbentuk spiral yang saling bersilangan.Centralpolis, kota yang berdiri di ambang dua dunia—modern
Langit di atas Saint City memancarkan rona biru yang damai, seolah menipu kenyataan yang baru saja terjadi di tanah di bawahnya. Sinar matahari menyinari debu-debu halus yang masih melayang di udara, tertinggal dari kehancuran yang belum lama berlangsung. Namun bagi Kevin, cahaya itu hanya menyoroti satu hal—jejak keputusasaan yang ia tinggalkan di balik punggungnya.Langkah-langkah Kevin meninggalkan jejak samar di tanah yang masih basah oleh darah. Tanpa menoleh, ia berjalan menjauh dari reruntuhan Paviliun Xarxis, tempat yang dulu dihormati karena kekuatan dan tradisinya, kini hanyalah tumpukan puing tak bernyawa. Angin yang berembus dari arah barat membawa serta bau logam pekat dan hangus qi, bercampur dengan aroma kehancuran. Teriakan dan ledakan dari pertarungan tadi kini telah digantikan oleh sunyi ... sunyi yang sangat mencekam.Di baliknya, bangunan utama Paviliun Xarxis ambruk perlahan, seperti raksasa tua yang akhirnya menyerah pada waktu. Tidak ada jenazah yang tertinggal d
Beberapa cultivator mulai saling pandang. Ketakutan mendorong sebagian dari mereka untuk berbicara. Ada yang mulai menyebut nama kota. Ada yang menyebut sosok misterius yang pernah mereka lihat meninggalkan Saint City. Ada pula yang dengan suara gemetar menyebutkan nama seorang mantan tetua yang diduga berhubungan dengan Celestial Myrad.Kevin mendengarkan dengan saksama, tapi wajahnya tetap tak berubah—dingin, datar, tak memberi petunjuk apakah informasi mereka berguna atau tidak.Sementara rokok terus terbakar, bara merahnya menyusut perlahan ... seperti nyala harapan yang perlahan padam di mata mereka yang bersujud.“Jangan memohon pada iblis ini lagi!” seru seorang cultivator dengan wajah merah padam, darah menetes dari pelipisnya yang robek. Matanya membelalak penuh amarah dan keputusasaan. “Dia tidak akan membiarkan kita hidup-hidup! Dasar bajingan tak berhati!”Suasana di halaman Paviliun Xarxis mendadak membeku. Jeritannya menggema di dinding batu, bergema seperti ratapan terak
Langit di atas Saint City kembali membiru, tapi kedamaian itu hanyalah tipuan. Tanahnya masih basah oleh darah, sebagian sudah menghitam, sebagian lagi masih hangat, mengalir dari tubuh-tubuh yang belum dikuburkan. Asap tipis mengepul dari reruntuhan Paviliun Xarxis, seperti napas terakhir dari bangunan yang pernah berdiri dengan angkuh.Aroma besi—tajam, menusuk, dan penuh kematian—masih melekat di udara, menyusupi hidung dan tenggorokan, menyatu dengan hawa hangus dan debu reruntuhan.Di atas gerbang timur yang telah runtuh sebagian, seorang pria berdiri diam. Kevin.Bayangannya tegak menjulang di tengah puing, seperti siluet malaikat maut yang telah memutuskan siapa yang layak hidup dan siapa yang telah kehilangan hak itu. Jubahnya robek di sana-sini, bercak darah mengering di tepinya, dan ujungnya berkibar perlahan tertiup angin sore yang muram. Angin itu dingin—bukan karena cuaca, tapi karena sisa-sisa ketakutan yang menggantung di udara.Mata Kevin menyapu sisa-sisa kekuatan Pavi