Share

Bab 5.  Jengah.

"Ada apa, Nini?" Si pemuda bertanya karena merasa keheranan dengan tingkah si gadis . Sekar Pandan menunjuk tubuh si pemuda kembali. Pemuda itu kebingungan dan semakin tidak mengerti. Dia mengamati keadaan tubuh gadis penolongnya. Sekujur tubuh gadis itu penuh darah ular yang menebarkan bau anyir. Niat awal dirinyalah yang ingin menolong si gadis , justru malah dirinya yang ditolong.

Dia malu sekali.

Tanpa menghiraukan tingkah aneh Sekar Pandan, pemuda itu berpamitan. "Nini, maaf saya harus pergi." Pemuda itu merangkapkan kedua tangannya di depan dada, tanpa menunggu balasan gadis yang menolongnya, dia melangkah pergi dengan tertatih-tatih karena tulang punggungnya masih sakit dan ngilu akibat belitan ular.

Sekar Pandan tidak bisa mencegah orang muda berkain tambal tambal itu pergi meninggalkannya. Dia hanya bisa menarik napas panjang kemudian menghembuskannya kembali dengan berat. Tubuhnya berputar hendak menuju sungai, tempat kuda dan buntalan pakaiannya berada.

Tiba-tiba … .

Bruk! Krosak!

Gadis berkain hijau itu menoleh dengan terkejut.

Rupanya, dalam beberapa langkah ke depan, tubuh si pemuda jatuh terjerembab di semak belukar yang banyak daun keringnya. Sehingga menyebabkan bunyi ' krosak' yang keras.

Sekar Pandan berlari menolongnya. Si pemuda berusaha bangkit, tangannya mengibas ke arah Sekar Pandan, menolak bantuannya. Gadis itu diam terpaku sambil mengawasi pemuda yang ada di depannya ini berdiri tegak. Lalu berjalan kembali seraya meringis menahan ngilu di sendi tulangnya. Boleh jadi letak tulangnya telah kembali. Tapi ngilu akibat belitan ular sialan itu tetap harus dia tanggung.

Dalam hati si pemuda menyumpah, geram.

Sekar Pandan ingin mencegahnya. Tidak satupun suara yang keluar dari tenggorokan. Baru saja dia bertemu teman, sekarang malah ingin pergi. Yang jelas bukan dia takut melakukan perjalanan seorang diri, melainkan dia perlu membantu orang muda ini kembali sampai benar-benar pulih. Mungkin dengan membawanya kepada seorang dukun yang mengerti tentang tulang dan sendi barulah dia merasa lega.

Dengan gerak cepat, Sekar Pandan menghadangnya. Si pemuda terperanjat! Dia tidak menyangka bahwa gadis penolongnya bisa bergerak sedemikian cepatnya.

"Ada apa Nini? saya ingin pergi. Tolong jangan halangi." Sekar Pandan menggeleng keras kemudian menarik tangan pemuda itu menuju sungai.

"Bersihkan tubuhmu dengan air sungai, Kisanak." ujar Sekar Pandan menunjuk aliran sungai Berantas yang jernih.

Mengertilah pemuda itu dengan maksud dari si gadis. Dia memperhatikan tubuhnya yang penuh darah. Sekar Pandan melepaskan pegangan tangannya kemudian pergi menuju tepi sungai untuk membersihkan diri.

Si pemuda pun langsung masuk ke dalam sungai agak terpisah dengan gadis belasan tahun itu. Bukan main sakitnya pinggang bekas belitan ular, saat kakinya masuk sungai. Beberapa batu besar menghalangi jarak keduanya. Mulailah mereka membersihkan tubuh dan mencuci kain yang melilit di tubuh. Setelah cukup membersihkan diri, gadis itu kembali keluar dengan pakaian kering sambil membawa baju basah lalu menjemurnya di atas batu di bawah terik matahari.

Keduanya duduk di atas sebongkah batu saling berhadapan. Pemuda itu duduk bersila dengan kain sedikit basah, mencoba menghimpun kekuatannya kembali. Sementara gadis itu sibuk mengeringkan rambut hitam panjang bergelombangnya yang basah. Ujung kain hijau yang melekat di tubuhnya berkibar tertiup angin siang yang tetap sejuk.

Setelah berhasil menghimpun kekuatannya kembali, si pemuda bertanya," Siapa namamu, Nini?"

Gadis itu menghentikan gerakan tangan pada rambutnya. Memandang lurus ke depan. Pemuda itu juga tengah memandangnya. Menunggu jawaban. Sebenarnya dia enggan menyebutkan nama di depan orang asing.

"Apakah Nini tidak ingin berkawan dengan pemuda gembel sepertiku?" Suara pemuda itu terdengar bergetar. Raut wajahnya menunjukkan kesedihan yang dalam. Sekar Pandan ingin mengatakan bahwa dia suka berteman dengan pemuda ini. Baru saja dia hendak menggerakkan tangannya untuk menjelaskan isi hatinya. Ah, mana mungkin laki-laki muda ini mengerti dengan bahasanya.

Untuk melakukan sesuatu seperti yang biasa ia lakukan dengan Raden Prana Kusuma saat berbicara, gadis itu jengah. Padahal Raden Prana Kusuma malah seorang prajurit sekaligus bangsawan Majapahit, sedangkan dirinya hanya gadis biasa yang seharusnya lebih menjaga sopan santun dan kehormatan, tapi dirinya tidak pernah mengalami rasa itu. JENGAH. Entah kenapa dengan pemuda berkain tambal-tambal ini dirinya mengalaminya.

Sekar Pandan tersenyum tipis. Bermaksud, bahwa dia senang berkawan dengan pemuda itu. Si pemuda sedikit lega. Kedua alisnya bertaut, dia seperti tengah mengingat sesuatu.

"Ah, sejak tadi aku belum mengenalkan namaku padamu. Jika kau tidak mau menyebutkan nama, maka biarkanlah aku yang menyebut nama terlebih dahulu. Namaku Mahisa Dahana. Nini bisa memanggilku Kakang Mahisa. Karena usia kita memang terpaut jauh." Gadis berkulit kuning buah langsat itu mengangguk senang.

Pemuda ini kelihatannya cukup baik, tidak masalah jika dia berteman dengannya. Lagi pula, saat ini sepertinya dia butuh seorang teman.

Mata indah dan bening bak telaga Sekar Pandan mengamati aliran sungai Berantas yang ada di bawahnya. Beberapa ikan besar berenang di antara celah-celah bebatuan. Ikan ikan sungai itu cukup untuk santapan makan malam nanti.

Bergegas dia memunguti batu kecil yang ada di tepi sungai. Dengan mengerahkan tenaga dalam, batu batu kecil itu digunakan untuk membidik ikan yang tengah berenang di dasar sungai.

Wusshh wuushh!

Satu ekor ikan menggelepar. Satu sambitan Sekar Pandan lakukan lagi. Dan satu ekor menyusul muncul di permukaan air. Dia melakukan itu sampai beberapa kali hingga ikan yang ia kumpulkan cukup banyak untuk disantap berdua dengan Mahisa Dahana.

Tangannya mengambil ranting-ranting kayu kering yang berserakan di bawah pohon di tepi sungai. Melihat ulah Sekar Pandan, yang sejak tadi melakukan semuanya sendiri, Mahisa Dahana berjalan tertatih-tatih mendekat.

"Kau pikir aku tidak bisa mengumpulkan ranting-ranting kayu kering ini, Nini? " Sekar Pandan terkejut dengan kata-kata pemuda ini. Padahal dia tidak bermaksud seperti yang pemuda itu kira.

Tanpa menghiraukan si pemuda yang sibuk menumpuk ranting-ranting kering, Sekar Pandan pergi begitu saja masuk hutan kembali. Mahisa Dahana menghentikan pekerjaannya. Memandang Sekar Pandan yang telah tertelan lebatnya hutan.

"Dia pergi meninggalkan aku sendiri begitu saja. Apakah gadis itu tersinggung?" desahnya mulai merasa bersalah.

"Nini …! Kembalilah."

Sekar Pandan tidak kembali.

Gadis itu terus berjalan menyusuri hutan sambil sesekali memetik dedaunan, buah, dan bunga. Semua yang ia petik merupakan sesuatu yang mengandung obat. Dia ingin membuat ramuan jamu untuk Mahisa Dahana agar tubuhnya lebih baik setelah dililit ular besar.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Suprayitno Suprayitno
oh, dia ini tabib ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status