Ruang makan itu terlihat hening, hanya suara denting sendok garpu yang beradu dengan piring saja yang terdengar. Bi Ningsih menatap kedua majikannya dari kejauhan, tanpa ia sadari kedua sudut bibirnya terangkat naik, membentuk senyuman. Kebahagiaan keluarga kecil ini seolah menular padanya. Bisa ia rasakan rumah yang tadinya sedingin es di kutub utara, sekarang menjadi sehangat ini. Bi Ningsih terus larut dalam tontonan, hingga tak sadar tengah menyandarkan tubuhnya pada sebuah guci besar di atas meja, yang terletak di lorong ruang makan, terhubung dengan dapur. Prang! Guci itu pecah, berserakan di lantai. Serpihan pecahannya bahkan sampai di bawah ubin yang Lani dan Erick pijak. Tepatnya di bawah meja makan. "An ... jritt!" Segera sebelum kata kasar itu terlontar, Erick membekap mulut. Dengan wajah polos dan lucu ia menatap Lani yang tak kalah terkejut. Namun, tampaknya perempuan itu justru menahan senyum. "So ... maaf, Lan. Keceplosan." Setelahnya ia menyengir. "Nggak apa-apa
Suara azan subuh terdengar berkumandang, angin mulai berembus kencang masuk melalui ventilasi di sisi jendela, hingga menyibak gorden kamar berwarna cokelat lembut tersebut. Terbaring di atas ranjang berukuran king size, tampak sepasang suami istri yang telah memadu kasih. Bergelung dalam satu selimut yang sama. Seolah berbagi kehangatan tubuh masing-masing.Setelah mendengar suara azan berkumandang, terlihat sang suami beranjak. Melerai pelukan eratnya dari tubuh mungil sang istri yang masih terlelap dalam buaian mimpi. Bibirnya terlihat mendekati daun telinga yang semula tertutup juntaian rambut tersebut. Lembut ia berbisik. "Lan, udah subuh. Bangun, yuk! Atau mau Mas pangku ke kamar mandi?" Merasakan napas hangat menyapu permukaan wajah, akhirnya Lani mengerjap. Perlahan tapi pasti mata bulat bening itu mulai tampak. Lalu bersitatap dengan iris hitam pekat yang menatapnya lekat. Kedua sudut bibirnya tertarik. Perlahan ia mulai beranjak. "Aku duluan, ya," sahutnya sembari mulai
"Sebentar, ya." Setelah itu Erick berlari menuju garasi.Lani menunggu di pelataran, sampai suaminya kembali dari garasi dengan sebuah motor matix berwarna hitam metalic."Yuk, Mas!" Lani tampak sudah bersiap menggunakan helm dan naik di jok belakang. Namun, seketika kegiatannya terhenti saat sebuah cekalan tangan menahannya tetap berdiri di hadapan. Lekat mata Erick menatap Lani yang berdiri di hadapannya dengan gamis bermodel semi gaun yang bertumpuk di bagian bawahnya hingga membentuk beberapa layer. Pakaian itu dipadupadankan dengan khimar syar'i yang menutupi pinggang rampingnya berwarna senada. "Lan.""Iya?""Kenapa nasi harus ada lauknya?"Seketika dahi Lani mengernyit, pada akhirnya ia menjawab juga. "Untuk pelengkap. Kalau cuma makan nasi aja, 'kan nggak enak, Mas.""Nah, sama halnya dengan kamu. Allah menciptakanmu untuk menjadi pelengkap hidup Mas, Lan. Tanpamu dunia Mas hampa."Mendengar itu seketika tawa Lani meledak. Perempuan itu tampak membekap mulut, setelahnya ia
Semburat senja yang tampak di kaki langit telah berganti dengan pekatnya sang malam. Tepat ketika jam berpusat di angkat tujuh, Erick baru kembali dari lokasi proyek di daerah Jakarta Utara.Lelaki itu tampak berlari kecil menuju pintu masuk akses rumahnya. Ia merapatkan jaket saat udara dingin mulai menyergap."Assalamualaikum," salamnya setelah pintu dibuka Bi Ningsih."Wa'alaikumsallam," balas perempuan paruh baya itu, sembari mempersilakan Erick masuk."Lani di mana, Bi?" tanyanya."Oh, Neng Lani ada di atas, Pak. Tadarus kayaknya."Erick mengangguk, kemudian melepas sepatunya dan mengganti dengan sandal rumah. Bergegas pria itu berjalan menuju lantai dua."Makan malamnya udah siap, Pak. Mau makan sekarang?"Erick menghentikan langkah, kemudian memutar kepala menghadap Bi Ningsih. "Nanti aja, Bi."Mengerti dengan maksudnya, Bi Ningsih tersenyum penuh arti. "Duh pasangan muda makin lama makin romantis aja. Jadi pengen muda lagi. Si Bapak ke mana lagi. Pan abi ge hoyong dimanja cita
Empat tahun kemudian ....Pria itu tampak berjongkok untuk menyejajarkan tubuh dengan bocah perempuan yang berdiri di hadapannya. Ia memasangkan jilbab di kepala bocah menggemaskan dengan mata bulat dan pipi gembil tersebut."Ayah ... napa Ica harus pake keludung, tapi Kak Malik sama Kak Ridwan engga?" Pertanyaan yang terlontar dari bibir putri kecilnya membuat senyum pria itu mengembang. Ia mengusap kepala bocah bernama lengkap Khairunnisa Wardhana yang lebih sering dipanggil Ica itu setelah jilbabnya terpasang."Ridwan dan Malik itu laki-laki, Sayang. Sedang anak ayah yang cantik ini, 'kan perempuan shalihah. Ica selalu bilang sama ayah kalau mau jadi kayak bunda, 'kan?"Bocah menggemaskan itu tampak mengangguk antusias."Iya, Ayah. Ica mau jadi kayak Buna. Buna cantik, telus sayang Ica sama Ayah!""Nah, kamu tahu? Jilbab itu adalah cara Allah buat ngelindungin kaum perempuan. Kalau udah gede Ica pasti ngerti.""Iya, Ayah. Ica juga suka pake keludung. Biar kelihatan cantik kayak Bun
Plak!"Dasar buaya darat. Dulu lo janji nikahin gue, sekarang tahu-tahu udah nikah sama orang lain. Laki-laki macem lo emang nggak bisa dipegang kata-katanya. Hobi nebar janji ke sana-sini sampe akhirnya cewek-cewek bego kayak gue kemakan omongan lo!"Alani Ramadhanti, dibuat kaget bukan kepalang karena kedatangan seorang tamu tak diundang. Perempuan dengan pakaian kekurangan bahan itu menampar dan memaki-maki pria yang baru beberapa jam menyandang sebagai suami sahnya-- di acara resepsi."Lo yakin nikah sama laki model begini mbak? Yang namanya buaya darat, mau berubah status juga kalau udah watak bawaan orok kagak akan bisa diubah. Jangan nyesel kalau nanti nangis-nangis karena kelakuan bejatnya!" Perempuan seksi itu menatap Lani berapi-api dengan amarah membuncah. Matanya menyorot tajam dengan tangan terulur menunjuk suami Lani."Apa maksud lo ngata-ngatain gue kayak gitu? Lo marah gue tolak waktu itu, hah?" Karena tak terima suami Lani membuka suara, pria itu mengusap pipi kananny
"Usiamu sudah memasuki 20 tahun, Nak. Akhirnya anak Ibu tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Sebenarnya sudah lama ibu ingin mengatakan ini ... kamu tahu 'kan Pak Sultan Wardhana, majikan ibu?"Lani mengangguk. Kemudian bersedekap di atas meja makan, menatap wajah meneduhkan Ainun-- ibunya."Beliau menyukaimu sejak kecil, Nak. Beliau suka sikap periangmu meski pun kau tumbuh tanpa seorang Ayah. Sejak ibu bekerja di rumah Pak Sultan dan tak sering membawamu ikut serta. Sudah beberapa kali beliau menawarkan kepada ibu untuk mengangkatmu sebagai cucu. Namun ibu menolak karena tak mau jauh darimu."Senyum di wajah ayu Lani mengembang, ia meraih tangan Ainun dan menggenggamnya erat."Kalau pun Lani di berikan dua pilihan antara hidup mewah bersama orang lain atau sederhana tapi bersama orang yang dicintai ... Lani lebih memilih yang kedua. Tak apa Lani hidup susah asalkan ada ibu. Semenjak ayah meninggal kita sudah hidup seperti ini, Bu. Tak ada yang perlu dikhawatirkan, Lani bahagia.
"Neng, kamu tahu kenapa bunga ini layu?" Erick mengulurkan sebuah bunga mawar layu yang tersimpan di dasbor mobilnya. Entah sejak kapan, ia pun tak ingat.Perempuan bermake up tebal itu menggelengkan kepala dengan wajah yang dibuat se-cute mungkin."Nggak ... kenapa emang, Bang?""Karena bunga ini kalah dengan kecantikanmu!" Erick melemparkan senyuman maut yang membuat perempuan itu tersipu malu."Ah, abang bisa aja.""Hehe ... boleh minta nomber HPnya?" Mata Erick mengerling nakal.Perempuan yang diketahui sebagai seorang SPG salah salah satu produk minuman itu tampak malu-malu, saat Erick menyodorkan ponsel keluaran terbaru miliknya."Makasih cantik. Nanti lain kali Abang hubungin, ya. Ini ... minumannya nyegerin kayak lihat wajah kamu." perempuan itu salah tingkah saat Erick menggodanya. "Bye!"Kaca mobil kembali dinaikan. Dia melirik Lani sekilas yang sejak tadi berada satu mobil dan tepat duduk di sampingnya. Gadis itu tampak mengurut dada, bibirnya tak henti mengucap istigfar