Kudengar ponselku berdering satu kali. Itu tanda ada pesan masuk dari aplikasi berlogo hijau.
Kuperhatikan anak-anak yang lain juga membuka ponsel tepat pada jam belajar usai.
"Num, udah baca?" Sita yang duduk di sampingku bertanya sembari matanya menyorot ke ponsel yang berada di tangan.
Aku yang sibuk merapikan buku dan menutup laptop menggelengkan kepala dengan menjawab belum.
"Baca gih, kepsek ngasih pemberitahuan."
Mendengarnya keningku berkerut, tapi segera jemariku menggulir layar depan berbentuk pipih yang sedang menyala.
Aku tercengang saat membacanya. Bu kepsek meminta kami semua berhenti membahas berita yang sedang heboh saat ini, dan kuyakini itu berita tentangku. Kudongakkan kepala mengedarkan pandangan ke penjuru kelas, ternyata teman-teman menatapku. Berla
"Kenapa Num? Kok bengong gitu. Tatapannya ke arah depan lagi. Hm … pasti lagi mikirin Alan ya? Aku kok penasaran. Kamu beneran tidak punya hubungan apa-apa sama Alan? Sekarang dia berubah Lo, bikin pangling dan bikin kesemsem." Sita mengedipkan sebelah matanya padaku.Tersadar dari lamunan, mataku mengitari sisi ruangan musholla ini. Tertinggal kami bertiga yang masih bertahan di shaf perempuan sambil merapikan mukena masing-masing. Di depan ada Alan, dan lima orang lainnya. Penampakan di shaf laki-laki dapat terlihat dari arah kami berada, karena hanya ditutupi kain gorden putih yang transparan. "Nggak ada, tapi … ada sih pembicaraan mengarah ke situ. Cuma ya gitu deh. Masih dipertimbangkan sama keluarga." Aku berujar jujur karena tidak ingin dianggap munafik oleh dua sahabatku. Sampai detik ini aku masih menganggap mereka teman yang baik. Kupikir tidak ada salahnya sedikit jujur, membuka tabir yang masih dicari banyak orang tentang
Awalnya suasana hening hingga Kakek Atma Berdeham sekali membuat kami serempak menatap ke arahnya. "Semua sudah berkumpul, jadi langsung saja kita ke pembahasan utama." Kakek membuka pembicaraan. Ia duduk dengan tongkat yang berdiri tegak menyangga tangannya.Aku memperhatikan pemuda di sebelah Kakek. Ia yang awalnya fokus dengan benda pipih berlogo apel digigit itu segera memasukkan benda tersebut ke dalam saku celana dan duduk tegak dengan senyum terkembang. Sepertinya, orang ini baik dan murah senyum, karena sedari tadi dia tidak berhenti melempar senyum ke arah kami yang duduk di seberangnya. Kenapa Kakek tidak memperkenalkan pemuda itu? Aku penasaran siapa dia? Garis wajahnya tidak jauh beda dari Alan."Oh, ya. Hampir lupa. Kenalkan, yang duduk di sampingku ini namanya Yudhistira. Cucuku dari Bintang--kakaknya Yudha. Yudhis baru kembali dari luar negeri dan rencananya mau menetap di sini," jelas Kakek m
"Bismillah." Samar kudengar Alan mengucapkan kalimat basmallah. Lalu mengambil napas dan kemudian membuangnya pelan."Jujur, awalnya berambisi karena ingin memenangkan tantangan ini, tapi dari awal pertama mencoba, saya kesulitan. Ternyata sangat berat karena diawali niat yang kurang tepat. Kalau di sekolah saya tampak baik dan rajin shalat, bahkan sampai pergi ke mushola itu karena pencitraan saja, maaf." Aku terkejut, begitupun yang lainnya setelah mendengar pengakuan jujur Alan. Namun kami masih diam, membiarkannya melanjutkan."Waktu itu saya hanya ingin menunjukkan di hadapan Shanum dan teman-teman kalau saya bisa berubah, dan mampu." Sejenak netranya menatapku. "Namun kemudian saya sadar, apa yang saya lakukan itu salah. Banyak yang menyukai saya berubah menjadi orang baik padahal cuma pura-pura. Itu malah menjadi beban." Ia tersenyum samar saat menceritakannya. Aku hanya menatapnya sekilas, dan
"Itu karena Alan tidak ingin membuat Shanum terbebani dengan menjadi istriku, Kek." Alan melirikku sekilas."Alan ingin menikah dengan cewek yang benar-benar tulus mencintai Alan bukan karena keterpaksaan. Sedangkan Shanum …, dia terpaksa mau dinikahi karena tantangan ini. Jadi Alan mohon, batalkan perjodohan ini," lanjutnya membuatku terkesiap tidak bisa berkata apapun lagi. Aku tidak menyangka Alan bakal berkata seperti ini dan menentang keinginan kakeknya."Soal ini Mami setuju dengan Alan. Kita Batalkan saja perjodohan dan perjanjian yang aneh ini. Lagi pula Alan kan sudah menang, jadi nggak malu-maluin, justru merekalah yang harus malu. Sok ngasih tantangan eh dilibas habis sama Alan, malu kan jadinya.""Cukup, Anya! Bisakah diam bila tidak diajak bicara! Dari tadi kamu ikut nyerocos saja." Nada bicara Kakek meninggi. Tampak gurat kemarahan di wajah tuanya
"Saya menerima dan mempercayakan semua itu padanya. Kurasa dia sudah cukup bijak saat mengambil keputusan tadi. Saya mengenal baik Shanum, anak saya. Apapun yang diputuskannya, baik maupun buruknya, dia pasti bertanggung jawab dengan konsekuensinya kelak.""Katanya mengenal baik, tapi kenapa bisa kecolongan hingga membuat kalian hampir kehilangannya?" Lagi, Tante Anya menimpali."Kami memang mengenal baik kedua anak kami. Namun soal waktu, kami tidak bisa menembusnya. Bagaimana kalau kamu di posisi kami? Bagaimana kalau itu terjadi padamu? Bagaimana kalau Shanum itu anakmu? Dia bilang pergi ke rumah temannya dengan wajah berseri. Lalu keesokan harinya kamu kaget mendapatinya tak sadarkan diri bersimbah darah di dalam kamarnya, apa yang akan kamu lakukan? Kami memang mengenalnya dengan sangat baik, tapi kami tidak bisa memantaunya selama 24 jam. Seperti kamu yang tidak bisa ketemu dengan Alan padahal kamu buk
POV Alan"Ibu nggak papa? Ada yang terluka?""Nggak ada Dek, makasih ya sudah bantuin.""Iya, lain kali hati-hati Bu."Aku memperhatikan percakapan dua orang di seberang tempatku duduk bersantai bersama teman-teman. Dari sini masih terdengar jelas percakapan mereka."Lihat apaan Bro?" Dino menepuk bahuku. Mataku menyorot ke seberang tepat pada cewek yang sedang kuamati sedari tadi. Dia tidak sendiri, tapi bertiga dengan temannya yang lain.Mata Dino memicing ikut mengamati apa yang tadi kusorot."Kenal?" tanyaku."Mereka?" Balik Dino bertanya. Kuanggukkan kepala."Kalau nggak salah mereka itu anak Tunas Bangsa. Kenapa?""Tunas Bangsa
Cewek yang membuatku rela pindah sekolah biar bisa dekat dengannya malah menggelengkan kepala. Lalu pergi begitu saja meninggalkanku tanpa kata.Aku tercengang. Hanya begitu? Tidak terpesona apa dengan ketampananku? Minimal ngajak kenalan. Kesal diabaikan, sejak saat itulah kuputar niatku yang ingin dekat dengannya menjadi mengusilinya. Hampir tiap hari ada saja tingkah Mengesalkanku padanya. Entah menghalangi jalannya, berpura tak sengaja menyiram air ke bajunya dan paling ekstrim, aku sengaja mengganggu sosok laki-laki sainganku untuk merebut hatinya--Fatih. Lelaki berwajah datar tanpa senyum. Aneh, orang seperti itu diidolakan, apa hebatnya?Membuat masalah pada sosok yang membuatku iri adalah keharusan yang hakiki. Aku ingin merebut posisinya yang telah memberi ruang untuk Shanum. Banyak cewek-cewek yang mengidolakannya. Lewat sana dulu kucoba menghancurkannya, tapi sayangnya satu cewek pun tidak a
Setelah malam itu, aku dan Shanum mulai intens berinteraksi lewat ponsel. Di sekolah, kami bersikap biasa saja dengan menjaga jarak seolah tidak mempunyai hubungan apapun. Ini semua kami dilakukan untuk menghindari kehebohan atau jadi bahan pembicaraan lagi di sekolah. Apalagi gosip mengenai hubungan kami yang sebelumnya tidak juga reda. Kalau sampai terbukti kami memang mempunyai hubungan, maka yang kutakutkan dampaknya akan menimpa pada Shanum. Aku tidak peduli kalau mereka menjelek-jelekkanku, itu sudah biasa, tapi tidak untuk Shanum. Aku tahu dia selalu mendapatkan prestasi gemilang dan rekam jejak yang baik di sekolah ini, dan itu jauh dari gosip tak sedap."Selamat Bro, keren. Gue senang dengar kabar baik dari lo, kapan peresmiannya?""Hussstttt …." Isyaratku menyuruh Dino diam. Mataku mengedar ke seluruh sudut ruangan. Saat ini kami masih berada di lingkungan sekolah, tepatnya di kantin.