“Bunda, ayo cepat. Nanti Alden terlambat, ini kan hari pertama sekolah Alden,” ucapnya pada Mely yang saat ini tengah mengunci pintu rumahnya.
“Iya Alden, tunggu sebentar. Bunda kunci pintu rumah dulu ya.”“Ayo cepet Bunda.” Alden menarik-narik tangan Mely agar cepat berangkat ke sekolahnya.“Iya, ini sudah selesai. Ayo kita berangkat,” jawabnya. Mely pun menggenggam tangan Alden dan berjalan menuju sekolahnya.Alden terlihat sangat senang saat tengah berjalan menuju sekolahnya, dia benar-benar bersemangat hari ini. Karena dia sudah berjanji kepada mamanya kalau dia akan belajar dengan giat dan menjadi anak yang cerdas dan menjadi kebanggaan mamanya yang sangat dia sayangi.Setelah mereka berjalan kurang lebih 5 menit, mereka pun tiba di jalan raya dan menunggu taksi online untuk mereka naiki menuju sekolahan Alden yang memang jaraknya lumayan jauh dari tempat tinggal mereka.Karena kendaraan seperti mobil tidak bisa masuk ke gang rumah mereka, mereka pun harus jalan terlebih dahulu sampai ke depan jalan raya. Hingga sekitar 2 menit menunggu, akhirnya taksi online yang Mely pesan pun datang dan mengantar mereka sampai ke sekolah Alden.Di dalam mobil, Alden terus saja melihat ke arah jalanan untuk memastikan apakah dia sudah sampai atau belum di sekolahannya.“Wahh Bunda, apakah itu sekolah Alden?” tanyanya kemudian, saat melihat bangunan sekolah yang tinggi dan terlihat dari dalam taksi.“Iya sayang, itu sekolah Alden. Sebentar lagi kita akan sampai,” jawab Mely.Dan benar saja, mobil pun berhenti. Mely turun terlebih dahulu dan mengangkat Alden untuk turun dari sana. “Alden tunggu di sini dulu ya, bunda mau beli camilan dan minum dulu oke,” ucapnya.Alden mengangguk dan menuruti apa yang Mely katakan. Tampak Mely yang kemudian pergi ke sebuah warung kaki lima yang ada di jalan itu.“Hah, bunda kebiasaan. Kalo ke mana-mana pasti beli camilan. Memang tukang makan,” gerutu Alden.Alden menunggu di tempatnya dengan wajah kesal, karena Mely terlalu lama berada di warung itu, entah berapa banyak makanan yang dia beli hingga selama ini.“Hmm, apa aku masuk duluan aja ya, biar nanti bunda nyusul. Iyalah, begitu saja.” Dengan semangatnya Alden pun berlari menuju sekolahnya, dia benar-benar tidak sabar untuk masuk ke sana dan memulai pelajarannya.Namun, saat dia berlari dengan begitu senang. Dia tidak sengaja menabrak tubuh seseorang di depannya. Hingga membuatnya terjatuh ke trotoar jalan.Terdengar ringisan dari Alden, karena rasa sakit pada bokongnya.“Hei bocah, kau berlarian di pinggir jalan seperti ini. Ini berbahaya, kau tahu!” bentak seorang pria yang ditabrak oleh Alden.Mendengar itu, Alden pun mendongak, melihat kepada seorang pria yang tadi berbicara. “Paman, bukankah kita sama-sama salah. Paman juga menabrak Alden, dan lihat! Alden bahkan sampai terjatuh,” ujarnya.Tidak ada jawaban dari pria itu, dia hanya terus menatap pada Alden, tampak tatapannya itu tertuju pada bola mata Alden yang berwarna amber. Pria itu menyipitkan matanya yang juga berwarna amber, tampak keningnya juga berkerut. Dia seperti terkejut karena melihat seorang anak laki-laki yang memiliki manik mata yang sama dengannya, bahkan sangat sama. Terlebih, anak laki-laki itu mengingatkannya sewaktu dia kanak-kanak.Alden yang masih tersungkur di trotoar itu juga hanya menatap pria itu dengan wajah bingungnya, dia tidak tahu kenapa pria ini hanya diam saja dan tidak menjawabnya.Dari kejauhan, tampak Mely yang sudah selesai dengan belanjanya, dan sedang menuju ke tempat tadi Alden berdiri. Namun saat sampai di sana, Mely justru terkejut karena Alden sudah tidak ada. Sontak dia pun merasa panik dan mengedarkan pandangannya untuk mencari keberadaan Alden, hingga pandangannya itu tertuju pada Alden yang tersungkur di trotoar dengan seorang pria tinggi di depannya.“Hah?” Mely sangat terkejut, dia berpikir mungkin itu adalah seorang penculik yang akan menculik Alden. Wajar saja jika orang itu tertarik menculiknya, karena Alden sangat menonjol dengan rambut coklat gelap dan juga manik mata ambernya. Siapa yang tidak mau memiliki anak setampan itu.Tanpa banyak berpikir lagi, Mely pun langsung berlari ke arah Alden dan pria itu. Dia berlari dengan tergesa-gesa karena takut terlambat menyelamatkan Alden.“Hei bocah, dimana ibumu?” tanya pria itu yang tak lain adalah Eric, tidak bisa dia ungkiri. Bahwa saat ini dia merasa terkejut dengan penampakan bocah di hadapannya ini. Baik dari warna rambut, warna mata dan juga wajahnya. Bagaimana bisa sangat mirip dengannya. Apakah dia ini putranya dari gadis yang tidur dengannya, apakah gadis itu hamil? Pikirnya.“Mama ....”“Aldennn!”Baru saja Alden akan menjawab, namun teriakan dari Mely yang memanggilnya itu membuat Alden menghentikan ucapannya.“Alden, apa yang terjadi?” tanya Mely dengan wajah paniknya. Dia berjongkok dan membersihkan bokong Alden yang kotor karena jalanan trotoar.Kini tatapan Eric mengarah pada Mely. Sama seperti pada Alden, Eric juga menatap lekat pada Mely, matanya menyipit dan keningnya juga berkerut.“Alden tidak papa Bunda,” jawabnya. ‘Bunda?’ Eric tampak kaget, matanya bahkan sampai membelalak saat mendengar Alden memanggil bunda pada wanita yang tiba-tiba menghampiri mereka ini. ‘Apa itu artinya, dia ibunya? Apa ... wanita ini yang tidur denganku?’ batinnya.“Apa kau ibu dari bocah ini?” tanyanya kemudian.Mely menatap tajam pada Eric, karena dia berpikir bahwa Eric adalah orang jahat yang akan menculik Alden. “Iya, saya ibunya. Jangan harap Anda bisa menculik anak saya!” jawabnya dengan suara kasar.‘Menculik? Apa wanita ini menganggapku sebagai penculik? Aku? Eric Filbert Carlsson, dianggap penculik?’ batinnya tidak percaya. Namun, sepertinya dia tidak ingin memperpanjang masalah itu, dia ingin fokus menanyakan perihal anak ini pada wanita di depannya. “Siapa ayah dari bocah ini?” tanyanya lagi.“Tentu saja suamiku, masa kau!” jawab Mely kembali dengan kasarnya.'Suami? Jadi itu artinya bocah ini memiliki ayah. Dan itu sudah pasti, bahwa anak ini bukanlah anakku. Tapi ....’ Eric terus berkecamuk dengan pikirannya sendiri. Dia tidak mengerti bagaimana anak ini sangat mirip dengannya. Apakah itu artinya suami dari wanita ini juga memiliki mata amber seperti dirinya. Tapi masalahnya, bukan hanya mata itu yang mirip. Tapi wajah dan warna rambut, semuanya sama.Mely melihat Eric dari bawah sampai atas. Dia berpikir pria ini sepertinya bukan pria sembarangan, terlihat dari penampilannya yang berkelas, dia sepertinya dari keluarga yang terhormat dan berpengaruh. Tapi, kenapa dia bisa ada bersama Alden.Pupil mata Mely langsung melebar, saat dia melihat wajah dari Eric dan menyadari sesuatu. ‘Astaga, pria ini. Dia, bagaimana dia bisa sangat mirip dengan Alden. Bola mata, dan warna rambutnya. Bagaimana bisa semirip ini? Apa mungkin?’ Mely menutup mulutnya dengan satu tangannya. Dia tidak percaya dengan apa yang dipikirkannya. ‘Apakah mungkin, dia ayahnya Alden?’ batinnya lagi.“Permisi Tuan, kami harus masuk ke dalam gedung sekolah. Karena kami sudah terlambat.” Mely dengan cepat langsung menarik Alden untuk mengikutinya. Karena saat ini dia merasa tidak tenang. Jika benar pria itu adalah ayahnya Alden, apakah dia akan merebut Alden dari Alana? Ini tidak bisa dibiarkan, hidup Alana sudah sangat menderita, jika Alden diambil maka apalagi yang tersisa untuk wanita malang itu.Eric menoleh ke belakangnya, menatap Alden yang berjalan semakin menjauhinya. ‘Benarkah dia anak dari perempuan itu dan juga suaminya? Entah kenapa aku merasa ragu?’ batinnya."A-ada apa? Sudah kubilang kan untuk jangan banyak bicara, istirahatlah!”“Da-dadaku sakit,” ucap Alana dengan begitu lemahnya.Dada Eric kembali berdebar dengan begitu kerasnya, saat mendengar apa yang Alana katakan. “A-aku akan memanggil dokter, dokter akan memeriksamu dan menyembuhkannya.” Dia kembali berbalik, dan hendak melangkah pergi. Namun, langkahnya itu kembali terhenti saat dia merasakan tangan Alana yang menahannya.Sontak, Eric pun kembali berbalik dan melihat pada Alana. Tampak Alana yang menggeleng, berusaha mencegah Eric agar tetap di sisinya. “Tidak usah, jangan panggil dokter. Tetaplah di sisiku, aku merasa waktuku tidak lama lagi, aku tidak bisa menahannya,” ucapnya.“A-apa yang kau katakan, kenapa kau mengatakan hal itu Alana. Tolong jangan membuatku takut!” ucap Eric.“Eric, bolehkah aku meminta sesuatu padamu?” tanyanya.“Katakanlah, apa pun yang kau inginkan. Aku akan mengabulkannya, aku pasti mengabulkannya,” jawabnya.“Tersenyumlah, aku ingin melihatmu
Eric terpaku, melihat keadaan Alana saat ini. Ruangan itu begitu sunyi, hanya terdengar suara alat monitor yang mengukur detak jantung Alana saat ini. Tangannya yang bergetar itu lalu terangkat, menyentuh dahi Alana yang basah karena keringat. “Istriku, Alana,” ucapnya, “apa kau mendengarku? Aku memanggilmu istriku, bukankah kau selalu memintaku untuk memanggilmu seperti itu? Karena itu bangunlah, dan dengarkan hal itu sepuasmu. Aku akan mengucapkannya berkali-kali sampai kau puas. Aku akan selalu pamit padamu ketika aku akan berangkat ke mana pun dan mengecup keningmu. Jadi kumohon, bangunlah. Bangunlah.” Air mata Eric terus mengalir. Dia lalu membungkuk, menempelkan keningnya pada kening Alana, hingga air matanya itu mengenai kening Alana.Tanpa Eric sadari, jari telunjuk Alana bergerak. Matanya yang tertutup itu juga mulai bergerak-gerak, menunjukkan bahwa Alana akan segera sadar. “A-aku ingin me-mendengarnya la-lagi,” ucapnya dengan suara lemah.Deg!Eric terperanjat ketika
Eric saat ini sudah berada kembali di rumah sakit. Dia masih berada di dalam mobilnya, menunduk menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Matanya terus terbuka dan sesaat kemudian air mata pun jatuh membasahi telapak tangannya.Jeff menoleh ke belakang, melihat keadaan Eric yang benar-benar kacau. “Tuan,” panggilnya dengan lirih.Eric masih bergeming, dia masih menunduk dengan wajahnya yang masih tertutup kedua tangannya. Entah kenapa, saat ini perasaannya begitu takut, dadanya berdebar dengan begitu keras, hatinya juga terasa begitu sakit. Dia juga enggan untuk turun dari mobil dan kembali kepada Alana. Kenapa tubuhnya begitu bergetar, seakan ingin memberitahu keadaan yang saat ini sebenarnya sedang terjadi.“Jeff, aku merasa takut,” ucapnya seraya membuka kedua tangannya dan memperlihatkan wajahnya yang saat ini sudah dipenuhi dengan air mata.Jeff tersentak melihat itu. Ini sungguh pertama kalinya dia melihat tuannya yang menangis sampai seperti ini. “Tuan, apakah Anda baik-baik
Eric masuk ke dalam mobilnya, tampak dia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku jasnya dan menghubungi seseorang. “Jeff, apa kau sudah menemukan pelakunya?” tanyanya.“Tuan, pelakunya sudah melarikan diri. Ini adalah pembunuhan berencana, jadi sepertinya mereka sudah menyiapkannya dengan baik. Dan sepertinya orang yang merencanakan ini bukan orang sembarangan,” jawab Jeff dari seberang telepon.“Tidak papa, tidak usah kau lanjutkan. Sekarang kau pergilah ke kediaman Carlson. Karena aku juga akan ke sana.”“Baik Tuan,” jawab Jeff. Dan setelah itu sambungan telepon pun terputus. Eric langsung menyalakan mesin mobilnya dan bergerak melaju meninggalkan area rumah sakit.Di perjalanan menuju kediaman Carlson, Eric mencengkeram erat kemudi mobilnya, menunjukkan kemarahannya saat ini yang begitu besar. Terlebih, dia tidak menyangkanya sama sekali, bahwa papa dan juga kakaknya akan tega membunuhnya. Baiklah, dia memang mengakui bahwa hubungannya dengan keluarganya memang tidak baik. Tapi,
Eric membelokkan mobilnya, memasuki pintu gerbang rumah sakit. Dia lalu memarkirkan mobilnya dan langsung keluar dari sana. Dengan cepat Eric membuka pintu mobil bagian belakangnya dan menggendong Alana masuk ke dalam rumah sakit dengan diikuti oleh Silvia dan juga yang lainnya.“Dokter! Dokter!” teriak Eric seraya melihat ke sana kemari mencari keberadaan dokter untuk menangani Alana. Dia terus berjalan, dengan Alana yang berada di gendongannya dan mulutnya tak henti-hentinya memanggil dokter. Air matanya sudah semakin deras menetes, tubuhnya juga sudah bergetar dengan sangat hebatnya.Setelah berkali-kali memanggil nama dokter dengan suara kerasnya. Tampak dari kejauhan terlihat beberapa perawat dan juga seorang dokter yang datang menghampirinya. “Ada apa, Pak?” tanya dokter itu dengan raut wajah seriusnya.“I-istriku, to-tolong selamatkan istriku, di-dia tertembak,” jawab Eric dengan terbata-bata.“Kalau begitu kita harus langsung mengoperasinya untuk mengeluarkan peluru itu.
Alana meminta pada Ronald untuk menghentikan mobilnya di saat dia melihat Eric yang sedang berdiri sembari memegang ponsel di telinganya. “Mama tunggu di sini. Biar aku yang menemui Eric,” ucapnya.Liana pun mengangguk, dia memegang tangan Alana terlebih dulu sebelum Alana keluar dari mobil. “Terima kasih sayang, terima kasih karena sudah mau menolong Eric,” ucapnya.Alana membalas pegangan tangan Liana itu dengan lembut. Dia lalu menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. “Ini sudah tugasku sebagai istri Ma, aku harus melindungi suamiku,” jawabnya. Alana pun lalu turun dari mobil, dia berjalan hendak menghampiri Eric. Di sisi jalan yang lain. Terlihat Silvia dan Christ yang sedang berada di dalam mobil mereka. Silvia membuka kaca mobilnya, dan melihat jalanan yang sedikit sepi saat ini. “Sayang, bukankah itu Alana?” ucapnya pada Christ.Deg! Christ langsung menghentikan mobilnya sesaat setelah mendengar nama Alana yang terlontar dari mulut Silvia. Dia lalu menoleh pada sesosok wa