Playboy in Love

Playboy in Love

last updateTerakhir Diperbarui : 2023-04-12
Oleh:  DwriteTamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
1 Peringkat. 1 Ulasan
60Bab
4.5KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

"Gue tahu lo nerima pernikahan ini karena cinta mati sama gue. Siapa sih, yang bisa nolak pesona kegantengan ini?" Erick berdiri di hadapan gadis lugu yang tadi siang baru saja sah menjadi istrinya. "Denger, ya, Lan. Gue bisa aja kasih semua yang lo mau. Nafkah lahir maupun bathin, tapi tidak dengan cinta. Karena tidak ada hal di dunia ini yang lebih gue cintai selain diri sendiri. Jadi lo jangan berharap banyak. Bilang aja kalo nyesel! Kita bisa cerai besok." Lani yang mendengar itu hanya bisa duduk tergugu dengan mata sendu. Demi memenuhi permintaan sang kakek, Sultan Wardhana, Erick terpaksa menikahi Lani, anak dari asisten rumah tangganya, setelah diancam tak diberi jatah warisan.

Lihat lebih banyak

Bab 1

1. Resepsi Pernikahan

Plak!

"Dasar buaya darat. Dulu lo janji nikahin gue, sekarang tahu-tahu udah nikah sama orang lain. Laki-laki macem lo emang nggak bisa dipegang kata-katanya. Hobi nebar janji ke sana-sini sampe akhirnya cewek-cewek bego kayak gue kemakan omongan lo!"

Alani Ramadhanti, dibuat kaget bukan kepalang karena kedatangan seorang tamu tak diundang. Perempuan dengan pakaian kekurangan bahan itu menampar dan memaki-maki pria yang baru beberapa jam menyandang sebagai suami sahnya-- di acara resepsi.

"Lo yakin nikah sama laki model begini mbak? Yang namanya buaya darat, mau berubah status juga kalau udah watak bawaan orok kagak akan bisa diubah. Jangan nyesel kalau nanti nangis-nangis karena kelakuan bejatnya!" Perempuan seksi itu menatap Lani berapi-api dengan amarah membuncah. Matanya menyorot tajam dengan tangan terulur menunjuk suami Lani.

"Apa maksud lo ngata-ngatain gue kayak gitu? Lo marah gue tolak waktu itu, hah?" Karena tak terima suami Lani membuka suara, pria itu mengusap pipi kanannya yang terasa kebas akibat tamparan tadi.

Perempuan itu menggelengkan kepala, kemudian tersenyum sinis. "Nyesel gue korbanin semuanya buat Lo. Dasar laki-laki ban9$@t!"

"Nggak usah ngatain orang! Coba lo ngaca dulu! Ibarat kucing dikasih ikan asin secara cuma-cuma ... ya mana bisa nolak, beg--"

"Udah, cukup Mas Erick! Malu dilihatin orang." Lani menengahi, gadis itu tampak menarik tangan suaminya.

Seketika semua mata tertuju pada mereka. Tak lama keamanan datang dan menyeret perempuan itu keluar. Dia masih berontak, memaki Erick dengan segala sumpah serapah.

Sembari menatap punggung perempuan itu yang perlahan menghilang, Lani tertegun. Sebenarnya bersuamikan lelaki seperti Erick saja seolah tak terpikirkan, apalagi membayangkan di hari resepsi pernikahannya sesuatu seperti ini akan terjadi.

Meskipun semua orang memang sudah men-cap suaminya sebagai buaya darat, karena sering mempermainkan perempuan. Namun, tetap saja hal itu tak membuat Lani mengurungkan niat untuk menerima tawaran Sultan Wardhana-- kakek Erick untuk menikahi cucunya, kala itu.

Entah apa alasan Lani sebenarnya, hingga gadis yang bisa dibilang shalihah seperti dirinya, mau menikah dengan buaya darat seperti Erick. Masih terasa lekat dalam ingatan bagaimana ekspresi terkejut pria itu saat kakek memintanya untuk menikahi Lani, di depan para tetua yang sedang merundingkan tentang perjodohan mereka ... bahkan dengan terang-terangan Erick menolak.

Karena geram dengan sikap cucunya, Sultan mengambil keputusan yang tak mampu Erick tolak. Akhirnya pria itu setuju meskipun harus mempertaruhkan kebebasannya sebagai seorang lelaki lajang.

"Siapa perempuan tadi Erick? Mantanmu yang ke berapa? Untung saja kakek segera menikahkanmu dengan Lani. Kalau tidak, bagaimana masa depanmu nanti? Kakek tak bisa membiarkan banyak perempuan menjadi korbanmu lagi. Tobat, Nak. Tobat!" Sultan Wardhana berdiri di depan pelaminan, ia mengacungkan tongkatnya tepat di wajah Erick.

"Erick nggak kenal cewek tadi, Kek. Ng ... mungkin tepatnya lupa," ucapnya santai seraya menundukkan kepala.

"Astaga anak ini ... ke mari kamu!" Kakek renta itu naik ke pelaminan. Mengarahkan tongkat ke kepala Erick. Hendak memukulnya.

"Sudah, Yah! Malu diliatin orang. Kita bisa bahas ini nanti. Udah banyak tamu yang ngantre di belakang." Rima-- Mami Erick berusaha menenangkan Sultan. Ia menuntun Ayahnya untuk turun dan kembali ke tempatnya, hingga acara bisa terus berlanjut.

Kerumunan orang yang memadati pelaminan, terlihat mulai membubarkan diri. Mereka kembali pada tujuan awal datang ke acara ini untuk memenuhi undangan. Meskipun masih terdengar desas-desus orang-orang yang membicarakan kejadian barusan.

Erick kembali duduk di tempatnya, ia menatap wajah ayu Lani. Dahinya berkerut saat melihat gadis itu masih bisa menebar senyum pada orang-orang yang berlalu lalang, setelah apa yang terjadi.

"Lo nggak apa-apa,'kan, Lan?" tanyanya mencoba mengusir rasa penasaran.

"Eh, iya Mas?"

"Itu ... yang tadi--" Erick tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Ia masih geram dengan apa yang baru saja terjadi. Selain menanggung malu, ia juga harus menahan sakit karena tamparan wanita itu.

"Oh, mantan Mas Erick. Dia cantik!" Lani tersenyum lebar, matanya tampak menyipit karena senyum meneduhkan yang gadis itu tunjukan.

"Hm ... gue nggak minta pendapat lo tentang penampilan dia." Erick sedikit gemas dengan sikap polos Lani, bagaimana mungkin dia memuji perempuan tadi yang bagi Erick lebih terlihat seperti Dedemit, "Maksud gue--"

"Iya tahu Mas. Nggak apa-apa, kok," lagi-lagi Lani tersenyum. "Tidak usah dipikirkan apa yang sudah terjadi. Sekarang kita fokus sama acaranya aja ya. Masalah tadi bisa dibahas nanti."

"Iya, tapi masalahnya bukan itu."

Dahi Lani berkerut bingung.

"Terus?"

"Gue nggak yakin si Sasa satu-satunya mantan gue yang bakalan dateng!"

Lani memalingkan wajahnya dari Erick, kemudian mengelus dada dan bergumam. "Astagfirullah."

* * *

Malam semakin pekat, sang surya telah kembali pada peraduannya. Di sana-- di kamar pengantin yang telah dihias begitu cantik dengan nuansa romantis. Menciptakan suasana intim pasangan kekasih halal, yang siap memadu kasih.

Lani tercenung, kepalanya tertunduk ketika mendengar ocehan Erick setelah acara selesai. Lani tahu, sejak ijab qabul dan resepsi berjalan, pria itu sudah gatal ingin mengungkapkan unek-unek dalam hatinya. Seolah menegaskan pada gadis itu bahwa Erick menentang keras pernikahan ini.

"Gue tahu lo nerima pernikahan ini karena cinta mati sama gue. Siapa sih, yang bisa nolak pesona kegantengan ini?" Erick berdiri di hadapan Lani dengan kemeja yang sudah tak terkancing sempurna. "Tapi harusnya lo sadar. Lo itu jauh dari tipe gue Lan. Dari semua populasi cewek di dunia ini kenapa harus elo, sih? Kenapa kakek harus jodohin gue sama cewek lugu kayak elo?!"

Lani tak mampu menanggapi kata-kata Erick. Meskipun ucapannya menyakitkan, gadis itu berusaha tetap terlihat tegar. Toh, ia juga yang menyetujui untuk menikah dengan laki-laki itu.

Kebebasannya pasti terkekang kini. Setelah menikah dia tentu tak bisa lagi sembarangan bermain perempuan. Ada seorang istri yang harus dijaga hatinya. Ada seorang wanita yang menunggu kepulangannya.

Keadaan seperti ini tentu menyebalkan bagi Erick yang mendambakan kebebasan. Sejak dulu ia tak pernah ingin terikat sebuah hubungan apalagi pernikahan. Kecuali memang dia telah benar-benar siap.

"Gue ini masih muda. Gue bahkan berniat nikah di umur 40 biar kayak bule-bule. Punya anak satu dan istri yang masih muda dan bahenol. Karena elo kebebasan gue dirampas dengan paksa. Wajah tampan ini akhirnya nggak lagi berguna karena cuma bisa dinikmati oleh Lani seorang." Erick terus meracau entah apa maksudnya. Dia bahkan tak memberi kesempatan untuk Lani menyela.

"Kalau lo ingin tahu. Gue juga tersiksa dengan ketampanan ini. Karena wajah ini lo menghalalkan segala cara buat bisa dapetin gue dengan guna-guna Kakek. Lo licik, Lan!" Dia menatap Lani tajam. Matanya memicing penuh curiga.

Pada akhirnya Lani mendongak, dahinya mengernyit karena ucapan Erick. Selain narsis ucapannya sedikit keterlaluan.

"Aku nggak pernah guna-guna Kakek, Mas. Itu fitnah!" sergah Lani dengan wajah sendu.

"Nah ... ini, nih! Ini jurus ampuh yang buat Kakek luluh. Wajah melas lo, Maemunah!" Erick menunjuk wajah Lani.

"Astagfirullah." Lani memegang dadanya. Alisnya bertautan, ia tak mengerti dengan pola pikir Erick.

"Denger, ya, Lan. Gue bisa aja kasih semua yang lo mau. Nafkah lahir maupun bathin, tapi tidak dengan cinta. Karena tidak ada hal di dunia ini yang lebih gue cintai selain diri sendiri. Jadi lo jangan berharap banyak. Bilang aja kalo nyesel! Kita bisa cerai besok." Erick berpangku tangan, menatap Lani yang duduk di tepi ranjang dengan mata sendu, "Sekarang gue mau mandi terus bobo. Maaf belum bisa ngasih nafkah bathin sekarang. Gue cape berdiri berjam-jam di pelaminan sampe kaki kesemutan. Mungkin besok ya, lo persiapin aja diri dengan baik! Dandan yang cantik, pake lingerie warna merah maroon kalau perlu baju wonder women!" Akhirnya Erick berlalu dari pandangan Lani. Pria itu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Sepeninggal Erick, Lani larut dalam lamunan panjang. Tak terasa satu bulir air mata jatuh dari pelupuk matanya. Ia tak tahu pasti apa yang menyebabkannya menangis.

Karena sikap Erick tidaklah sedingin pria-pria di novel picisan yang sering kali ia baca saat senggang. Erick bahkan lebih terbuka. Walaupun menyakitkan, setidaknya ia jujur mengatakan ketidaktertarikannya pada Lani.

Gadis itu melepas dalaman jilbab yang digunakan untuk menutupi auratnya. Membiarkan rambut hitam legam itu tergerai indah sampai ke pinggang. Lalu mengikatkannya asal sebelum mengambil wudhu dan menunaikan salat Isya.

Lani tak berharap lebih bahwa Erick mau mengimami salatnya. Karena yang ia dengar dari Sultan bahwa Erick menyandang status Islam KTP. Dalam setahun ia hanya menunaikan dua kali salat. Yaitu saat Idul Fitri dan Idul Adha. Miris memang.

* * *

Erick keluar kamar mandi, ia melihat Lani tengah duduk menggunakan mukena beralaskan sajadah. Kedua tangan gadis itu menengadah.

"Khusyuk banget do'anya ... minta apa?" tanya Erick selepas Lani melipat sajadah.

Senyum tersungging di wajah teduh Lani, gadis itu menjawab. "Berdo'a sama Allah semoga Mas Erick diberikan hidayah agar bisa kembali ke jalan yang lurus!" Setelah mengatakannya Lani berbalik, menyimpan mukena di atas nakas samping lemari, di kamar mereka.

Mata Erick melebar. "Nih cewek pendiem, tapi sekalinya ngomong nyelekit," gumamnya.

Alani duduk di sofa panjang yang terdapat di kamar luas tersebut. Meraih Al-Qur'an yang terletak di atas meja dekat TV. Untuk sementara mereka tinggal di rumah orang tua Erick sebelum pindah ke rumah pria itu yang terletak di daerah Bogor, berdekatan dengan tempat kerjanya.

Sedangkan Erick berjalan menuju balkon kamar, ia menggeser kaca pembatas lalu berdiri menatap langit malam. Dikeluarkannya sebungkus rokok dari kantong celana, mengambil satu batang lalu menyalakannya dengan pematik.

Angin berembus kencang, menerbangkan dedaunan kering dari tangkainya. Erick menghisap rokoknya dalam-dalam kemudian menghembuskan ke udara. Seolah membuang setiap beban di kepalanya. Membuat pikiran sedikit rileks.

"Uhuk ... uhuk ... hik ... hik ...." Lani memegangi dadanya saat asap rokok yang diembuskan Erick mencemari udara. Ditambah angin yang berembus kencang menerjang tubuhnya yang terbungkus gamis berbahan tipis.

"Lah, lo kenapa Lan? Bengek?" Erick masuk ke kamar saat mendengar suara batuk Lani. Seketika matanya terbelalak melihat wajah gadis itu yang memucat.

"Ah, Lo pura-pura biar dikasih napas buatan, 'kan? Nggak nyangka ternyata Lo pinter mo--"

"A-asma!" gumamnya lirih. Sejak kecil dia memang tak bisa terkena asap rokok atau debu. Hidungnya sensitif.

Penyakit Asma yang diturunkan ayahnya mungkin menjadi faktor utama kenapa dia alergi terhadap beberapa hal. membuat Lani kadang sedikit sulit beraktifitas di luar. Masker mulut adalah benda wajib yang harus ia bawa ke mana-mana.

"Beneran?" Erick terkejut, ia bangkit menghampiri Lani yang duduk di sofa. "Sorry, deh ... gue nggak tahu kalau lo punya asma. Di mana obatnya?"

Tangan Lani terulur menunjuk almari. Paham dengan maksudnya Erick bergegas mencari benda kecil itu di sana. Kemudian memberikannya pada gadis itu.

Erick duduk di samping Lani, kemudian memijat punggungnya. Ia tak tahu apakah cara ini mampu untuk meredakan rasa sesak yang Lani rasakan. Namun, setidaknya ia sudah berusaha. Erick tak bisa diam saja melihat Lani kesakitan.

"Sib, nasib. Punya bini udah badannya kecil, lempeng, kutilang dara ... penyakitan lagi. Lo nggak ada niat mati dalam waktu dekat, Lan? Biar gue jadi duren sawit alias duda keren banyak duit."

Lani menatap Erick dengan nanar, sekali lagi ia mengelus dada melihat perilaku suaminya.

"Astagfirullah."

.

.

.

.

Bersambung.

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

user avatar
Ulva Istiana
selalu ditunggu akak
2023-04-11 23:33:16
0
60 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status