Delapan tahun lalu, musim gugur,Gadis gemuk berbobot sembilan puluhan itu terlihat menyapu halaman belakang bangunan sekolah. Bangunan itu adalah gedung lama yang kini dialihfungsikan sebagai tempat kegiatan ekstrakurikuler.Gadis itu sendirian. Tapi seharusnya dia bersama teman-teman sekelasnya yang lain. Ginny Maueren namanya. Gadis berusia tujuh belas tahun itu terpaksa membersihkan halaman belakang yang luas seorang diri. Dia tidak mau, namun dia tidak punya pilihan lain.Wajahnya yang berbintik merah, memakai kaca mata minus tebal dan tubuh gemuknya menjadikan dia sebagai objek perisakan oleh teman-teman sekelasnya.Dia menengadah saat pepohonan kembali meruntuhkan daunnya, seolah ikut merisaknya. Sudah setengah jam dia mengerjakan pekerjaan itu dan dia sudah lelah. Ginny memungut daun-daun dengan gontai lalu mengumpulkannya ke tumpukan yang lebih banyak. Saat itu, seorang anak laki-laki sekelasnya melintas tak jauh darinya. Laki-laki itu melempar sebuah permen pada Ginny da
Ruby bergetar, air matanya sulit dikontrol dan mengalir begitu saja. Sepanjang cerita, dia hanya bisa menahan nafas mendengar penuturan Liv. Ini pertama kalinya Liv bicara padanya tentang hari buruknya setelah bertahun-tahun.Ketika Liv bicara, suaranya terdengar lirih namun terkesan tegas. Dan caranya bercerita tanpa meneteskan setetes air matapun membuat hati Ruby semakin tercabik-cabik.Dia bertemu Liv ketika mereka kuliah dan dia sama sekali tidak mengetahui cerita mengerikan dalam kehidupan Liv. Ruby pikir Liv hanya anak pasangan pebisnis sukses dan memiliki kakak laki-laki yang sangat mencintainya.Ruby pikir kehidupan Liv sangat beruntung. Ternyata, ada bagian kelam yang tak pernah diceritakannya pada orang lain.“Liv.” Ruby memeluknya erat. “Kenapa baru mengatakannya sekarang?” isak Ruby lagi.Liv tertawa kecil, mengelus punggung Ruby yang menangis sesenggukan untuknya. “Aku ingin membicarakannya denganmu. Setelah bertahun-tahun dan perasaanku masih buruk, aku ingin menemukan
“Kenapa kamu sibuk sekali?” Ruby bergumam sementara kedua bolanya matanya yang berat masih tertutup. Dia mendengar suara gemerasak dan tak bisa menahan diri untuk tidak bangun. Dia melihat Liv tengah siap-siap, mengenakan jaket tebal dan sepatu ankle boots hitamnya. Ruby mengernyit, setengah bangun dia memperhatikan Liv lagi.“Kamu akan keluar? Ini baru pukul berapa?”“Aku ingin menyaksikan matahari terbit.” Liv tersenyum padanya. “Jangan khawatir. Aku akan pergi sendirian. Aku tahu kamu menyelesaikan naskahmu hingga menjelang pagi jadi aku tidak akan mengajakmu ikut serta.”“Kamu pergi sendirian? Bukankah itu akan berbahaya?” Ruby tampak keberatan. “Begini saja. Aku akan menemanimu.”“Jangan.” Liv menahan tubuh Ruby ketika dia hendak turun dari tempat tidur. “Kamu butuh istirahat yang cukup agar kita bisa menjelajahi daerah ini nanti. Aku sudah pernah kesini sekali jadi aku tahu jalan disekitar pulau ini.”“Benarkah?”Liv mengangguk, meminta Ruby kembali tidur dan menyelimutinya. “K
“Beruntung sekali wanita yang menjadi cinta pertamamu itu. dia bisa menempel dalam memorimu hingga masa sekarang,” sahut Liv.Edd tersenyum. “Tapi aku mengacaukannya.”“Kalian putus?”“Tidak.” Edd tertawa pahit. “Kami bahkan belum memulainya.”“Jadi kamu meninggalkannya?”“Dia yang meninggalkanku," gumam Edd. “Aku bukan pilihan terbaiknya dan dia pergi begitu saja.”Bagus sekali. Kamu memang layak menerimanya. Jika memungkinkan dan Tuhan mendengar, sendirilah selama-lamanya. Enyahlah dari muka bumi ini tanpa merepotkan orang lain.“Ah, aku bicara sangat banyak.” Edd terlihat canggung. "Baiklah, Liv.” Edd menghela nafasnya. “Kamu masih mau disini? Aku ada urusan penting hari ini jadi aku harus segera turun.”“Turun saja lebih dulu. Aku masih ingin sendirian disini.”Nada bicaranya sedikit mengusir dan Edd tahu jika dia sudah mengganggu waktu Liv. Itu sebabnya Edd tak lagi bicara banyak dan langsung menuruni bukit setelah melambaikan tangannya pada Liv. Liv langsung terjatuh begitu Ed
“Aku pikir malah tidak akan bisa menenangkan diri disini.” Ruby menatap Liv. “Aku bertemu Louis tadi.”“Kamu juga bertemu pria yang tidak ingin kamu temui?” Liv berdecak.“Benar. Aku sudah berusaha mengendap-endap dan menghindarinya, tahu-tahu ketika aku turun, dia malah sudah berdiri dihadapanku. Sepertinya dia sudah melihatku sekilas. Itu sebabnya dia langsung menemuiku.”Liv menarik nafasnya panjang. Mereka kembali diam saat pelayan datang menyajikan makanan untuk sarapan. Keduanya sama-sama memilih hidangan mie rebus yang dipadukan dengan aneka seafood khas penduduk lokal. “Silahkan dinikmati,” kata pelayan, dan keduanya sama-sama mengangguk ramah.Liv mengaduk mienya yang langsung mengepulkan asap tipis. “Katakan, apa rencanamu sekarang,” ujarnya.“Aku? kenapa denganku?”“Kamu sudah bertemu pria itu. Apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?”“Tidak ada.” Ruby mengunyah mienya dengan santai. “Aku yakin dia tidak akan melepaskanmu begitu saja.”“Dia tidak punya hak untuk menahank
“Kamu menyukainya atau hanya sekedar penasaran padanya?” tanya Edd dalam kamar hotel mereka setelah acara peresmian hotel usai. Keduanya duduk di sofa, menyandarkan tubuh dan menaikkan kaki ke atas meja untuk sedikit membuat otot-otot mereka rileks.“Jika aku mengatakan aku menyukainya, apa kamu percaya?” Louis balik bertanya.“Tidak, tentu saja.” Edd tersenyum mengejek. “Siapa yang tidak bisa lepas dari Angela selama dua tahun? Mustahil posisi Angela bisa disingkirkan oleh wanita yang bahkan kamu sendiri tidak kenal siapa.”“Tapi aku benar-benar menyukainya, Edd.” Louis menegakkan tubuhnya, menggunakan nada yang lebih antusias untuk meyakinkan Edd. “Kamu tahu, sejak aku melihatnya malam itu, aku sama sekali tidak mengingat Angela. Semua kenangan kami tergerus dan menguap begitu saja.”“Begitu saja?” Edd menaikkan alisnya, masih tidak percaya.“Bukankah kamu sudah melihat kesungguhanku? Aku mencarinya kemana-mana, bahkan setelah dia menolakku, perasaanku tak berubah. Pikirmu kenapa ak
Louis memilih duduk di sofa. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar. Di atas meja terdapat satu buah laptop. Ternyata mereka juga bekerja disini, bukan hanya berlibur, gumam Louis. Louis berdiri karena jantungnya tidak nyaman. Dia merasa sangat gugup bertemu Ruby, mungkin karena apa yang mereka lakukan malam itu, mungkin juga karena penolakan Ruby terakhir kali mereka bertemu.“Air panasnya habis. Jadi aku membilas kepalaku dengan air dingin dan sekarang aku kedinginan.” Louis menoleh ketika mendengar suara Ruby. Ruby berjalan keluar dari kamar mandi dengan posisi menunduk. Dia sedang melilitkan handuk ke rambutnya dan begitu dia berdiri tegak, dia nyaris terjengkang melihat Louis sudah ada dalam kamar, sedang berdiri tegap menatapnya.“Ka-kamu?” Ruby terkejut. “Apa yang kamu lakukan? Dimana Liv?”“Sahabatmu itu turun ke bawah untuk minum kopi," sahut Louis, berusaha tetap tenang.Sudah kuduga dia akan melakukan ini padaku, gumam Ruby. Dia mendesah, tiba-tiba menyadari jik
“Ini yang kamu katakan tempat bagus untuk makan?”Ruby menatap bangunan di hadapannya. Itu bukanlah sebuah restoran. Bangunan itu lebih mirip sebuah rumah, mungkin semacam penginapan. Ketika berjalan-jalan bersama Liv, keduanya bahkan melewati rumah ini. Apa yang direncanakan Louis padanya?“Aku tidak akan menyakitimu.” Louis tersenyum, seolah bisa membaca kekhawatiran Ruby. “Ini rumah pribadiku. Ketika aku berkunjung kesini, aku biasanya menginap disini.”“Tapi kamu menginap di hotel, bukan di sini," sahut Ruby.“Itu karena Edd tidak setuju kami tinggal disini. Kami perlu mempersiapkan diri untuk acara peresmian gedung hotel yang kami lakukan tadi. Menurut dia, akan lebih efektif jika kami menginap di hotel.”“Oh," sahut Ruby pendek.“Ayo masuk.” “Aku lapar dan aku ingin makan. Kenapa kita kesini?” tolak Ruby.Louis hanya tersenyum. Dia membuka pintu dan mempersilahkan Ruby masuk. Tak punya pilihan, Ruby akhirnya setuju untuk masuk ke rumah yang tak terlalu besar itu. Ketika dia mas