Share

Bab 8. Bertamu

Author: Eka wa
last update Last Updated: 2022-07-22 10:52:14

Dengan hati-hati, kedua muda mudi itu berjalan menyusuri semak dan rerumputan yang setinggi lutut untuk mencapai rumah yang terlihat samar dalam gelap. Benar saja. Di depan mereka berdiri sebuah rumah berbentuk panggung sederhana dari kayu. Obor penerangan terpasang di sudut luar rumah. Tidak cukup besar, tapi cukup sebagai penerang serambi depan dan sebagian halaman.

Sekar Pandan berjalan mendekati pintu. Mengetuknya dengan pelan. Satu orang pun tidak ada yang menyahut dari dalam rumah. Sekar Pandan mengetuk kembali. Kali ini suara ketukannya lebih dikeraskan berharap pemilik rumah mendengarnya lalu bangun untuk membukakan pintu.

Perkiraannya benar.

Dari dalam terdengar suara palang kayu pintu dibuka. Disusul dengan suara geritan pintu yang dibuka. Seraut wajah laki-laki tua dengan wajah masih mengantuk muncul di sana.

"Ada apa? Kau mengganggu tidurku saja."

Mahisa Dahana menghampiri mereka.

Merangkapkan kedua tangannya di depan dada pada pemilik rumah, sebagai permintaan maaf karena telah mengganggu tidur orang tua itu.

"Kami kemalaman di hutan ini, kek. Boleh kami ikut bermalam di rumah kakek?" pintanya tetap merangkapkan kedua tangannya di depan dada.

Kakek itu memindai tubuh Mahisa Dahana dari ujung kepala hingga ujung kaki. Lalu beralih pada Sekar Pandan. Wajahnya tampak tidak suka.

"Kalian pasti sepasang kekasih yang melarikan diri dari rumah. Iya, kan?" celanya dengan sinis.

Sekar Pandan memandang Mahisa Dahana dengan tatapan tidak mengerti. Dia masih polos, mana mengerti dengan ucapan kakek pemilik rumah. Kembali pemuda berkain lusuh penuh tambal itu berkata, suaranya terdengar gugup. Dalam hati dia memang mengakui gadis yang baru hari ini ia kenal itu memang mempunyai kecantikan yang luar biasa.

Juga, memiliki bau tubuh yang harum menenangkan. Dia rasa gadis itu memiliki semua pesona yang diidamkan kaum laki-laki. Walaupun masih berusia belasan warsa. Tanpa terkecuali dirinya. Diliriknya gadis yang berdiri diam di sebelahnya.

Namun, mereka bukan sepasang kekasih. Apalagi sampai melarikan diri dari rumah.

"Kami bukan sepasang kekasih, kek. Dia kawanku. Namaku Mahisa. Dia … dia bernama Dewi Bunga Malam."

Mendengar nama Dewi Bunga Malam disebut, kakek itu menampakkan wajah murung.

"Bagaimana, Kek? Apakah kami boleh menginap semalam di rumah kakek ini?"

Kakek itu ragu. Setelah didesak Mahisa Dahana, akhirnya bersedia menerima keduanya bermalam. Kakek pemilik rumah mengambil tikar pandan dan menggelarnya di lantai.

"Maaf, rumah ini hanya ada dua kamar, jadi kalian tidur di lantai dengan tikar pandan ini," ujarnya setelah tikar pandan usang itu menutupi lantai kayu yang telah tua.

"Kenapa dia juga harus tidur di sini, kek. Bukankah kakek mempunyai dua kamar? Dia seorang gadis, kurang pantas kalau harus tidur di luar. Pinjamkan satu kamar untuknya, Kek." Mahisa Dahana memohon.

"Kamar itu milik anak perempuanku yang sakit. Tidurlah." Kakek itu masuk ke dalam kamarnya tanpa perduli, meninggalkan Sekar Pandan dan Mahisa Dahana yang terpaksa harus tidur di lantai dengan beralas tikar pandan.

Tanpa memperdulikan Mahisa Dahana, Sekar Pandan berbaring membelakangi pemuda itu. Namun matanya sulit terpejam. Dia teringat ucapan kakek pemilik rumah, bahwa anaknya sedang sakit. Perlahan dia bangun dan berjalan menuju pintu kamar kakek pemilik rumah. Siapa tahu dia bisa membantu.

"Ada apa lagi, Nini?" Sekar Pandan terperanjat. Di belakang tubuhnya, telah berdiri kakek pemilik rumah. Kakek itu bertanya dengan wajah tidak senang. Tangan gadis berambut panjang bergelombang sepinggul itu menunjuk pintu kamar sebelah yang tertutup rapat.

"Dia anakku. "

Sekar Pandan berjalan ke pintu kamar anak kakek pemilik rumah. "Kau mau apa?" tanyanya membuntuti tamunya.

Gadis itu menunjuk dirinya lalu menunjuk pintu kamar. Kening kakek itu berkerut dalam. "Kau tidak bisa bicara?" Sekar Pandan hanya menatapnya dengan pandangan tajam. Sebentar kemudian menunduk dalam.

"Aku mengerti sedikit tentang ilmu pengobatan."

Dia mulai membuat gerakan dengan tangannya.

"Kau bicara apa?" Sebuah suara yang masuk ke dalam jiwa Sekar Pandan membuatnya terperanjat. Orang tua ini pastilah bukan orang sembarangan. Dia bisa mengajak berbicara lewat batin pada Sekar Pandan. Maka gadis itu pun membalasnya dengan berbicara lewat batin juga.

"Bicaralah dengan batinmu, aku bisa mendengar suara batinmu, Nini." Sekar Pandan mengangguk senang. Baru kali ini dia bertemu seseorang yang bisa mengajaknya berbicara lewat batin.

"Mungkin aku bisa mengobati anak kakek yang sakit."

"Kau yakin, Nini?"

"Aku akan berusaha, Kek."

"Jika begitu masuklah."

Si kakek membuka pintu kamar. Semerbak harum bunga melati menyeruak ke hidung Sekar Pandan, mengalahkan keharuman yang berasal dari dirinya. Harum bunga melati seolah menekan bau harum alami tubuhnya. Di dalam kamar yang hanya diterangi sebuah damar dari minyak jarak yang diletakkan di atas meja tua yang sudah berlubang. Dalam keremangan terlihat dua wanita.

Namun demikian, mata muda Sekar Pandan yang awas dapat melihat seorang wanita tua kurus tengah duduk di tepi tempat tidur. Sedangkan di tempat tidur, berbaring seorang wanita dengan lemah.

"Dia anak kami, Nini."

"Boleh aku memeriksanya, Kek?"

Wanita tua berdiri ke samping suaminya. Membiarkan Sekar Pandan duduk dan memeriksa keadaan anak perempuannya. Tangan wanita itu tinggal tulang pembalut kulit. Wajahnya cekung lebih mirip tengkorak. Anehnya, dari tubuh wanita itu mengeluarkan bau wangi bunga melati yang tajam menusuk hidung Sekar Pandan. Mengalahkan bau harum tubuhnya sendiri.

Butuh waktu agak lama bagi gadis berkain hijau itu untuk menentukan langkah pengobatan. "Kau yakin bisa mengobati diriku?" Wanita itu bertanya dengan menggunakan kebatinan seperti si kakek, suaranya lemah. Sekar Pandan diam. Sebuah senyuman aneh melintas di wajah wanita itu.

"Jika kau tidak bisa, pergilah dari rumah ini."

Sekar Pandan masih diam. Pikirannya masih sibuk mengingat nama ramuan yang cocok untuk menolong wanita ini. Banyak daun, akar, buah dan biji yang melintas di kepalanya dengan berbagai manfaatnya.

"Sudah berapa lama anak kakek sakit?"

"Satu dasawarsa." Kali ini si wanita yang sedang sakit yang menjawab. Wanita ini pun sepertinya bukan wanita sembarangan. Dia mengajak Sekar Pandan berbicara lewat batin seperti ayahnya. Dua orang tua dan satu anaknya yang sedang sakit tinggal di dalam hutan, akan sangat berbahaya jika mereka warga biasa. Pastilah tokoh dunia persilatan yang tengah menyepi dari keramaian. Sekar Pandan mulai menduga.

"Kau tidak sanggup mengobati anak kami?"

Kakek pemilik rumah bertanya. Kedua matanya mencorong tajam menatap Sekar Pandan. Gadis itu bergidik ngeri saat balas menatap si kakek. Dia yakin, sebuah keputusasaan telah menyelimuti seisi rumah tua ini menghalangi sebuah harapan yang mungkin bisa masuk sewaktu-waktu.

.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Suprayitno Suprayitno
lanjutkan ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 239. Ketetapan Hati

    Istri kepala dusun dan Nyai Kriwil merawat Sekar Pandan dengan baik sehingga kesehatan gadis itu pulih dengan cepat. Pagi-pagi sekali, keduanya berpamitan kepada orang-orang baik itu untuk melanjutkan perjalanan ke kota raja Majapahit. Sebelum meninggalkan rumah kepala dusun, Raden Prana Kusuma memberikan seikat gobog kepada Ki Kriwil.Lelaki tua itu hanya menatap gobog di tangan pemuda gagah itu dengan tatapan heran. " Untuk apa uang itu, Raden?""Pondok Ki Kriwil telah rusak karena kami. Ini ada sedikit ....""Tidak perlu. Pondok yang rusak bisa diperbaiki secara gotong royong. Di dusun ini banyak ditumbuhi bambu, dengan kerjasama beberapa warga pondok itu akan cepat selesai. Raden lebih membutuhkan gobog itu daripada kami karena harus menempuh perjalanan jauh." Dengan tersenyum penuh pengertian Ki Kriwil mendorong tangan Raden Prana Kusuma yang menyodorkan gobog."Kami terbiasa mengembara, Ki. Seorang pengembara tidak akan kelaparan di tengah

  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 238. Pendekar Tampan Berambut Putih.

    Jantung Raden Prana Kusuma berdesir. Tatapannya nanar pada lelaki yang memiliki tinggi yang sama dengannya itu.Dengan wajah kebingungan pemuda itu bertanya, "Kau tahu namaku?""Bagaimana aku tidak tahu diriku sendiri." Jawaban lelaki berambut putih panjang itu makin membuat Raden Prana Kusuma diliputi pertanyaan. Selama ini mereka tidak pernah bertemu. Orang itu tadi mengatakan apa? Dia adalah dirinya? Alis pemuda Majapahit itu berkerut. Pikirannya masih sulit mencerna.Dalam kebingungannya, dia hanya diam saat lelaki tampan berambut putih itu menggeser tempatnya. Tanpa menunggu persetujuan Raden Prana Kusuma, lelaki itu menyingkirkan kain penutup tubuh Sekar Pandan pelan. Tubuh itu seperti tidak terluka apapun karena istri kepala dusun telah membelitkan selembar ken atau jarit ke tubuh Sekar Pandan."Hm, bagaimana mungkin kau akan meninggalkan dunia ini, jika anak kita belum lahir." Raden Prana Kusuma kurang jelas dengan gumaman lelaki

  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 237. Lelaki Tampan Berambut Putih

    Kepala dusun segera menyahut dan mempersilakan mereka beristirahat di rumahnya. Pagi itu, Raden Prana Kusuma membawa Sekar Pandan ke rumah kepala dusun untuk mengobati lukanya. Pedang Sulur Naga yang menjadi penyebab semua itu diambil Ki Kriwil dengan rasa takut.Di rumah kepala dusun, Sekar Pandan dirawat Raden Prana Kusuma siang dan malam tanpa henti. Hasilnya belum ada tanda kalau gadis itu akan sadar. Dengan wajah penuh kegelisahan, Raden Prana Kusuma duduk di tepi balai-balai yang beralaskan selembar tikar pandan. Matanya tidak ingin beralih dari wajah pucat di depannya.Keadaannya sendiri cukup berbahaya karena setiap saat harus menyalurkan hawa murni ke tubuh Sekar Pandan. Jika diteruskan, tidak mustahil pemuda itu akan cidera bahkan bisa tewas. Akan tetapi, tidak ada yang sanggup mencegah seandainya ada yang tahu hal itu. Kepala dusun memang pernah sedikit belajar tentang ilmu kanuragan. Mengenai hal detail itu dia belum banyak mengerti. Yang dia ketahui ha

  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 236. Terluka

    "Prana ... Prana Kusuma, kau ... Pemuda hebat! Aku mengaku ... ka-kalah!" Dari mulut Hang Dineshcarayaksa menyembur cairan merah yang sama. Dia menoleh sekilas. Sosok di atasnya tampak buram dan berubah bayang-bayang. Raden Prana Kusuma menahan tangannya di udara."Tapi aku puas. Setelah aku ... tiada, dia juga pasti tiada, kau tidak akan bisa bersama ... gadis itu," ujarnya terbata. Senyum licik tersungging di bibir. Kemarahan pemuda Majapahit itu sudah sampai ubun-ubun. Ditatapnya lawan lemah tidak berdaya di bawah kakinya. Lawan itu ingin segera dihabisi karena telah mencelakai Sekar Pandan."Kau memang telah kalah. Kalah oleh keserakahanmu sendiri, Kisanak. Bersiaplah menjemput maut. Maut yang kau kejar sampai ke tempat ini. Sekar Pandan akan selamat karena aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padanya," lirihnya menahan geram.Wajah tampan Raden Prana Kusuma mengeras dengan gigi geraham menggertak kuat. Sepasang mata yang biasanya teduh menenangka

  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 235. Tumbangnya Sang Penguasa Jurang.

    Terbukti, pundaknya telah mengeluarkan darah. Berkali-kali dia menggeram dan meraung layaknya hewan buas.Dua anak muda itu saling pandang, seolah telah menyepakati sebuah rencana bagus untuk mengalahkan lawan. Ikatan batin yang telah terjalin selama hampir dua tahun membuat mereka mampu mengartikan jalan pikiran masing-masing. Tubuh Sekar Pandan melesat dari satu pohon ke pohon lainnya membentuk lingkaran sambil terus menghujani Hang Dineshcarayaksa dengan pukulan Ajian Ombak Memecah Karang.Sinar kekuningan yang melesat dari tangan Sekar Pandan bagai hujan bintang dari langit. Setiap sinar tidak mengenai sasaran, maka akan menghantam apa saja yang ada di depannya. Suara keras disusul robohnya pohon mengubah malam yang awalnya tenang menjadi neraka.Sementara itu, Keris Naga Kemala juga masih terus menyerang tanpa henti. Kali ini keris itu berhasil melukai pinggang Hang Dineshcarayaksa."Aaaaarrgg!"Raungan sang penguasa dasar jurang Hun

  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 234. Berebut Pedang.

    Sekar Pandan membawa pedang di tangannya demikian lincah. Menyelinap di bagian tubuh Hang Dineshcarayaksa yang terbuka tanpa perlindungan. Senyum yang semula lebar pada Hang Dineshcarayaksa kini berubah cemas.Pasalnya, pedang itu seperti bernyawa di tangan pemiliknya. Berkali-kali, mata pedang hampir melukai kulit gelap sang penguasa dasar jurang Hung Leliwungan."Sontoloyo! Gadis ini sekarang lebih hebat dari sebelumnya," gumam laki-laki tinggi besar itu.Hang Dineshcarayaksa melompat ke belakang dan terus melayang menggunakan ilmu meringankan tubuh, sementara Pedang Sulur Naga yang ujungnya mengarah ke dadanya terus mengejar tanpa ampun.Dia memutar tubuhnya kemudian mengayunkan ujung tulang di tangannya ke punggung Sekar Pandan. Gadis itu terkesiap. Cekatan tubuhnya membungkuk lalu melemparkan ujung selendang dari jarak dekat ke lawan.Tangan kiri Hang Dineshcarayaksa menangkap ujung selendang dengan cepat, memutar, dan menarik kuat k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status