Kepala ular besar jatuh berdentum di atas semak belukar. Darah dari leher ular langsung muncrat membasahi tubuh dan wajahnya. Dari tubuh yang terpotong mengalir darah sangat deras bagai air sungai membasahi semak. Tubuh Sekar Pandan terduduk lemas dengan bersimbah warna merah. Pedangnya terpental di samping kepala ular.
Dia masih ketakutan dan tidak menyangka akan sanggup membunuh ular besar itu. Telapak tangannya terasa panas dan sakit akibat gesekan dengan gagang pedang saat harus menebas leher ular yang berkulit keras.Pedang biasa tak akan mampu membunuh ular itu, bahkan hanya sekedar melukai.Si pemuda dengan tubuh lemah berusaha melepaskan tubuhnya dari belitan tubuh ular besar. Walaupun sudah mati, tubuh ular itu tetap masih membelit tubuh mangsanya. Cukup lama dia berusaha. Sekar Pandan menyaksikan pemuda penolongnya kesulitan keluar dari belitan tubuh ular segera bangkit menolongnya. Diraihnya Pedang Sulur Naga yang tergeletak di samping kepala ular. Untuk menolong penolongnya, sekali lagi dia menebas bangkai ular itu. Darah ular kembali muncrat membasahi tubuhnya dan pemuda itu. Dipapahnya si pemuda untuk menjauhi bangkai ular yang terpotong menjadi tiga bagian.Sekar Pandan membaringkan pemuda penolongnya di rerumputan yang tebal. Diperiksanya keadaan pemuda itu. Ada beberapa tulang yang bergeser dari letak seharusnya. Dia ingin membantu, tapi pengetahuannya dalam memperbaiki letak tulang belum seberapa. Tapi dia harus segera menolongnya, jika tidak, bisa terjadi pembengkakan pada tubuhnya."Akhhh …!" Pemuda itu berteriak kencang manakala tangan halus dan kecil itu membetulkan letak tulangnya. Rasa sakitnya seperti ingin melemparkan jiwanya ke alam baka.Setelah beberapa saat, pemuda itu mulai berani menggerakkan tubuh. Tulang di tubuhnya yang dibetulkan Sekar Pandan sudah tidak sakit lagi. Pemuda itu berkata pelan, " Terima kasih, Nini."Sekar Pandan tersenyum. Darah ular yang mengotori wajahnya sejenak menghilangkan rasa manis senyumannya. Bahkan terkesan mengerikan dan menakutkan. Gadis itu merangkapkan kedua tangan di depan hidung sebelum menyentuh bagian kaki pemuda itu kembali. Suara jerit kesakitan seketika menggema seantero hutan. Mengejutkan penghuni rimba dekat aliran sungai Brantas. Burung-burung beterbangan karena kaget.Sesaat Sekar Pandan bimbang. Kedua matanya tak lepas dari kaki si pemuda. Apakah usahanya dalam mengembalikan letak tulang pemuda itu salah? Kini dipandanginya wajah pemuda yang masih mengernyit menahan sakit dengan seksama. Khawatir jika usahanya malah memperburuk keadaan si pemuda.Pemuda itu menggerakkan kakinya. Kaki itu tidak sakit lagi. Si pemuda tersenyum mendapati tubuhnya lebih baik. Tulang kakinya telah kembali ke tempatnya. Untunglah tidak ada yang remuk. Akan sangat fatal jika tulang seorang pendekarremuk. Dia akan mengalami penurunan kekuatan bahkan bisa jadi cacat."Terima kasih, Nini telah menyelamatkan nyawa saya. Tapi seharusnya kau memberitahuku dulu sebelum melakukannya." Sekar Pandan kembali tersenyum, namun hanya sebentar. Ada sesuatu yang ia pendam. Sesuatu tentang tulang pemuda itu. Tulang yang ada di tempat lain. Namun dia tidak tahu bagaimana cara mengatakannya. Memakai bahasa isyarat belum tentu pemuda itu tahu dan memahami maksudnya.Sekar Pandan serba salah. Jelas kegelisahan menggelayut di wajah penuh cairan merah dari tubuh ular penjaga hutan. Kedua tangannya terangkat akan memeriksa tubuh pemuda itu lagi. Dia ingin membetulkan letak tulang di pinggang pemuda yang belum kembali secara sempurna. Wajah si pemuda langsung pucat."Ja-jangan …!"Sekar Pandan mengurungkan niat."Bukankah aku sudah baik?"Sekar Pandan menggeleng.Pemuda itu tidak percaya. Dia mencoba berdiri. Berjalan pelan. Keningnya berkerut. Tulang di pinggangnya masih terasa sakit saat kakinya mencapai beberapa langkah. Dia menoleh pada Sekar Pandan dengan wajah khawatir. Apakah telah terjadi sesuatu pada tulang pinggangnya?"Apakah tulangku bisa disembuhkan? … Aku tidak ingin berjalan pincang seperti ini." Raut wajah tampan namun memiliki cahaya mata redup bagai tak bergairah hidup itu terlihat semakin merana.Sekar Pandan mengangguk.Pemuda itu bernapas lega. Lalu katanya,"cepat kau kembalikan letak tulangku, Nini." Sekar Pandan mengulurkan tangan ke arah pinggang si pemuda. Tangan itu mendadak berhenti tepat di atas ikat pinggang. Sinar matanya menyiratkan rasa malu. Mungkin jika wajahnya dalam keadaan bersih, tanpa noda merah, akan terlihatlah rona kemerahan di pipinya yang halus kuning buah langsat.Baginya yang masih belasan tahun dan belum lihai dalam menangani cidera tulang, harus benar-benar memastikan keadaan tulang. Dan itu harus membuka ikat pinggang si pemuda. Gadis itu menunjuk tubuh si pemuda yang penuh darah. Wajah si pemuda keheranan melihat tingkah gadis kecil yang telah menolongnya ini.Diam-diam pemuda itu membatin saat menyadari keanehan pada gadis penolongnya. Sejak tadi dia hanya tersenyum dan menunjuk. Sama sekali tidak berbicara. Mungkinkah gadis belasan tahun ini bisu?"Ada apa, Nini?" Si pemuda bertanya karena merasa keheranan dengan tingkah si gadis . Sekar Pandan menunjuk tubuh si pemuda kembali. Pemuda itu kebingungan dan semakin tidak mengerti. Dia mengamati keadaan tubuh gadis penolongnya. Sekujur tubuh gadis itu penuh darah ular yang menebarkan bau anyir. Niat awal dirinyalah yang ingin menolong si gadis , justru malah dirinya yang ditolong. Dia malu sekali.Tanpa menghiraukan tingkah aneh Sekar Pandan, pemuda itu berpamitan. "Nini, maaf saya harus pergi." Pemuda itu merangkapkan kedua tangannya di depan dada, tanpa menunggu balasan gadis yang menolongnya, dia melangkah pergi dengan tertatih-tatih karena tulang punggungnya masih sakit dan ngilu akibat belitan ular.Sekar Pandan tidak bisa mencegah orang muda berkain tambal tambal itu pergi meninggalkannya. Dia hanya bisa menarik napas panjang kemudian menghembuskannya kembali dengan berat. Tubuhnya berputar hendak menuju sungai, tempat kuda dan buntalan pakaiannya berada. Tiba-tiba … .Bruk
Malam itu Sekar Pandan dan Mahisa Dahana bermalam di tepi sungai Berantas. Hawa dingin di alam terbuka menjadi hangat seketika saat api unggun telah dinyalakan. Bau harum yang lembut seketika berpendar . Kening Mahisa Dahana berkerut. Dia heran, di dalam hutan kenapa ada wewangian seharum ini? Diam-diam tangannya meraba gagang pedang yang ada di pinggangnya. Dia yakin ada seorang perempuan yang tengah mengintai mereka berdua di tempat itu. Dan perempuan yang selalu memakai wewangian di hutan pastilah dia dari golongan hitam. Cukup lama pemuda itu bersiap siaga.Sekar Pandan yang mengira memang ada tamu tak diundang ikut bersiap. Dia kerahkan semua panca inderanya untuk mengetahui keberadaan tamu itu.Karena yang ditunggu tidak berani muncul menampakkan batang hidung, Mahisa Dahana berdiri menantang. "Nisanak, keluar lah! Jangan hanya sembunyi. Kami bukan orang jahat dari golongan hitam. Keluarlah, Nisanak …!"Tak ada suara. Hanya suara jangkrik dan gemericik air sungai yang terdenga
Sekar Pandan masih menunggu dengan sabar julukan itu. Dia yakin, kawannya ini tengah berpikir keras untuk membuatkan julukan atau nama lain yang sesuai dengan dirinya di dunia persilatan Jawa Dwipa."Ah, aku tahu, Nini. Julukan yang tepat untukmu adalah … Dewi Bunga Malam! ""Rupanya sepasang muda mudi tengah bermain membuat julukan. "Serangkum angin melesat melabrak api unggun hingga api itu bergoyang dahsyat dan padam. Sekar Pandan yang duduk paling dekat dengan api unggun bisa merasakan besarnya kekuatan angin itu. Gadis yang berasal dari perguruan Pulau Pandan itu membuang tubuhnya ke samping, menghindari serangan tiba-tiba itu.Saat membuang tubuhnya ke samping, kakinya sempat menendang satu kayu dari api unggun hingga terlempar ke udara. Saat api unggun padam, kayu yang masih dimakan api yang melayang di udara itu lah yang menerangi tempat itu. Dengan gerak cepat Sekar Pandan menyambar kayu yang masih melayang. Siapa sangka, sebuah tendangan yang demikian cepat berhasil membua
Dengan hati-hati, kedua muda mudi itu berjalan menyusuri semak dan rerumputan yang setinggi lutut untuk mencapai rumah yang terlihat samar dalam gelap. Benar saja. Di depan mereka berdiri sebuah rumah berbentuk panggung sederhana dari kayu. Obor penerangan terpasang di sudut luar rumah. Tidak cukup besar, tapi cukup sebagai penerang serambi depan dan sebagian halaman.Sekar Pandan berjalan mendekati pintu. Mengetuknya dengan pelan. Satu orang pun tidak ada yang menyahut dari dalam rumah. Sekar Pandan mengetuk kembali. Kali ini suara ketukannya lebih dikeraskan berharap pemilik rumah mendengarnya lalu bangun untuk membukakan pintu.Perkiraannya benar.Dari dalam terdengar suara palang kayu pintu dibuka. Disusul dengan suara geritan pintu yang dibuka. Seraut wajah laki-laki tua dengan wajah masih mengantuk muncul di sana."Ada apa? Kau mengganggu tidurku saja."Mahisa Dahana menghampiri mereka. Merangkapkan kedua tangannya di depan dada pada pemilik rumah, sebagai permintaan maaf karen
"Aku akan berusaha. Besuk pagi akan memetik daun obat untuk merawat anak kakek ini. Kalian berdoalah, agar semuanya berjalan lancar.""Kau tetaplah di sini, Dewi Bunga Malam," ujar mereka bersama-sama. Gadis itu mengangguk. Kakek dan nenek pemilik rumah keluar kamar meninggalkan Sekar Pandan dan anaknya yang masih terbaring."Jika kau ingin istirahat, kau bisa tidur di balai balai itu, Dewi Bunga Malam." Sekar Pandan menoleh pada sebuah balai balai yang ada di sudut ruangan. "Itu tempat tidur ibuku.""Siapa namamu?" tanya Sekar Pandan."Sekar Wangi." jawab Sekar Wangi."Bagaimana kau bisa sakit separah ini? Apakah kedua orang tuamu tidak—""Ceritanya panjang dan kau tidak perlu tahu. Tidak ada satu orang pun yang bisa mengobati penyakitku. Tubuhku dari waktu ke waktu bertambah kurus hingga seperti yang kau lihat. Tubuhku tak ubahnya tengkorak hidup," desah Sekar Wangi pasrah dengan keadaan dirinya.
Sekar Pandan menelisik tubuh Sekar Wangi, tak percaya."Dan aku benar-benar sakit. Kau bisa melihat keadaanku," terang Sekar Wangi diantara kekehannya."Kau tahu namaku?" tanya Sekar Pandan pada Sekar Wangi. Kedua bola mata Sekar Pandan melebar."Tentu saja tahu. Asal usulmu pun aku tahu," jawab Sekar Wangi enteng."Tidak mungkin!" sanggah Sekar Pandan."Apanya yang tidak mungkin bagi kami. Namamu Sekar Pandan. Kau berasal dari sebuah pulau yang sangat jauh dari tanah Jawa Dwipa ini. Kedua ayah angkatmu merupakan Datuk ahli obat dan racun. Ibumu berasal dari hutan Gendingsewu." Sekar Wangi mulai membuka jati diri Sekar Pandan. Gadis itu semakin dibuat takjub oleh pengetahuan wanita di depannya ini. Sekar Wangi adalah wanita dari bangsa lelembut, tentu saja dia tahu banyak hal tentang diri Sekar Pandan."Hutan Gendingsewu?""Ya. Ibumu adalah putri seorang pertapa di Padepo
Sekar Wangi terus maju dan menepuk pundak Sekar Pandan dengan senyum mengembang di bibirnya yang penuh. "Itu memang aku. Lebih tepatnya kekuatan jahat yang ada dalam diriku.""I-Itu … wujud aslimu?" Mata Sekar Pandan berputar menatap sosok Sekar Wangi, seolah ingin mencari celah dari tubuh sempurna, dari mana perubahan mengerikan itu berasal."Hihihi, tentu bukan, Sekar Pandan. Wujud asliku seperti ini." Sekar Wangi terkekeh sembari menutupi mulutnya dengan punggung tangannya. Karena merasa lucu dengan tuduhan Sekar Pandan barusan."Ohh, lalu kau membawa kami ke sini? Bagaimana dengan temanku? Kalian tidak—" gumam Sekar Pandan tidak meneruskan perkataannya karena mengkhawatirkan Mahisa Dahana yang tengah terluka. Bagaimanapun dia sangat khawatir dengan keselamatan pemuda itu. Apalagi mereka berada di alam lain.Seolah mengerti dengan isi kepala si gadis, perempuan dari bangsa lelembut itu segera menimpali."Temanmu itu aman. Jangan khawatir. Sekarang kembalilah kau bersama temanmu it
Dalam waktu sepenginangan sirih, Mahisa Dahana telah bangun dan setelah membersihkan diri di sungai, keduanya menyantap daging ayam hutan bakar hasil perburuan Sekar Pandan."Dewi Bunga Malam, apakah semalam kau merasakan sesuatu?"Sekar Pandan tahu kemana arah pertanyaan pemuda ini. Pasti ingin tahu tentang Sekar wangi, atau pak tua semalam yang telah memberi tumpangan menginap. Untuk menutupi dan menghentikan rasa penasaran si pemuda, Sekar Pandan sengaja menggelengkan kepalanya keras-keras.Mahisa Dahana serba salah jika berbicara dengan Sekar Pandan yang bisu. Tentu gadis itu lebih memilih menggeleng tidak tahu daripada harus bercerita. Seumpama gadis itu memilih bercerita pun, tentu dirinya juga tidak akan mengerti. Sebab gadis itu bercerita dengan menggerakkan tangannya."Ah, sungguh susah berteman dengan gadis bisu," gumam Mahisa Dahana pelan. Dia menghentikan gigitan pada daging ayam bakar miliknya, saat dia tidak sengaja mengangkat pinggangnya. Rasa nyeri yang luar biasa baga