Ia mengaktifkan teknik Qinggong, tubuhnya melesat ringan melewati pepohonan dan bebatuan. Selama satu jam penuh ia bergerak cepat menuju sumber energi qi dan suara misterius itu.Akhirnya, ia tiba di tepi sebuah lembah tersembunyi di jantung pulau. Pemandangan di hadapannya membuat langkahnya terhenti mendadak, napasnya tertahan di tenggorokan.Di tengah lembah yang dikelilingi pohon persik raksasa, dua makhluk legendaris saling berhadapan dalam posisi siaga.Yang pertama adalah naga biru raksasa, tubuhnya sepanjang seratus zhang dengan sisik berkilau seperti safir yang ditimpa cahaya matahari.Tanduk emasnya melengkung anggun di atas kepala yang agung, mata peraknya berkilat tajam penuh kecerdasan. Kumis panjangnya bergerak lembut meski tidak ada angin, dan setiap gerakan tubuhnya yang panjang menciptakan gelombang energi qi yang terasa hingga ke tempat Rong Tian bersembunyi.Berhadapan dengan naga tersebut, berdiri dengan sayap terbentang lebar, adalah burung phoenix api yang tak ka
Pasir putih berderak lembut di bawah sepatu bot Rong Tian saat ia melangkah turun dari perahu kayu yang telah membawanya melintasi Laut Timur selama tiga hari tiga malam.Angin laut yang kuat membawa aroma garam dan sesuatu yang lebih eksotis, itulah wangi bunga persik yang samar namun tak salah lagi.Langit di atas pulau ini berwarna biru sempurna tanpa awan, seolah memiliki cuaca sendiri yang terpisah dari dunia luar.Pulau Bai She terbentang di hadapannya, lebih indah dan lebih menakutkan dari yang ia bayangkan.Pantai putih bersih melengkung membentuk teluk kecil, dikelilingi oleh tebing-tebing batu karang yang menjulang tinggi. Di balik pantai, hutan lebat dengan pepohonan tinggi menutupi sebagian besar pulau.Yang paling mencolok adalah pohon-pohon persik raksasa yang tersebar di seluruh pulau, bunga-bunga merah mudanya berkilauan tertimpa cahaya matahari.Lao Hai dan dua nelayan lainnya, Lao Chen dan Feng Wei, berdiri gugup di dekat perahu, wajah mereka menunjukkan ketegangan y
Rong Tian mengangguk paham."Tentu. Aku menghargai kejujuranmu, Lao Hai."Malam semakin larut di Desa Nelayan Teratai Biru. Suara deburan ombak terdengar lebih jelas dalam keheningan, seperti bisikan rahasia dari kedalaman laut.Cahaya bulan menembus jendela kecil pondok, menciptakan bayangan yang menari lembut di lantai kayu.Rong Tian menatap sekantong koin emas yang tergeletak di atas meja, berkilau redup dalam cahaya temaram pelita minyak ikan. Lima ribu koin emas, jumlah yang bisa mengubah nasib seluruh desa nelayan kecil ini."Lao Hai," ucapnya dengan suara tenang, "setelah kupikir-pikir, kita membutuhkan kapal kecil dengan awak minimal dua nelayan lain selain dirimu. Kita akan berlayar ke Pulau Bai She segera setelah kondisiku membaik."Lao Hai menatap kantong emas itu dengan tatapan kompleks, campuran antara keinginan, ketakutan, dan keraguan. Tangannya yang kasar oleh kehidupan laut mengusap janggutnya yang mulai memutih, gestur yang menunjukkan ia sedang berpikir keras."Tua
Mereka makan dalam keheningan yang nyaman untuk beberapa saat.Rong Tian menikmati setiap suapan, merasakan kesegaran ikan yang baru ditangkap dan kelezatan bumbu sederhana yang menyatu dengan sempurna.Ia tidak ingat kapan terakhir kali menikmati makanan dengan cara seperti ini, tanpa kecurigaan, tanpa ketakutan akan racun atau jebakan."Jadi, Tuan Muda berasal dari mana?" tanya Lao Hai akhirnya, memecah keheningan. "Pakaian dan barang-barang Tuan Muda menunjukkan bahwa Tuan Muda bukan orang biasa."Rong Tian terdiam sejenak, mempertimbangkan jawaban yang tepat."Aku berasal dari Barat," jawabnya akhirnya. "Sedang dalam perjalanan mencari... obat untuk penyakitku."Rong Tian tidak sepenuhnya berbohong. Pelindung Bahu Fajar Abadi memang bisa dianggap sebagai 'obat' untuk luka dalamnya."Ah, pantas saja," Lao Hai mengangguk paham. "Laut Timur memang terkenal dengan tanaman obat langka yang hanya tumbuh di pulau-pulau tertentu. Banyak tabib dari seluruh penjuru datang untuk mencarinya."
Pintu pondok menutup dengan suara berderit halus, meninggalkan Rong Tian sendirian dalam keheningan yang hanya diisi oleh suara deburan ombak dari kejauhan.Cahaya matahari menembus jendela kecil, menciptakan pola-pola keemasan di lantai kayu yang usang. Aroma garam laut dan rumput obat mengambang di udara, memberikan sensasi menenangkan yang aneh.Begitu langkah kaki gadis nelayan itu tak terdengar lagi, Rong Tian perlahan menggerakkan tubuhnya yang masih lemah. Matanya tertuju pada buntalan kain kasar yang tergeletak di sudut ruangan, tidak jauh dari tempat tidur sederhananya.Sejak membuka mata, buntalan itu telah menarik perhatiannya, menimbulkan pertanyaan yang tak terucapkan."Sejak tadi aku ingin memastikan," bisiknya pada diri sendiri, suaranya masih serak akibat tiga hari tak sadarkan diri."Apakah gadis itu benar-benar tulus menolong, atau ada motif tersembunyi?"Ia menatap pakaian yang kini dikenakannya, tunik dan celana panjang dari kain kasar berwarna biru pudar namun ber
Sekejab setelah memaksakan diri sadar dari kecanggungan mimpi...Dengan susah payah, Rong Tian membuka matanya. Langit biru terbentang di atasnya, awan-awan putih berarak perlahan seperti domba-domba yang digembala angin.Ia tidak lagi berada di bawah pohon pinus, melainkan di sebuah pondok sederhana dengan atap jerami."Ah, tuan muda sudah sadar," sebuah suara lembut menyapa telinganya.Rong Tian menoleh perlahan, menemukan seorang gadis muda duduk di sampingnya.Gadis itu mungkin berusia enam belas atau tujuh belas tahun, dengan kulit kecoklatan yang terbakar matahari dan rambut hitam panjang yang dikepang sederhana. Pakaiannya terbuat dari kain kasar berwarna biru laut, khas pakaian nelayan di pesisir timur."Minumlah ini," gadis itu menyodorkan mangkuk berisi cairan hijau kecoklatan yang mengepul. "Ramuan obat dari rumput laut dan akar pinus merah. Akan membantu mengurangi rasa sakit dan mempercepat pemulihan."Dengan bantuan gadis itu, Rong Tian berhasil duduk dan menerima mangku