Share

Bab 5

Arumi memegang pelipisnya, lalu tiba-tiba ia jatuh lunglai ke lantai.

"Arumi!" Begitu keras teriakan Vito, ia melayangkan kakinya dengan cepat ke arah Arumi yang jatuh tersungkur di lantai.

Pria itu, memang sangat perhatian pada Arumi, jangankan Arumi pingsan, digigit serangga saja Vito segera menolongnya. Seharusnya Arumi bersyukur dicintai oleh pria yang sangat menyayangi dirinya. Bukan malah menggoda suamiku, tujuannya apa merebut suami sahabat sendiri? Apa ia merasa puas jika memiliki apa yang aku punya?

Dengan gagahnya Vito membopongnya ke depan, ia yang menggunakan motor ke sini sontak melempar kunci motornya ke arah Mas Lian.

"Yan, gue pinjem mobil, ini kunci motor gue, tolong anterin ke toko kue ya, tukar di sana nanti," pesannya dengan napas terengah-engah akibat tengah menggendong Arumi yang bobotnya kisaran 55kg itu. Permintaan Vito membuat Mas Lian tidak bisa menolak, ia langsung menyerahkan kunci mobil pada Vito.

Sementara itu, mamanya mengekor di belakangnya, namun ia berhenti di antara aku dan Mas Lian.

"Tuh kan, anak saya pingsan, kalian kan tahu kalau anak saya itu gampang pingsan!" Mama Asri justru marah-marah dengan kami. "Lian, Aya, urusan kita belum selesai, ya!" ancamnya lagi dengan jari telunjuk dibentangkan ke arah Mas Lian lalu berpindah ke arahku. Kemudian, ia pergi dengan menggunakan mobil Mas Lian yang dibawa oleh Vito.

Aku bergeming, masih kepikiran dengan kelanjutan ucapan Vito tadi, kenapa ia yakin bahwa Mas Lian tidak bersalah?

Mas Lian meraih punggung tangan ini lagi, lalu mengecup tampak sepenuh hati.

"Aku izinkan kamu untuk menenangkan diri, karena kalau izin tidak terlontar, kamu dosa," ucapnya membuatku terenyuh. Salahkah aku dalam menilai Mas Lian? Ia begitu sejuk dan tenang seraya tidak melakukan dosa. Bahkan suamiku itu takut istrinya berdosa jika aku melangkah keluar rumah tanpa izin darinya.

Hening, suasana tiba-tiba jadi sunyi ketika seorang suami memperlakukan istrinya dengan akal sehat. Ia terus memandangku dengan senyum manisnya, tanganku pun masih berada di ujung bibirnya.

"Aya, kamu baik-baik aja, kan?" tanya Mas Lian membuyarkan lamunanku.

Aku membasahi bibir ini, sekarang aku bimbang harus percaya siapa?

Kemudian, aku menarik tangan yang masih ia genggam. "Terima kasih atas izinnya, Mas," jawabku singkat sambil melengos dari tatapannya yang membuatku sangat mencintainya. Sesekali aku memejamkan mata ini untuk mendinginkan hati. 'Tuhan, berikan aku petunjukmu supaya tidak salah melangkah,' batinku berdoa.

"Aya, kamu jadi pulang ke Bekasi?" tanya Papa Irfan.

Kali ini aku ragu, mungkin karena kedatangan Vito tadi yang sedikit meyakinkan bahwa suamiku tidak melakukan apa-apa. Namun, ketika mengingat erangan suara sepasang manusia berzina tengah menikmati h4sr4tnya, aku enggan untuk mempercayainya.

"Menurut Mama dan Papa gimana?" tanyaku sekali lagi.

Mereka tersenyum sambil mengusap rambut ini. Beruntungnya diriku bisa memiliki mertua yang sangat menyayangi menantunya.

"Mama serahkan pada kamu, Aya, begitu juga dengan Papa, tapi pikirkan matang-matang, jangan sampai masalah yang belum jelas ini tercium oleh orang tuamu, mereka pasti sakit hati, dan tidak akan rela anaknya disakiti, ujungnya kalian akan pisah karena satu hal yang belum jelas," sahut Mama Anggi.

Aku mengembuskan napas panjang, kemudian memberikan keputusan yang sudah bulat kupikirkan. "Baiklah, Mas, aku akan tetap di sini sampai masalahnya benar-benar clear," jawabku membuat rona wajah Mas Lian berubah jadi berseri-seri. Kemudian kedua tangannya membentang lebar dan kepalanya mengangguk seraya memerintahkan untuk menghampirinya.

"Sini, Ay, peluk suamimu, rasakan detakan jantungku yang hanya menyebutkan nama Aya seorang," suruhnya hingga akhirnya membuatku luluh.

Kini ragaku berada didekapnya, detakan jantungnya yang sangat kencang membuatku nyaman dan yakin bahwa Mas Lian adalah orang baik.

"Kamu percaya padaku, kan?"

Di hadapan mertuaku Mas Lian bertanya.

"Percaya, Mas, tapi kenapa Arumi punya dar4h peraw4an? Terus erangan h4sr4t laki-laki dan perempuan yang saling bersahutan itu, apa bisa dimanupulasi?" Aku masih mencari kebenaran hal yang janggal.

"Kita cari sama-sama bukti yang dapat menjelaskan bahwa dalam rekaman itu bukan suaraku, aku akan buktikan itu padamu, Aya," timpal Mas Lian.

Akhirnya mertuaku pamit setelah memastikan kami sudah bisa ditinggalkan. Namun mereka berdua tetap meninggalkan pesan padaku. "Jika ada masalah lagi, kalau bisa jangan pulang ke rumah orang tuamu, rumah kami terbuka lebar untukmu, kalau anak kami salah, maka segera akan Mama dan Papa luruskan. Ingat pesan kami berdua, Aya," pesannya sambil membelai pipiku.

Aku hanya tersenyum dan mengangguk, setelah itu mereka masuk ke dalam mobil dan bergegas pergi.

"Aku malas antar motornya Vito, khawatir ada Arumi di sana. Jadi nanti nyuruh orang aja, aku kasih upah dua ratus ribu." Ucapan Mas Lian membuatku tersenyum dan bersyukur tidak salah ambil keputusan untuk tetap bersamanya.

Kami coba ke kamar tamu tadi, barangkali menemukan bukti yang tertinggal. Namun ketika hendak ke kamar, Mas Lian mendapatkan notifikasi pesan di aplikasi hijau berlogo gagang telepon. Dengan terang-terangan Mas Lian membuka isi pesannya di sebelahku.

[Lian, fotomu tersebar di sosial media bersama Arumi, sahabat istrimu.]

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status