ISTRI KONTRAK SANG CEO DINGIN

ISTRI KONTRAK SANG CEO DINGIN

last updateLast Updated : 2025-12-29
By:  arselaaUpdated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
11Chapters
13views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Luna, seorang gadis sederhana yang bekerja di sebuah kafe, jatuh ke jurang keputusasaan setelah satu kesalahan fatal membuatnya dipecat dan terancam kehilangan tempat tinggal. Pria yang hidupnya ia hancurkan hari itu adalah Arkan Wijaya—CEO muda, dingin, dan berkuasa. Tak disangka, Arkan justru memanggil Luna untuk sebuah wawancara. Namun bukan pekerjaan yang ia tawarkan, melainkan pernikahan kontrak selama satu tahun dengan syarat kejam: seorang ahli waris. Tanpa pilihan lain, Luna menandatangani kontrak yang mengikat kebebasan dan harga dirinya. Di balik pernikahan palsu, tekanan keluarga, kecemburuan mantan tunangan, dan tuntutan ranjang mulai menguji batas mereka. Saat perasaan tumbuh, Luna dan Arkan harus memilih—mematuhi kontrak, atau melanggarnya demi cinta.

View More

Chapter 1

Awal Dari kesialan

​Langit mendung dan gerimis kecil mulai turun di balik jendela Caffe Bene yang berembun. Di dalam kafe, Luna tetap sibuk meski hatinya sedang gundah.

​Sebagai pelayan paruh waktu, ia harus ekstra teliti. Uang sewa apartemennya menipis, dan tagihan listrik sudah hampir jatuh tempo.

"Luna! Meja nomor lima tolong dibersihkan!" seru rekannya dari balik mesin kopi. ""

​"Siap! jawab Luna sigap. Ia menyambar lap bersih dan segera menuju meja yang berantakan itu.

​Tepat pukul sepuluh pagi, pintu kafe terbuka. Hembusan angin dingin menyusup masuk bersamaan dengan langkah kaki yang tegas. Sontak, suasana kafe yang tadinya berisik menjadi sunyi.

​Luna yang sedang mengelap meja menoleh. Di ambang pintu, berdiri seorang pria dengan jas hitam elegan. Rambutnya tertata rapi, namun wajahnya kaku seperti pahatan es.

​"Bukankah itu Arkan Wijaya?" bisik seorang pelanggan di meja sebelah.

​"CEO Wijaya Group itu? Tampan sekali, tapi kudengar dia sangat kejam," timpal temannya.

​Luna menelan ludah. Ia mengenali wajah itu dari majalah bisnis. Arkan Wijaya—dingin, arogan, dan ambisius. Luna hanya berdoa dalam hati agar jam kerjanya berakhir tanpa insiden.

​Arkan mengambil tempat duduk di sudut kafe yang paling privat. Luna menarik napas panjang sebelum melangkah mendekat.

​Tiba-tiba, sebuah tangan menepuk bahunya dengan kencang. Itu Sarah, rekan kerjanya, yang tampak pucat.

​"Luna, tolong ambil alih meja itu," bisik Sarah dengan suara bergetar. "Itu Arkan Wijaya. Kamu tahu kan dia siapa? Jangan sampai salah bicara atau hidup kita akan tamat."

​Luna menelan ludah, "Aku baru mau ke sana, Sar."

​"Bagus. Ingat, dia tidak suka menunggu lama. Berikan pelayanan terbaikmu!"

​Luna melangkah dengan langkah yang diatur seanggun mungkin, meski setiap ketukan sepatunya terasa berat. Sesampainya di depan meja, ia berdiri dengan posisi tubuh tegak, berusaha menyembunyikan tangannya yang sedikit gemetar di balik buku menu.

​"Selamat pagi, Tuan. Mau pesan apa?" tanya Luna berusaha profesional meski jantungnya berdebar kencang.

​Arkan tidak mendongak sedikit pun dari tabletnya. "Americano. Tanpa gula. "

​"Baik, mohon tunggu sebentar."

​Saat ia berbalik membawa nampan menuju meja Arkan, seorang wanita tiba-tiba melintas cepat di depannya.

​"Eh!" Kaki Luna tersandung kaki kursi.

​Nampan di tangannya oleng. Secangkir kopi panas itu meluncur bebas, namun tidak mendarat di lantai. Cairan hitam pekat itu tumpah tepat di atas jas mahal Arkan Wijaya.

​Pyar!

​Suasana kafe mendadak hening. Arkan membeku. Ia perlahan meletakkan tabletnya, lalu menatap jasnya yang kini bernoda cokelat besar.

​"Kau..." Arkan mendongak. Mata tajamnya menatap Luna dari ujung kepala hingga kaki, seolah Luna adalah hama yang menjijikkan.

​"Ma-maafkan saya, Pak! Saya benar-benar tidak sengaja!" bisik Luna dengan wajah memucat. Ia buru-buru mengambil tisu, mencoba menyeka jas itu.

​"Jangan sentuh aku!" bentak Arkan, membuat Luna tersentak mundur. "kau menumpahkan sampah ini ke jasku?"

​"Saya akan bertanggung jawab, Pak. Saya akan mencucinya..."

​"Mencucinya?" Arkan tertawa sinis. "Kamu tahu berapa harga jas ini? Gajimu setahun di tempat ini bahkan tidak cukup untuk membeli satu kancingnya."

​Arkan tidak menunggu penjelasan lebih lanjut. Ia mengeluarkan ponselnya. "Aku di Caffe Bene. Aku butuh pemiliknya di sini. Sekarang."

​Tak lama kemudian, Ibu Wati, pemilik kafe, keluar dengan wajah pucat. "Pak Arkan! Ada apa ini? Mohon maaf atas ketidaknyamanannya—"

​"Pecat dia. Sekarang juga," potong Arkan dengan suara dingin yang menusuk.

​"Tapi, Pak Arkan, Luna adalah pelayan terbaik kami. Dia baru saja—"

​"Aku tidak butuh penjelasan," sela Arkan lagi. "Pecat dia, atau kafe ini akan gulung tikar besok pagi.

​Ibu Wati menatap Luna dengan tatapan penuh rasa bersalah sekaligus takut. Luna sudah tahu jawabannya. Tanpa menunggu kata-kata pemecatan itu keluar, ia menunduk dalam.

"Tidak apa-apa, Bu. Saya akan pergi sekarang," ucap Luna dengan suara parau.

Ibu Wati menghela napas panjang, "Maafkan Ibu, Lun. Ibu tidak punya pilihan lain."

Saya mengerti, Bu," sahut Luna lirih, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang.

​Ia berbalik, menyeret langkahnya yang terasa seberat timah menuju dapur.

Di sudut dapur, Sarah menghampiri dengan wajah lesu. Ia mengangsurkan sebuah amplop cokelat kecil yang tampak tipis ke tangan Luna. "Ini gaji terakhirmu, Lun. Aku sudah hitung sampai jam terakhir kamu kerja tadi. Ibu Wati juga menambah sedikit... buat ongkos."

Sarah memegang lengan Luna erat. " laki-laki itu... dia benar-benar tidak punya hati."

Luna memaksakan senyum tipis, meski hatinya hancur. "Terima kasih, Sar. Tolong jaga tempat ini baik-baik."

​Hujan deras mengiringi langkah gontai Luna keluar dari kafe. Ia berjalan tanpa arah, membiarkan air mata bercampur dengan air hujan. Harapannya untuk bertahan hidup seolah sirna dalam sekejap karena kesalahan sepele.

​Tiga hari kemudian.

Luna menatap pantulan dirinya di kaca sebuah toko yang tutup. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas. Selama tiga hari terakhir, ia telah menyusuri hampir setiap sudut kota, Namun, jawabannya selalu sama: "Maaf, kami sedang tidak menerima karyawan," atau "Simpan saja CV-nya, nanti kami hubungi."

​Di saku jaketnya, ponsel usang Luna bergetar singkat. Sebuah pesan masuk dari Sarah.

​[Lun, kamu di mana? Ada lowongan kerja yang bayarannya sangat tinggi, !

​Jantung Luna berdegup kencang. Ia segera mengetik balasan dengan jari yang masih dingin karena hawa kota. [Kerja apa, Sar? Di mana?]

​Tak butuh waktu lama, ponselnya berdering. Luna segera mengangkatnya.

​"Halo, Sar? Kamu serius?" tanya Luna tanpa basa-basi.

​"Serius, Lun! Tapi ini bukan di kafe," suara Sarah terdengar ragu namun antusias di seberang telepon.

"Sebuah perusahaan besar sedang mencari asisten pribadi mendadak., nanti aku kirim alamatnya.

​Luna menunggu pesan itu dengan napas tertahan. Detik berikutnya, sebuah koordinat lokasi masuk ke ponselnya. Mata Luna membelalak dan jantungnya seolah berhenti berdetak saat membaca nama gedung yang tertera di sana: Wijaya Tower.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

No Comments
11 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status