Share

Bab 4

"Vito yang telepon, dia bilang sesuatu waktu kamu meninggalkanku di kamar tadi, sewaktu istriku ingin pergi dari rumah ini."

Mas Lian menjelaskan siapa orang yang ditunggu dan ternyata teman dekat Arumi, laki-laki yang memiliki toko kue itu katanya mengatakan sesuatu.

"Sesuatu apa?" tanyaku penasaran.

Gelagat Arumi pun semakin mencurigakan, tapi aku masih tidak bisa menebaknya.

"Vito bilang kue bolu yang dibawa Arumi itu diberi obat tidur, lalu puding yang aku makan dicampur obat perangs4ng." Kata-kata Mas Lian justru membuatku meradang, itu artinya ucapan Arumi benar adanya, bukan rekayasa, sebab obat perangsang yang disebut oleh Vito sudah cukup jelas. "Tapi ada tapinya, Ay, Vito juga bilang bahwa Arumi tidak tidur denganku," sambungnya lagi membuatku semakin bingung, pernyataannya berubah-ubah dan terdengar sangat aneh, di luar nalar.

"Nggak usah bawa orang lain, ya Mas Lian, tolong tanggung jawab, Vito tidak tahu apa-apa, dia pasti mengarang cerita," sambar Arumi membuat Mas Lian mengernyitkan dahinya. "Mah, bantu aku bicara dong, jangan diam aja!" sambung Arumi.

Mamanya menekan dadanya sendiri sebelum bicara pada kami. "Iya, tadi Mama sendiri dengar suara desah4n mereka, dan Mama senang sekali mendengarnya, karena akhirnya anakku jebol juga pertahanannya dengan laki-laki yang sangat dicintainya, selamat ya, Sayang," ucap Mama Asri tidak tahu malu, ia berbahagia di atas penderitaan orang lain.

Aku menggelengkan kepala, begitu juga dengan mertua dan Mas Lian. Mereka bahkan mengusap pelipis masing-masing.

"Kalian benar-benar aneh, Bu Asri, itu anakmu loh, anak kandung, kan? Kenapa dibiarkan seperti itu?" Mama Anggi marah tapi tampak keheranan juga dengan sikap Mama Asri.

"Anak kandung, jelas dong, justru karena Arumi anak kandungku, apa pun yang ia minta akan kuturuti," jawab Mama Asri kali ini dengan dagu terangkat. "Kamu tidak pernah merasakan bagaimana sulitnya membeli kebahagiaan, Bu Anggi!" tambahnya.

"Benar-benar tidak waras kamu itu!" Mama memilih bergeser dan agak menjauhi Arumi dan mamanya.

Kemudian, Arumi melangkah satu langkah kaki kecilnya. Lalu mendekati Mas Lian. "Kamu itu suami idaman aku banget, Mas. Tanggung jawablah, sebab kalau tidak, tahu sendiri akibatnya." Arumi mengancam Mas Lian dengan disertai senyuman.

"Kalau memang terbukti, tenang aja aku akan menikahimu," tegas Mas Lian membuatku semakin panas.

"Ini buktinya, suara kalian berdua saling bersahutan di kamar, apa kurang jelas?" Mama Asri menunjukkan rekaman suara sepasang wanita dan laki-laki yang tengah memadu kasih. Jeritan Arumi dalam rekaman itu membuatku kesulitan mengenali suara si pria.

"Apa itu aku?"

Arumi pun mengangguk. "Itu artinya jadi nikahin aku, kan?"

Mas Lian hanya terdiam, tapi ia menganggukkan kepalanya. Apa itu artinya pernikahan kami hanya berlangsung tiga tahun? Astaga, hatiku benar-benar menjerit, kali benar-benar ingin berteriak sekencang-kencangnya, meluapkan amarah yang tak bisa kubendung lagi.

Aku mengurutkan dada ini. Mendengar suamiku bersedia menikahi Arumi, langkah kaki pun semakin tak gentar. Cemburu, mungkin itu yang kurasakan sekarang, marah pun hanya bisa dilakukan dalam diam. Kecewa, itu sudah pasti, sebab ternyata luka yang ditorehkan teramat dalam.

Aku putar balik dan hendak pulang ke rumah, namun kali ini dihadang oleh mertuaku.

"Jika positif ingin pulang, biar kami antar sampai ke rumah, Papa paham bahwa ini sakit, dan sulit untuk percaya begitu aja." Papa mertuaku persis dengan Mas Lian, begitu lembut dalam menyelesaikan masalah. "Lian, biarkan Aya menyendiri dan menenangkan dirinya," tambah Papa Irfan.

Aku melongo dibuatnya, tadinya kesal pada keluarganya karena membela Mas Lian, tapi ketika kata-kata yang menyejukkan hati terlontar dari mulut mertuaku, tiba-tiba hati ini terenyuh.

"Terima kasih, Pah." Aku menjawab sambil memalingkan muka ini dari Mas Lian.

Namun, saat itu juga, Vito datang, padahal laki-laki itu memiliki usaha kue, wajahnya juga tidak jelek, untuk ukuran pria tampan Vito masih masuk kategori, tapi Arumi malah menolak cintanya sebanyak lima kali. Anehnya, Vito masih saja mengejar cinta Arumi yang bertepuk sebelah tangan.

"Ini dia orangnya, Vito, dia tadi telepon aku, Ay," ucap Mas Lian.

Mas Lian tadi sudah bilang bahwa kue bolu diberikan obat tidur, lalu puding dibubuhi obat perangs4ng, kenapa diucapkan lagi kata-kata itu?

"Hai, Aya, apa kabar? Sudah dengar kan tadi Lian bicara?"

Aku mengangguk sambil melirik ke arah Mas Lian. "Tapi justru itu sangat menyakitkan, aku mengetahui Mas Lian terangs4ng obat dan melampiaskan pada Arumi," ungkapku sambil menghela napas, jujur saja aku tengah menahan air mata di pelupuk mata.

"Percayalah, Ay, suamimu tidak melakukan apa-apa," jelas Vito sambil melirik ke arah Arumi.

Aku mengedarkan pandangan ke sembarang tempat, menata di setiap ucapan Vito barusan, kata-kata tidak melakukan apa-apa itu sangat mustahil, karena ada bukti yang digenggam oleh Arumi dan mamanya.

"Kalau sudah masuk obat perangsang, aku rasa mustahil dalam kamar tidak melakukan apa-apa," sanggahku berpikir sesuai logika.

"Lian tidak melakukan apa-apa, karena .... "

Ucapan Vito terhenti karena menyorot ke arah Arumi penuh.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status