MasukSetengah bulan kemudian.Musim hujan di Negara Tarbo datang lebih awal dibandingkan Negara Darsa. Semalam turun hujan lebat di Kota Yuzo sampai butir-butir air hujan turun sepanjang malam, seolah-olah ingin menutupi seluruh kota dengan air hujan.Surya berdiri di depan jendela penginapan sambil memegang erat surat kiriman burung yang baru saja diterimanya. Dia sangat mengenal tulisan di atas kertas, itu adalah tulisan dari Enes. Jemarinya mengusap tepi kertas surat itu untuk memastikan tanda rahasia yang nyaris tak terlihat itu. Sepertinya, Enes memang benar-benar selamat.Saat itu, terdengar suara langkah kaki di belakang Surya. Ternyata yang melangkah masuk itu adalah Ikhsanun dengan jubah sutra biru dan token besi hitam di pinggangnya yang bergoyang dengan lembut. "Pangeran Surya, sekarang kamu sudah boleh tenang mengikutiku ke ibu kota."Surya membakar surat itu di atas nyala lilin, lalu menyaksikan kertas itu berubah menjadi abu. "Ternyata Tuan Ikhsanun benar-benar menepati janji.
Tatapan Surya berkilat tajam. Ternyata tempat persembunyian Enes pun sudah diketahui pihak lawan. Keluarga Gutawa memang tidak bisa diremehkan."Kalau begitu, untuk apa Tuan Ikhsanun muncul hari ini?" Suara Surya terdengar lebih tenang, tetapi masih mengandung kewaspadaan.Ikhsanun menggulung kembali kain sutra itu dan menyimpannya ke dalam lengan bajunya. "Untuk mengantar Pangeran ke ibu kota.""Oh?" Surya menaikkan alis. "Sebagai tahanan?""Sebagai tamu," koreksi Ikhsanun. "Kepala keluarga kami ingin bertemu denganmu."Baru saja kalimat itu dilontarkan, Enes langsung berseru, "Kak, jangan pergi!"Keluarga Gutawa berkuasa mutlak di Negara Tarbo. Jika Surya mengikuti Ikhsanun ke ibu kota, bukankah itu sama saja dengan masuk ke sarang harimau?Namun, Surya harus pergi. Karena semua saudaranya kini berada di tangan Keluarga Gutawa. Sekalipun yang menantinya di ibu kota Negara Tarbo adalah jurang api, dia tetap harus ke sana.Surya menatap Ikhsanun dengan tenang dan berkata dengan suara b
Surya akhirnya menatap ke atas. Sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman penuh makna. "Kamu tinggal ketuk pintunya."Pelayan itu bingung, tetapi tetap menuruti dan mundur.Enes tampak heran. "Kak, di ruang sebelah siapa?"Surya tak menjawab. Dia menuang segelas arak untuk dirinya sendiri. Cairan di dalamnya beriak halus, memantulkan tatapannya yang dalam.Dari tangga terdengar suara langkah kaki ringan. Jika tak benar-benar mendengar, bunyinya mudah tenggelam oleh hiruk-pikuk di bawah. Jari Surya sempat berhenti di bibir gelas, lalu dia kembali mengetuknya dengan irama tenang.Krek! Pintu ruang privat itu terbuka. Sosok berbaju bulu rubah putih berdiri di ambang pintu, membelakangi cahaya sehingga wajahnya tidak tampak jelas. Hanya liontin besi hitam di pinggangnya yang memantulkan kilauan dingin di bawah lampu."Pangeran." Suara orang itu dingin bagai es. "Lama tak bertemu."Surya menengadah dan melihat. Itu adalah putra sulung Keluarga Gutawa, Ikhsanun. Dia lantas mempersilakan I
Angin di luar semakin kencang, menimbulkan suara berderak di jendela yang tipis.Tatapan Surya jatuh ke dada Enes. "Biar aku lihat lukamu."Wajah Enes sedikit pucat. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pakaiannya. Seketika, terlihat perban putih di dada yang sudah berlumuran darah segar hingga membentuk noda merah tua."Sebulan lalu, saat aku menyelidiki lokasi terakhir kemunculan Kak Uraga, aku diserang." Enes menggertakkan gigi, membuka perbannya, memperlihatkan luka panjang yang menganga dari tulang selangka sampai rusuk. Kulit dan dagingnya terbelah, jelas belum sepenuhnya sembuh."Penyerangnya kejam. Setiap serangan mengarah ke titik mematikan. Kalau bukan karena malam itu hujan deras dan jalanan licin hingga aku jatuh ke sungai, mungkin aku sudah mati."Tatapan Surya berhenti sejenak pada luka itu. Sorot matanya perlahan mendingin. "Sayatan miring ke atas ... orang kidal yang melakukannya. Kamu sempat melihat wajah mereka?""Nggak." Enes mengerutkan kening. "Malam itu g
Negara Tarbo.Hujan musim gugur di Kota Yuzo selalu datang tiba-tiba dan berlangsung lama.Surya berdiri di lantai dua Paviliun Lestari, di tepi jendela. Jari-jarinya yang panjang dan ramping perlahan menyingkap sedikit tirai bambu. Matanya menembus tirai hujan, menyapu pandangan ke arah jalanan di bawah.Dia mengenakan jubah panjang berwarna nila, dengan liontin kuno tergantung di pinggangnya. Sekilas tampak seperti pedagang biasa, hanya saja sorot matanya tajam bagaikan elang, memancarkan aura yang luar biasa."Silakan, Tuan, tehnya." Pelayan meletakkan cangkir teh panas di atas meja dengan hati-hati, lalu mundur dengan langkah ringan tanpa menimbulkan suara sedikit pun.Surya tidak menoleh, hanya sedikit mengangguk.Di tengah aroma teh yang menguar, dia mendengar suara langkah berat dari arah tangga. Setiap langkah seolah-olah ditahan kekuatannya, tetapi tetap terdengar pincang karena rasa sakit yang tersembunyi.Pintu didorong terbuka. Seorang pria bertubuh kekar melangkah masuk. D
Andini merasa panik. Seluruh ruang kerja mulai bergetar hebat. Buku-buku di rak berjatuhan, tempat tinta berguling dan jatuh dari meja, meninggalkan noda hitam pekat di atas karpet.Dari kejauhan, terdengar suara gemuruh berturut-turut. Seperti guntur atau longsoran gunung.Andini berpegangan pada meja agar tidak terjatuh. Jantungnya berdetak kencang. Dia tahu itu adalah mekanisme yang sudah lama dipasang oleh Bilal. Dia ingin menutup rapat ruang rahasia itu selamanya, agar tak ada siapa pun yang bisa mengganggu tidurnya dan Wulan lagi.Getaran bumi berlangsung sekitar lima menit lamanya. Begitu semuanya tenang kembali, Andini berjalan keluar dari ruang kerja itu dengan langkah gontai."Kepala Lembah!" Seorang pelayan bergegas mendekat dengan wajah cemas. "Entah kenapa setengah sisi bukit belakang runtuh. Untung saja, mata air obatnya masih ada."Mendengar itu, Andini refleks berlari menuju bukit belakang. Dari kejauhan, dia sudah melihat Bahlil. Dia menarik napas dalam-dalam, berjalan







