"Eva?!" teriak Fatih bangkit dari tidurnya. "Apa kamu sudah gila? Ngapain kamu disini? Cepat keluar dari kamarku!" bentak Fatih. Pria itu menarik tangan Eva yang masih terlentang di ranjangnya."Aw, sakit. Lepaskan tanganku!" Kata Eva seketika saat dirinya dipaksa turun dari ranjang."Cepat pakai bajumu, dan keluar dari kamarku! Kalau tidak, aku akan menyeretmu keluar dengan paksa!" gertak Fatih murka. Ia berjalan menuju pintu, berulang kali tangannya mencoba menarik daun pintu. Namun, pintu kamarnya sama sekali tidak bisa di buka. "Kurang ajar!" umpat Fatih."Mana kuncinya, Eva? Kamu taruh dimana kunci kamarku? Cepat berikan kuncinya!"Eva tersenyum, gadis itu sama sekali tidak takut dengan ancaman Fatih. Ia bersandar di bibir ranjang dengan santainya."Eva! Apa kamu tuli? Mana kuncinya, cepat berikan dan keluar dari kamar ini!" Fatih terlihat kalang kabut mencari kunci kamarnya. Ia mencari di semua tempat. Namun, kunci itu tidak juga ia temukan."Kenapa kamu tidak tidur saja dan m
Malam semakin larut, Fatih memilih untuk mengalah. Ia tak lagi memaksa Eva untuk keluar dari kamar. Pria itu memilih tidur di lantai dan membiarkan Eva tidur di ranjangnya.**Malam berganti pagi, matahari sudah mulai naik ke permukaan. Sinarnya menembus sela-sela jendela dan memantulkan cahaya ke wajah Fatih. Pri itu terbangun setelah mendengar jam wekernya berbunyi. Matanya menyipit dan melihat ke sekeliling ruangan. Rupanya Eva sudah keluar dari kamarnya. Gegas Fatih beranjak dari tidurnya dan berjalan menyusuri kamar mandi untuk memastikan. Kosong, Eva tidak ada disana. Gadis itu rupanya sudah bangun lebih dulu.Selesai mandi dan berganti baju, Fatih memilih untuk segera pergi ke kantor. Ia tidak boleh telat masuk kerja. Telat sedikit bisa fatal akibatnya."Fatih tunggu! Kamu tidak sarapan dulu?" teriak Bu Ratna memanggil Fatih yang sudah sampai di ambang pintu."Tidak, Bu. Fatih buru-buru," sahut Fatih. Pria itu memalingkan wajahnya dari wanita yang berdiri tepat di samping ibu
"Lo jangan main-main sama gue, Fatih! Gue nggak akan membiarkan lo hidup tenang," bisik Gio di telinga pria yang tengah meringis kesakitan itu."Bereskan!" ucap Gio menjentikan jarinya. Seketika para karyawan pun membereskan Fatih dan membawanya ke suatu tempat yang sempit dan tidak terlihat dalam CCTV.*Pagi berganti siang, waktu sudah menunjukan pukul dua belas siang. Sudah jam nya untuk istirahat. Para sales sudah kembali ke kantor dengan laporan penjualan di tangan mereka. Sudah menjadi kewajiban bagi mereka untuk melapor kepada kepala regunya masing-masing sebelum mereka istirahat."Keluarkan dia!" titah Gio pada kaki tangannya yang bernama Rahmat itu."Baik, Bos!" sahutnya bergegas menuju ruangan sempit tempat Fatih di sekap.Fatih masih tergeletak lemas dengan kaki dan tangan masih diikat."Lapor Bos! Sepertinya Pak Fatih, eh maksud saya si Fatih pingsan, Bos!" ucap Rahmat pada Gio."Gimana kondisinya sekarang?" tanya Gio yang tengah menghisap rokok di tangannya itu."Lemah, B
***Di rumah"Bagaimana tidurmu tadi malam, Eva? Nyenyak?" tanya Bu Ratna pada gadis cantik yang duduk disampingnya.Eva menggeleng, ia mengambil cangkir teh diatas meja lalu berdiri."Sepertinya Mas Fatih sangat sulit untuk melepaskan Wulan," ucap Eva sambil menikmati teh hangat di cangkirnya."Maksud kamu?" "Mas Fatih sangat mencintai Wulan, Bu. Dia bahkan tak ingin menyentuhku,""Kamu jangan putus asa, Eva. Kamu harus bisa mengambil hatinya Fatih. Wulan itu hanya gadis kampung yang miskin, dia bukan saingan kamu, Wulan itu bukan level kamu,""Tapi Mas Fatih sangat mencintainya!""Persetan dengan cinta! Kamu jauh lebih cantik dan menarik, kamu bisa memberikan apa yang Wulan tidak bisa berikan, kamu jangan menyerah Eva. Kamu dan Fatih harus menikah tahun ini, ibu akan lakukan berbagai cara agar kalian berdua segera menikah, kamu jangan sampai menyerah,"Eva menoleh ke arah wanita setengah baya itu. Ia tersenyum lalu berkata. "Menyerah?? Ck, tidak ada kata menyerah dalam kamusku! Eva
Sore hari setelah pulang dari kantor, Fatih langsung mentransfer uang yang ia janjikan pada Wulan.[Maaf, ya' sayang. Aku hanya bisa mentransfer 10 juta, sisanya nanti aku transfer jika sudah ada] pesan yang dikirim oleh Fatih pada istrinya. Wulan mengerutkan kening saat membaca pesan dari suaminya itu. "Aneh sekali, tak biasanya Mas Fatih kirim uang setengah-setengah, apa mungkin uangnya habis?" Batin Wulan bertanya-tanya. "Tapi–gajinya sebagai manajer kan besar, mana mungkin dia sampai kehabisan uang? Apa mungkin uangnya dikuasai lagi oleh ibu seperti dulu?---ah sudahlah, aku tidak usah berpikir yang aneh-aneh," ucap Wulan. Ia pun kembali ke kamar rawat si Mbok."Bu Wulan, ibu di tunggu di ruangan Dokter sekarang juga," ucap perawat berhijab putih itu pada Wulan. Wulan pun mengangguk mengiyakan, kemudian berjalan mengekor di belakang perawat itu."Silahkan duduk, Bu Wulan!" ucap Dokter Haikal saat Wulan masuk ke dalam ruangannya."Terima kasih, Dok," jawab Wulan. Tangannya menar
Setelah memastikan si Mbok aman, Wulan pun memutuskan untuk pulang. Masih banyak hal yang harus ia selesaikan. Setelah membayar ongkos taxi, ia pun bergegas masuk ke rumah berpagar besi itu."Syukurlah si benalu itu belum pulang, malas kalau harus terus berpura-pura baik padanya," Suara Sarah terdengar nyaring di telinga saat Wulan hendak masuk ke dalam rumah. Wulan pun menghentikan langkahnya dan memilih berdiri di ambang pintu."Ibu juga sudah malas melihat wajahnya yang sok polos itu! Ibu heran sama adikmu itu, kenapa susah sekali untuk menceraikan si Wulan. Jelas-jelas ada wanita yang jauh lebih cantik dan sexy daripada si Wulan. Tapi tetap saja lebih memilih wanita kampung itu, padahal tadi malam Eva menginap disini, tapi si Fatih sama sekali tidak mau menyentuhnya, dasar anak bodoh! Dikasih berlian malah memilih batu kerikil," celoteh Bu Ratna membuat dada Wulan terasa sesak. "Kamu sih, Sar' ngasih racun ko setengah-setengah. Cari kek racun yang ampuh, jangan cuma bisa ngasih
Seperti biasa, dia akan bersikap baik dihadapan Wulan dan Fatih."Kamu sudah pulang, Lan?" ucap Sarah bertanya dengan ramah."Sudah, Mbak. Baru saja tiba, Mbak Sarah belum tidur?" Sahut Wulan. Ia berusaha menetralkan perasaannya saat ini. Sesungguhnya Wulan ingin sekali mencakar wajah wanita munafik yang berdiri di hadapannya itu."Barusan sih udah tidur, tapi kebangun karena haus. Tadi lupa nggak bawa air minum ke kamar," jawabnya berbohong."Oh iya, Ibu kemana?" tanya Wulan basa-basi."Kalau Ibu sudah tidur dari tadi, palingan sekarang sedang ngorok. Tau sendiri' kan, ibu gimana kalau tidur," jawab Sarah. Ia sengaja mengarang cerita pada Wulan."Oh pantesan dari tadi sepi, gak kedengeran suaranya," sahut Wulan membuat Sarah tersenyum lega.'Syukurlah si Wulan percaya, berarti dia memang tidak mendengar percakapan aku dan Ibu' batin Sarah."Kabar si Mbok bagaimana, Wulan? Dia tidak apa-apa kan? Mbak belum sempat menjenguk, Mbak khawatir banget sama si Mbok,""Mbok Romlah masih dirawa
Malam berganti pagi, Wulan sudah berkutat dengan kesibukannya di dapur membuat sarapan untuk suaminya. Hari ini ia berniat untuk bertemu dengan Dokter Riska. Ada hal yang ingin Wulan bicarakan dengannya."Pagi sayang," ucap Fatih memeluk istrinya."Pagi, Mas. Kamu sudah bangun? Ayo sarapan dulu! Aku sudah buatkan nasi goreng kesukaanmu," ucap Wulan dan disambut antusias oleh Fatih.Tak lama kemudian Bu Ratna pun keluar dari kamarnya. Seperti biasa, ia akan mencari celah untuk memarahi menantunya itu."Kamu masak apa pagi ini, Wulan?" tanya Bu Ratna sinis. "Nasi goreng, Bu. Nasi goreng kesukaan Mas Fatih," jawab Wulan datar."Cuma nasi goreng? Memangnya kamu tidak bisa masak yang lain? Apa kek gitu yang lebih bergizi. Jangan cuma nasi goreng! Jadi istri malas banget," beo Bu Ratna mencari gara-gara."Ini sudah paling bergizi untuk Fatih, Bu. Fatih senang dibuatkan nasi goreng untuk sarapan. Dari pada ibu, jangankan buatin sarapan. Nyentuh dapur aja nggak," sahut Fatih membela istriny