Bab Utama : 2/2 Selesai Bab Bonus : 2/2 Selesai Bab Extra : 0/1
“AAAAARRRGGHHH!!”Jeritan Varion melesat ke langit seperti kilat yang menusuk jantung semesta. Suaranya memecah udara, memantul di antara dinding langit spiritual yang bergemuruh, mengguncang pilar-pilar cahaya surgawi yang berdiri rapuh di kejauhan.Tubuhnya terlempar seperti meteor liar, membelah angkasa dengan jejak api spiritual yang berkelip-kelip. Dalam sekejap, ia menghantam dinding batu surgawi—benteng yang bahkan waktu segan menyentuhnya. Ledakannya mengguncang dimensi itu, memicu runtuhan dahsyat. Pilar-pilar suci hancur tak bersisa, beterbangan seperti debu emas diterjang badai. Dentuman itu menggema panjang, lalu perlahan menghilang, digantikan keheningan yang nyaris tak wajar.Tanah tempat Varion jatuh membentuk kawah dalam—sebuah bunga lotus terbalik, seolah-olah alam sendiri mengejek ironi. Ia, sang penerus teknik Lotus Spiritual, kini menjadi puing di tengah simbolnya sendiri.Partikel-partikel debu spiritual melayang di udara, mengambang lembut dalam cahaya senja yang
“Kevin…”Suara itu datang pelan, nyaris terbisik di antara desir angin pagi yang menyisir puing-puing dan noda darah di tanah yang masih hangat oleh amarah. Suara itu tak lantang, tapi menusuk—menembus dinding waktu dan luka, langsung ke dalam relung hatinya yang paling dalam. Hanya satu suara yang bisa mengguncang hatinya sedemikian rupa, meski tahun-tahun telah berlalu dan dunia telah berubah menjadi tempat yang asing dan kejam.Tubuh Kevin bergeming sejenak. Seperti patung batu yang mulai retak, ia perlahan memutar tubuhnya. Gerakannya kaku, tertahan oleh nyeri yang menyayat dari luka-luka dalam. Darah merembes dari sudut bibirnya, menelusuri dagu, lalu menetes di atas tanah yang menghitam. Napasnya berat, berembus kasar seperti desah badai yang kehilangan arah.Dan di sana, hanya beberapa langkah dari bayangan tubuhnya yang nyaris roboh, berdirilah seseorang yang terlalu familiar untuk disebut asing.Clara Vesper.Namanya membentur benaknya seperti gema dari masa lalu yang tak pern
Angin pagi bertiup lebih keras, membawa aroma logam darah dan tanah yang basah oleh penderitaan. Di balik langit yang mulai mendung, cahaya matahari pagi meredup, seperti malu-malu untuk menatap dunia.Kevin memandang langit yang tak lagi bersahabat, lalu menatap Clara. Matanya melembut, untuk pertama kalinya hari itu.“Aku tak akan membiarkan mereka menyakitimu, Clara. Aku janji. Dari dasar lubuk hatiku yang terdalam… aku belum pernah melupakanmu.”Clara menatap Kevin dengan tatapan penuh kasih sayang sambil tersenyum. Selama ini, ia juga tidak pernah tertarik dengan pria lain dan berharap suatu saat Kevin akan kembali.“Aku tahu, Kev… apa kamu mau mengunjungi makam Paman dan Bibi?” tanya Clara tiba-tiba, suaranya pelan, seperti ragu apakah pertanyaan itu pantas diucapkan saat ini.Kevin terdiam. Napasnya tercekat. Tubuhnya mendadak bergetar hebat, seolah hantaman petir baru saja menyambar dari dalam dadanya.“Apa… apa yang kamu katakan barusan?” bisiknya, matanya membelalak tak perca
Langkah Kevin terasa berat saat ia menyusuri jalur setapak yang membelah hutan kecil di pinggiran Nagapolis. Clara berjalan di sampingnya, sesekali melirik ke arahnya dengan cemas. Udara sore terasa dingin, menyimpan aroma dedaunan basah dan tanah yang mulai lembap oleh kabut senja.Di ujung jalan, dua batu nisan sederhana berdiri berdampingan. Tak ada ukiran mewah atau pelita spiritual. Hanya semak-semak liar yang tumbuh di sekeliling, dan sebuket bunga liar yang sudah mulai layu. Namun justru kesederhanaan itu yang mencabik dada Kevin lebih dalam.Ia jatuh berlutut di depan makam itu, tak peduli pada debu yang mengotori bajunya yang lusuh. Tangannya bergetar saat menyentuh tanah di depan nisan bertuliskan:"Drakenis Aethron & Elenia — Cahaya Paviliun yang Telah Padam.""Ayah… Ibu…" gumamnya lirih. Air matanya jatuh satu per satu, membasahi tanah yang dingin. "Maafkan aku… aku tak bisa melindungi kalian..."Clara berdiri tak jauh darinya, tangan di dada, menahan isak yang nyaris pecah
Aura kematian menebal di udara, menggelayut seperti kabut kelabu yang menyesakkan dada. Tanah di bawah kaki bergetar pelan, mengirimkan getaran gelisah hingga ke akar pepohonan tua. Daun-daun gugur berputar liar di udara, seolah ikut panik, seolah alam pun sadar akan malapetaka yang sebentar lagi meledak. Udara menjadi dingin, bukan karena cuaca, tapi karena kehadiran beberapa sosok berjubah hitam yang kini mengepung Kevin seperti bayangan kematian yang tak mengenal ampun.Di antara mereka, Vaelen, pemimpin dari kelompok itu, menyeringai lebar—sebuah senyum yang lebih mirip cemoohan yang dibalut kebencian. Namun senyumnya hanya bertahan sebentar, karena segera berganti menjadi ekspresi haus darah yang liar dan gila."Hancurkan dia!" teriak Vaelen, suaranya tajam, membelah kesunyian seperti cambuk petir.Dua anak buahnya tak menunggu aba-aba kedua. Mereka melesat ke depan seperti bayangan tanpa bentuk—gerakan mereka nyaris tak bersuara, hanya menyisakan desir angin tajam yang memotong d
Kevin menegakkan tubuhnya perlahan. Tangan kanannya terangkat, jari-jarinya bergerak cepat membentuk segel kuno yang rumit, seperti menggambar mantra di udara. Energi hitam dan cahaya kemerahan mulai berputar di telapak tangannya, menciptakan suara dengung yang dalam dan bergema.“Demon Strike Sword!”Sebuah pedang berwarna hitam kemerahan terwujud di tangannya—panas dan berdenyut seperti jantung makhluk hidup. Permukaannya diliputi kilatan energi gelap yang mendesis tiap kali disentuh oleh udara. Itu bukan Pedang Dewa Ilahi, yang kekuatannya masih dalam masa pemulihan. Ini adalah pedang yang memanggil sisi tergelap dari Kevin—senjata dari kehendak iblis yang ia kendalikan dengan sisa kehendak manusia.Cambuk Vaelen meluncur ganas, ujungnya berdesir dan mendesis, siap melilit tubuh Kevin dan mencabiknya menjadi potongan-potongan kecil. Namun sebelum sempat menyentuh kulitnya...WUSSSHHH!!!Kevin mengayunkan Demon Strike Sword dengan kekuatan penuh. Udara seolah terbelah, dan cambuk itu
Malam telah melahap seluruh cakrawala, menyisakan langit kelam yang digelayuti awan tebal. Hujan gerimis baru saja reda saat Clara menyeret tubuh Kevin yang limbung menembus semak belukar dan akar-akar pohon yang menjulur liar. Nafasnya memburu, tubuhnya basah oleh peluh dan lumpur, namun tekad di matanya tak goyah.Akhirnya, di balik dinding hutan yang lebat dan gelap, tampaklah sebuah pondok kayu tua yang nyaris menyatu dengan alam sekitarnya. Ranting menjulur seperti tangan-tangan tua yang menjaga, sementara lumut hijau menutupi sebagian besar dinding dan atap jeraminya. Tempat itu pernah menjadi rahasia keluarga, dibangun oleh ayah Clara jauh dari jangkauan dunia luar—sebuah persembunyian bagi yang luka dan tersesat.Begitu pintu bambu berderit terbuka, kehangatan dari cahaya lilin spiritual menyambut mereka, memantulkan bayangan menari di dinding yang penuh anyaman. Aroma lavender yang menyegarkan bercampur dengan kayu manis yang menguar dari dupa menyusup lembut ke indera pencium
Dengan gerakan lambat, Kevin merogoh saku bajunya yang sobek di bagian samping. Jemarinya bersentuhan dengan serpihan plastik—ponsel yang diberikan Claudia. Harapan kecil sempat menyala di dadanya, tapi segera padam saat ia menariknya keluar. Layar ponsel itu retak seperti kaca beku yang dihantam batu, retakan menyebar seperti jaring laba-laba. Ia menatapnya sejenak, mendesah pelan.“Sial… rusak total,” gumamnya pelan, matanya memicing melihat simbol baterai yang berkedip sesaat sebelum padam sepenuhnya.Ia mengingat Claudia—wajahnya yang tegas dan tenang saat memberikan ponsel itu. Tapi saat mencoba memanggil kembali nomor gadis itu di ingatannya, pikirannya seperti kabut tebal. Tak ada satu angka pun yang muncul jelas.Ia melirik ke arah Clara dari balik pintu yang terbuka ... terlihat Clara tengah jongkok di antara semak-semak herbal tak jauh dari pondok. Gadis itu tampak sibuk memilih daun-daun tertentu, tangannya cekatan memilah akar dan bunga yang tumbuh liar. Keringat membasahi
“Ravena … dengarkan aku,” suara Kevin terdengar pelan, tapi ada kekuatan yang menggema di balik bisikannya. Setiap kata meluncur seperti doa yang menembus badai, menggetarkan udara yang dingin membatu. Tatapannya menancap pada gadis yang berdiri kaku di depannya, matanya yang dulu penuh cahaya kini hanya cermin gelap yang memantulkan kekuatan terkutuk. “Aku tahu kau masih ada di sana. Aku tidak datang untuk melawanmu—aku datang untuk membebaskanmu dari belenggu darah terkutuk itu.”Untuk sekejap, hanya desiran angin es yang menjawab. Tapi kemudian … AUMMM! Ravena mengaum, suara nyaringnya menggema seperti serigala salju meraung di tengah badai kutub. Napas putih menyembur dari bibirnya, dan lantai di bawahnya mulai memutih, tertutup es yang menjalar cepat, melingkar seperti ular glasial menuju kaki Kevin.Kevin mengerutkan kening, lalu BRAK! — dengan satu hentakan kaki, dia mengaktifkan Divine Flame Shield di sekeliling tubuhnya. Api ilahi menyala lembut di permukaan kulitnya, merah
Langit di atas Nagapolis menyelubungi kota dengan kegelapan yang pekat, seakan menelan segala cahaya. Awan hitam berputar perlahan di atas, menyelimuti dunia di bawahnya dalam suasana suram yang aneh—seperti energi gelap yang meresap ke dalam langit, mengambil kekuatan dari sesuatu yang tak tampak oleh mata manusia. Suasana itu memberi kesan seolah dunia ini sedang berada di ujung kehancuran.Di dalam markas Paviliun Dracarys yang menjulang tinggi dan kokoh, sebuah aura mengerikan mulai membentuk. Ruang di salah satu kamar tamu terasa jauh lebih dingin dari biasanya, seperti es yang mengalir di udara. Gelombang energi beku menyebar, menghantam dinding-dinding dengan kekuatan luar biasa. Suhu di sekitarnya merosot dengan cepat—sungguh luar biasa—hingga es mulai menutupi permukaan dinding, membentuk lapisan tipis seperti kulit beku yang siap mencabik siapapun yang mendekat.Jendela-jendela mulai berembun, perlahan menghitam dan retak-retak, suara gemerisiknya bergetar dalam keheningan m
Raungan mesin mewah memecah kesunyian malam yang mencekam. Lima mobil Bentley berwarna hitam legam berhenti dalam formasi rapi di halaman depan kediaman gubernur yang kini hanya menyisakan puing dan bau gosong. Kilatan lampu mobil menyinari tubuh Kevin dan Valkyrie yang masih berdiri di tengah reruntuhan, dikelilingi abu, debu, dan bayangan kematian.Dari pintu salah satu mobil, seorang wanita turun anggun namun penuh wibawa. Gaun merah menyala dengan belahan tinggi di kaki kanannya melambai diterpa angin malam, memperlihatkan betisnya yang jenjang dan langkahnya yang mantap. Rambut hitam panjangnya terurai rapi, dan sepatu hak tingginya mengetuk aspal dengan suara menggoda.Ia langsung menunduk dalam-dalam ke arah Kevin, dengan tangan di dada, menunjukkan sikap penuh hormat dan loyalitas.“Chief … apakah peti mati spiritual yang tadinya buat Gubernur juga akan kita bawa pulang?” tanyanya, suaranya lembut namun profesional. Wajahnya tenang, tapi matanya menyorot tajam seperti selalu s
Suara itu datang menggema dari kejauhan, bergema bagaikan petir yang merambat melalui udara meski jarak memisahkan mereka. “Kenapa kau tidak mengikutiku? Katanya mau jadi pelayanku?”Nada Kevin terdengar dingin namun tegas, seakan mengiris udara. Meski hanya berupa suara yang disalurkan melalui energi spiritual, setiap kata menyusup tajam ke telinga Valkyrie, mengguncang hatinya yang sempat tenggelam dalam keraguan.Valkyrie yang semula berdiri terpaku, mata birunya menatap kosong ke cakrawala, tiba-tiba mengerjap. Seketika wajahnya yang pucat karena kelelahan memerah, berseri-seri seperti bunga sakura yang mekar di pagi hari . Sebuah senyum kecil, pertama kali sejak pertemuan mereka, merekah di bibirnya.“Dia memanggilku …” bisiknya pelan, seakan meyakinkan dirinya sendiri. Dia sempat menyangka Kevin hanya akan menolongnya tanpa menginginkannya lebih jauh. Tapi kini—ada harapan.“Siap, Tuan Muda!” seru Valkyrie, suaranya lantang penuh semangat. Dengan gerakan cepat namun anggun, tang
Kevin perlahan memutar tubuhnya, derap langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok yang tergeletak di balik kepulan debu. Valkyrie—Celestial Myrad yang baru saja ia kalahkan—terbaring di atas tanah yang retak, tubuhnya penuh luka, armor peraknya remuk, sayap-sayap cahayanya kini hanya kelap-kelip samar. Namun matanya… masih menyala. Masih menyimpan api yang belum padam.“Aku …” suara Valkyrie terdengar serak, tapi tegas, “aku akan menjadi pelayanmu … jika kau memulihkan kondisi tubuhku yang rusak.” Nada suara itu aneh—campuran kesombongan yang dipaksa tunduk, dan pengakuan kekalahan yang pahit.Kevin menyipitkan mata, bibirnya melengkung sinis. “Apa gunanya bagiku?” desisnya, suara rendahnya nyaris seperti geraman. “Baru beberapa saat lalu kau ingin membunuhku tanpa ampun. Dan sekarang? Kau ingin jadi pelayanku? Jangan bercanda.”Valkyrie menggigit bibirnya, darah emas menetes di dagu. “Aku hanya menjalankan perintah …” katanya, matanya menatap Kevin tanpa berkedip. “Tapi aku
“Cukup dengan kebohonganmu.” Suara Kevin terdengar pelan, nyaris tanpa emosi, seperti sebongkah es yang jatuh menghantam tanah, dingin dan datar. Matanya menatap kosong ke arah Adam Smith, yang kini hanya tinggal bayangan lelaki sombong yang dulu berdiri gagah sebagai Gubernur Xandaria. “Kau hanyalah makhluk rendahan …” lanjut Kevin pelan, kata-katanya menggantung tajam di udara, “yang tak berguna bagiku.”Ia menunduk perlahan, membiarkan helaan napasnya yang dingin menyapu telinga Adam yang pucat. “Kau akan mati bukan sebagai gubernur …” bisiknya, suaranya nyaris seperti suara angin yang berkesiur di sela reruntuhan. “Tapi sebagai pengkhianat … yang menjual nyawa demi kekuasaan murahan.”Tubuh Adam makin menggigil, giginya bergemeletuk tanpa kendali. Mata lebarnya memantulkan bayangan Kevin yang perlahan berdiri kembali, tegap, seolah menyerap semua kekuatan di sekitarnya. “Tidak … tidak …” gumam Adam pelan, hampir seperti doa kosong, air mata bercampur ingus mengalir di pipinya.
“Aku tak butuh bantuanmu,” gumamnya datar, seolah ucapan itu hanya fakta, bukan ancaman.Adam mengerang pelan, air mata bercucuran, tubuhnya berkelojotan seperti ikan yang dilempar ke daratan. Matanya—mata yang dulu menatap rakyat Xandaria dengan penuh arogansi—kini hanya memantulkan ketakutan murni, ketakutan seorang manusia yang tahu ajalnya sudah menjemput. “Lalu … apa yang kau mau …?” bisiknya, suara itu seperti hela nafas terakhir, hampir tak terdengar, hanya serpihan suara di tengah kehancuran.Kevin menarik napas panjang, dadanya naik turun perlahan. Aura petir yang sedari tadi menggema liar di sekeliling tubuhnya perlahan mereda, satu demi satu kilatan padam, menyisakan hanya keheningan berat. Ia memejamkan mata sesaat, mendengar debar jantungnya sendiri, mendengar suara kenangan lama berbisik di kepalanya.Saat matanya terbuka kembali, hanya ada satu hal di sana: dingin, tak berperasaan. “Aku ingin kau mati,” bisiknya pelan, “dalam ketakutan … dan keputusasaan …” Ia mengang
Langkah kaki Kevin menghantam tanah yang retak dan hangus, setiap jejaknya menggemakan dentuman berat seperti palu menghajar bumi. Bau logam terbakar bercampur dengan aroma tanah basah menusuk hidungnya, sisa dari kawah pertempuran mautnya dengan Valkyrie yang masih mengepulkan asap tipis ke udara. Setiap embusan angin menggiring kepulan abu, menari-nari di antara reruntuhan dinding yang setengah runtuh. Namun mata Kevin tak goyah. Fokusnya terpaku pada satu sosok yang berlutut gemetar di ujung pandangannya.Adam Smith—dulu Gubernur Xandaria yang angkuh dan berkuasa—kini tampak seperti cangkang kosong, wajahnya pucat, rambut kusut, mata membelalak sembab. Tubuhnya menggigil, satu tangannya terangkat setengah, jari-jari gemetar seperti benang rapuh yang nyaris putus.“Tung-tunggu … Kevin…” suaranya pecah, parau, lebih mirip suara pria yang depresi daripada suara seorang pria yang pernah berdiri di puncak kekuasaan. “Kita … kita bisa bicara …!”Kevin berhenti, hanya satu langkah darinya.
Jeritan Valkyrie memecah malam, suara itu seperti lengkingan baja yang dipanaskan, menembus kabut dan debu. Aura perak membuncah dari tubuhnya, berputar liar, menciptakan pusaran cahaya yang menyilaukan. Dari balik kilau itu, muncul wujud ilusi seekor burung langit bersayap tujuh—makhluk legendaris yang hanya bisa dipanggil lewat teknik pamungkas, Lunar Phoenix Ascension. Sayap-sayapnya terbentang, tiap helai bulunya memancarkan cahaya perak yang menusuk gelap, memantulkan bayangan di reruntuhan yang mengelilingi mereka. Pedang Valkyrie, meski retak dan nyaris patah, memancarkan cahaya terakhirnya. “Moonlight Final Art : Silver Phoenix Reversal!” teriaknya, suara itu menggema, bercampur gaung magis yang membuat udara di sekitar bergetar.Di sisi lain, Kevin mencengkeram Pedang Dewa Ilahi lebih erat. Aura hitam-putih yang menyelubunginya semakin mengerucut, seperti tombak kilat yang siap menusuk langit. Mata Kevin, yang kini sepenuhnya bersinar putih, memantulkan kilatan dewa pembal