Arka Suryatara pernah memiliki segalanya—pekerjaan yang mapan, cinta yang hangat, dan masa depan yang ia yakini akan cerah. Namun dalam sekejap, semuanya hancur. Ia dikhianati, dan dipermalukan hingga tak lagi punya alasan untuk hidup. Malam itu, ia memutuskan mengakhiri segalanya. Tapi takdir justru berkata lain. Ia terbangun lagi dengan membawa sebuah kalung giok naga yang begitu istimewa. Sebuah kalung dengan misi yang membawa Bhumi pada kekayaan dan menjadi rebutan para wanita cantik di kota itu!
View MoreHujan turun makin deras ketika Bhumi keluar dari pintu hotel. Cahaya lampu di lobi memudar di belakangnya, berganti dengan udara dingin dan angin yang bagitu menusuk tulang.
"Bodoh.. kau benar-benar bodoh Bhumi!" gumam pria itu, lalu menertawakan dirinya sendiri dengan menggeleng pelan. Ia terus berjalan dengan tatapan mata yang kosong, entah sudah berapa kali ia tertawa dengan menepuk dadanya yang terasa begitu sesak. "Bertahun-tahun... Bertahun-tahun aku korbankan semuanya. Aku rela tidur di depan toko, makan sehari cuma dua kali! Demi menuruti permintaan wanita yang bahkan hanya menganggapku seekor anjing?!" Bhumi kembali tertawa getir dengan menyeka sudut matanya yang basah. Tangannya kambali mengepal, kukunya menancap ke telapak tangan. "Ya Tuhan...!! Apa salahku? Hidup cuma sekali, dan kau memberikan aku takdir se-tragis ini?" ia terus menggerutu tak perduli dengan orang-orang yang tak sengaja berpapasan dan menatapnya dengan aneh. Bhumi menendang kerikil di trotoar. Wajahnya memerah, menahan amarah dan rasa malu yang masih membakar di dadanya. Pria itu kembali teringat kejadian dimana Alya, wanita yang selama ini ia cintai, bermesraan dengan pria lain bahkan di depan teman-temannya. Pria itu kembali mengepalkan tangan begitu kuat hingga buku jarinya memutih. “Kenapa aku begitu bodoh…” Gumamnya saat meraba cincin berlian yang ia beli sebagai hadiah ulang tahun hasil kerja kerasnya bertahun-tahun. "Persetan! Aku lelah... Aku bersumpah di kehidupan selanjutnya aku akan membalas mereka semua!!" Bhumi diam di tepi jalan. Ia menarik nafas panjang sebelum berjalan pelan ke tengah jalan, tanpa peduli lampu lalu lintas atau mobil yang lalu lalang dengan cepat menghindarinya. Pandangannya kosong, kedua tangan mengepal di samping badan. Ia lalu menoleh dengan pelan ke sisi lain saat sebuah Klakson mobil meraung keras semakin mendekat. Namun Bhumi tak bergeming, ia hanya menatap lampu terang itu, dengan seringai tipis. "Persetan dengan hidup ini. Lebih baik aku mati." ucapnya lirih. Namun tiba-tiba sebuah suara muncul entah dari mana, "Bocah bodoh, kau tak menungguku?" "Hah! Siapa itu?" Bhumi yang terkejut segera menoleh ke arah lain mencari suara asing yang terdengar seperti tak jauh dari tempatnya berdiri. Namun naas saat ia mencoba mencari siapa yang berbicara, sebuah mobil hitam mewah sudah berjarak sangat dekat dengannya. Seketika Bhumi berteriak, "Aaa.....!" Brak!! Benturan keras tak terhindarkan lagi. Tubuh Bhumi terpental, lalu jatuh menghantam aspal. Suara hujan dan dentuman bergabung menjadi satu. Terlihat mobil itu sempat berhenti beberapa detik, sebelum kabur meninggalkan tubuh Bhumi yang tergeletak di jalan basah begitu saja. Semua tampak kabur, pandangan Bhumi mulai berkunang-kunang sebelum semuanya menjadi gelap. "Aku mati? Menyedihkan sekali..." gumamnya pelan dengan satu tarikan nafas sebelum ia benar-benar menutup mata. Langit kembali menggelegar. Petir menyambar tepat di dekatnya, membuat Tubuh Bhumi tersentak hebat, seperti terkena sengatan listrik yang begitu kuat. Kejang sesaat, lalu diam. Beberapa detik sunyi. Bahkan orang-orang yang melihat Bhumi tergeletak tak ada yang mendekat. Semuanya hanya menonton, memotret lalu pergi begitu saja seolah pria nyawa pria itu tak berarti sama sekali. Dhuuuar!!! Sekali lagi petir menyambar, namun kini tepat mengenai tubuh pria itu tepat di bagian dada. Kilatan petir berubah menjadi hijau ke emasan saat mengenai pria itu. "Hah..!'' Bhumi menarik napas panjang dengan berat. Matanya kembali terbuka lebar, dada yang naik turun cepat. Ia mengerang pelan, lalu menghela nafas panjang mencoba untuk duduk dengan ekspresi bingung. “Aku belum mati?” ucapnya dengan napas yang terengah. Ia memandangi kedua tangannya yang tampak gemetar dengan hebat, “Tidak mungkin, seharusnya aku sudah mati…" pria itu menggelengkan kepala, tak percaya. Bhumi menatap sekelilingnya, sepi. Tak ada seorang pun disana, begitu juga jalanan yang lenggang tak ada satu kendaraan pun yang lewat. Ia lalu berdiri dengan tangan yang meraba tubuhnya, ''Aku ingat betul, aku sudah tertabrak mobil, dan...'' ia terdiam sesaat mencoba mengingat apa yang sudah terjadi, ''...yah, bahkan aku juga tersambar petir!'' Saat ia menyentuh dada, Bhumi terkejut saat menemukan ada benda asing yang menggantung di lehernya. ''Kalung?'' gumamnya bingung, dengan matanya yang membulat sempurna. Sebuah kalung giok sudah tergantung di lehernya, berwarna putih kehijauan, membentuk lingkaran tak sempurna. Ada ukiran naga kecil di permukaan giok itu. “Apa ini?” Bhumi sedikit mengangkat giok itu mencoba melihatnya dengan dekat. Ketika ia mengusap kalung itu dengan pelan tiba-tiba saja gioknya terasa berdenyut lembut dan bersinar selama beberapa detik. Pria itu kembali menatapnya lekat-lekat, keningnya berkerut dalam bingung, sekaligus takut. Lalu… Sebuah suara asing muncul berdengung di dalam kepalanya. [Sistem Raja Uang diaktifkan!] ''Hah, apa itu?'' ia terkejut, melepaskan kalung itu dan tersentak mundur beberapa langkah . [Halo bos, perkenalkan saya Jojo. Sebuah sistem yang akan membantumu untuk menjadi orang terkaya di kota ini!] Bhumi, merasa salah dengar, memutar tubuhnya beberapa kali. Ia mencari sosok yang mungkin bersembunyi dan mempermainkannya dari kejauhan. Namun, nihil. Tak ada siapa pun. Ia menghela napas pendek sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. "Ya Tuhan, mungkinkah aku sudah jatuh miskin dan kini menjadi gila?" gumamnya frustrasi. Dengan langkah gontai, Bhumi berjalan tanpa tujuan di trotoar, mengikuti arah kakinya melangkah. Ia melirik pergelangan tangan, tersenyum getir melihat jam menunjukkan pukul 00.30. "Hidup segan, mati pun gagal!!" desahnya, lalu duduk di halte bus. Tatapannya kosong, lurus ke depan, mengingat kejadian yang baru saja menimpanya. "Baiklah! Kali ini aku akan hidup untuk diriku sendiri. Aku akan bekerja keras, menjadi kaya raya, dikelilingi wanita cantik," celetuknya sambil menggosokkan kedua telapak tangan di depan wajah. "Hei, kau punya uang?!" "MONYET!" Pria itu terlonjak kaget mendengar suara yang tiba-tiba muncul di sampingnya. Ia menoleh sambil memegangi dada. Dilihatnya seorang pengemis tua duduk menatapnya dengan senyum lebar, memamerkan sederet gigi kuning kehitaman. Bhumi melongo, menoleh ke kiri dan kanan. 'Kapan kakek tua ini datang?' batinnya bingung. Ia yakin, saat baru tiba, tak ada orang lain selain dirinya. "Kek, kakek muncul dari mana?!" "Dari tadi. Bukankah aku sudah bilang, kenapa kau tidak menungguku?" jawab pengemis itu dengan nada bicara aneh dan sedikit menyeramkan. Bhumi menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, memiringkan kepala. "Hah... sepertinya aku mendengar itu, tapi di mana ya?" "Hei, anak muda, kau punya uang?" tanya pengemis itu lagi. Dengan wajah ragu, Bhumi meraba saku celana dan mengeluarkan dompet. Di dalamnya hanya tersisa selembar uang lima ribuan dan beberapa koin. Ia menoleh sekali lagi ke arah pengemis itu, merasa tak tega jika hanya memberikan uang yang tak seberapa nilainya. Lalu, ia teringat cincin yang ingin diberikan pada Alya. Dengan tergesa-gesa, Bhumi meraba saku yang lain. 'Untung saja cincin ini masih ada,' pikirnya lega. "Aku tak punya uang, Kek. Ambil saja ini, meskipun tak ada suratnya, jika dijual masih laku jutaan." "Sungguh? Bukankah ini untuk kekasihmu?" tanya pengemis itu. Bhumi terkekeh. "Pacar saya sudah mati bersama anjingnya. Sudah, ambil saja, Kek. Makan yang enak, ya," jelasnya. Pengemis tua menerima cincin yang Bhumi berikan dengan seringai aneh. Ia memasukkan cincin itu ke saku kemejanya yang kotor dan compang-camping, lalu berdiri dan menatap Bhumi sekali lagi. "Tenang saja, keinginanmu akan segera terwujud," ucap kakek tua itu sambil mengambil karung usang di samping kakinya. Mulut Bhumi sudah terbuka ingin menjawab, namun teriakan dari sisi lain membuatnya menutup mulut dan segera menoleh dengan cepat. "Kembali! Jangan lari!!!" Ia melihat seorang wanita dengan keadaan kacau dan berantakan berlari ke arahnya, dikejar oleh segerombolan pria. 'Ini sih bukan menjadi kaya, Kek. Aku---' Bhumi menoleh ke arah pengemis tua itu, namun tak ada siapapun, "La... hilang?!" Setelah itu giok di kalungnya bersinar dengan munculnya layar hologram di udara tak jauh dari wajahnya. [Misi baru terditeksi : Selamatkan wanita itu. Hadiah yang akan di terima : Uang Rp10.000.000,00 dan kemampuan diri : Mata rubah!] "A-a-apa, sepuluh juta??!!!" ***Malam itu, dengan jantung berdebar, Bhumi sudah tiba di alamat yang tertera di grup teman sekolah.Pria itu masuk dengan menunduk merapikan kemeja yang baru saja ia beli setengah jam yang lalu. Membuatnya tak sangaja menabrak seseorang yang baru saja keluar dari lift.“Eh, maaf—”Ia segera mendongak dan matanya membulat sempurna. “Selina?” bisik Bhumi tak percaya.Wanita itu, anggun dalam balutan gaun krem yang elegan, menatapnya dengan ekspresi kaget yang sama sebelum bibirnya melengkung membentuk senyum kecil yang manis.“Bhumi? Astaga, kau ngapain di sini?” “Reuni kampus,” jawab Bhumi santai, “Kau sendiri?”Selina terkekeh pelan, lalu menganggukan kepalanya. “Aku ada janji pertemuan. Seseorang ingin menjual barang koleksi antik dan aku tertarik untuk menjadikannya sebagai hadiah ulang tahun kakekku.”Ucapan itu baru saja meluncur dari bibirnya yang merah saat Bhumi merasakan sensasi aneh yang familiar di dada. Getaran halus dari kalung giok naga di lehernya membuat pria itu seketi
Bhumi terpaku. Matanya menatap pria berkacamata bulat besar yang berdiri di hadapannya. Informasi yang diberikan oleh mata rubahnya membuat Bhumi menelan ludah dengan susah payah.[Nama: Widodo.Pekerjaan: Kolektor.Umur: 55 Tahun.Status: Penipu, mantan narapidana.]'Oh... tukang kibul ternyata,' batin pria itu sambil menggeleng pelan. Widodo, pria berperut buncit dengan cincin batu akik berwarna merah tua melingkar di jempolnya, perlahan melangkah semakin dekat. Ia tersenyum dan sesekali membenarkan kacamatanya yang melorot."Bagaimana, anak muda?" ucapnya pelan namun masih terdengar jelas di tengah hiruk pikuk pasar. "Kau lepaskan barang itu padaku. Seratus juta… sekarang juga."Suasana pasar seketika pecah oleh bisik-bisik terkejut dan tak percaya dengan apa yang mereka dengar. Widodo tersenyum bangga meskipun Bhumi sama sekali tak memberikan reaksi apa pun. Beberapa pedagang yang tadi mencibir Bhumi kini mulai berbisik-bisik, mata mereka menyorot penuh minat ke arah mangkuk kecil
“Janu! Ranjanu, apa yang terjadi?!”Suara Bhumi memecah keheningan malam itu. Tubuh pria di hadapannya melenguh beberapa kali, ''Tolong, ah.. sakit.'' ucap pria bernama Ranjanu itu dengan mencoba mengangkat tangannya.Bhumi segera membantu sahabatnya itu untuk berdiri dengan menopangnya dari sisi kanan. Terlihat darah mengalir dari sudut bibirnya, mengenai baju yang sudah lusuh dan robek di beberapa bagian.“Untung saja aku bertemu denganmu, kalau tidak... mungkin aku sudah mati di sini,” gumam Janu pelan sambil meludah, darah segar kembali keluar dari mulutnya.Bhumi menahan napas, lalu tanpa pikir panjang memapah sahabatnya itu. “Diam, jangan bicara macam-macam!” teriaknya dengan nada marah, namun tak bisa menutupi rasa cemas dan juga khawatir.Tubuh Janu terasa berat di pundaknya. Mereka berjalan terseok, melewati gang sempit yang remang diterangi lampu jalan. Suara anjing menggonggong di kejauhan bercampur dengan derit sandal Bhumi yang basah. Udara malam lembab menusuk hidung, b
Layar itu menghilang begitu saja, seolah tersapu angin. Sekejap tadi, cahaya biru yang melayang di depan wajah Bhumi masih terlihat jelas, kini lenyap entah kemana.Bhumi mematung di tempat, matanya bergetar menatap ruang kosong di depannya. Napasnya naik turun tak beraturan. “A-apa tadi? Selamatkan? Uang? Hadiah? Sepuluh juta?” gumamnya terbata, berusaha memunguti potongan pesan yang baru ia baca.Dadanya terasa sesak, merasakan kebingungan yang menumpuk di dalam kepalanya.Namun sebelum pria itu mendapatkan jawab, wanita tadi sudah berdiri di hadapannya dengan wajah pucat, rambut panjangnya berantakan menempel di pipi yang basah oleh keringat. “Tolong... tolong aku!” teriaknya dengan suara parau. Ia langsung bersembunyi di belakang Bhumi, kedua tangannya mencengkeram ujung kemejanya begitu kuat hingga kusut. Tubuhnya terlihat gemetar dengan hebat.Bhumi terkejut, menoleh ke belakang, “E-eh? Apa yang terjadi---?”“Heh! Cepat kemari, perempuan sial!” seru suara garang dari arah depan
Hujan turun makin deras ketika Bhumi keluar dari pintu hotel. Cahaya lampu di lobi memudar di belakangnya, berganti dengan udara dingin dan angin yang bagitu menusuk tulang."Bodoh.. kau benar-benar bodoh Bhumi!" gumam pria itu, lalu menertawakan dirinya sendiri dengan menggeleng pelan.Ia terus berjalan dengan tatapan mata yang kosong, entah sudah berapa kali ia tertawa dengan menepuk dadanya yang terasa begitu sesak. "Bertahun-tahun... Bertahun-tahun aku korbankan semuanya. Aku rela tidur di depan toko, makan sehari cuma dua kali! Demi menuruti permintaan wanita yang bahkan hanya menganggapku seekor anjing?!" Bhumi kembali tertawa getir dengan menyeka sudut matanya yang basah.Tangannya kambali mengepal, kukunya menancap ke telapak tangan. "Ya Tuhan...!! Apa salahku? Hidup cuma sekali, dan kau memberikan aku takdir se-tragis ini?" ia terus menggerutu tak perduli dengan orang-orang yang tak sengaja berpapasan dan menatapnya dengan aneh.Bhumi menendang kerikil di trotoar. Wajahnya me
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments