"Dilahirkan dengan darah dewa, tapi dibesarkan sebagai kutukan." Gohan Lee, bocah yatim dari Desa Langit Sepi, tumbuh tanpa bakat, tanpa keluarga, dan tanpa harapan. Di mata sekte, dia hanya beban—lemah, tak berguna, dan ditakdirkan gagal. Sampai langit pecah. Sebuah pedang kuno jatuh, memilihnya sebagai tuan. Dan dunia... mulai ketakutan. Dalam darahnya, mengalir warisan yang pernah menghancurkan tujuh sekte besar. Tapi bukan pujian yang ia dapat. Melainkan pengkhianatan, pengejaran, dan kutukan untuk dikorbankan. Dengan sistem misterius dan kekuatan dendam dari masa silam, Gohan tidak lagi mencari pengakuan. Dia hanya punya satu tujuan: menghancurkan dunia yang pernah membuangnya.
View MoreTak ada yang bisa menjelaskan mengapa langit di atas Desa Langit Sepi selalu memerah setiap bulan mati.
Tapi malam ini berbeda. Langit itu menangis... petir. Gohan Lee berdiri sendirian di ladang tua saat langit mulai menghitam. Bocah kurus itu menggenggam keranjang berisi rumput liar, langkahnya lambat, pakaiannya penuh tambalan. “Anak dungu itu lagi,” bisik seorang petani. “Nggak capek dihina terus?” Gohan menunduk, pura-pura tidak dengar. Tangan kanannya masih dibebat kain, sisa luka sabit bulan lalu. Sejak kecil, ia dianggap lamban, bego, dan tak berguna. Tapi malam ini, tanah di bawahnya bergetar pelan. Angin mati. Burung berhenti bersuara. Langit... berubah merah darah. “Apa-apaan ini?” Gohan mengangkat wajah. Pusaran awan menggumpal di atas kepalanya. Suara bergemuruh dari dalam bumi. Tubuhnya gemetar. Ia ingin lari. Tapi tak bisa. Dan tiba-tiba, suara menggelegar memecah malam. BLAAAARRRR!!! Petir emas menyambar dua meter di depannya. Tanah terbelah. Api melingkar. Dan dari kawah yang tercipta, sebuah pedang muncul. Tertancap, berdiri kokoh, seperti diturunkan dari langit. Pedang emas kemerahan itu mengeluarkan aura panas. Gagangnya berbentuk naga yang menggigit ekornya sendiri. Udara sekitarnya berdesis. Tubuh Gohan membeku. Napasnya sesak. Lalu terdengar suara. “Gohan... kau belum siap, tapi waktumu tiba.” Suara itu bukan suara manusia. Tapi gema... dari langit. “Apa... siapa kau?” Gohan berbisik, panik. Tak ada jawaban. Tapi dadanya panas. Jantungnya berdetak liar. Dan di kejauhan, suara genderang terdengar samar, seperti perang yang berdentum dari balik awan. Beberapa petani melihat kejadian itu. Mereka berteriak. “P-Pedang Langit!” “Itu bukan mitos?! Astaga!” “PEDANG ITU MEMILIH PEWARISNYA!” Gohan melangkah, meski lututnya lemas. Satu langkah. Dua. Tiga. Tangannya terulur, mendekati gagang pedang. Ia tak tahu kenapa ia melangkah. Tapi sesuatu dalam darahnya... merasa bahwa pedang ini memanggilnya. Begitu jemarinya menyentuh gagangnya, kilatan cahaya menyambar. BZZZZTTT!! Dunia runtuh. Gohan melihat ribuan mayat terhampar. Sungai darah emas mengalir. Langit menjadi hitam. Dan di tengah medan perang, berdiri seseorang... ...yang wajahnya sama persis dengan dirinya. Tapi mata sosok itu bersinar merah. Dan di tangannya, pedang yang sama, meneteskan darah... para dewa. “Aku... siapa?” Gambaran itu menghilang. Gohan tersadar kembali di ladang. Tubuhnya terpental lima langkah ke belakang, mendarat keras. “Ghh...!” Ia meringis. Tapi saat melihat tangannya, ada simbol bercahaya muncul. Lingkaran emas dengan tujuh bintang kecil di dalamnya. Simbol itu berdenyut. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Gohan merasa... ia bukan manusia biasa. “Apa yang terjadi... dengan tubuhku?” Simbol itu perlahan lenyap. Tapi sensasinya tertinggal. Langkah-langkah mendekat. Warga desa berdatangan. Tatapan mereka berubah—dari benci, menjadi takut. “Itu... simbol Langit Ketujuh...” “Anak ini... pewarisnya?” “Dewa... penghancur... kembali?!” Seorang tetua, yang biasa menyebut Gohan ‘tak berguna’, kini berlutut gemetar. “Ribuan tahun... dan akhirnya kau yang dipilih?” “A-aku? Tapi aku cuma anak biasa...” “Justru karena itu,” ujar sang tetua. “Langit tak memilih dari istana. Tapi dari lumpur.” Gohan ingin menyangkal. Tapi dari balik pundaknya, suara itu kembali terdengar. “Cari tulang naga... sebelum fajar.” “T-Tulang naga...?” Pedang itu tak lagi bersinar. Tapi langit belum selesai. Dari arah utara, awan hitam menebal. Angin berubah tajam. Simbol besar muncul di langit—simbol klan Li. “Tidak mungkin...” desis seorang warga. “Itu segel darah terkutuk!” “Klan Li sudah punah!” “Siapa mereka?” Gohan bertanya, bingung. Tak ada jawaban. Warga desa hanya memandangnya seperti melihat kutukan. Beberapa mundur ketakutan. Lalu, seorang wanita datang berlari. Wajahnya pucat. Ibunya. “GOHAN! Jangan dekat-dekat pedang itu!” teriaknya. “Ikut Ibu sekarang!” “Tapi... pedang itu—” PLAK! Tamparan mendarat di pipinya. Bukan karena benci. Tapi karena takut. “Kita harus sembunyi! Kalau mereka tahu kau yang dipilih... dunia akan memburu kita!” “Siapa ‘mereka’? Apa maksud semua ini?! Aku cuma anak desa!” Wanita itu memeluknya. Tubuhnya gemetar. “Maafkan Ibu... Kau bukan anak Ibu, Gohan.” Deg. “Apa... maksudnya...?” “Kau adalah darah langit. Darah yang pernah menghancurkan surga.” Gohan membeku. Dunia terasa runtuh sekali lagi. “Kenapa sekarang baru bilang?” “Karena semuanya telah dimulai...” “Ibu... aku takut...” Sang ibu menggenggam tangannya erat. “Kau mungkin sendirian nanti. Tapi ingat: darahmu mungkin berat... tapi hatimu milikmu sendiri.” Langit kembali bergemuruh. Dari atas, cahaya petir membelah awan. Sebuah naga hijau raksasa muncul sekejap. Lalu lenyap. Pedang emas itu menyembur cahaya ke langit, lalu... hening. Tapi luka di tanah dan cahaya yang pernah bersinar di tangan Gohan... tak akan pernah hilang. Dan dari dalam pikirannya, suara itu datang lagi. Terakhir kalinya malam itu. “Langit tak memilih pahlawan... tapi alat untuk menghancurkan segalanya.” Gohan menatap langit. Dan malam pun pecah, bersama takdir yang baru saja terbangun.Langit memekik. Bumi mengerang. Kilatan petir membelah cakrawala tepat saat Pedang Langit di tangan Gohan kembali bersinar, liar seperti jiwa yang telah dibangunkan dari tidur panjangnya. Di arena utama Sekte Langit, ribuan mata menatap satu titik: bocah berlumuran debu dengan mata bersinar emas. "Itu... bukan kekuatan murid tingkat dasar!" "T-tidak mungkin! Arena!" Retakan pertama muncul di tengah gelanggang batu giok. Lalu yang kedua. Ketiga. Suara retaknya bukan sekadar bunyi; itu ratapan tanah yang kalah. Gohan terdiam. Di tangannya, pedang bergetar keras, seolah hendak meledak. Lalu bumi di bawah kakinya benar-benar hancur. BRAKHHH! Tanah membelah. Cahaya hijau pekat menyembur dari celah-celahnya. Aroma purba menguar seperti bau d
Langit di atas Gunung Xuanming tampak jernih pagi itu. Tapi Gohan tahu, kedamaian itu hanyalah ilusi tipis yang bisa robek kapan saja. Darah emasnya telah membuka gerbang kuno. Sekarang, ia berdiri di hadapan gerbang luar Sekte Langit Bening, bersama Maestro Yu Heng yang berjalan perlahan di sampingnya. Pandangan murid-murid di pelataran tak bisa menyembunyikan rasa curiga—dan ketakutan. "Jangan bicara terlalu banyak. Biarkan dunia yang menyimpulkan siapa dirimu," bisik Maestro. Gohan mengangguk pelan. Tapi dadanya bergemuruh. Ini bukan sekadar pendaftaran murid biasa—ini adalah ujian takdir. Di tengah lapangan utama, sebuah altar kristal berdiri menjulang. Di sanalah setiap calon murid diuji bakat spiritualnya. Ribuan anak muda dari desa dan sekte kecil telah antri sejak fajar, berharap diterima di sekte paling berpengaruh di wilayah Zhongtian bagian selatan. Gohan berdiri di belakang barisan, menunggu gilirannya. Teriakan tiba-tiba memecah suasana. "Itu dia! Bocah kampung dar
Gelap. Sunyi. Tapi langit tidak benar-benar diam. Gohan terbangun dalam runtuhan malam, napasnya berat, dada terasa diremukkan oleh ribuan panah tak kasatmata. Hujan sudah berhenti, namun bau tanah basah bercampur abu masih menyengat. Ia menggeliat perlahan, menyentuh dada yang terasa terbakar. Di sana, darah masih mengalir pelan. Tapi bukan merah. Emas. "Apa… ini?" desisnya pelan, menggigil melihat cairan keemasan yang mengalir dari lukanya. Bumi tiba-tiba bergetar. Retakan kecil menjalar dari tanah tempat darahnya jatuh. Suara retak-retak terdengar seperti jerit batu. Lalu... boom—tanah di depannya meledak membentuk lubang besar, dan dari dalamnya muncul cahaya pilar yang menyembur ke langit. Langit kembali menyala. Bukan petir. Tapi gerbang. Sebuah struktur batu melayang, seperti terbuat dari langit yang membatu. Gerbang berukir naga dan bintang, tertulis dalam aksara kuno yang seolah bergetar dalam batinnya: Gerbang Mitian — Hanya Darah Langit yang Bisa Membuka. “Tidak mun
Langit baru saja berhenti menangis ketika tubuh Gohan hampir runtuh. Ia berjalan sempoyongan di jalan setapak berlumut, tanpa arah, tanpa nama. Dunia telah menghapus identitasnya. Ibunya telah tiada. Desanya tinggal abu. Dan satu-satunya warisan yang ia bawa adalah pedang yang tak ingin disentuh siapa pun. Tapi di balik kabut pegunungan Qilin yang tak pernah disinggahi manusia, seseorang menantinya. Bukan sekadar penunggu sunyi. Tapi pria yang telah melihat bintang runtuh, dan tahu bahwa langit sedang mempersiapkan perang. “Kau datang lebih cepat dari takdir,” suara itu terdengar, “dan itu artinya kematian akan lebih cepat pula mencarimu.” Langkah Gohan terseok, memikul pedang bersimbah darah. Tak ada sinar matahari yang tembus ke celah pepohonan tinggi pegunungan Qilin. Kabut menggantung, pekat seperti mimpi buruk yang menolak hilang. Ia tak tahu sudah berapa lama berjalan sejak meninggalkan abu Desa Langit Sepi. Perutnya kosong. Napasnya membakar. Tapi sesuatu di dalam jiwanya
Guruh petir masih bergema di benaknya ketika ia membuka mata. Dunia tampak retak, seperti batas antara mimpi dan kenyataan telah terhapus. Di hadapannya, padang berlubang terbentang sunyi, bekas reruntuhan gua tempat ia tersadar. Hujan telah reda, menyisakan udara lembap, bercampur bau tanah gosong dan abu tak bernama. Pedang hitam, yang dulunya emas, masih dalam genggamannya. Warnanya kini lebih gelap dari malam, dan auranya makin berat, seperti menarik jiwa ke jurang tanpa dasar. Kilatan merah melesat dari langit. “Desa... Desaku...” Bisikan itu meluncur dari hatinya, bukan dari mulut. Ada sesuatu yang membakar lebih cepat dari api, panik. Ia melangkah, namun suara lirih menghentikannya. “Nak… kau…” Suara itu lembut, penuh kasih, dan menua. Ia mengenali nada itu bahkan dalam detik sekarat. Bu Ah. Di antara reruntuhan kayu terbakar dan debu yang belum mengendap, tubuh tua itu tergeletak. Matanya terbuka, menatap Gohan seolah menahan rahasia besar di ujung hidup. “Ma… apa yang
Langit baru saja mengakhiri gemuruh petirnya. Tapi di dada Gohan, suara itu masih bergema. Bukan suara ibunya. Bukan teriakan penduduk desa. Tapi bisikan dari pedang itu, dalam bahasa yang tak diajarkan manusia. “Cari tulang naga sebelum fajar.” Tapi apa maksudnya? Di mana harus mencari? Dan siapa dirinya sebenarnya? Gohan menatap tangannya. Masih ada bekas cahaya keemasan samar yang bersinar dari bawah kulitnya. Pedang yang tadi menusuk bumi kini terdiam. Namun auranya mengintai seperti raksasa yang pura-pura tertidur. Malam belum usai. Dan takdirnya baru saja membuka mata. Desa Langit Sepi menjadi langit yang benar-benar sepi malam itu. Setelah insiden cahaya, badai, dan naga yang hanya muncul sesaat, penduduk desa memilih diam. Mereka takut menyebut nama Gohan. Takut jika langit mendengar. Gohan duduk di dekat ibunya yang tertidur tak tenang. Wajah wanita itu menua seketika sejak mengakui kebenaran. Tentang asal-usulnya. Tentang darah langit. Tentang kehancuran. Tangannya me
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments