Share

Bab 8. Bertamu

Dengan hati-hati, kedua muda mudi itu berjalan menyusuri semak dan rerumputan yang setinggi lutut untuk mencapai rumah yang terlihat samar dalam gelap. Benar saja. Di depan mereka berdiri sebuah rumah berbentuk panggung sederhana dari kayu. Obor penerangan terpasang di sudut luar rumah. Tidak cukup besar, tapi cukup sebagai penerang serambi depan dan sebagian halaman.

Sekar Pandan berjalan mendekati pintu. Mengetuknya dengan pelan. Satu orang pun tidak ada yang menyahut dari dalam rumah. Sekar Pandan mengetuk kembali. Kali ini suara ketukannya lebih dikeraskan berharap pemilik rumah mendengarnya lalu bangun untuk membukakan pintu.

Perkiraannya benar.

Dari dalam terdengar suara palang kayu pintu dibuka. Disusul dengan suara geritan pintu yang dibuka. Seraut wajah laki-laki tua dengan wajah masih mengantuk muncul di sana.

"Ada apa? Kau mengganggu tidurku saja."

Mahisa Dahana menghampiri mereka.

Merangkapkan kedua tangannya di depan dada pada pemilik rumah, sebagai permintaan maaf karena telah mengganggu tidur orang tua itu.

"Kami kemalaman di hutan ini, kek. Boleh kami ikut bermalam di rumah kakek?" pintanya tetap merangkapkan kedua tangannya di depan dada.

Kakek itu memindai tubuh Mahisa Dahana dari ujung kepala hingga ujung kaki. Lalu beralih pada Sekar Pandan. Wajahnya tampak tidak suka.

"Kalian pasti sepasang kekasih yang melarikan diri dari rumah. Iya, kan?" celanya dengan sinis.

Sekar Pandan memandang Mahisa Dahana dengan tatapan tidak mengerti. Dia masih polos, mana mengerti dengan ucapan kakek pemilik rumah. Kembali pemuda berkain lusuh penuh tambal itu berkata, suaranya terdengar gugup. Dalam hati dia memang mengakui gadis yang baru hari ini ia kenal itu memang mempunyai kecantikan yang luar biasa.

Juga, memiliki bau tubuh yang harum menenangkan. Dia rasa gadis itu memiliki semua pesona yang diidamkan kaum laki-laki. Walaupun masih berusia belasan warsa. Tanpa terkecuali dirinya. Diliriknya gadis yang berdiri diam di sebelahnya.

Namun, mereka bukan sepasang kekasih. Apalagi sampai melarikan diri dari rumah.

"Kami bukan sepasang kekasih, kek. Dia kawanku. Namaku Mahisa. Dia … dia bernama Dewi Bunga Malam."

Mendengar nama Dewi Bunga Malam disebut, kakek itu menampakkan wajah murung.

"Bagaimana, Kek? Apakah kami boleh menginap semalam di rumah kakek ini?"

Kakek itu ragu. Setelah didesak Mahisa Dahana, akhirnya bersedia menerima keduanya bermalam. Kakek pemilik rumah mengambil tikar pandan dan menggelarnya di lantai.

"Maaf, rumah ini hanya ada dua kamar, jadi kalian tidur di lantai dengan tikar pandan ini," ujarnya setelah tikar pandan usang itu menutupi lantai kayu yang telah tua.

"Kenapa dia juga harus tidur di sini, kek. Bukankah kakek mempunyai dua kamar? Dia seorang gadis, kurang pantas kalau harus tidur di luar. Pinjamkan satu kamar untuknya, Kek." Mahisa Dahana memohon.

"Kamar itu milik anak perempuanku yang sakit. Tidurlah." Kakek itu masuk ke dalam kamarnya tanpa perduli, meninggalkan Sekar Pandan dan Mahisa Dahana yang terpaksa harus tidur di lantai dengan beralas tikar pandan.

Tanpa memperdulikan Mahisa Dahana, Sekar Pandan berbaring membelakangi pemuda itu. Namun matanya sulit terpejam. Dia teringat ucapan kakek pemilik rumah, bahwa anaknya sedang sakit. Perlahan dia bangun dan berjalan menuju pintu kamar kakek pemilik rumah. Siapa tahu dia bisa membantu.

"Ada apa lagi, Nini?" Sekar Pandan terperanjat. Di belakang tubuhnya, telah berdiri kakek pemilik rumah. Kakek itu bertanya dengan wajah tidak senang. Tangan gadis berambut panjang bergelombang sepinggul itu menunjuk pintu kamar sebelah yang tertutup rapat.

"Dia anakku. "

Sekar Pandan berjalan ke pintu kamar anak kakek pemilik rumah. "Kau mau apa?" tanyanya membuntuti tamunya.

Gadis itu menunjuk dirinya lalu menunjuk pintu kamar. Kening kakek itu berkerut dalam. "Kau tidak bisa bicara?" Sekar Pandan hanya menatapnya dengan pandangan tajam. Sebentar kemudian menunduk dalam.

"Aku mengerti sedikit tentang ilmu pengobatan."

Dia mulai membuat gerakan dengan tangannya.

"Kau bicara apa?" Sebuah suara yang masuk ke dalam jiwa Sekar Pandan membuatnya terperanjat. Orang tua ini pastilah bukan orang sembarangan. Dia bisa mengajak berbicara lewat batin pada Sekar Pandan. Maka gadis itu pun membalasnya dengan berbicara lewat batin juga.

"Bicaralah dengan batinmu, aku bisa mendengar suara batinmu, Nini." Sekar Pandan mengangguk senang. Baru kali ini dia bertemu seseorang yang bisa mengajaknya berbicara lewat batin.

"Mungkin aku bisa mengobati anak kakek yang sakit."

"Kau yakin, Nini?"

"Aku akan berusaha, Kek."

"Jika begitu masuklah."

Si kakek membuka pintu kamar. Semerbak harum bunga melati menyeruak ke hidung Sekar Pandan, mengalahkan keharuman yang berasal dari dirinya. Harum bunga melati seolah menekan bau harum alami tubuhnya. Di dalam kamar yang hanya diterangi sebuah damar dari minyak jarak yang diletakkan di atas meja tua yang sudah berlubang. Dalam keremangan terlihat dua wanita.

Namun demikian, mata muda Sekar Pandan yang awas dapat melihat seorang wanita tua kurus tengah duduk di tepi tempat tidur. Sedangkan di tempat tidur, berbaring seorang wanita dengan lemah.

"Dia anak kami, Nini."

"Boleh aku memeriksanya, Kek?"

Wanita tua berdiri ke samping suaminya. Membiarkan Sekar Pandan duduk dan memeriksa keadaan anak perempuannya. Tangan wanita itu tinggal tulang pembalut kulit. Wajahnya cekung lebih mirip tengkorak. Anehnya, dari tubuh wanita itu mengeluarkan bau wangi bunga melati yang tajam menusuk hidung Sekar Pandan. Mengalahkan bau harum tubuhnya sendiri.

Butuh waktu agak lama bagi gadis berkain hijau itu untuk menentukan langkah pengobatan. "Kau yakin bisa mengobati diriku?" Wanita itu bertanya dengan menggunakan kebatinan seperti si kakek, suaranya lemah. Sekar Pandan diam. Sebuah senyuman aneh melintas di wajah wanita itu.

"Jika kau tidak bisa, pergilah dari rumah ini."

Sekar Pandan masih diam. Pikirannya masih sibuk mengingat nama ramuan yang cocok untuk menolong wanita ini. Banyak daun, akar, buah dan biji yang melintas di kepalanya dengan berbagai manfaatnya.

"Sudah berapa lama anak kakek sakit?"

"Satu dasawarsa." Kali ini si wanita yang sedang sakit yang menjawab. Wanita ini pun sepertinya bukan wanita sembarangan. Dia mengajak Sekar Pandan berbicara lewat batin seperti ayahnya. Dua orang tua dan satu anaknya yang sedang sakit tinggal di dalam hutan, akan sangat berbahaya jika mereka warga biasa. Pastilah tokoh dunia persilatan yang tengah menyepi dari keramaian. Sekar Pandan mulai menduga.

"Kau tidak sanggup mengobati anak kami?"

Kakek pemilik rumah bertanya. Kedua matanya mencorong tajam menatap Sekar Pandan. Gadis itu bergidik ngeri saat balas menatap si kakek. Dia yakin, sebuah keputusasaan telah menyelimuti seisi rumah tua ini menghalangi sebuah harapan yang mungkin bisa masuk sewaktu-waktu.

.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Suprayitno Suprayitno
lanjutkan ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status