Arumi memegang pelipisnya, lalu tiba-tiba ia jatuh lunglai ke lantai. "Arumi!" Begitu keras teriakan Vito, ia melayangkan kakinya dengan cepat ke arah Arumi yang jatuh tersungkur di lantai. Pria itu, memang sangat perhatian pada Arumi, jangankan Arumi pingsan, digigit serangga saja Vito segera menolongnya. Seharusnya Arumi bersyukur dicintai oleh pria yang sangat menyayangi dirinya. Bukan malah menggoda suamiku, tujuannya apa merebut suami sahabat sendiri? Apa ia merasa puas jika memiliki apa yang aku punya?Dengan gagahnya Vito membopongnya ke depan, ia yang menggunakan motor ke sini sontak melempar kunci motornya ke arah Mas Lian. "Yan, gue pinjem mobil, ini kunci motor gue, tolong anterin ke toko kue ya, tukar di sana nanti," pesannya dengan napas terengah-engah akibat tengah menggendong Arumi yang bobotnya kisaran 55kg itu. Permintaan Vito membuat Mas Lian tidak bisa menolak, ia langsung menyerahkan kunci mobil pada Vito.Sementara itu, mamanya mengekor di belakangnya, namun ia
Bukan teriris pisau, tapi tiba-tiba berdarah. Bagaimana tidak, baru saja kami memutuskan untuk menghadapi masalah ini bersama-sama, tapi sudah ada masalah yang kami hadapi.Aku dan Mas Lian masuk ke akun sosial medianya. Matanya melirik ke arahku terus menerus dengan tatapan sendu. "Ay, semua orang kini tahu masalah kita," ucap Mas Lian agak pelan, nadanya teramat lemas membicarakan ini."Kalau kamu tidak melakukan apa-apa, cari bukti yang menguatkan, kita akan bawa masalah ini ke jalur hukum supaya Arumi sadar dan tidak melakukan hal bodoh lagi," jawabku kini mulai bersikap dewasa. Sebab, di bayangan ini masih penasaran dengan kata-kata Vito yang sempat terputus.Aku membuka mata lebar-lebar dan membaca caption yang disematkan pada foto yang disebarkan oleh Arumi. [Kalau sudah begini, siapa yang salah? Aku atau dia? Apa justru istrinya yang salah?]Hatiku mencelos ketika membaca status yang disematkan oleh Arumi di wall pribadinya. Entah apa mau dari wanita itu, aku pun tidak paham
"Kalian bisa nggak sih untuk tidak menyeret nama gue pada masalah rumah tangga kalian!" Vito membentak kami berdua. Kemudian, ia melangkah ke arah dinding.Vito menghela napasnya panjang, kemudian ia memukul dinding dengan kepalan tangannya. Buk!Aku dan Mas Lian saling beradu pandangan. Kami berdua menyorot Vito yang tidak menjawab pertanyaan kami tapi malah menyakiti dirinya sendiri. Jarinya berdarah karena pukulan keras yang ia layangkan sendiri. Aku dan Mas Lian tidak berani berkata apa-apa, hanya menyaksikan apa yang ingin dilakukan Vito. Kemudian, ia masuk dan menarik pengelangan tangan kami berdua. Ia menyuruh kami duduk di taman, belakang rumahnya. Aku meneliti sekitar, kenapa Vito membawa kami berdua ke sini? Bukankah di ruang tamu lebih enak bicara?"Kita ngobrol di sini, di ruang tamu ada penyadap." Keterangan dari Vito barusan membuatku paham, jadi inilah maksudnya aku dan Mas Lian diseret ke belakang. "Siapa yang pasang penyadap suara?" tanya Mas Lian satu pemikiran d
Namun, ponselku tiba-tiba dirampas oleh Vito."Nggak usah fotoin," ucap Vito membuatku menelan ludah. "Ikut gue ke sebelah, toko kue!" ajaknya. Ia mengajakku dan Mas Lian untuk ke toko kue miliknya yang kebetulan masih berada di sebelah rumah.Aku beranjak sambil menaruh kembali ponsel genggam yang ada di tangan. Lalu mengikuti Vito ke toko kue miliknya. Padahal tadi ia sudah mengusirku dan MasLian.Kemudian, Vito duduk dan mempersilakan kami juga, ia sudah tidak marah lagi pada kami berdua."Kalian jangan salahkan Arum sepenuhnya, dia itu menjadi wanita yang harus merebut suamimu juga karena terpaksa," ungkap Vito. Kemudian ia bangkit, lalu Vito berjalan ke arah lemari pendingin. Tangannya meraih tiga botol minuman, kemudian memberikannya pada kami dua botol.Ia membuka minuman tersebut lalu meneguknya. Sementara matanya melirik ke arah kami berdua, "Minum lah!" suruhnya. Kami berdua kebetulan haus, sedari datang ke rumah tadi belum disuguhkan minuman. "Kalau kalian mau tahu cerit
"Ya udah, kita ke kantor polisi aja," jawab Mas Lian. Mas Lian terdiam sejenak, kemudian ia memacu mobilnya dengan cepat. Namun, tiba-tiba ia berhenti mendadak karena ada mobil yang menghentikan lajunya. "Maaf," kata Mas Lian, lalu menginjak gas kembali. Ponselku terjatuh ke kolong dashboard mobil. Namun ketika meraihnya terlihat benda kecil yang menempel di dinding dashboard. Aku yang tengah menunduk pun menoleh ke arah Mas Lian, "Mas, apa ini? Penyadap suara kah?" Aku melepaskan benda tersebut dari tempatnya lalu menyerahkan padanya. Mas Lian yang sudah melajukan mobilnya kembali pun mengurangi kecepatannya. "Sepertinya Arumi yang pakai," ucap Mas Lian. Kemudian kaca jendela ia turunkan dan membuang benda kecil tadi ke jalan. Mas Lian menghela napasnya, lalu mengendalikan mobil kembali. Tiba-tiba ponselku berdering, terlihat dari layar ponsel nama kontak yang menghubungi adalah Arumi. Aku menghela napas panjang, berani wanita itu menghubungiku yang telah disakiti olehnya, seb
Aku pikir Arumi akan kembali dan mencegah atau menggagalkan rencanaku. Namun, ternyata ia tidak melakukan hal tersebut. Kini aku dan Mas Lian tengah membuat laporan di hadapan pihak yang berwajib, setidaknya cara ini supaya Arumi kapok dan menyadari bahwa yang dilakukan olehnya itu salah. Sekitar lima belas menit kami berada di hadapan polisi, setelah selesai, kami memutuskan untuk pulang. Ada napas lega terhembus dari mulut Mas Lian. Kemudian ia membuka pintu mobil dan mempersilakan aku duduk. Seat belt pun Mas Lian yang kenakan. Aku menghela napas sambil tersenyum menatapnya. Kemudian, ia kembali memacu mobilnya dengan menginjak gas perlahan. "Terima kasih, Ay, kamu udah mendampingiku, entahlah besok di kantor ramai nggak nih kasus ini," ucap Mas Lian sambil sesekali melirik ke arahku. "Apa kita bikin klarifikasi aja, Mas? Lewat akun sosial media?" Aku meminta pendapat Mas Lian. Mas Lian menggelengkan kepala, kemudian memegang pelipisnya. Aku tahu sebenarnya efek dari kekejama
Mas Lian pun membalas pukulan dari Vito, ia tidak terima bibirnya keluar darah karena dihantam oleh seorang pria yang jelas-jelas pasti membela Arumi.Aku sengaja menghadang perkelahian mereka berdua. Kini aku berada di tengah-tengah mereka. Tangan Mas Lian yang tadinya ingin melayangkan pukulan pun ia banting sendiri. "Tidak semua masalah diselesaikan dengan kekerasan, kalian jangan seperti anak kecil!" Aku melerai bukan berati membela salah satu dari mereka. Ini kompleks, bisa-bisa seluruh tetangga keluar jika ada keributan. Di sini sudah terbiasa sepi, jadi jika ada kerusuhan, semua pasti keluar. "Kalian sudah gue ingatkan untuk tidak macam-macam, tapi dilanggar, benar-benar melaporkan Arumi ke pihak yang berwajib," terang Vito. Aku terkejut mendengarnya, tahu dari mana Vito tentang hal ini? Apa polisi sudah meringkus Arumi?"Heran ya gue tahu dari mana?" Aku dan Mas Lian hanya saling beradu pandangan. "Ingat, ketika kalian berdua sudah melanggar perjanjian, maka musuh kalian bu
Kenapa bisa kebetulan seperti ini? Di saat ponsel Mas Lian tertinggal di meja, ada pesan masuk yang membuat darahku mendidih. Bagaimana tidak? Hanya berselang satu pekan masalah yang kuhadapi kini datang kembali.Beberapa orang pernah kudengar nasihatnya, termasuk orang tuaku sendiri, katanya pernikahan kita bisa diuji melalui keuangan yang terguncang, orang ketiga, bahkan kesehatan. Mungkinkah benar Mas Lian bermain dengan wanita lain sedangkan dengan Arumi saja ia tidak mau melakukannya. Apalagi ini kejadian sebelum ada masalah dengan Arumi. Sebab, pesan yang masuk bilang sudah hamil, bahkan punya anak, itu artinya ada yang dengan sengaja menguji amarahku ini.Suara deru mobil terdengar berhenti di depan rumah. Aku yakin itu pasti Mas Lian yang sadar bahwa ponselnya tertinggal."Ay, handphone aku ketinggalan!" teriaknya menyeruak ke dalam.Aku pun segera menghampiri dan menyerahkan ponsel ke tangannya."Mas, maaf kalau aku sudah baca pesan yang masuk," ucapku sambil menyerahkan bend