Share

Bab 4. Bahasa Sang Gadis

Kepala ular besar jatuh berdentum di atas semak belukar. Darah dari leher ular langsung muncrat membasahi tubuh dan wajahnya. Dari tubuh yang terpotong mengalir darah sangat deras bagai air sungai membasahi semak. Tubuh Sekar Pandan terduduk lemas dengan bersimbah warna merah. Pedangnya terpental di samping kepala ular.

Dia masih ketakutan dan tidak menyangka akan sanggup membunuh ular besar itu. Telapak tangannya terasa panas dan sakit akibat gesekan  dengan gagang pedang saat harus menebas leher ular yang berkulit keras.

Pedang biasa tak akan mampu membunuh ular itu, bahkan hanya sekedar melukai.

Si pemuda dengan tubuh lemah berusaha melepaskan tubuhnya dari belitan tubuh ular besar. Walaupun sudah mati, tubuh ular itu tetap masih membelit tubuh mangsanya. Cukup lama dia berusaha. Sekar Pandan menyaksikan pemuda penolongnya kesulitan keluar dari belitan tubuh ular segera bangkit menolongnya. 

Diraihnya Pedang Sulur Naga yang tergeletak di samping kepala ular. Untuk menolong penolongnya, sekali lagi dia menebas bangkai  ular itu. Darah ular kembali muncrat membasahi tubuhnya dan pemuda itu. Dipapahnya si pemuda untuk menjauhi bangkai ular yang terpotong menjadi tiga bagian.

Sekar Pandan membaringkan pemuda penolongnya di rerumputan yang tebal. Diperiksanya keadaan pemuda itu. Ada beberapa tulang yang bergeser dari letak seharusnya. Dia ingin membantu, tapi pengetahuannya dalam memperbaiki letak tulang belum seberapa. Tapi dia harus segera  menolongnya, jika tidak, bisa terjadi pembengkakan pada tubuhnya.

"Akhhh …!" Pemuda itu berteriak kencang manakala tangan halus dan kecil itu membetulkan letak tulangnya. Rasa sakitnya seperti ingin melemparkan jiwanya ke alam baka.

Setelah beberapa saat, pemuda itu mulai berani menggerakkan tubuh. Tulang di tubuhnya yang dibetulkan Sekar Pandan sudah tidak sakit lagi. Pemuda itu berkata pelan, " Terima kasih, Nini."

Sekar Pandan tersenyum. Darah ular yang mengotori wajahnya sejenak menghilangkan rasa manis senyumannya. Bahkan terkesan mengerikan dan menakutkan.  Gadis itu merangkapkan kedua tangan di depan hidung sebelum menyentuh bagian kaki pemuda itu kembali. Suara jerit kesakitan seketika menggema seantero hutan. Mengejutkan penghuni rimba dekat aliran sungai Brantas. 

Burung-burung beterbangan karena kaget.

Sesaat Sekar Pandan bimbang. Kedua matanya tak lepas dari kaki si pemuda. Apakah usahanya dalam mengembalikan letak tulang pemuda itu salah? Kini dipandanginya wajah pemuda yang masih mengernyit menahan sakit dengan seksama. Khawatir jika usahanya malah memperburuk keadaan si pemuda.

Pemuda itu menggerakkan kakinya. Kaki itu tidak sakit lagi.  Si pemuda tersenyum mendapati tubuhnya lebih baik. Tulang kakinya telah kembali ke tempatnya. Untunglah tidak ada yang remuk. Akan sangat fatal jika tulang seorang pendekar

remuk. Dia akan mengalami penurunan kekuatan bahkan bisa jadi cacat.

"Terima kasih, Nini telah menyelamatkan nyawa saya. Tapi seharusnya kau memberitahuku dulu sebelum melakukannya." Sekar Pandan kembali tersenyum, namun hanya sebentar. Ada sesuatu yang ia pendam. Sesuatu tentang tulang pemuda itu. Tulang yang ada di tempat lain. Namun dia tidak tahu bagaimana cara mengatakannya. Memakai bahasa isyarat belum tentu pemuda itu tahu dan memahami maksudnya.

Sekar Pandan serba salah. 

Jelas kegelisahan menggelayut di wajah penuh cairan merah dari tubuh ular penjaga hutan. Kedua tangannya terangkat akan memeriksa tubuh pemuda itu lagi. Dia ingin membetulkan letak tulang di pinggang pemuda yang belum kembali secara sempurna. 

Wajah si pemuda langsung pucat.

"Ja-jangan …!"

Sekar Pandan mengurungkan niat.

"Bukankah aku sudah baik?"

Sekar Pandan menggeleng.

Pemuda itu tidak percaya. Dia mencoba berdiri. Berjalan pelan. Keningnya berkerut. Tulang di pinggangnya masih terasa sakit saat kakinya mencapai beberapa langkah. Dia menoleh pada Sekar Pandan dengan wajah khawatir. Apakah telah terjadi sesuatu pada tulang pinggangnya?

"Apakah tulangku bisa disembuhkan? … Aku tidak ingin berjalan pincang seperti ini." Raut wajah tampan namun memiliki cahaya mata redup bagai tak bergairah hidup itu terlihat semakin merana.

Sekar Pandan mengangguk.

Pemuda itu bernapas lega. Lalu katanya,"cepat kau kembalikan letak tulangku, Nini." 

Sekar Pandan mengulurkan tangan ke arah pinggang si pemuda. Tangan itu mendadak berhenti tepat di atas ikat pinggang. Sinar matanya menyiratkan rasa malu. Mungkin jika wajahnya dalam keadaan bersih, tanpa noda merah, akan terlihatlah rona kemerahan di pipinya yang halus kuning buah langsat.

Baginya yang masih belasan tahun dan belum lihai dalam menangani cidera tulang, harus benar-benar memastikan keadaan tulang. Dan itu harus membuka ikat pinggang si pemuda. 

Gadis itu menunjuk tubuh si pemuda yang penuh darah. Wajah si pemuda keheranan melihat tingkah gadis kecil yang telah menolongnya ini.

Diam-diam pemuda itu membatin saat menyadari keanehan pada gadis penolongnya. Sejak tadi dia hanya tersenyum dan menunjuk. Sama sekali tidak berbicara. Mungkinkah gadis belasan tahun ini bisu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status