Siang ini Real Publishing dibuat geger dengan ditemukannya Menir Hank yang dalam keadaan tak sadarkan diri di ruang kerjanya. Segera, tanpa banyak kata Willam langsung meminta bantuan Hiranur dan beberapa orang karyawan lainnya untuk melarikan ke rumah sakit terdekat. Tidak terpikir sana sekali olehnya untuk menelepon AMBULANCE atau bagaimana. Hanya satu hal yang ada dalam benaknya, menyelamatkan Menir Hank, bagaimanapun caranya. "Hiranur, tolong kamu cek CCTV. As soon as possible!" titah William panik begitu Hiranur mengangkat teleponnya. "Apa pun yang terjadi, tolong segera report kepada saya, ya?" "Baik, Bapak William." sahut Hiranur dengan sedikit gugup, gelagapan. Masih terkejut sekaligus tidak menyangka, musibah ini akan terjadi. Tadi pagi masih dilihatnya Menir Hank dalam keadaan baik-baik saja, bahkan tersenyum sangat ramah padanya. "Segera saya kerjakan." "Good luck, Hiranur!" ucap William penuh harap---semoga tidak ada tindak kriminal apa pun yang menyebabkan Menir Hank j
Heart attack dan stroke berat sehingga mengalami kelumpuhan total. Demikianlah vonis yang diberikan dokter terhadap Menir Hank. William terhenyak, sangat terkejut tentu saja. Belum genap dua minggu tinggal bersama pamannya dan sekarang malah sakit. Benar-benar luar biasa, menyedihkan. Memprihatinkan. "Jadi Dokter, selanjutnya bagaimana?" to the point William bertanya. Dokter menjelaskan secara sederhana kalau Menir Hank harus mendapatkan fisio terapi secara rutin, selain berjemur untuk mendapatkan infra merah dan minum obat-obatan khusus. Tentu saja, tetap harus mendapatkan asupan gizi yang cukup demi menunjang proses penyembuhan. William menganggukkan kepala, mengerti. "Baik Dokter, terima kasih banyak atas penjelasannya. Emh, jadi, kapan paman saya bisa mendapatkan home care?" Dokter sudah membuka mulut hendak memberikan penjelasan tetapi sayang, ada panggilan masuk di ponsel William dari Hiranur. "Silakan diangkat dulu, Pak." Kikuk, William mengangguk. Tersenyum miring ke
Welas kacau balau memikirkan ancaman Derya. Bagaimana bisa Menir Hank menyerahkan Real Publishing padanya? Apa yang telah merasuki Menir Hank? "Kalau aku jadi Menir Hank, nggak akan pernah melakukannya. Titik." Welas bergumam sengit sambil terus menyisir rambut. Baru saja selesai mandi, dia. "Jangan menyerahkan, mempercayai saja aku nggak akan pernah. Gila! Masa sih, Menir Hank nggak bisa merasakan kejahatan dalam diri Bang Derya?" "Eh tapi ada apa, sih?" Welas mengerutkan dahi. "Kok bisa, Menir Hank sampai sepasrah itu? Nah, terus si Bule itu siapa? Aduh, kok bisa jadi runyam begini sih, urusannya?" Welas menepuk kepalanya sendiri sekarang. "Pertanyaannya adalah bagaimana cara memberi tahu Seika? Aduh, nanti kalau dia jadi lemah bagaimana?" "Cieeeh, yang lagi happy?" tiba-tiba Sekar muncul dari balik pintu kamar mereka. "So sweet … Eh Mbak, gimana kabar Bang Derya? Kok, nggak pernah main ke rumah lagi sekarang? Ehem, kalian LDR an ya?" Selalu begitu. Sekar memang suka usil. P
"Sebentar ya Kama, Welas voice call." Seika kembali mengunci pintu mobil. Dengan isyarat dia meminta Kama mengantarkannya kembali ke Seikamara Publishing. Apa lagi yang perlu dikhawatirkan, Derya sudah aman di tangan pihak yang berwajib. Dia yakin, selain Pak Raka dan Pak Gading, hanya dia yang menjadi kaki tangan Menir Hank. William? Seika yakin tidak karena tahu, kakak sepupunya itu tidak mudah untuk disetir. "Ya, Welas?" To the point Welas mengucapkan ikut sedih dan prihatin atas musibah yang telah menimpa Menir Hank tadi pagi di kantor. Dia juga menanyakan bagaimana keadaannya sekarang dan dirawat di rumah sakit mana. Tentu saja Seika terserang gugup, bingung harus menjawab apa. "Emh, ya aku juga belum tahu bagaimana keadaan Papa, Welas." Seika memilih untuk menjawab dengan jujur dan apa adanya. "Welas, sebenarnya kami sudah di rumah sakit sekarang ini tapi Kama dapat kabar dari Aceh kalau Mamak meninggal dunia. Jadi cancel dulu lah, menjenguk Papa. Oh ya, pesanku di chat room s
Akhirnya Welas sepakat untuk ikut mengantarkan Kama ke bandara. Bagaimanapun tidak sampai hati juga membiarkan Seika sendirian dalam situasi seperti ini. Bukankah seorang sahabat harus selalu ada dalam suka dan terutama duka sahabatnya? "Oke Sei, aku ikut nganterin Kama ke bandara. Aku tunggu di Pingit ya, depan toko mas. Ini aku OTW ke sana, dianterin Sekar naik motor." Serta merta Seika tersirami oleh keharuan. Begitu besar kesetiaan Welas padanya. "Wah, serius Welas? Okelah kalau begitu, sampai ketemu di Pingit, ya? Ini kami juga sudah mulai loading." "Sip, Sei. Aku tunggu, ya? Jangan lupa, di depan toko mas!" Seika mengatakan jangan khawatir, jadi Welas segera mengakhiri voice call-nya. Mendekati Sekar dengan segenap kemampuan membujuk, supaya mau mengantarkan ke tempat yang dia janjikan pada Seika. "Idih Mbak Welas, tadi barusan ngatain aku anak manja. Tukang ngadu. Eh, sekarang minta tolong dianterin. Apa nggak salah, tuh?" Demi suksesnya misi persahabatan, Welas memilih
"Aku temani kamu ya, Sei?" Welas menawarkan diri. Jauh di dasar hati mewajibkan diri untuk terus membantu dalam setiap kesulitan yang dihadapi sahabat dekatnya. Terlebih saat ini Kama tak sedang berada di sisinya, siapa lagi yang akan membantunya? "Emh, atau kamu lagi pingin sendirian? Kalau iya, aku bisa turun di Pingit nanti. Sudah janjian sama Sekar tadi. Gimana?" Kama sudah terbang ke Aceh, sekitar tiga puluh menit yang lalu dan sekarang mereka dalam perjalanan meninggalkan bandara. Sebenarnya berat hati Seika untuk melepaskan Kama tetapi bagaimana lagi? Keadaan yang mengharuskan. "Emh, Welas … Sepertinya aku akan lebih tenang kalau kamu temani ke rumah sakit. Bukan berarti takut bertemu dengan Papa, lho. Tapi … Pasti ada William juga di sana, kan? Aku nggak mau Papa salah mengartikan kedatanganku." akhirnya Seika memberikan jawaban juga meskipun lirih, sempat ragu-ragu juga. "Ya, begitulah Welas." Welas mengangguk-anggukkan kepala mantap. "Oke, Sei. Berarti kita langsung k
"Hati-hati ya, Welas?" pesan Seika dalam keharuan yang mengisi hati kecilnya. "Thanks banget ya, Welas? Selain Seikamara, aku juga titip mobil Kama, ya? Untuk sementara ini aku cuti. Minimal, sampai Papa sudah boleh pulang ke rumah." Welas menyatukan ibu jari dan jari telunjuk membentuk huruf O. Senyum tulus persahabatan merekah tanpa layu. Tak lama setelah itu, perlahan-lahan namun pasti menjalankan mobil meninggalkan rumah sakit. Kini, tinggallah Seika seorang diri dengan ruang pemikiran yang penuh sesak oleh berbagai kemungkinan rekaannya. Trik, trik, trik …! Jika Kama tak mengirimkan pesan di chat room, mungkin Seika masih termenung di area parkir mobil. New Chat@KamaMyLoveMyHeartMyHeaven [El,] [Maaf, baru bisa mengirim pesan] [Aku sudah mendarat di Jakarta] [Transit] [2 jam lagi lanjut terbang ke Kualanamu, Medan] [Jaga dirimu baik-baik, El] [Tunggu, aku pasti kembali] Seika melepaskan napas yang sedari tadi ditahannya kuat-kuat hingga dadanya terasa sakit. Kama. Dia
Braaakkk …! "Apa-apaan ini?" emosional, Kama memukul meja ruang tamu. Ternyata berita duka yang dia terima tadi siang palsu. Mamaknya saja masih terlihat segar bugar, duduk tenang di kursi. "Sampai hati kalian menipuku!" Semua yang ada di ruangan itu terdiam. Termasuk Mamak. Tak secuil kecil kata pun terlontar dari mulutnya. "Kalian pikir itu bagus, ha?" lanjut Kama mengungkapkan kekesalannya. "Kalau setelah ini Mamak betul-betul meninggal bagaimana, ha? Apa kalian lupa, kata-kata adalah doa. Jangan sembarangan berbicara atau pun membuat berita. Tak habis pikir aku dengan semua ini!" Dengan kekesalan yang sudah berubah menjadi marah, Kama mengedarkan pandangan ke sekeliling. Menatap satu per satu keluarganya, mulai dari Mamak, Abang, Kakak dan Adek. Semua menunduk, tak berani menatap Kama kembali. "Jadi, ada apa ini sebenarnya, Mak?" Kama menjatuhkan diri, duduk bersimpuh di hadapan Mamak. "Kenapa musti begini, Mak?" Penuh kerinduan, Mamak mengusap-usap kepala Kama. Air mata mul