Share

Selena Hamil

"Ahhh!"

Selena yang tidak sempat mengelak akhirnya terjatuh saat pintu menghantam kepalanya.

Nampan di tangannya ikut terjatuh, hingga pecahan gelas dan piring pun berserakan di lantai kamar.

Selena kaget melihat Aditya berdiri di pintu kamar. Lebih kaget lagi melihat apa yang sudah terjadi di kamar Aditya.

"Awas kaca, Pak!" cegahnya melihat Aditya yang tidak mengenakan alas kaki hendak masuk.

Selena gegas memungut pecahan gelas dan piring itu sebelum Aditya marah besar.

"M-maafkan saya, Pak," ucapnya berharap pria itu bisa memaafkan kesalahannya kali ini.

Aditya mengulurkan tangannya ke Selena. "Berdiri!"

Dengan gugup Selena berdiri, mengabaikan uluran tangan Aditya. "Maafkan saya yang tidak hati-hati, Pak," ucapnya membungkuk hormat.

"Kamu tidak apa-apa, Selena?"

Selena yang tertunduk itu langsung mengangkat kepala, menatap intens Aditya. 

Ia merasa aneh dengan pertanyaan Aditya yang tidak biasanya. Tapi tak ingin memperkeruh keadaan, Selena mengangguk cepat seraya menyembunyikan tangannya yang tergores pecahan kaca.

"Permisi, Pak. Saya mau ambil sapu untuk membersihkannya," ujarnya melihat Aditya menghalangi jalannya keluar.

Tapi Aditya menahannya keluar, kemudian menarik nampan dari tangannya. "Tidak perlu! Sekarang kamu istirahatlah," katanya begitu lembut dan hangat.

Selena membeku mendengarnya. Suara lembut barusan mengingatkannya dengan sosok yang masih misterius di pikirannya. 

“Apa yang kau tunggu lagi? Istirahatlah,” ulang Aditya lagi, membuat Selena kemudian melangkah dengan tatapan kosong. 

Di kamarnya, Selena kembali memikirkan kemiripan suara pria malam itu, dengan suara lembut Aditya yang didengarnya barusan. 

“Sekarang … suara mereka semakin mirip! Bagaimana kalau memang Aditya orangnya?” 

Selena terus berpikir, hingga tertidur pulas. Ia baru terbangun ketika mendengar alarmnya berbunyi.

Beruntung, ketika membuka kamar ia tidak lagi melihat secarik kertas berisi perintah absurd Aditya lagi. Ia langsung bergegas turun usai membersihkan diri.

Terlalu pagi memang untuk memulai aktivitas. Hanya saja, karena tidak ingin mendapatkan hukuman lagi, Selena memilih untuk berinisiatif memulai pekerjaannya di rumah ini lebih awal.

Namun, saat melintas di depan sebuah ruangan yang bersebelahan dengan tangga bawah, ia kaget. 

Sepintas melihat sosok dua orang di dalamnya. Selena yang penasaran lantas mundur untuk memastikan. 

Tapi lagi-lagi ia dibuat hampir berhenti bernapas, melihat kedua orang itu tak lain adalah Aditya dengan pria tua yang membeli tubuhnya.

"Pokoknya Paman Grove harus merahasiakan ini dari siapa pun!" ujar Aditya seperti membuat perjanjian dengannya.

'Paman Grove?' batin Selena tak salah mendengar nama dan sebutan paman ke pria tua itu. ‘Jadi, mereka ada hubungan?’

"Kamu tidak perlu ragukan itu, Aditya," jawab Paman Grove menepuk pundak Aditya sebelum memutar badan keluar ruangan.

Melupakan tugas yang seharusnya ingin ia kerjakan, Selena gegas menaiki tangga menuju kamarnya sebelum pria bernama Paman Grove yang keluar ruangan memergokinya.

Melihat Aditya bersama pria tua itu barusan, tebakan Selena pada sosok pria malam itu semakin mengarah pada bosnya.

“Semua ini jadi lebih masuk akal!" pikirnya mulai menyatukan kepingan-kepingan informasi yang didapatnya sendiri. Wajah yang semula terlihat berpikir itu lantas mengerut kesal. “Apa dia berusaha menjebakku? Tapi, untuk apa??”

Ponselnya kemudian berbunyi. Sebuah pesan masuk, Selena cepat-cepat mengambilnya.

Dari Aditya:

'Kamu terlalu berani memata-matai rumahku! Untuk itu kamu dihukum! Bawa nampan dari meja makan ke kamarku! Waktumu tiga menit dari sekarang.' 

"Memata-matai? Apa dia melihatku?" desisnya gemetaran, mana mungkin Aditya mengirimkan pesan seperti itu kalau tidak melihatnya tadi.

'Apa tadi, tiga menit? Ya Tuhan, turun tangga dari lantai tiga ke ruang makan saja sudah lebih dari tiga menit.'

Begitulah keseharian Selena selama tiga minggu ini di rumah Aditya. Salah sedikit, hukuman tidak masuk akal akan diterimanya dari sang atasan. 

Karena kesibukan meladeni hukuman dan permintaan gila bosnya, Selena bahkan lupa pada pil kontrasepsi yang seharusnya ia minum.

Tiga minggu di sini, agaknya tidak ada yang berubah dari Selena. Gadis itu masih saja gesit melakukan perintah bosnya. 

Namun, pagi ini tiba-tiba saja tubuhnya terasa menggigil, sakit memilin di bagian perut. Belum lagi, ia terus saja merasa mual dan lemah.

Ia bahkan melupakan tugas pokok paginya sebelum bergegas ke kantor.

"Selena!" Panggilan disertai ketukan keras di pintu kamarnya.

"Ya, Pak," sahutnya memaksakan berjalan membuka pintu seraya terus memeluk perutnya. "Maaf, Pak. Saya kurang enak badan pagi ini," ucapnya pasrah kalau Aditya harus menghukumnya lagi.

Melihatnya lemas dan pucat, Aditya memapahnya kembali masuk.

"Kamu sakit?" tanya Aditya mendudukkannya di sisi ranjang, kemudian meraih selimut dan menyelimutinya yang terus menggigil.

"Iya, Pak. Apa saya bisa istirahat hari ini?" tanyanya menekan perutnya yang terasa mual.

"Iya, tapi kamu juga harus berobat sebelum sakitnya bertambah parah.” Raut wajah pria itu terlihat begitu khawatir. “Wajahmu pucat, Selena. Biar kuantar ke klinik.”  

Kalau bukan karena sakitnya yang tak tertahankan, Selena pasti akan menolak.

"Baik, Pak. Tapi ..." Selena menjeda ucapannya. "Apa boleh saya meminta sisa uang saya waktu itu, Pak?" katanya meremas sisi selimut menahan takut yang bercampur rasa sakit.

"Uang?” Kening Aditya berkerut.” Maksudmu cek waktu itu?" tanya Aditya.

Selena mengangguk.

“Aku akan mengembalikannya.” Tanpa banyak bicara, Aditya langsung menyetujuinya. “Sekarang, ganti pakaianmu, setelah itu pelayan akan membantumu turun.”

Aditya memegang janjinya. Pria itu memberikannya uang tersebut sebelum mengantarnya ke klinik. 

"Maaf, aku tidak bisa menemani. Kabari saja kalau sudah selesai. Sopirku akan menjemputmu.”

Selena jelas tidak keberatan. Ia malah bersyukur, sebab kedekatan mereka sedari tadi terasa begitu asing dan kaku.

Terbiasa mendapati perlakuan kejam, juga kata-kata kasar dari Aditya, mendapati pria itu memberikannya perhatian justru membuat Selena bingung.

“Apa keluhannya?” Dokter langsung bertanya ketika Selena memasuki ruang pemeriksaan.

"Sakit perut seperti mules, mual dan menggigil, Dokter," paparnya Selena.

Bukannya segera memberi obat, dokter pria tua di hadapannya itu malah menyuruhnya menampung air seninya.

Kalau bukan karena rasa mual yang sangat mengganggunya, Selena mungkin sudah pergi, dan membeli obat di apotek saja.

Tapi ia menurut saja menampung air seninya.

"Tunggu lima belas menit akan kelihatan hasilnya," ucap Dokter membingungkannya.

Demi bisa dapat obat pereda mual dan sakitnya, ia pun hanya mengangguk. Tidak peduli dokter tersebut bisa melihat wajahnya yang masam.

Lima belas menit kemudian, Selena yang sedang menunggu hasil dikagetkan oleh uluran tangan dokter yang mencoba menjabatnya. “Selamat, Anda hamil!”

Berbeda dengan sang dokter yang berwajah ceria, Selena justru memucat. Ia bahkan nyaris saja pingsan mendengar informasi barusan. Matanya melotot tajam tidak percaya.

"S-saya hamil?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status