Bab Utama : 1/2 Mohon maaf ada keterlambatan rilis bab utama yang seharusnya pagi hari ... Jadi author bikin bab panjang sebagai bonus :)
WUUUSSSHH ...!!!Kilatan perak melesat dari tangan Kevin, cepat seperti kilat, menusuk ke arah semak-semak lebat di sisi gerbang utama. Tiga jarum perak itu menancap di batang pohon, menggetarkan ranting dan memecah keheningan sore.Claudia bereaksi secepat bayangan. Dalam sekejap, ia melesat ke arah sumber gangguan, tubuhnya membelah udara, diikuti dua pengawal yang menyusul dari belakang tanpa banyak bicara. Suara dedaunan terinjak dan ranting patah terdengar samar dari kejauhan.Kevin berdiri diam di tempat, matanya tajam mengawasi tiap gerakan.“Chief!” seru Claudia, napasnya masih memburu saat ia melangkah cepat mendekati Kevin. Di tangannya, sehelai kain sutra merah yang sobek melambai tertiup angin siang. “Pengintai itu sudah pergi. Tapi kami menemukan ini—potongan kain, sepertinya milik seorang wanita.” “Tidak ada siapa pun,” lapor Claudia. “Tapi seseorang jelas ada di sana… dan memata-matai dari kejauhan.”Kevin mengambil kain itu dari tangan Claudia, mengamatinya dalam diam
“Claudia masih di belakang?” tanya Kevin tanpa menoleh.“Ya, Tuan. Baron Vasper bersama Amanda Vasper dalam kendaraan kedua. Nona Claudia memimpin pengawalan di belakang mereka. Formasi tetap terkunci.”Kevin mengangguk, lebih pada dirinya sendiri. “Bagus.”Beberapa saat setelah meninggalkan jalan utama, mobil mereka mulai menuruni jalur sempit yang meliuk-liuk menembus rerimbunan hutan kecil menuju lembah. Sinar matahari pagi menerobos celah dedaunan, membentuk bayangan belang-belang di permukaan mobil. Udara mulai berubah—lebih sejuk, lebih tenang, dan membawa serta aroma tanah basah yang khas. Di kejauhan, seperti muncul dari kabut tipis pagi, berdirilah Paviliun Vasper.Bangunan itu jauh dari kesan mewah. Tak ada pilar marmer, tak ada gerbang batu besar, apalagi patung penjaga berkepala naga seperti yang biasa terlihat di markas Paviliun besar lainnya. Yang ada hanyalah kompleks sederhana dari kayu tua yang dirawat dengan penuh perhatian. Pagar tanaman hijau mengelilinginya, membe
Udara di halaman utama Paviliun Dracarys masih menyimpan bekas pertarungan besar itu—bau asap, aroma darah kering, dan dinginnya es yang perlahan mencair di sela-sela retakan lantai batu. Di tengah semua itu, Clara Vasper berdiri tegak, pakaian putihnya melambai pelan ditiup angin pagi. Sorot matanya lembut tapi tegas saat menatap ke arah kamar mewah, tempat Ravena terbaring.“Aku akan tetap di sini,” ucapnya akhirnya, suaranya jernih meski kelelahan tampak jelas di wajahnya. “Ravena butuh perawatan yang lebih dari sekadar ramuan. Dia butuh seseorang yang mengingatkannya bahwa dia tidak sendirian.”Baron Vasper, ayahnya, menoleh, alisnya mengernyit sedikit, tapi ia tak berkata apa-apa untuk beberapa saat. Sang istri, Amanda Vasper, hanya menunduk, menyetujui dalam diam.Claudia, yang berdiri di dekat gerbang utama, memberi isyarat pada para pengawal. Dengan sigap, beberapa pria bersenjata membuka jalan dan memastikan keamanan di sekitar area kendaraan.Tak lama kemudian, suara deru pe
Claudia mengangguk pelan. “Ya, Chief.”"Apa dua lainnya?" tanyanya, kini dengan nada yang lebih penasaran. Ada nada siaga dalam intonasinya, seolah ia bersiap menerima kabar tak menyenangkan.Claudia membuka file catatan dari tabletnya. Masing-masing file menguraikan deskripsi detail masing-masing artefak.“Yang pertama adalah Pedang Iblis Suci,” ujarnya. “Sebuah pedang panjang yang dilapisi ukiran sihir kegelapan dan cahaya. Konon, pedang ini hanya bisa digunakan oleh mereka yang pernah bersentuhan dengan dua sisi kekuatan: iblis dan ilahi. Dan …”Ia menatap Kevin dengan sedikit ragu.“... pedang ini adalah lambang kebanggaan dari Paviliun Xarxis di Saint City.”Mata Kevin langsung menyipit mendengar nama itu. Nafasnya tertahan sesaat. Ada riak di dalam dirinya, seperti ombak yang tiba-tiba menghantam dinding tenang.“Paviliun Xarxis?” ulang Kevin. “Itu ... salah satu dari paviliun besar, kan?”Claudia tampak berhenti sejenak, menimbang-nimbang jawabannya. “Benar. Salah satu yang ter
Ravena terbaring tenang di atas ranjang sihir yang dilapisi jaring mantra pelindung. Napasnya mulai kembali stabil, namun kulitnya masih terlihat pucat kebiruan, dan suhu tubuhnya tetap tak wajar—lebih dingin dari salju musim dingin.Kevin duduk di sisi ranjang, matanya tak lepas dari wajah gadis itu. Satu tangannya menggenggam tangan Ravena yang kurus dan dingin, sementara tangan lainnya memegang pecahan batu Vermillion Vein yang hancur dalam proses penyegelan tadi.Pecahan itu berkilau samar, sisa-sisa energi spiritualnya nyaris lenyap, seperti bara api yang hampir padam.Ia menghela napas berat. “Batu itu ... sudah tak bisa digunakan lagi,” gumamnya. “Jika Roh Iblis Es bangkit sekali lagi dan aku tidak siap …”Keringat dingin mengalir di pelipis Kevin meski suhu ruangan sangat dingin. Pikiran itu terus berputar dalam kepalanya—bagaimana jika Ravena kembali kehilangan kendali? Bagaimana jika ia tak sempat menyelamatkannya lagi?Langkah cepat dan ringan menggema dari luar ruang medi
Dari bawah reruntuhan yang hangus terbakar, Claudia berdiri membeku, jari-jarinya mencengkeram dinding yang nyaris runtuh. Debu dan abu beterbangan di udara, membentuk kabut kelabu yang menggantung pekat. Napasnya tercekat di tenggorokan, seolah paru-parunya lupa cara bekerja. Matanya membelalak, menatap sosok yang menggantung di udara dengan campuran tak percaya dan kekaguman yang mencekam.“Chief … kau …” suaranya gemetar, hampir seperti doa, “… kau berhasil …”Di sisinya, Valkyrie menyipitkan mata, mengamati dengan sorot penuh perhitungan. Rambut peraknya melambai ringan ditiup angin panas pertempuran. Ia menyunggingkan senyum tipis, begitu tenang dan mengintimidasi dalam keheningan yang rapuh. “Menarik … sangat menarik …” gumamnya, seolah tengah menimbang sesuatu yang jauh lebih dalam dari yang tampak.Di atas mereka, Kevin melayang perlahan turun. Tubuhnya menggigil—antara kelelahan dan ketegangan luar biasa yang baru saja ia lepaskan. Peluh bercampur darah mengalir dari pelipisn
“Aku tahu kau takkan melukai tubuh ini, Kevin,” bisik Ravena dengan suara tajam, bibirnya melengkung membentuk senyum setipis pisau. “Itulah mengapa kau akan kalah.”Kevin menggertakkan gigi, jemarinya mencengkeram gagang pedang hingga buku-buku jarinya memutih. Keringat dingin menetes di pelipisnya, segera membeku sebelum sempat jatuh.Dari kejauhan, suara Claudia menggema penuh kecemasan. “Chief! Jangan terhasut oleh iblis ini!”Valkyrie, yang berdiri tak jauh, mengepalkan tangan, aura tempurnya bergetar di udara. “Apa aku perlu membantumu, Tuan Muda?” tanyanya, suaranya dalam, nyaris tak sabar menunggu aba-aba.“JANGAN!” sahut Kevin cepat, nadanya tegas meski napasnya memburu. “Biarkan aku yang melawannya!” Matanya menatap Ravena dengan determinasi keras. Ia tak mau mengambil risiko Valkyrie atau Claudia melukai Ravena tanpa sengaja.TRAANG! CRASH!Benturan senjata menggema keras, menghantam dinding-dinding batu, membuat debu beterbangan dari langit-langit berkubah. Kevin menahan,
Udara di ruang bawah tanah Paviliun Dracarys bergetar, seolah merintih di bawah tekanan kekuatan dahsyat yang mengamuk di dalamnya. Cahaya lampu-lampu kristal di langit-langit berkubah berkelap-kelip redup, memantulkan bayangan bergerigi di dinding batu yang retak-retak. Pilar-pilar besar berukir naga yang dulu tegak megah kini retak dan rebah, sebagian patah seperti leher naga yang dipatahkan. Lantai marmer hitam dipenuhi retakan memanjang, dihantam oleh energi liar yang mengguncang setiap sudut ruangan. Kabut tipis bercampur es dan uap panas memenuhi udara, menciptakan aroma logam hangus dan dingin menusuk tulang.Kevin berdiri terengah-engah, dadanya naik turun cepat. Napas hangatnya membentuk embun tipis di udara dingin, bercampur dengan bau darah dan debu yang melekat di kulitnya. Tubuhnya penuh luka, goresan dan lebam membungkus lengan dan kakinya, sebagian memar ungu, sebagian lain tertutup debu kelabu. Tangannya menggenggam gagang pedang erat-erat, ujung bilahnya bergetar seir
Suara itu, meski tipis, menembus kabut peperangan, menusuk langsung ke relung hati Kevin. Tubuhnya yang semula membeku perlahan bangkit. Tangannya mengusap darah yang mengalir dari sudut bibir, dan di matanya—di balik luka, amarah, dan lelah—muncul seberkas cahaya baru ... harapan.“Benar …” bisik Kevin pelan, nyaris seperti doa. “Jika kekuatan Dewa tidak cukup … maka aku akan membakar jiwaku untuknya.”Dengan gerakan pelan namun penuh tekad, ia mengangkat pedang ke atas kepala. Cahaya baru mulai berpendar—bukan hanya satu warna, tapi perpaduan merah menyala, emas menyilaukan, dan biru setenang samudra. Udara seakan menghirup napas panjang, sunyi sesaat sebelum ledakan keajaiban.“PHOENIX FLAME BLAST!!”Jeritan mantra itu memecahkan keheningan. Dari ujung pedang, api abadi meluncur deras, menggumpal membentuk sosok burung phoenix yang megah. Sayapnya terentang lebar, memercikkan bara ke langit-langit, matanya menyala seperti dua matahari kecil yang membawa kehidupan sekaligus kematian