“Tuan, rumah yang kita cari sudah dekat dari sini,” ucap Jeff yang menghampiri Eric setelah menanyakan alamat kepada orang yang berada di sana. Namun tampaknya Eric hanya terdiam. Dia seperti tidak mendengarkan apa yang Jeff katakan, dan hanya sibuk dengan pikirannya sendiri. “Tuan?” ujar Jeff.
Mendengar itu, akhirnya Eric pun tersadar. Anak laki-laki tadi sudah mengganggu pikirannya. Karena terlalu mirip dengannya, rasanya dia tidak percaya jika anak itu bukanlah miliknya.“Tuan, ada apa? Apa terjadi sesuatu?” tanya Jeff. Ini adalah pertama kalinya dia melihat tuannya yang tidak fokus. Biasanya dia selalu waspada akan apa pun. Tapi, sepertinya saat ini tuannya tengah memikirkan sesuatu.“Tidak ada, ayo kita lanjutkan perjalanan,” jawab Eric.“Baik Tuan.” Mereka pun kembali masuk ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanan mereka.Ketika di perjalanan menuju tempat tujuan mereka, Eric tak henti-hentinya memikirkan anak kecil tadi. Bisakah ada seorang anak yang begitu mirip dengan dia sewaktu kecil, hal itu mungkin saja terjadi jika anak itu adalah anaknya. Tapi jika bukan, mungkinkah itu terjadi? Hal itu tidak bisa dia mengerti. ‘Haruskah aku menyelidiki ini?’ batinnya.“Jeff, apakah kau pernah melihat seorang anak yang mirip denganmu?” tanya Eric tiba-tiba.“Maksud Anda Tuan?” tanya balik Jeff.“Maksudku, bagaimana menurutmu jika saat kau berjalan dan tanpa sengaja kau menabrak seorang anak kecil. Tapi saat kau melihat wajah anak itu, kau terkejut karena wajah anak itu sangat mirip denganmu.”“Apakah kemiripannya sekitar 99%, Tuan?” tanya Jeff lagi.“Bisa dibilang seperti itu,” jawab Eric.“Maka bisa dipastikan, bahwa itu adalah anak saya,” jawab Jeff dengan yakinnya.Deg!Eric langsung tersentak saat mendengar jawaban Jeff. Apa itu artinya, anak tadi benar-benar putranya. Karena kemiripannya dengannya bisa dikatakan hampir sempurna, sangat mirip dengannya sewaktu kecil.“Apa yang membuatmu bisa menjawab seperti itu dengan yakin, Jeff?” Eric masih meminta kepastian dari jawaban Jeff, karena dia harus memastikan bahwa anak itu benarlah anaknya.“Karena seseorang tidak mungkin mempunyai kemiripan hampir sempurna seperti itu, jika tidak memiliki hubungan darah Tuan. Baiklah, mungkin diluaran sana ada banyak orang yang memiliki kemiripan wajah, walaupun tidak memiliki hubungan darah. Tapi, kemiripan mereka tidak mungkin sampai 99 persen. Karena mereka tidak memiliki hubungan darah, mungkin bisa dikatakan hanya sekilas mirip saja,” jelas Jeff.Mendengar itu, Eric jadi memikirkan dengan baik jawaban masuk akal yang diberikan oleh Jeff. ‘Aku benar-benar harus memastikannya,' batinnya lagi.“Ada apa Tuan, apakah Anda bertemu dengan orang yang mirip dengan Anda?”“Aku akan menceritakannya nanti, kau tahu kan apa artinya itu?”Jeff pun mengangguk, dia mengerti bahwa sebentar lagi akan ada tugas baru yang sepertinya sangat penting untuk dia laksanakan. Sekarang ini, dia akan fokus lebih dulu menyelesaikan tugas utamanya. Yaitu, membawa tuannya menemui putri dari musuh terbesarnya Arya Subagja.***Sementara itu, Alana tampak berjalan dengan terburu-buru kembali menuju rumahnya, dia melupakan ponselnya, padahal tadi dia sudah hampir sampai di tempat kerjanya. Tapi, benda berharganya itu justru malah tertinggal. Jika dia tidak membawa ponselnya, bagaimana dia menghubungi Mely untuk menanyakan Alden nanti. Karena itulah, dia memilih untuk kembali ke rumahnya demi mengambil ponselnya itu.Saat Alana sudah sampai di rumahnya dan hendak masuk ke dalam rumah. Dia menyempatkan dulu untuk melihat ke arah rumah Mely yang terlihat sudah sepi. Itu artinya sudah tidak ada siapa-siapa di sana.“Sepertinya, Alden dan Mely sudah berangkat,” gumamnya. Dengan tersenyum lega, dia pun membuka kunci pintu rumahnya dan masuk ke dalam.Alana masuk ke dalam kamarnya, dan mengedarkan pandangannya untuk mencari benda pipih berwarna putih itu.“Hmm dimana ya aku menyimpannya.” Alana mengobrak-abrik tempat tidurnya untuk mencari ponsel itu. Hingga saat dia membuka bantalnya, ternyata ponselnya itu terselip di bawah bantal tidurnya. “Hah ini dia.” Alana mengambilnya dan hendak langsung kembali keluar, karena dia sudah terlambat. Namun, baru saja dia akan keluar dari dalam kamarnya, dia mendengar suara seseorang yang sedang berbicara.“Jeff, kau yakin ini rumahnya?” tanya Eric dengan dinginnya.“Benar Tuan, alamat ini sama dengan alamat yang anak buah saya berikan,” jawabnya.Eric melihat dengan tajam sebuah rumah sederhana yang ada di hadapannya. Namun, rumah ini tampak lebih bisa dijadikan tempat tinggal dari pada rumah yang dia bakar waktu itu. “Kalau begitu masuk ke dalam dan tarik wanita itu ke hadapanku!” titahnya.“Baik Tuan.”Deg!Alana yang masih berada di dalam itu langsung panik. Suara siapa yang dia dengar itu. Dan sepertinya suara itu tidak asing baginya.Merasa penasaran dengan suara itu, Alana pun memberanikan diri untuk mengintip dari balik kaca jendela yang ada di kamarnya. Karena kebetulan kaca jendela kamarnya itu bisa melihat ke arah luar rumahnya.Mata Alana langsung membelalak, saat dia mengenali siapa orang yang saat ini berdiri di luar rumahnya itu. “O-orang itu, orang itu adalah orang yang mencari ayah dan mengejar-ngejarku waktu itu,” ucapnya.Tubuh Alana langsung bergetar, dia tidak menyangka bahkan setelah 6 tahun orang itu tetap mencarinya. Dan bahkan dia menemukan tempat persembunyiannya, sekarang apa yang harus dia lakukan.Brakkk!Alana terlonjak, saat dia mendengar suara pintu rumahnya yang terbuka dengan keras. Entah kenapa, hal ini mengingatkannya pada kejadian waktu itu.“Me-mereka masuk, a-aku ... aku harus bagaimana? Apa yang harus aku lakukan? Sembunyi, aku harus sembunyi.” Alana mencari tempat persembunyian yang ada di dalam kamarnya. Dan pilihannya jatuh kepada lemari pakaiannya.Tanpa berpikir panjang lagi, Alana pun membuka lemari itu dan hendak bersembunyi di sana. Namun, baru saja dia akan masuk. Sebuah suara berat dan dingin langsung menghentikan tindakannya.“Kau ingin bersembunyi?”Deg!Tubuh Alana langsung membeku, saat kedua telinganya mendengar dengan jelas suara itu. Saat ini dia memang membelakangi pintu masuk kamarnya. Jadi, dia hanya mendengar suara dari Eric tanpa melihat wajahnya, lebih tepatnya Alana tidak berani untuk berbalik dan melihat wajah itu.Tubuh Alana semakin membeku di tempatnya, saat dia mendengar suara langkah kaki yang semakin dekat padanya.“Sayangnya, kau sudah tertangkap sebelum kau bisa bersembunyi,” ucapnya lagi.Mendengar hal itu, Alana sudah tidak bisa berdiam diri lagi. Karena walau bagaimanapun dia sudah tertangkap, tidak ada yang bisa dia lakukan lagi, selain menghadapi pria ini.Dengan mengepalkan kuat kedua tangannya. Dia pun berbalik, dan menghadap pada Eric. Tidak disangka Eric begitu tinggi, hingga membuatnya harus mendongak dengan parah. Wajar saja, karena Eric memang memiliki tinggi badan 191 cm, sehingga membuat tubuhnya menjulang tinggi. Sedangkan Alana, dia memiliki tinggi badan sekitar 162 cm. Sehingga membuat perbedaan tinggi badan itu terlihat jelas.Eric berdiri di hadapan Alana dengan tubuh tinggi tegapnya, hingga membuat nyali Alana langsung menciut. “Wahh, kau sangat pandai bersembunyi rupanya. Bahkan aku baru menemukanmu selama 6 tahun ini. Dan ternyata kau bersembunyi di tempat terpencil seperti ini, pantas saja sulit sekali untukku menemukanmu,” ujarnya lagi.Eric menunduk, menatap mata Alana dengan tatapan dingin dan menusuknya, hingga membuat tubuh Alana kembali bergetar.Mata amber itu seakan-akan telah menusuk sampai ke dadanya hingga membuatnya kesulitan untuk bernafas. Namun, saat melihat warna mata itu. Ada sesuatu yang lain juga yang tiba-tiba merasuk ke dalam ingatannya. Tapi Alana tidak bisa mengingat apa itu."A-ada apa? Sudah kubilang kan untuk jangan banyak bicara, istirahatlah!”“Da-dadaku sakit,” ucap Alana dengan begitu lemahnya.Dada Eric kembali berdebar dengan begitu kerasnya, saat mendengar apa yang Alana katakan. “A-aku akan memanggil dokter, dokter akan memeriksamu dan menyembuhkannya.” Dia kembali berbalik, dan hendak melangkah pergi. Namun, langkahnya itu kembali terhenti saat dia merasakan tangan Alana yang menahannya.Sontak, Eric pun kembali berbalik dan melihat pada Alana. Tampak Alana yang menggeleng, berusaha mencegah Eric agar tetap di sisinya. “Tidak usah, jangan panggil dokter. Tetaplah di sisiku, aku merasa waktuku tidak lama lagi, aku tidak bisa menahannya,” ucapnya.“A-apa yang kau katakan, kenapa kau mengatakan hal itu Alana. Tolong jangan membuatku takut!” ucap Eric.“Eric, bolehkah aku meminta sesuatu padamu?” tanyanya.“Katakanlah, apa pun yang kau inginkan. Aku akan mengabulkannya, aku pasti mengabulkannya,” jawabnya.“Tersenyumlah, aku ingin melihatmu
Eric terpaku, melihat keadaan Alana saat ini. Ruangan itu begitu sunyi, hanya terdengar suara alat monitor yang mengukur detak jantung Alana saat ini. Tangannya yang bergetar itu lalu terangkat, menyentuh dahi Alana yang basah karena keringat. “Istriku, Alana,” ucapnya, “apa kau mendengarku? Aku memanggilmu istriku, bukankah kau selalu memintaku untuk memanggilmu seperti itu? Karena itu bangunlah, dan dengarkan hal itu sepuasmu. Aku akan mengucapkannya berkali-kali sampai kau puas. Aku akan selalu pamit padamu ketika aku akan berangkat ke mana pun dan mengecup keningmu. Jadi kumohon, bangunlah. Bangunlah.” Air mata Eric terus mengalir. Dia lalu membungkuk, menempelkan keningnya pada kening Alana, hingga air matanya itu mengenai kening Alana.Tanpa Eric sadari, jari telunjuk Alana bergerak. Matanya yang tertutup itu juga mulai bergerak-gerak, menunjukkan bahwa Alana akan segera sadar. “A-aku ingin me-mendengarnya la-lagi,” ucapnya dengan suara lemah.Deg!Eric terperanjat ketika
Eric saat ini sudah berada kembali di rumah sakit. Dia masih berada di dalam mobilnya, menunduk menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Matanya terus terbuka dan sesaat kemudian air mata pun jatuh membasahi telapak tangannya.Jeff menoleh ke belakang, melihat keadaan Eric yang benar-benar kacau. “Tuan,” panggilnya dengan lirih.Eric masih bergeming, dia masih menunduk dengan wajahnya yang masih tertutup kedua tangannya. Entah kenapa, saat ini perasaannya begitu takut, dadanya berdebar dengan begitu keras, hatinya juga terasa begitu sakit. Dia juga enggan untuk turun dari mobil dan kembali kepada Alana. Kenapa tubuhnya begitu bergetar, seakan ingin memberitahu keadaan yang saat ini sebenarnya sedang terjadi.“Jeff, aku merasa takut,” ucapnya seraya membuka kedua tangannya dan memperlihatkan wajahnya yang saat ini sudah dipenuhi dengan air mata.Jeff tersentak melihat itu. Ini sungguh pertama kalinya dia melihat tuannya yang menangis sampai seperti ini. “Tuan, apakah Anda baik-baik
Eric masuk ke dalam mobilnya, tampak dia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku jasnya dan menghubungi seseorang. “Jeff, apa kau sudah menemukan pelakunya?” tanyanya.“Tuan, pelakunya sudah melarikan diri. Ini adalah pembunuhan berencana, jadi sepertinya mereka sudah menyiapkannya dengan baik. Dan sepertinya orang yang merencanakan ini bukan orang sembarangan,” jawab Jeff dari seberang telepon.“Tidak papa, tidak usah kau lanjutkan. Sekarang kau pergilah ke kediaman Carlson. Karena aku juga akan ke sana.”“Baik Tuan,” jawab Jeff. Dan setelah itu sambungan telepon pun terputus. Eric langsung menyalakan mesin mobilnya dan bergerak melaju meninggalkan area rumah sakit.Di perjalanan menuju kediaman Carlson, Eric mencengkeram erat kemudi mobilnya, menunjukkan kemarahannya saat ini yang begitu besar. Terlebih, dia tidak menyangkanya sama sekali, bahwa papa dan juga kakaknya akan tega membunuhnya. Baiklah, dia memang mengakui bahwa hubungannya dengan keluarganya memang tidak baik. Tapi,
Eric membelokkan mobilnya, memasuki pintu gerbang rumah sakit. Dia lalu memarkirkan mobilnya dan langsung keluar dari sana. Dengan cepat Eric membuka pintu mobil bagian belakangnya dan menggendong Alana masuk ke dalam rumah sakit dengan diikuti oleh Silvia dan juga yang lainnya.“Dokter! Dokter!” teriak Eric seraya melihat ke sana kemari mencari keberadaan dokter untuk menangani Alana. Dia terus berjalan, dengan Alana yang berada di gendongannya dan mulutnya tak henti-hentinya memanggil dokter. Air matanya sudah semakin deras menetes, tubuhnya juga sudah bergetar dengan sangat hebatnya.Setelah berkali-kali memanggil nama dokter dengan suara kerasnya. Tampak dari kejauhan terlihat beberapa perawat dan juga seorang dokter yang datang menghampirinya. “Ada apa, Pak?” tanya dokter itu dengan raut wajah seriusnya.“I-istriku, to-tolong selamatkan istriku, di-dia tertembak,” jawab Eric dengan terbata-bata.“Kalau begitu kita harus langsung mengoperasinya untuk mengeluarkan peluru itu.
Alana meminta pada Ronald untuk menghentikan mobilnya di saat dia melihat Eric yang sedang berdiri sembari memegang ponsel di telinganya. “Mama tunggu di sini. Biar aku yang menemui Eric,” ucapnya.Liana pun mengangguk, dia memegang tangan Alana terlebih dulu sebelum Alana keluar dari mobil. “Terima kasih sayang, terima kasih karena sudah mau menolong Eric,” ucapnya.Alana membalas pegangan tangan Liana itu dengan lembut. Dia lalu menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. “Ini sudah tugasku sebagai istri Ma, aku harus melindungi suamiku,” jawabnya. Alana pun lalu turun dari mobil, dia berjalan hendak menghampiri Eric. Di sisi jalan yang lain. Terlihat Silvia dan Christ yang sedang berada di dalam mobil mereka. Silvia membuka kaca mobilnya, dan melihat jalanan yang sedikit sepi saat ini. “Sayang, bukankah itu Alana?” ucapnya pada Christ.Deg! Christ langsung menghentikan mobilnya sesaat setelah mendengar nama Alana yang terlontar dari mulut Silvia. Dia lalu menoleh pada sesosok wa
Liana terus berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, tampak dia menggigiti kuku jarinya karena perasaan takut dan panik yang saat ini dia rasakan. “Bagaimana aku harus memberitahu Alana tentang masalah ini, aku harus segera memberitahunya sebelum semuanya terlambat,” gumamnya.Tubuh Liana bergetar saat mengingat kembali obrolan antara suami dan putranya. Air matanya kembali menetes, dia masih merasa tidak percaya bahwa suaminya dan Erland akan merencanakan hal sekejam ini kepada Eric.“Aku harus pergi ke rumah Eric sekarang, tapi aku harus memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang tahu mengenai kepergianku. Aku harus berhati-hati atau semuanya akan gagal,” gumamnya lagi.***Eric’s MansionSaat ini Alana tengah duduk di ruang keluarga seorang diri. Dia sedang melukis wajah Eric yang ada di ingatannya. Sudah lama dia tidak melukis, rasanya tangannya ini begitu tegang. Tapi entah kenapa, hari ini rasanya dia sangat ingin sekali melukis, dan wajah yang ingin dia lukis adalah Eric
Alana menaruh kembali gelas itu di nakas yang ada di samping tempat tidur, dia lalu berjalan memutari tempat tidur dan naik ke atas ranjang. Alana menarik selimutnya, dan membaringkan tubuhnya dengan posisi miring menghadap pada Eric. Dia kembali tersenyum, memperhatikan Eric yang sudah menutup matanya.Eric yang sebenarnya memang belum sepenuhnya tertidur itu merasa risi dengan apa yang Alana lakukan saat ini, dia tahu bahwa Alana terus menatapnya tanpa mau memalingkan wajahnya itu darinya. Dengan terpaksa dia pun membuka kembali matanya dan melihat Alana yang tersenyum padanya.“Apa kau hanya akan melihatku?” tanyanya.“Iya, biarkan aku melihatmu sampai aku puas. Kau sangat tampan Eric, aku suka melihat wajahmu,” jawab Alana dengan beraninya.Psshhh! Seketika wajah Eric kembali memerah, sesaat setelah mendengar apa yang Alana katakan. 'Wajahku memanas lagi, kenapa aku merasa wanita ini semakin berani menggodaku,' batinnya.“Kemarikan tanganmu,” pinta Alana.“Kenapa?” tanya Eri
“Aku ada satu rencana, dan sepertinya hanya rencana ini yang harus kita lakukan. Jika Papa mengizinkannya, maka aku akan langsung melakukannya,” ucap Erland.“Apa itu?” tanya Erian lagi.“Membunuhnya,” jawab Erland dengan raut wajah dingin.Tidak ada raut keterkejutan atau pun marah dari wajah Erian setelah mendengar rencana dari Erland, justru dia lebih terlihat memikirkan rencana yang Erland lontarkan itu.“Hanya itu satu-satunya cara Pa, jika kita ingin menghentikan pergerakan Eric untuk menghancurkan Carlson Group, jalan satu-satunya adalah dengan menyingkirkannya. Maka semuanya akan kembali seperti semula,” ujar Erland yang mencoba meyakinkan papanya agar mengizinkannya untuk melakukan rencana itu.Tampak Erian yang kembali melihat pada Erland, dia lalu menepuk bahu Erland dengan senyum yang tersungging di bibirnya. “Kamu memang putraku Erland, sifatmu benar-benar sama denganku. Baiklah, lakukan rencana itu. Aku mengandalkanmu,” ucapnya kemudian, yang memberikan persetujuan