Keluarga Wardana memang bukanlah keluarga besar yang terdiri dari banyak anggota. Sultan Wardhana hanya memiliki dua orang anak. Yaitu Rima, dan satu lagi Hendra yang tinggal di luar Negeri. Satu orang adik yang tinggal di Surabaya menjalankan bisnisnya. Serta dua keponakan yang belum menikah. Maka cucunya untuk saat ini hanya Erick dan Opick. Rumah besar itu memang sering kali sepi. Anak dan cucu-cucunya sudah mempunyai tempat tinggal yang sering kali membuat pria tua itu kesepian. Hanya Ainun dan beberapa Asisten rumah tangga lain yang menemaninya di rumah. Maka tak jarang bila ia tengah kesepian dia meminta Erick untuk datang. Apalagi sekarang ada Lani. Lalu saat menerima kabar bahwa Opick akan pulang dan segera menikah ia begitu senang. Rumahnya tak terlalu sepi, karena pria itu mungkin saja menghabiskan beberapa tahun sebelum kembali ke Kairo Mesir. Kebetulan ada proyek di pabriknya yang harus Opick kelola sehingga itu cukup untuk menahan keberangkatannya. Alasannya jelas. Opic
Erick tampak menuruni tangga dengan tergesa, wajah kesalnya tak bisa disembunyikan. Seumur-umur baru kali ini ia membersihkan diri di kamar mandi bawah. "Pasti sempit, bath upnya juga nggak akan bisa nampung badan six pact gue!" Bukannya bergegas mandi Erick justru mendumel, berkacak pinggang di depan kamar mandi. Beberapa saat kemudian setelah melalui pergolakan batin yang hebat akhirnya ia memutuskan untuk masuk. Namun, tepat saat tangannya terulur hendak meraih hendel pintu-- seseorang mendahului hingga tangannya berakhir di atas tangan kecil itu. Erick tertegun, ia menatap perempuan bercadar di hadapannya dengan mata mengerjap. Segera setelah menyadarinya Mariam terlonjak dan menarik diri."Eh, sorry. Nggak ada maksud seriusan. Gue bukan tukang modus, kok!" Erick melambai-lambaikan tangan di depan dada. Ia panik sendiri saat melihat Mariam beringsut mundur dan memberi jarak sekitar satu meter dengannya. "Mau duluan? Sok aja, ladies first!" ucapnya seraya nyengir lebar. Mariam
Hari ini Erick dan Lani tengah bersiap untuk kembali ke Bogor. Pasangan suami istri itu sudah packing dari pagi dan memutuskan untuk berangkat sore hari.Lani sudah duduk di dalam mobil, menunggu Erick yang masih pamitan dengan Sultan dan Opick serta Rima yang kebetulan mampir setelah arisan dengan genk sosialitanya. Entah apa yang mereka bicarakan di dalam, Lani pun tak tahu.Cukup lama ia menunggu sampai akhirnya Erick kembali dengan menenteng tas berukuran sedang."Sorry lama, si Opick kayak yang nggak rela lepas gue gitu, padahal kalau dia kangen tinggal datang ke Bogor aja apa susahnya.""Mungkin karena kalian udah lama nggak ketemu kali. Jadi Mas Opick ingin menghabiskan banyak waktu sama Mas."Erick mengedikkan bahunya. "Mungkin!" Akhirnya mereka memulai perjalanan untuk kembali ke kediaman Erick di Bogor. Sepanjang perjalan Lani menatap keluar jendela. Tak lama rasa kantuk mengambil kendali dirinya, hingga tanpa sadar ia tertidur lelap di dalam mobil.Erick memperhatikan waj
Tok! Tok! Tok!"Mas! Buka! Ini udah Magrib."Beberapa kali Lani mengetuk pintu kamar mandi, namun Erick tak kunjung keluar. Sudah sejam sejak ia tinggal salat. Lelaki itu masih saja geming di dalam. Perempuan itu tampak mulai khawatir.Ceklek.Akhirnya setelah sepuluh menit suara shower tak lagi terdengar, Erick keluar dengan hanya handuk yang melingkar di pinggang."Ngapa? Berisik amat lo dari tadi?" cetusnya sembari berpangku tangan."Mas ngapain di dalem sampe sejam?" tanya Lani."Maenan sabun-- eh, ya mandilah! Lo kira piknik di WC?" jawab Erick tegas. Bibir lelaki itu tampak mencebik."Oh, aku cuma mau kasih tahu. Makan malemnya udah disiapin Bi Ningsih.""Gue nggak laper. Lo makan aja duluan." Erick mulai beranjak melewati Lani dan berjalan menuju lemari.Di balik pintu almari Lani melihat Erick melempar handuk basahnya ke kasur, beberapa menit kemudian lelaki itu tampak sudah berpakaian lengkap, setelah pintu tertutup.Lani menghela napas panjang, berjalan menuju ranjang untuk
Segera setelah mengatakannya Erick bisa melihat wajah Lani memerah di balik cahaya temaram.Perempuan itu pun akhirnya mengangguk kecil."Oke, deal!"Lani mulai menyiapkan telinganya untuk mendengar cerita Erick.Erick mulai menimang-nimang. Lelaki itu beranjak duduk bersandar di kepala ranjang. Begitu pun Lani.Namun, baru saja hendak memulai, tiba-tiba saja hatinya dipenuhi keraguan. "Ng ... mending nggak usah deh," ucapnya gamang. Ia masih ragu untuk membagi kisah kelam masa lalu yang sudah berusaha ia kubur dalam-dalam. Kisah yang tak banyak orang tahu bahkan keluarga terdekatnya sekali pun. Hanya mereka para saksi kunci yang mengetahui apa yang pernah terjadi dengan masa lalunya.Bahwa dulu ... ia pernah mengalami sebuah kejadian pahit yang tak mengenakan. Kadang saat mengingatnya perasaan mengoyak hati, membayangkan kilas-kilas kejadian kelam di masa lalunya."Mas ...." Lani memasang ekspresi andalan yang kadang membuat Erick tak tega untuk menolak.Pada akhirnya pria itu mengh
Waktu bergulir, hari beranjak, dan bulan berganti. Tiga bulan sudah Lani menyandang status sebagai bagian dari keluarga konglomerat-- Wardhana.Tak banyak yang berubah. Ia masih tetap dirinya. Lani yang menyukai kesederhanaan, lembut, dan penyayang. Mempunyai suami dan mertua yang kaya raya tak membuatnya menjadi pongah dan mudah puas akan pencapaian itu.Ia masih merasa belum berhasil setelah ada di titik ini. Karena Erick, lelaki itu ... masih saja belum mempercayakan Lani akan hatinya yang utuh. Dinding kokoh yang pria itu bangun untuk membentengi diri masih terlalu kuat untuk Lani robohkan.Entah harus bagaimana dan seberapa lama ia menunggu. Yang pasti Lani masih tetap sabar menanti di sini, di tempat yang sama, dan tak beranjak. Kelak ia pun yakin. Cepat atau lambat suaminya akan luluh juga.Di tengah lamunannya, tiba-tiba Lani dikejutkan dengan suara dering ponsel yang berbunyi di saku gamisnya. Perempuan itu beranjak dari balkon setelah menutup pintu kaca pembatas agar tak mem
Setibanya di rumah sakit Lani semakin kebingungan, saat Bi Ningsih tiba-tiba membawanya menuju ruang pemeriksaan ibu dan janin setelah mendaftarkan diri."Bi, kenapa kita ke sini? Lani nggak hamil!" "Yakin?" tanya Bi Ningsih seraya tersenyum penuh arti, "sok periksa dulu, baru protes!" sambung Bi Ningsih tak ingin dibantah.Lani tertegun di tempat. Lekat ia tatap perut datarnya sebelum melangkah masuk.Setelah melewati pergolakan batin yang hebat, akhirnya ia melangkah masuk. Pasrah saat seorang dokter perempuan memintanya berbaring di atas brankar dan mulai memeriksa.Lani menunggu harap-harap cemas. Dia mulai memikirkan Erick lagi. Bagaimana kalau hal itu benar, dan suaminya tak bisa menerima. Lagi pula selama ini ia tak pernah memakai kontrasepsi. Jadi, kemungkinan positif-nya bisa saja besar.Setelah selesai, dokter itu membantu Lani bangkit, kemudian tersenyum lebar. Tangannya tampak terulur hendak menjabat tangan Lani."Selamat ya, Bu ... ibu positif hamil!""Alhamdulillah ...
Tamparan keras itu mendarat di pipi kanan Erick. Meninggalkan bekas kemerahan di sana. Lani menggeleng beberapa kali, tangisnya tak bisa lagi terbendung. Ia rasa Erick sudah sangat keterlaluan. Setidaknya bila Lani tak berarti apa pun selama ini. Tak bisakah ia sedikit menghargainya sebagai seorang istri?Diperlakukan seperti ini, Lani benar-benar merasa hina. Ia bahkan merasa lebih hina dari pada para jalang yang berkeliaran luar sana."Sadarlah Mas Erick ... aku ini istrimu! Tak bisakah sedikit Mas menghargai perasaanku? Selama ini aku hanya diam, bukan berarti aku tak bisa merasa. Aku punya hati Mas, aku punya hati yang sewaktu-waktu merasakan sakit. Aku punya perasaan yang bisa bereaksi saat disakiti. Aku punya iman, yang kupegang teguh hingga bisa bertahan dengan lelaki sepertimu!" Emosi Lani tak bisa lagi terkontrol. Untuk pertama kali di dalam hidupnya ia berteriak sekencang ini pada seseorang.Erick tertegun, ia benar-benar tak menyangka Lani akan menamparnya dan berteriak hi