Saat terbangun ia sudah berada di klinik. Sejenak mengerjapkan mata untuk menyegarkan ingatannya. Terakhir yang ia ingat menemukan buket bunga di meja kerjanya.Namun, aneh saja kalau buket bunga itu membuatnya tidak ingat apa-apa. Atau ..."Apa ada masalah dengan kehamilanku ini?" gumam Selena meneguk liur.Menoleh lemah ke samping di mana Riana berdiri. Rasa takut tiba-tiba menyerang, takut kalau sampai Riana tahu ia hamil. "Riana, apa yang terjadi padaku?" tanyanya memperhatikan wajah Riana dengan teliti.Pikiran-pikirannya tidak bisa lepas dari kehamilannya. Meski merasa perutnya baik-baik saja, tapi tetap saja gelisah."Kamu tiba-tiba pingsan di ruangan mu tadi. Untung Tuan ---" Riana menjeda ucapannya, menoleh cepat kepada dokter yang masuk. "Bagaimana keadaan teman saya, Dokter?"Mendengar itu mata Selena melebar. Itu artinya kabar kehamilannya masih aman dari Riana. Tapi ... bagaimana kalau dokter malah mau memberitahu sekarang?Ini tidak bisa, pokoknya harus bisa mengus
"Dari mana Ibu mendapatkan kertas ini?" tanyanya tegas. Tak perduli Ibu kos merasa dituduh mencuri.Namun, berbeda dengan Ibu kos menanggapinya dengan santai."Syukurlah itu milikmu, Selena. Ibu menemukannya di ruang tamu hari itu. Sudah bertanya ke semua penghuni kos, tapi tidak ada yang mengaku. Maka pas melihatmu tadi maka Ibu panggil," beber Ibu kos.Tadinya sempat gusar, sekarang malah sangat malu. Berarti semua penghuni kos akan tahu ia yang hamil?"Di ruang tamu rumah Ibu kos?" gumamnya coba mengingat-ingat kapan ia ke sana.Ahh, pasti pas ia membayar sewa kosnya hari itu. Ia tak sadar kertas itu terjatuh dari dompetnya.Sial! Lagi-lagi kamu ceroboh, Selena!"I-iya, Buk. Ini milikku," ucapnya gugup merasa sangat malu. Ibu kos menghela napas lega. "Syukurlah, sempat berpikir penghuni lain. Takut karena mereka belum bersuami, beda dengan kamu Selena yang sudah menikah."Tertampar dengan ucapan Ibu kos, Selena pura-pura senyum. Sepeninggalan Ibu kos ia tergesa masuk kamarnya.Di
Aditya mundur mengatur jarak dengan Tuan Collins. Tekadnya sudah bulat harus memecat sekretaris yang tak bisa menghargainya itu.Hukuman saja tidak bisa mengembalikan harga diri dan sakit hatinya."Sekretaris pribadiku itu, Kek. Aku tidak suka dengan kinerjanya."Tuan Collins menarik sudut bibirnya, kemudian menjentikkan jari ke Aditya mengikutinya keluar. Aditya mengikuti Tuan Collins masuk ke ruangan pribadi sang Kakek, duduk berseberangan meja."Apa tadi, Aditya Wiguna Genio?" tanya Tuan Collins melipat kedua tangannya di atas mejanya. Matanya menatap lekat wajah Aditya.Aditya tersentak, biasanya sang Kakek memanggil nama lengkapnya pas marah besar saja. Tapi ... apa alasan Kakek marah padaku? pikirnya."Sekretaris pribadiku itu, Kek. Aku tak suka dengan kinerjanya yang asal-asalan." Aditya mengulang ucapannya tadi."Kinerjanya yang mana yang tidak kamu suka, Aditya?" tanyanya. "Lagipula bukan soal suka tidak sukamu peraturan di perusahaan Wiguna ini!"Aditya tersudut, otaknya
Selena baru saja terbangun dari tidur siangnya. Meraba-raba ke samping mencari ponselnya."Mana seh?" gerutunya membuka mata menoleh ke kiri dan kanan.Melihat ponselnya tenyata tercharger terpaksa bangkit, memeriksa mungkin ada pesan masuk dari perusahaan.Namun, ia dibuat melotot dengan puluhan notif panggilan tak terjawab di layar ponselnya."Dari Aditya!" pekiknya langsung gemetaran.Sejenak mengucek-ucek matanya guna memastikan tak salah baca nama kontak di ponselnya. "Dari mana dia tahu nomor baruku?" gumamnya mulai tidak nyaman. Memang Selena mengganti nomornya sejak melarikan diri. Lalu, tetap menyimpan nomor Aditya guna menandainya."Dari Riana atau data diri pegawai perusahaan?"Bak terkena arus listrik tubuhnya menegang. Apa Aditya sudah tahu?Sia-sialah ia bekerja di perusahaan Wiguna, harapan mendapat gaji hilang begitu saja.Selena terduduk di sisi ranjang. Frustasi memikirkan nasibnya.Denting notif pesan masuk di ponselnya membuyarkan lamunannya."Dari Aditya?" desi
Sempat kaget namun Selena tak mau larut dengan candaan Riana.Selain suka usil, Riana tidak tahu saja ia dan Aditya pernah tinggal serumah. Selama itupun hubungan mereka tidak ada yang istimewa, dan terkesan dingin."Aku pulang, ya, Riana. Mau mengerjakan tugas ini," pamitnya tidak nyaman berlama-lama di sana."Lho, kenapa buru-buru? Di kos mu juga sepi ku lihat tadi.""Tak apa-apa, justru sepi jadi konsentrasi mengerjakan ini," ujarnya menarik tas tentengan dari atas meja.Wajah Riana langsung berubah masam. Rencananya mengajak Selena ke sana untuk mempertemukannya dengan Hendra, Kakak laki-lakinya. Dari awal dia sudah akrab dengan Selena, sampai terpikir menjodohkannya dengan Hendra.Apalagi di perusahaan tadi sempat berhembus kabar, kalau Tuan Collins berusaha menjodoh-jodohkan Aditya dengan Selena. "Kerjakan di sini sajalah. Kebetulan aku juga masih ada pekerjaan yang belum selesai tadi," katanya membujuk Selena.Harusnya lebih baik bagi Selena. Ia bisa bertanya tentang perusah
Sungguh aneh memang, bahkan ia sendiri bingung tiba-tiba di pikirannya hanya Aditya.Jelas yang menelepon Hendra.Argh! Kenapa aku hilang waras begini?Selena menarik napas dalam-dalam. Sekali lagi mengutuki kecerobohannya sebelum keluar menemui Hendra.Hendra yang menunggu di depan pagar memberikan tasnya yang tertinggal di mobil dengan tangan terulur."Itu seh, terburu-buru sampai-sampai tasnya ketinggalan. Coba hatinya saja yang ditinggal!" celetuk Hendra menggodanya Selena meneguk liurnya, wajahnya langsung memerah. Candaan Hendra itu sangat membuatnya tidak nyaman."Maaf aku terlupa, Kak. Tapi terimakasih sudah mau mengembalikannya," ucap Selena gegas meraih tasnya.Namun, Hendra menarik tasnya kembali. Selena sampai memelototi Hendra yang senyum-senyum. "Kak, tasnya?" ujarnya."Hmm, bagaimana kalau ini memang bukan tas kamu, Selena?" kata Hendra menaikkan alisnya tinggi-tinggi.Heran campur bingung, jelas itu tasnya lah. Hendra juga melihatnya menyandang tas itu tadi , tapi ken
Bukan hanya memucat lagi, tubuhnya pun ikut bergetar. Takut-takut Selena menarik map kembali dari tangan sang HRD.Tertunduk, tak tahu harus membuat alasan apa untuk membela dirinya sekarang.Mungkin sekarang lebih baik mengutuki Hendra, karena dialah sampai Selena melupakan pekerjaannya semalam."M-maafkan saya, Buk. S-saya belum sempat mengerjakannya.""Apa? Kenapa, Selena?" tanya sang HRD kaget, menatapnya berapi-api. Beberapa detik kemudian wajah sang HRD juga ikut memucat. "Mati aku, Selena!"Kemudian memicingkan matanya menatap Selena yang tertunduk. "Kamu tahu, Selena! Berkas ini mau dipakai meeting pagi ini di perusahaan Adiguna Jaya, 'kan?" Raut wajahnya pun berubah memerah karena rasa kesalnya.Mungkin kalau bukan terdesak, sang HRD masih bisa memaklumi kelalaian Selena.Tapi berkas-berkas itu sangat mendesak, mau tak mau sang HRD tidak mau jadi sasaran kemarahan Tuan Collins dan pak Aditya.Selena makin tertunduk dalam. Meminta maaf juga tidak menyelesaikan pekerjaannya
Siapa yang senang? Sedari tadi ia tak lepas dari gelisah dan ketakutannya. Kesal dan penasaran jadi satu, tapi hanya bisa menunggu."Kamu tahu? Ini kesalahan kedua mu!"Kesalahan kedua? Selena kaget makin melotot. Seingatnya baru sekali ini lalai kerjakan tugas. Lalu, kesalahan yang lain kapan? Aneh, dari mana Aditya bisa menarik kesimpulan seperti itu?"Ta---""Aku sangat sibuk sekarang, tunggu saja besok Tuan Collins membicarakannya!" Aditya memutuskan sepihak.Selena menyandar ke sisi meja. Kedua lututnya melemah menahan tubuhnya. Pikirannya tidak bisa lepas dari kesalahan-kesalahannya."Bagaimana, Selena?" tanya sang HRD tak sabar."Belum tahu, Buk. Tunggu besok Tuan Collins kemari."Sang HRD mengerutkan dahi. Tapi tak ingin memperpanjangnya, yang penting Selena tak jadi dipecat."Kembalilah ke ruanganmu, Selena," ujarnya menghela napas lega. Selena duduk merenung di kursinya. Pikirannya belum bisa tenang sebelum mendengar keputusan hukumannya.***Di perusahaan Adiguna Jaya