Sakit... oh, rasa sakit yang menusuk hingga ke inti. Aku tidak pernah merasakan sesuatu sesakit ini. Tubuhku terasa hancur, seolah pecahan langit menimpa aku berulang kali tanpa ampun.
Aku terkapar di tengah reruntuhan kuil tua, batu-batu besar mengelilingiku, abu dan debu menutupi wajah. Napasku tersendat, sulit untuk bernapas normal. Setiap tarikan udara seperti membakar paru-paru, dan seluruh ototku berteriak menolak beban yang kutanggung. “Gohan!” Suara Xiulan memanggilku dengan penuh kecemasan. Wajahnya pucat, mata yang biasanya lembut kini penuh kepanikan. Aku mencoba mengangkat tangan, tapi seolah tubuhku bukan milikku. Kaku. Lemah. Bahkan setitik kekuatan pun menghilang entah kemana. Rasanya seperti jatuh dari tebing tinggi, tanpa ujung yang pasti. Tubuh ini terombang-ambing antara sadar dan hilang. “Jangan tinggalkan aku... tolong,” bisikku serak, menggantung di udara yang penuh debu dan kesunyian.Gelap. Gelap sekali. Aku terombang-ambing di ruang tanpa batas. Tubuhku seolah melayang di antara dunia nyata dan bayang-bayang. Suara-suara asing berbisik di telingaku, menusuk tanpa ampun. Tiba-tiba, sebuah suara lembut namun penuh kekuatan menyentuh hatiku, membangunkan sesuatu yang lama terkubur. “Gohan... anakku.” Jantungku berdegup keras. Suara itu... tidak mungkin. Aku mengangkat kepala, mencoba melihat dari mana asal suara yang menyayat itu. Namun yang kulihat hanyalah kegelapan pekat yang semakin menekan. Suara itu datang lagi, kini lebih dekat, lebih nyata. “Aku... ibumu.” Rasa hangat dan dingin bercampur di dadaku. Tangis mulai meleleh dari sudut mataku yang kering. Bagaimana bisa? Ibu yang kukenal sudah tiada. “Kenapa kau di sini?” Aku hampir berteriak, suara serak tersisa di tenggorokan. “Karena dunia ini... tidak seharusnya kau hadapi sendiri,” jawabn
Sakit... oh, rasa sakit yang menusuk hingga ke inti. Aku tidak pernah merasakan sesuatu sesakit ini. Tubuhku terasa hancur, seolah pecahan langit menimpa aku berulang kali tanpa ampun. Aku terkapar di tengah reruntuhan kuil tua, batu-batu besar mengelilingiku, abu dan debu menutupi wajah. Napasku tersendat, sulit untuk bernapas normal. Setiap tarikan udara seperti membakar paru-paru, dan seluruh ototku berteriak menolak beban yang kutanggung. “Gohan!” Suara Xiulan memanggilku dengan penuh kecemasan. Wajahnya pucat, mata yang biasanya lembut kini penuh kepanikan. Aku mencoba mengangkat tangan, tapi seolah tubuhku bukan milikku. Kaku. Lemah. Bahkan setitik kekuatan pun menghilang entah kemana. Rasanya seperti jatuh dari tebing tinggi, tanpa ujung yang pasti. Tubuh ini terombang-ambing antara sadar dan hilang. “Jangan tinggalkan aku... tolong,” bisikku serak, menggantung di udara yang penuh debu dan kesunyian.
Ahh, rasanya seperti dunia tiba-tiba runtuh di sekelilingku. Tubuhku... tak lagi mampu bergerak, lumpuh oleh sebuah kutukan yang lebih dari sekadar energi yang terkunci. Aku, Gohan Lee, yang baru saja terjerat oleh ciuman Yue Xiulan dalam sebuah ritual penyatuan, kini terbaring seperti mayat hidup, napasku tersendat-sendat, dan kekuatan langit yang biasanya mengalir deras di nadiku seakan ditarik pergi. “Mmm... Gohan, tahan... aku akan mencari cara membebaskanmu.” Suara Xiulan serak, penuh penyesalan dan ketakutan. Tapi aku tahu, ini bukan luka biasa. Ini lebih dari itu. Ini... penguncian warisan. Aku mencoba membuka mata, menatap langit kelabu di atas gua tua tempat kami bertarung dan bertahan. Namun semuanya terasa kabur, dunia berputar seperti pusaran badai tanpa ujung. “Kenapa... kenapa aku jadi begini?” Suaraku nyaris tak terdengar. Sebuah rasa dingin menjalar ke seluruh tubuh, menembus sampai ke tulang.
Ya ampun, detik itu bagai ledakan dahsyat dalam dada Gohan. Wajah Xiulan yang selama ini penuh misteri kini benar-benar terpampang di hadapannya, matanya lembap dan penuh ketegangan. “Gohan…” suara lembutnya menggema, namun ada beban berat yang mengikat setiap kata. “Xiulan, kau...” Gohan terpaku, tak mampu berkata lebih jauh, seolah waktu berhenti di ruang itu. Dengan hati berdebar, Xiulan melangkah maju, tanpa ragu menempelkan bibirnya di bibir Gohan. Satu ciuman — lembut tapi penuh makna, bukan sekadar sapuan biasa. Energi berkelok seperti aliran sungai kuno, mengalir dari Xiulan menuju jantung Gohan. “Ah!” suara terengah Gohan mengiringi gelombang energi yang meluncur masuk, panas tapi menusuk. Sesuatu di dalam dirinya seperti terkunci, lalu terbakar pelan. Napasnya terputus, jantungnya seperti dihantam keras. “Xiulan... apa yang kau lakukan?” Xiulan menarik diri, matanya penuh air mata. “Maafkan aku… tapi ini satu-satu
Malam itu pekat menyelimuti gua kuno yang tersembunyi di balik rerimbunan pohon tua. Suara angin bergesekan dengan daun-daun kering, mengeluarkan nyanyian lirih yang menusuk ke dalam jiwa. Gohan dan rombongan telah melangkah jauh dari medan perang, menuju sebuah tempat yang disebut-sebut menyimpan rahasia para dewa purba. “Gua ini... sangat tua. Lebih tua dari semua yang pernah kita lihat,” bisik Xiulan, tatapannya menyapu setiap lekuk batu yang tertutup lumut. Gohan mengangguk, pedang langit di tangan masih bergetar pelan, seperti merasakan aura kuat di dalamnya. “Aku merasa ini bukan sekadar gua biasa. Ada sesuatu yang menunggu di dalam.” Han Bei melirik tajam, tangannya menggenggam erat senjatanya. “Kalian siap? Ini bisa jadi jebakan.” Tapi sebelum ada yang bisa membalas, suara tawa terdengar—suara yang asing, dingin, dan mengerikan—membelah keheningan. Gohan dan yang lain berhenti, jantung berdetak tak be
Langit di atas medan perang itu muram, awan tebal menggulung berwarna abu-abu kehitaman. Angin dingin menusuk tulang, membawa aroma darah dan debu yang pekat. Gohan berdiri tegap, pedang emas legendaris di tangan kanan berkibar pelan, seolah menanti perintahnya. Mata Gohan berkilat penuh tekad, namun di balik itu, ada ketegangan yang sulit disembunyikan. Pusaran energi dari Langit Ketujuh yang belum sepenuhnya hilang masih terasa mengikat, terutama setelah Qin Rouye lenyap dalam kilatan cahaya ungu. Kini, hanya tersisa perasaan getir, kekosongan yang menggantung di antara mereka. "Ini belum selesai," gumam Gohan, napasnya berasap di udara dingin. Tubuhnya terasa berat, seperti menanggung beban yang jauh lebih besar dari pedang di tangannya. Tiba-tiba, sesuatu bergemuruh di kejauhan. Gelombang kekuatan yang mengerikan mengguncang tanah, membuat pepohonan di sekitar retak dan bergoyang. Dari balik kabut muncul pasukan makhluk bertanduk hita