"Mas, kamu jangan bodoh! Jangan mau di permainkan Anita seperti itu! Selama ini sudah banyak barang yang kamu berikan padanya. Sekarang malah uang, apa kamu tidak bisa berpikir?"
"Aku mencintai Anita. Aku senang bisa memanjakan dia. Bilang saja kamu iri!" ujarnya.Aku langsung terdiam mendengar ucapan Arga. Memang benar ucapan Arga. Aku iri dengan semua perhatian dan materi yang dia berikan pada Anita. Untuk Anita, Arga sudah membelikan dia mobil yang mahal sekarang malah uang sebanyak itu.Padahal jika untukku, Arga malah belum pernah memberikan aku transferan sebanyak itu. Paling banyak 50 juta, dan itupun karena aku merubah penampilan kemaren. Bahkan dia tega membiarkan aku kemana-mana hanya menggunakan taksi. Sungguh itu tidak adil."Tentu saja aku iri, Mas! Untukku yang istri sahmu saja tidak pernah kamu perlakukan istimewa seperti itu. Bahkan kamu tidak peduli sedikitpun saat aku kemana-mana harus menggunakan taksi," jawabku dengan wajah meAku memasuki rumah lalu duduk di ruang tamu. Menimbang-nimbang apa yang harus aku lakukan. Pemilik kedai itu bilang, Anita punya suami. Mungkin itu hanyalah kedok Anita saja. Aku yakin, laki-laki yang aku lihat kemaren adalah orang yang mengaku sebagai suaminya Anita. Agar dia bebas hilir mudik masuk ke rumah perempuan itu tanpa di curigai oleh tetangga sekitar.Aku sedikit heran dengan kenyataan bahwa pemilik kedai itu tidak mengenal Arga. Apa Arga tidak pernah berkunjung ke rumah Anita? Rasanya itu mustahil. Rumah itu hadiah dari Arga. Tentu saja dia sering datang ke sana. Apa mungkin dia ke sana tapi tidak pernah berinteraksi dengan tetangga sekitar? Mungkin saja. Pikiranku sibuk menerka-nerka hingga tak mendengar dering handphone sendiri.Cepat-cepat aku meraih handphone dan melihat siapa yang menelpon, ternyata Arga. Tumben siang-siang seperti ini hubungi aku."Ada apa, Mas?" tanyaku dengan sedikit heran."Tolong anterin berkas yang ada di ka
"Tapi aku tidak pernah mengubris perasaannya. Lagian itu hanya masa lalu. Untuk apa Mas marah?""Kamu tahu tidak? Dia itu sungguh karyawan Papa yang membuatku selalu dalam masalah. Tiap kali aku berbicara pada Papa, selalu saja dia di bela oleh Papa. Ingin sekali rasanya memecat dia dari perusahaan ini!" jawab Arga dengan emosi."Sudahlah, Mas. Tidak baik marah-marah seperti itu, aku pulang saja ya? Lagian ini sudah siang, aku belum masak di rumah.""Ya sudah, kamu pulang sana! Kalau ketemu Diandra di luar, jangan bicara padanya. Aku tidak suka!""Baik, Mas!"Setelah itu, akupun keluar dari ruangan Arga. Berjalan menuju lift untuk mengantarkan aku ke lantai bawah. "Susan!" Suara Diandra memanggil namaku dengan cukup nyaring.Kulihat ke arah sumber suara, Diandra tengah berdiri di pintu sebuah ruangan yang aku yakini mungkin itu ruangannya. Dengan tergesa aku berjalan memasuki lift. Aku tidak ingin Arga salah faham ji
Ah, aku mendengus kesal melihat Arga dan Anita berjalan bergandengan keluar dari rumah. Senyum merekah Anita sungguh membuatku naik darah. Arga malah menuruti semua keinginan Anita menambah rasa kesalku saja.Sebelum mobil Arga keluar dari pagar rumah, dengan keras aku menutup pintu depan. Mengatur emosiku yang seakan mau meledak di kepala.Dengan gontai, aku berjalan memasuki kamar. Merebahkan badan mencoba melupakan kesedihan yang seketika menghinggapiku. Apa yang harus aku lakukan jika Arga tak bisa mencintaiku? Tidak mungkin selamanya aku tahan di perlakukan seperti ini. Karena kelelahan, aku tertidur dengan lelap. Aku malah terbangun saat terdengar suara azan subuh. Aku buru-buru bangun, terlihat Arga dengan pulas tidur di sampingku. Setelah sholat, aku membangunkan Arga untuk sholat subuh. Dengan lesu dia membuka matanya dan duduk sambil merentangkan kedua tangannya. Saat Arga berjalan perlahan menuju kamar mandi, aku segera keluar kamar d
"Papa dengar Susan mau bekerja? Apa betul, Nak?" tanya Papa mertua padaku.Aku sedikit meremas ujung bajuku dengan perasaan sedikit takut. Wajah Arga seketika berubah saat mendengar orangtuanya bicara soal pekerjaan padaku."Benar kan, sayang? Susan sudah bicara itu sama Mama tadi siang. Makanya Mama segera menghubungi Arga untuk datang ke sini malam ini," jawab Mama.Aku tak menyangka sedikitpun, kalau Mama mertua akan langsung membicarakan soal pekerjaan itu pada Papa hari itu juga. Arga langsung mengajakku ke rumah orang tuanya sesaat setelah dia pulang dari kantor tadi."Kalau Papa dan Mas Arga tidak setuju, Susan tidak keberatan kok!" jawabku dengan sedikit pelan. Aku tak kuasa menatap wajah Arga yang terlihat tidak suka kalau aku bekerja."Iya, Pa! Untuk apa juga Susan bekerja. Lebih baik dia di rumah saja. Lagian, aku masih bisa memenuhi semua kebutuhannya!" ucap Arga dengan yakin."Bukan soal nafkah yang kamu berikan, Arg
"Selama di kantor, kamu harus menjaga sikap. Karyawan kantor belum banyak yang tahu kalau aku sudah menikah. Hanya pejabat penting perusahaan yang tahu bahwa aku sudah punya istri. Jadi, jaga sikapmu! Panggil aku Bapak, seperti yang lainnya!" "Baiklah!" jawabku dengan sedikit kesal. Pernikahan ini bukanlah pernikahan yang dia kehendaki. Mungkin itu sebabnya, dia tidak ingin orang lain tahu bahwa akulah istrinya.Walaupun kesal, aku mencoba untuk tetap mengalah. Biarlah, suatu saat nanti akan ada masanya dia yang akan memperkenalkan aku sebagai istrinya.Setelah sampai di kantor, Arga langsung mengantarku ke ruangan direktur perusahaan yaitu ruangan Papa mertua."Pa, ini karyawan baru Papa sudah datang!" ucap Arga pada Papa.Aku langsung menyalami Papa mertua. "Susan, di kantor ini semuanya bekerja secara profesional. Tidak ada pengecualian baik untuk Arga ataupun dirimu. Papa harap, kamu bisa bekerja dengan baik," ujar Papa.
"Mas, aku bawa bekal makan siang dari rumah. Mau makan dimana? Di mobil?" tanyaku pada Arga sambil menenteng bekal makan siang itu."Ya sudah, bawa saja. Kita makan siang di restoran saja.""Nggak boleh dong Mas? Bawa makanan ke restoran. Aku makan di kantor saja ya? Ini bekal makan siang Mas. Mas bisa makan di ruangan kerja, Mas!" Ku sodorkan bekal makan siang Arga padanya."Kamu kenapa sih? Apa kamu mau makan bareng sama Diandra itu?" "Mas yang aneh, kenapa marah-marah nggak jelas seperti ini. Aku ada meeting nanti jam dua sama Diandra. Dan aku tidak mau telat. Aku balik masuk ke kantor dulu ya?" pamitku pada Arga.Arga yang sudah duduk di kemudi mobil, tak bisa menahan langkah kakiku menjauh dari mobilnya. Aku langsung menuju kantin dan makan di sana.Samar-samar aku mendengar pembicaraan para karyawan yang tengah makan di meja yang sedikit jauh dariku."Hei, kalian lihat nggak? Tadi, Pak Arga dan Pak Diandra lagi-la
"Sudahlah, kamu sudah tahu bagaimana sikap Arga. Kamu yang memutuskan untuk tetap bertahan padanya, lalu kenapa kamu masih menangis saat dia membela Anita?" ucapan Diandra membuatku menatapnya dalam."Mas, aku tahu hubungan mereka seperti apa. Aku sudah melakukan segala macam cara untuk bisa menarik sedikit saja perhatian Arga. Tapi, kenapa dia tak bisa memberiku sedikit kesempatan?" Isak tangisku semakin kencang. Rasanya ingin segera menyerah, aku tak kuat lagi menahan rasa cemburu tiap kali Arga lebih membela Anita daripada aku. Saat dia selalu membenarkan perkataan Anita, semua itu membuatku sakit hati. "Arga itu sudah di butakan oleh rasa cintanya pada Anita, jadi percuma saja kamu berharap dia akan memilihmu. Kamu hanya akan semakin terluka. Lebih baik sebelum semuanya terlambat, kamu meyerah saja dan fokus mencari kebahagianmu saja!" "Tapi, Mas! Aku tidak bisa. Aku sudah terlanjur mencintai Arga. Aku tidak bisa menyerah begitu saja."Diand
"Silahkan kamu pilih pakaian yang ingin kamu beli!" ujar Arga padaku. Aku mulai memilih beberapa pasang baju kerja untukku. Sedangkan Arga, dia tengah sibuk duduk di pojokan toko sambil memainkan handphonenya. Aku hanya memilih beberapa pasang saja. Setelah merasa cukup, aku segera membayarnya di kasir."Mas, aku sudah selesai. Dan juga sudah aku bayar. Mari kita pulang?" ajakku padanya.Arga melirik belanjaan yang aku tenteng. Dan langsung berkomentar."Kamu beli berapa pasang? Kenapa cepat sekali?" tanyanya."Ada beberapa pasang, Mas. Nanti kalau kurang kan kita bisa beli lagi," bujukku."Ya sudah, ayo kita pergi. Aku lapar. Sebelum pulang kita makan dulu."Aku hanya mengangguk mendengar ucapan Arga. Sebenarnya aku juga tengah kelaparan. Kami makan di kafe yang ada di Mall itu. Saat menunggu makanan datang, aku mulai bicara pada Arga."Mas, apa selama ini kalau siang hari Mas selalu pergi