Share

Bab 7. Julukan dari Mahisa Dahana

Sekar Pandan masih menunggu dengan sabar julukan itu. Dia yakin, kawannya ini tengah berpikir keras untuk membuatkan julukan atau nama lain yang sesuai dengan dirinya di dunia persilatan Jawa Dwipa.

"Ah, aku tahu, Nini. Julukan yang tepat untukmu adalah … Dewi Bunga Malam! "

"Rupanya sepasang muda mudi tengah bermain membuat julukan. "

Serangkum angin melesat melabrak api unggun hingga api itu bergoyang dahsyat dan padam. Sekar Pandan yang duduk paling dekat dengan api unggun bisa merasakan besarnya kekuatan angin itu. Gadis yang berasal dari perguruan Pulau Pandan itu membuang tubuhnya ke samping, menghindari serangan tiba-tiba itu.

Saat membuang tubuhnya ke samping, kakinya sempat menendang satu kayu dari api unggun hingga terlempar ke udara.

Saat api unggun padam, kayu yang masih dimakan api yang melayang di udara itu lah yang menerangi tempat itu. Dengan gerak cepat Sekar Pandan menyambar kayu yang masih melayang. Siapa sangka, sebuah tendangan yang demikian cepat berhasil membuat tubuhnya mengurungkan niatnya.

Melihat sesosok bayangan hitam memukulkan kepalan tangannya pada api yang masih menyala melayang-layang, tubuh Sekar Pandan berputar cepat dengan bertumpu pada sebongkah batu. Lalu tubuh ramping itu meluncur deras mengirimkan pukulan tangan kosong ke arah pinggang sosok hitam itu.

"Hiyaaat!"

Nampaknya sosok hitam itu terkejut juga merasakan serangan tak terduga dari gadis yang baru saja mendapat julukan dari Mahisa Dahana. Serangan Dewi Bunga Malam ternyata merupakan serangan pancingan belaka, karena begitu sosok hitam itu berbalik hendak melindungi pinggangnya, saat itu juga dengan tubuh seringan kapas melenting ke udara dan menyambar ujung kayu.

Gerakannya manis saat menapak sebongkah batu.

Mahisa Dahana yang tidak kalah terkejut dengan serangan yang tiba-tiba itu telah mencabut pedangnya. Namun baru beberapa langkah dia hendak membantu Sekar Pandan menyelamatkan api dari sosok hitam, tubuhnya ambruk kembali ke tanah.

"Kau lumayan juga, Nduk," puji sosok hitam itu yang kini telah berdiri ditengah-tengah antara Mahisa Dahana dan Sekar Pandan. Melalui api di tangan Sekar Pandan, mereka akhirnya dapat mengetahui sosok hitam yang datang tiba-tiba itu.

Sosok itu seorang laki-laki.

Sosoknya tinggi, rambutnya keriting panjang sepunggung. Kulit orang itu pun hitam. Sepasang matanya lebar dan besar sehingga yang terlihat putih hanya kedua matanya. Pakaian orang itu dari dedaunan kering. Hanya bagian pusar ke bawah lah yang tertutupi. Lengannya yang kekar berkilat-kilat terkena sinar api di tangan Sekar Pandan.

Laki-laki itu menyeringai. Memamerkan giginya yang jarang dan besar-besar. Bulu kuduk Sekar Pandan meremang. Diliriknya Mahisa Dahana yang kembali telah berdiri tegak.

"Kudengar nama julukanmu adalah Dewi Bunga Malam, anak manis? "

Sekar Pandan diam. Seluruh urat sarafnya menegang. Ada kemungkinan, manusia mengerikan ini bermaksud buruk pada Mahisa Dahana dan dirinya.

"Itu julukan pemberianku," sahut Mahisa Dahana. Sosok hitam itu mendengus ke arah pemuda itu. Kedua matanya berkilat saat melihat pedang orang pemuda tidak jauh darinya ini telah terhunus dari warangkanya.

"Lancang sekali kau memberi julukan itu padanya!" Sosok hitam itu membentak keras. Mahisa Dahana dan Sekar Pandan saling melempar pandang. Sama sama-sama tidak mengerti dengan maksud sosok hitam itu melarang Mahisa Dahana memberi julukan itu.

"Apa pedulimu, Kisanak. Julukan itu sangat cocok untuknya. Benar kan Dewi Bunga Malam?" Sekar Pandan melirik sosok hitam dengan ujung matanya. Dia ingin tahu bagaimana sikapnya.

Sosok hitam mengerikan menggeram.

"Aaaarrrghh! Kau tidak boleh menggunakan nama itu."

Mahisa Dahana, si pemberi julukan menyela, "kenapa? Apa urusanmu? Aku bebas memberinya nama apa saja,termasuk nama Dewi Bunga Malam."

"Jadi kau ingin mati, orang muda?"

Mahisa Dahana merasakan getaran aneh dari ucapan manusia entah bangsa lelembut yang menampakkan dirinya ini. Yang jelas mata itu seperti mengeluarkan api membunuh yang ditujukan kepada dirinya. Dan angin serangan yang dahsyat menerjang pemuda yang saat itu telah bersiap.

Dengan menggunakan pedang sebagai tameng dari serangan itu, Mahisa Dahana mengeluarkan semua kemampuan tenaga dalam untuk membalas serangan. Sakit pada punggungnya tak ia hiraukan. Hatinya sudah terlanjur tersinggung karena melarang memberi julukan Dewi Bunga Malam pada teman barunya.

Kekuatan manusia hitam mengerikan itu demikian besar dan menggulung. Perlahan tubuh Mahisa Dahana dapat dikendalikannya. Diputar-putar bagai gasing lalu dilempar ke dalam sungai.

Byuurrr!

Sekelebat bayangan hijau menerjang memapak manusia hitam mengerikan. Gerakan obor di tangannya berkelebat kesana kemari mengincar tubuh lawan. Bagai menghadapi anak kecil, manusia hitam berambut keriting panjang itu demikian mudah menghindar. Dan dengan gerak cepat, satu jarinya menyerang pergelangan tangan gadis itu.

Obor itu pun jatuh. Keadaan menjadi gelap gulita.

Sekar Pandan melompat ke belakang. Jemarinya meraba gagang pedang. Telinganya dipasang dengan baik. Gerakan orang itu sama sekali tidak terlacak indera pendengaran. Sekuat apa pun ia memusatkan diri untuk mengetahui pergerakan lawannya, gerakan itu tetap tidak tertangkap.

Udara malam yang dingin menerpa tengkuknya. Gadis itu seketika mencabut pedangnya. Pamor putih kehijauan menerangi wajahnya yang tegang. Dia terus memasang kuda-kuda. Namun lawannya tidak muncul. Dia seperti hilang ditelan gelapnya malam. Atau bersembunyi dibalik tirai kegelapan yang menghampar.

Sekar Pandan memeriksa tempat itu.

Lengang.

"Kemana orang itu?"

Sementara Mahisa Dahana telah merangkak keluar dari bibir sungai. Sekar Pandan memasukkan pedang miliknya ke warangkanya kembali. Mengulurkan tangannya membantu Mahisa Dahana yang hanya terlihat seperti bayangan hitam.

"Di mana dia, Dewi Bunga Malam? Apakah dia melarikan diri?" Sekar Pandan menggeleng.

"Sial! Orang itu membuatku basah kuyup." Mahisa Dahana menggerutu kedinginan. Sekar Pandan segera tanggap. Dia kembali menyalakan api unggun dengan batu pemantik.

"Dewi, kurasa malam ini kita tidak perlu bermalam di hutan ini. Coba lihat! Ada cahaya berkelap-kelip di sana. Kurasa itu bukan kunang-kunang, tapi nyala obor yang ada di depan rumah. Mungkin itu rumah atau gubuk salah satu warga yang sedang menjaga tanaman dari babi hutan," tukas orang muda itu sok tahu.

Sekar Pandan menurut saja saat pemuda itu mengajaknya ke sana. Toh tidur di dalam rumah lebih aman daripada harus tidur di dalam hutan. Walaupun dia seorang pendekar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status