Beranda / Romansa / Prime Time Bersama Mas Polisi / 6. Penyelidikan Ala Jurnalis.

Share

6. Penyelidikan Ala Jurnalis.

Penulis: Suzy Wiryanty
last update Terakhir Diperbarui: 2024-01-02 11:57:47

 "Cukup, Mbak Lisna. Sekarang giliran Mbak Rani yang berbicara," tegas Demitrio.

Kiran mengamati alibi  semua orang dalam diam. Merasakan tidak ada gerakan lagi di buaiannya, Kiran memeriksa keadaan Aldy. Balita malang ini sudah tertidur rupanya. Syukurlah. Dengan sebelah tangan, Kiran menarik kursi di pojok ruangan. Ia membalikkan sandaran kursi, sebelum duduk dengan hati-hati agar Aldy tidak terbangun. Sandaran kursi terpaksa ia balik, agar ranselnya tidak mengganjal punggungnya. Setelah menempatkan Aldy dengan nyaman di pangkuannya, barulah Kiran kembali mengamati interogasi Demitrio. Rasa penasarannya meluap-luap. Ia bertekad untuk menguak keanehan tewasnya Bu Yanti ini.

"Di mana Anda saat Bu Yanti jatuh?" Demitrio bertanya pada Rani. 

"Seperti yang dikatakan Lisna, saya--"

"Saya ingin mendengar jawaban dari mulut Anda. Bukan Lisna," tegas Demitrio.

"Baik." Rani menelan ludah. Penyesalan masih memayungi wajah sendunya.

"Saya merasa sesak napas. Aldy dan Bu Yanti juga terus batuk-batuk. Makanya saya menyusul Bik Hasni ke kamar mandi. Saya berpesan pada Bu Yanti agar menunggu sebentar. Saya akan mengambil handuk." Rani kembali terisak. Kalau saja waktu bisa diputar, ia ingin mengulang semuanya. 

Ekspresi merana Rani, tidak lepas dari pengamatan Kiran. Perlahan Kiran merogoh ponsel di sakunya. Dengan berpura-pura sedang bermain ponsel, Kiran memotret Rani beberapa kali. 

"Saat saya sudah berhasil menutup hidung Aldy dan saya sendiri, saya mengambil sebuah handuk lagi di kabinet. Saya bermaksud memberikan handuk itu pada Bu Yanti. Saat itulah saya mendengar teriakan Bu Yanti. Saya ingin menolong. Tapi keadaan gelap gulita dan dipenuhi asap. Saya tidak bisa melihat apa-apa. Lisna yang baru datang dengan ponsel sebagai alat penerangan, juga tidak bisa berbuat banyak. Kami semua sesak napas. Suhu juga sangat panas. Kami kemudian berlari menuju pintu darurat dengan bantuan flashlight Lisna. Di koridor kami bertemu dengan penghuni unit lain yang juga berlari ke arah pintu darurat. Di pandu petugas DAMKAR dan Basarnas, kami mendekati dinding dan berjalan merangkak di lantai. Setelahnya kami dievakuasi dan dibawa ke rumah sakit ini." Rani mengakhiri ceritanya.

"Baik. Untuk saat ini interogasinya sudah cukup. Apabila diperlukan, kami akan memanggil kalian kembali untuk dimintai keterangan." 

Demitrio berdiri. Ia kemudian memberi kode pada Kiran untuk mendekat. Melalui gerakan kepala yang tidak kentara, Demitrio meminta Kiran menyerahkan Aldy yang sudah tertidur pada pengasuhnya. Kiran yang tanggap segera menyerahkan Aldy pada Rani. Karena dalam keadaan sudah tertidur, Aldy tidak banyak drama.

"Terima kasih atas kerjasamanya hari ini. Pak Irman, saya turut berbelasungkawa. Kami permisi dulu." Demitrio mengangguk singkat sebelum berlalu. Kiran mengikuti langkah-langkah panjangnya dari belakang. Ada yang ingin ia sampaikan pada Demitrio.

"Om Demit. Saya mau ngomong-- aduh!" Kiran mengaduh saat Demitrio tiba-tiba saja berbalik. Keningnya membentur bahu Demitrio.

"Kalau mau berhenti, kasih aba-aba dulu dong, Om. Jangan main slonong aja." Kiran mengusap-usap keningnya.

"Kamu mau ngomong apa? Bicara yang jelas dan singkat saja," pungkas Demitrio dingin. 

"Mereka bohong." Kiran langsung menembak pada sasaran.

"Siapa yang bohong?" ujar Demitrio seraya memindai jam di pergelangan tangannya. Hampir pukul setengah enam pagi.

"Saya belum bisa memastikan siapa saja yang berbohong. Tapi saat ini saya yakin pada kebohongan satu orang."

"Oh ya, siapa itu?" Demitrio bersedekap. Ia tahu kalau anak Om Bima ini sangat berbakat menjadi seorang detektif. Logikanya jalan dan akalnya banyak. Selain itu Kiran sangat teliti dalam segala hal. Kekurangannya adalah Kiran ini tidak sabaran dan cenderung nekat. Kiran kerap mengacaukan penyelidikannya karena ketidaksabarannya itu. 

"Mbak Rani, sang babysitter," tegas Kiran yakin.

"Atas dasar apa kamu menuduh Rani berbohong?" tuntut Demitrio lagi.

"Atas dasar ini." Kiran merogoh saku celananya. Ia mengeluarkan sebuh kancing kain berwarna merah muda berikut sobekan kainnya.

"Dari mana kamu mendapatkan benda-benda ini?" Demitrio meraih kancing dan secarik kain tersebut dari tangan Kiran. 

"Dari tangan Bu Yanti, saat beliau dinaikkan ke atas brankar ambulance. Benda-benda ini terjatuh begitu saja dari tangannya," imbuh Kiran lagi.

"Hanya karena Rani memakai warna pakaian yang sama, kamu tidak bisa serta merta menuduhnya seperti itu. Pakaian ini produksi massal karena merupakan seragam khas babysitter. Harus ada bukti yang lebih spesifik kalau kecurigaanmu mengarah pada Rani."

"Oke. Kalau begitu saya akan memperlihatkan bukti yang lain. Sebentar." Kiran merogoh ponselnya dari saku kirinya. Ia mengotak-atik ponselnya sebentar sebelum menyerahkannya pada Demitrio.

"Heh, untuk apa kamu memperlihatkan photo Rani pada saya?" Demitrio mencebik.

"Perhatikan baik-baik detail pakaian Mbak Rani ini, Om. Kalau Om memperhatikannya dengan seksama, saya yakin, Om akan sependapat dengan saya." 

Melihat keyakinan Kiran, Demitrio mengamati pakaian khas babysitter Rani. Apa yang ia temukan di sana membuat Demitrio angkat topi untuk Kiran.

Analisa bocah ini boleh juga. 

"Lihat, Om. Kancing baju Rani yang paling bawah lepas satu. Sakunya juga robek. Itu artinya, kancing baju dan kain yang Om pegang itu milik Mbak Rani." Kiran menunjuk dua barang bukti itu dengan air muka puas.  

"Tadi Mbak Rani bilang bahwa ia tidak tahu menahu perkara jatuhnya Mbak Yanti bukan? Pengakuannya tidak sinkron, Om. Dugaan saya, Mbak Yanti itu tidak jatuh apalagi melompat dari jendela. Ingat, Mbak Yanti itu lumpuh. Kalau pun ia melompat dengan menumpukan kedua tangannya ke rangka jendela, pasti telapak tangannya akan menderita luka bakar. Sementara tadi saya lihat sekilas, tangan Bu Yanti tidak terluka sedikit pun. Hanya saja menghitam oleh jelaga."

"Dan kesimpulannya?" Demitrio tertarik mendengar analisa Kiran.

"Kesimpulannya, Bu Yanti tidak jatuh dari jendela. Melainkan didorong oleh Mbak Rani. Bu Yanti ingin menyelamatkan diri. Makanya Bu Yanti menarik pakaian Mbak Rani dan meneriakkan kata tolong. Oh ya, kata tolong ini saya simpulkan dari kalimat sepotong-sepotong Aldy. Aldy terus mengatakan kalimat ; mama nangis. Mama jatuh dan mama tolong. Mungkin maksud Aldy adalah ; mamanya menangis karena tidak menduga akan didorong. Mamanya meminta tolong sebelum akhirnya terjatuh. Ah, satu lagi. Om perhatikan tidak, Aldy tidak mau lagi digendong Mbak Rani. Aldy menyaksikan semua itu. Aldy trauma pada Mbak Rani. Itulah kesimpulan sementara saya." 

"Begitu. Lantas, apa motif Rani melakukannya?" tanya Demitrio lagi.

"Nah, yang begini ini tugas Om Polisi dong. Masa harus saya lagi yang turun tangan?" Kiran nyengir.

"Bercyandya, Om. Saya akan menyelidiki kasus ini sampai tuntas. Jangan panggil saya Kirania Sakti Raffardan, kalau saya tidak bisa menguak tabir ini." Kiran menepuk dada jumawa.

Tuk!

Demitrio menyelentik kening Kiran.

"Kamu kepedean. Memangnya kamu siapa sampai saya harus memintamu menyelidiki semuanya. Mimpi kamu!" decih Demitrio sinis. Dengan langkah panjang-panjang Demitrio berjalan ke arah mobilnya di parkir.

"Dasar Om Demit sialan. Sudah saya bantu membuka clue, saya malah mau dibuang begitu saja. Kek manaaa?" Kiran menirukan nada bertanya seorang food vloger yang sempat viral.

Demitrio menulikan telinganya. Ia pura-pura tidak mendengar protes Kiran. Demitrio melajukan kendaraan dan menghentikannya di pinggir jalan. Ia baru melajukan kendaraannya kembali saat Kiran berlalu dengan mobilnya. Ia akan mengawal Kiran diam-diam dari kejauhan. Berkendara sendirian di pagi buta begini memang rawan kejahatan. Istimewa kaca mobil Kiran cukup terang. Terlihat sekali kalau Kiran berkendara seorang diri. 

Di tengah perjalanan Demitrio merasa ponselnya bergetar. Demitrio pun mengangkatnya. 

"Ya, Om. Sudah selesai kok. Iya, ini Rio akan mengawal Kiran sampai rumah dari jarak aman. Tidak apa-apa, Om. Tidak repot kok. Toh sekalian jalan. Sama-sama, Om." Demitrio menutup ponselnya. Om Bima, ayah Kiran meminta tolong padanya untuk mengawal Kiran, saat tahu Kiran ada di lokasi yang sama dengannya. 

"Orang tuamu bisa pendek umur kalau rasa ingin tahumu terlalu besar, Bocah," gumam Demitrio sambil menjalankan kendaraannya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Prime Time Bersama Mas Polisi   55. Akhir Bahagia ( End).

    Kiran berpegangan erat pada handle mobil, saya laju kendaraan oleng ke kanan dan kiri. Hari ini dirinya dan tim akan melakukan liputan tentang rekontruksi pembunuhan Ryan Pratama. Sejak dua hari lalu dirinya dan tim yang terdiri dari Andika, Mardi, Bang Barry, Bang Husin dan Renny sudah berada di Kalimantan. Pagi ini akan diadakan rekontruksi pembunuhan Ryan oleh dua orang penduduk setempat dan juga Bu Katarina."Kita ini naik mobil atau naik kuda sih, Dik? Tulang gue kayak mencar-mencar dari sendinya karena terpental-pental terus." Kiran meringis. Hujan yang turun semalam telah membuat jalan menjadi licin dan berlumpur. Ditambah kontur tanah yang sulit untuk dilewati, membuat penumpang yang ada di dalam mobil terpental-pental."Ya gimana dong, Ki. Kita 'kan melalui jalan alternatif yang bisa menghemat waktu minimal 40 menit dari jalan normal yang bisa memakan waktu sampai dua jam. Mana kanan kiri jurang lagi. Kalian semua banyak-banyak doa aja." Andika menjawab sembari berkonsentrasi

  • Prime Time Bersama Mas Polisi   54. Plotwist Nan Tragis.

    "Klien saya tidak melakukan seperti apa yang kalian tuduhkan pada. Pak Irman tidak pernah punya hubungan apa pun pada Rani. Apalagi memprovokasi Rani agar mencelakai Bu Yanti. Semua yang dituduhkan tidak benar!" Frans Damanik membantah semua tuduhan yang disangkakan pada kliennya."Benar begitu, Pak Irman?" Demitrio memfokuskan pandangan pada Pak Irman tampak nervous."Maaf, bisa diulangi lagi pertanyaannya?" Pak Irman menggosok-gosok kedua telapak tangannya gugup. Benaknya terus berputar memikirkan jawaban demi jawaban yang harus ia berikan."Apa benar Anda tidak punya hubungan apa pun dengan Rani Permata Sari?" Dengan sabar Demitrio mengulangi pertanyaannya."Benar." Pak Irman menjawab singkat."Anda juga tidak pernah memprovokasi Rani untuk mencelakai Bu Yanti?" lanjut Demitrio lagi."Be--nar, Pak." Pak Irman mulai gugup. Ia berkali-kali melirik pengacara di sampingnya. Ia takut memberi jawaban yang salah."Baik. Kalau pengakuan Anda seperti itu, saya akan memperdengarkan sesuatu."

  • Prime Time Bersama Mas Polisi   53. Pahitnya Kenyataan.

    "Saya tidak tahu apa-apa soal kejahatan Pak Irman, Pak Polisi. Saya ini cuma seorang pembantu. Mana mungkin saya terlibat dengan semua kejahatan beliau. Tolong lepaskan saya!" Bik Hasni langsung berdiri saat melihat kehadiran Demitrio. Perwira polisi yang satu ini memang bolak-balik menanyainya dalam peristiwa tewasnya Bu Yanti beberapa waktu lalu."Saya menahan Ibu bukan karena masalah Pak Ilham. Tapi perihal tewasnya Bu Yanti. Mengapa Ibu malah membahas soal kejahatan Pak Irman? Apa Ibu ikut terlibat dalam kejahatan itu?" sindir Demitrio."Tidak, Pak Polisi. Saya justru tidal tahu apa-apa. Begitu juga soal tewasnya Bu Yanti. Saya ini pengasuhnya sedari kecil. Mana mungkin saya mencelakakan beliau. Yang menjahati Bu Yanti itu Rani dan Lisna bukan? Kenapa jadi yang dituduh!" Bik Hasni panik. Semuanya jadi kacau sekarang."Duduk kembali, Bu. Anda tidak perlu terburu-buru menjelaskan segala sesuatunya. Kita punya waktu yang sangat lama untuk berbincang-bincang." Demitrio mengangkat tan

  • Prime Time Bersama Mas Polisi   52. Cemburu Menguras Hati.

    "Jangan mendorong-dorong saya. Saya bisa jalan sendiri!" Bik Hasni menyikut polisi yang mendorong-dorong bahunya. Matanya liar mengamati sekitar. Ia mencari-cari kehadiran sang putri. Karena tidak menemukan apa yang dicarinya, Bik Hasni mengamuk."Mana Marni?" seru Bik Hasni panik. Ia takut kalau sang putri kenapa-kenapa."Marni berada dalam mobil yang lain. Kalau Anda tidak mau didorong, segera ke dalam mobil!" hardik Demitrio keras. Ramainya warga sekitar yang menonton, membuat mereka tidak leluasa bergerak. Mobil yang dikendarai IPTU Rahman harus membunyikan klakson berulang kali, baru berhasil keluar dari kerumunan."Mengapa Marni tidak ikut di mobil ini saja? Kenapa harus dipisah segala?" Sembari masuk ke dalam mobil, Bik Hasni terus protes."Karena kami ingin mendengarkan keterangan yang valid dari kalian berdua. Makanya kalian berdua harus dipisah. Sekarang duduk yang benar dan jangan banyak tingkah. Paham?" bentak Demitrio lagi.Bik Hasni terdiam. Benaknya berpikir keras untuk

  • Prime Time Bersama Mas Polisi   51. Tikus-Tikus Mulai Terjebak.

    Kiran duduk ngelangut di dalam mobil. Ia terkantuk-kantuk kala menunggu Andika yang tengah membeli gorengan di pinggir jalan. Ditambah suara hujan rintik-rintik yang jatuh di kap mobil, membuat mata Kiran semakin redup. Mereka berdua baru saja pulang meliput berita mantan mentri yang terbukti melakukan korupsi dan gratifikasi. Sedari pagi hingga malam, mereka berdua sibuk memburu berita ini. Wajar jikalau saat ini perut mereka berdua keroncongan. Walau sebenarnya Kiran lebih kepingin tidur saja daripada makan."Sepet banget mata gue elah. Kudu diganjel ini biar tetep fokus gue nyetirnya." Demi membuat matanya melek, Kiran bermain ponsel. Siapa tahu dengan mengscroll-scroll media sosial, kantuknya akan hilang. Kiran terkekeh saat mendapati konten gaya panggung artis dangdut lawas yang naik ke atas alat musik di panggung. Sang biduan menyanyikan lagu Gudang Garam dengan suara lantang."Tadi aja lo lelenggutan ngantuk berat. Sekarang lo malah ngakak patah kayak orang gila. Kagak jelas em

  • Prime Time Bersama Mas Polisi   50. Kasmaran Tingkat Dewa.

    "Ya tapi kenapa tiba-tiba, Om? Kita baru pacaran dalam hitungan bulan. Eh, si Om udah main lamar aja. Apa Om nggak mau kita saling mempelajari karakter masing-masing dulu?" Kiran meriang karena mendadak akan dilamar. Sungguh, setitik debu pun ia tidak menduga akan dilamar dengan cara sat set begini. "Apalagi yang harus kita pelajari, Ki? Karaktermu? Saya sudah mengenalmu sedari dalam kandungan Tante Cia. Selain kedua orang tuamu, mungkin saya adalah orang yang paling memperhatikan tumbuh kembangmu."Kiran menepuk kening. Demitrio benar. Ia memang sudah sebel pada Demitrio sedari kecil. Ia tumbuh besar dengan kehadiran keluarga Atmanegara. Kedua orang tua mereka bersahabat sejak remaja. Ia juga menyaksikan perubahan Demitrio dari seorang remaja tanggung hingga sedewasa sekarang. Mereka berdua terlalu mengenal satu sama lain."Atau jangan... jangan... kamu tidak bersedia saya lamar ya, Ki?""Bersedia dong, Om. Mau dilamar orang gagah perkasa sakti mandraguna begini kok ya nggak mau? Sa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status