Apa jadinya kalau adik tiri yang seharusnya jadi keluarga… justru berubah jadi godaan terbesar? Arion, mahasiswa semester akhir yang hidupnya selalu rapi dan teratur, mendadak kehilangan kedamaian ketika ayahnya menyuruhnya menerima adik tirinya tinggal bersama di apartemennya. Shana—adik tiri yang baru setahun di bawahnya. Ia adalah kebalikan dari dirinya- berisik, spontan, dan seenaknya. Awalnya Arion hanya berusaha menjaga jarak. Namun ada satu kebiasaan aneh Shana yang membuat segalanya rumit—ia sering berjalan dalam tidur dan tanpa sadar masuk ke kamar Arion hampir setiap malam. "Kamu sadar nggak, Shana... kalau setiap kali kamu masuk ke kamarku, aku harus berjuang mati-matian buat nggak menarikmu lebih dekat?" WARNING 21+
Lihat lebih banyakApartemen itu selalu sunyi. Bagi Arion, keheningan adalah sebuah kemewahan yang ia bangun dengan keringat dan pengorbanan. Suara yang mengisi ruangan hanyalah dengungan pendingin ruangan, irama konstan dari ketukan halus keyboard, dan gemericik air hujan yang memantul di kaca jendela, seolah alam pun ikut menenangkan dunianya.
Arion duduk tegak di depan meja belajarnya, menatap layar laptop dengan mata yang nyaris tak berkedip. Cahaya putih kebiruan dari layar itu menerangi wajahnya yang kaku, menyorot garis rahang yang keras dan bibir yang terkatup rapat.
Di sekelilingnya, ruangan tampak begitu bersih, rapi, nyaris steril dari barang-barang yang tidak perlu. Buku-buku tersusun rapi di rak, disusun berdasarkan subjek dan ukuran, pakaian dilipat sempurna di lemari, dan setiap perabot tertata dengan jarak yang pas. Tidak ada satu pun yang mengganggu harmoni.
Inilah dunianya. Sebuah benteng pribadi yang ia bangun dengan susah payah, batu demi batu, jauh dari kebisingan, jauh dari drama, dan jauh dari kata "keluarga" yang baginya sudah kehilangan maknanya. Keluarga baginya hanyalah janji rapuh, sebuah ikatan yang mudah retak hanya karena ego dan pengkhianatan. Ia telah memutuskan hubungan itu sejak lama, atau setidaknya, ia mencoba.
Ketika akhirnya kedamaian yang ia cintai itu pecah saat layar ponselnya menyala, memancarkan nama yang sudah lama tak ingin ia lihat. Nama itu seperti bel peringatan, sebuah pengingat akan masa lalu yang ingin ia kubur dalam-dalam.
Arion menarik napas panjang, jari-jarinya sempat ragu sebelum menyentuh tombol hijau, seolah menunda detik-detik kehancuran yang akan datang.
"Ya?" suaranya datar, tanpa emosi, sebuah perisai yang selalu ia gunakan saat berbicara dengan pria itu.
"Arion, Ayah titip adik kamu, ya. Dia tinggal sama kamu," suara ayahnya terdengar santai, seolah mengumumkan sesuatu yang sepele. Tidak ada nada meminta maaf, tidak ada penjelasan, hanya perintah.
Alis Arion mengerut. "Adik?" suaranya meninggi, sebuah tanda bahwa perisainya mulai retak. "Memangnya aku punya adik?"
"Namanya Shana, itu adik tiri kamu," jawaban itu meluncur tanpa jeda, seakan-akan sudah dipikirkan jauh-jauh hari. "Besok sore dia sampai di apartemenmu. Ayah rasa urusan kuliah dan keamanannya lebih terjamin kalau dia sama kamu."
Arion berdiri dari kursinya, tangannya mengepal di sisi tubuh. "Kenapa harus di apartemenku? Bukankah ayah bisa menyewakan tempat lain?"
"Itu lho, adik kamu kan masuk kampus di dekat situ. Pokoknya jagain baik-baik," sahut sang ayah, menghindari semua pertanyaan Arion. Setelah itu, telepon terputus begitu saja. Tanpa basa-basi. Tanpa ucapan selamat tinggal.
Arion menatap layar ponselnya yang kini gelap, rahangnya mengeras, urat di lehernya menegang. Ia ingin membanting benda itu ke lantai, menghancurkannya berkeping-keping, sama seperti hatinya yang dulu dihancurkan.
Kata-kata ayahnya berputar di kepala.
Dadanya terasa sesak, seolah ada beban berat yang menindih. Sejak kapan ia punya adik? Sejak kapan pernikahan kedua ayahnya jadi urusan yang harus ia tanggung? Baginya, semua itu hanya pengkhianatan.
Janji keluarga yang rapuh, ikatan yang mudah retak. Dan sekarang, ia harus berbagi ruang dengan orang asing yang tiba-tiba dipanggilnya "adik." Menyebalkan. Sangat menyebalkan. Ia merasa seperti sebuah objek, alat yang digunakan ayahnya untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.
Keesokan harinya, bel pintu apartemen berbunyi. Arion baru saja menyeduh kopi, menikmati aroma pahit yang menenangkan, ketika terdengar suara ceria menyapanya.
"Hi Kak Arion! Aku Shana! Sementara ini aku tinggal di sini dulu ya. Aku janji gak akan ngerecokin kamu kok."
Pintu baru setengah terbuka, tapi gadis itu sudah mendorong masuk dengan semangat. Senyumnya lebar, matanya berbinar, seolah tidak ada dinding yang bisa menghentikannya. Sebelum Arion sempat mengucapkan sepatah kata pun, Shana sudah melangkah masuk dengan langkah ringan seperti angin.
Tas besar jatuh di sofa dengan suara keras, jaket terlempar begitu saja ke sandaran kursi, seolah apartemen steril ini adalah rumah masa kecilnya. Shana lalu menyalakan TV tanpa ragu, memilih drama Korea dengan volume keras. Tawa cemprengnya segera memenuhi ruang tamu.
Arion hanya bisa berdiri mematung di ambang pintu, menatap kehancuran yang terjadi di depan matanya. Tornado. Begitulah kesan pertama yang terlintas di kepalanya. Sementara dirinya adalah hujan tenang yang dingin, gadis itu datang dengan badai, membawa kekacauan dan suara ke dalam bentengnya.
"Kak, ada kopi enggak?" suara Shana terdengar dari dapur. Ia sudah membuka-buka laci tanpa izin, seolah rumah itu miliknya sejak lahir.
Arion menunjuk ke arah rak atas tanpa menoleh. "Di situ." Jawabannya pendek, dingin, hanya sekadar formalitas.
Shana tidak menggubris nada itu. Ia terus berceloteh, tertawa sendiri melihat adegan drama. Bagi Arion, setiap suara itu seperti jarum yang menusuk-nusuk telinganya. Malam itu ia duduk lagi di meja belajarnya, mencoba fokus pada skripsi. Tapi suara TV, dentuman tawa, bahkan suara sendok yang jatuh dari dapur membuat pikirannya pecah berkeping-keping.
Ketika akhirnya Shana masuk ke kamar yang baru ia rapikan (dulu hanyalah gudang kecil), Arion masih bisa bernapas lega. Keheningan kembali. Ia menyandarkan kepala, memejamkan mata. "Setidaknya, malam ini aku bisa tidur," gumamnya.
Namun, pukul dua dini hari, Arion terbangun. Ada hawa dingin yang tiba-tiba menyeruak masuk serasa menusuk tulangnya. Gorden kamarnya terbuka, cahaya bulan menelusup masuk, menebar sinar pucat ke seluruh ruangan. Ia bangkit, berjalan ke jendela untuk menutup tirai. Tapi langkahnya terhenti. Ada perasaan aneh. Seperti ada kehadiran lain.
Dengan waspada, Arion menoleh. Matanya langsung melebar. Di atas kasurnya—ada Shana.
Gadis itu berbaring meringkuk, mengenakan piyama flanel biru dengan motif sederhana. Rambut panjangnya berantakan menutupi sebagian wajah. Napasnya teratur, bibirnya sedikit terbuka, wajahnya polos dalam tidur. Aroma sampo floral menguar lembut, menyatu dengan bantal Arion.
Arion terdiam. Bagaimana mungkin? Pintu kamarnya kan terkunci. Ia yakin tidak mungkin lupa.
Ia melangkah pelan mendekat, seperti predator yang mengintai mangsanya. Wajahnya tegang, matanya menyipit penuh curiga. Tapi sebelum ia sempat berpikir panjang, tubuh Shana bergeliat perlahan. Tangannya bergerak mencari sesuatu, meraba-raba bantal di sebelahnya. Dan tanpa sadar—jari-jarinya menyentuh tangan Arion.
Arion terperanjat. Sentuhan itu hangat, lembut. Sekilas saja, tapi cukup untuk membuat jantungnya berdegup keras. Ia buru-buru menarik tangannya, wajahnya menegang. "Ini… apa-apaan?" gumamnya pelan.
Ia menatap Shana lagi. Dalam tidur, wajah gadis itu tampak begitu tenang, seakan-akan dunia tidak pernah menyakitinya. Tidak ada yang tahu bahwa kehadirannya adalah sebuah masalah.
Arion mengguncang-guncang bahu Shana. "Bangun… Hey bangun!" Suaranya rendah tapi tegas.
Tidak ada respons. Ia mencoba lagi, kali ini lebih keras. Shana hanya menggerakkan kelopak mata, tapi tidak terbuka. Wajahnya justru terlihat gelisah, bibirnya bergetar pelan.
Tiba-tiba, Shana bangkit duduk. Matanya tetap terpejam, tubuhnya limbung. Tanpa aba-aba, ia menubruk dada Arion, bersandar erat seolah mencari perlindungan.
Pelukan itu mengejutkan Arion. Tubuh Shana yang kecil tapi hangat. Wajahnya menempel di leher Arion, napasnya lembut menyapu kulitnya. Aroma manis sampo yang masih segar menusuk indera. Arion membeku. Jantungnya berdetak makin kencang, keringat dingin mulai merebak di pelipisnya. Tangannya terkatup di udara, tidak tahu harus mendorong atau menahan.
"Jangan pergi…" suara lirih Shana terdengar, pecah dan bergetar. "Jangan tinggalin aku lagi."
Arion terdiam. Kata-kata itu menancap dalam, menusuk bagian terdalam yang sudah lama ia kunci rapat-rapat. Tangannya bergetar. Ia seharusnya menolak, melepaskan gadis itu, berteriak. Tapi yang keluar hanyalah napas berat yang tertahan.
Shana semakin erat memeluknya, kepalanya menempel di dada Arion. Jantungnya berdebar begitu kencang, seakan membongkar rahasia yang ia sembunyikan dari semua orang. Arion bisa merasakan setiap tarikan napas Shana, bisa mencium harum rambutnya yang menyusup terlalu dalam.
Lalu, tiba-tiba—Shana mengangkat wajahnya. Masih dengan mata terpejam, bibirnya hampir menyentuh rahang Arion. Hanya jarak sekian senti. Arion membeku. Tubuhnya menegang.
Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, bibir Shana bergerak pelan, nyaris membisikkan sesuatu lagi.
"Jangan tinggalin aku…"
Arion terperangkap. Ia tidak bisa mundur, tidak bisa maju. Hanya bisa menatap wajah adik tirinya yang begitu dekat, sementara dunia di sekitarnya terasa hening. Lalu—suara pintu kamar klik pelan, seakan terkunci dari dalam.
Hujan deras mengguyur kota sejak sore, menciptakan tirai air di luar jendela apartemen. Jendela apartemen Arion berkabut, menahan udara dingin yang menusuk tulang. Ia duduk di meja belajarnya, headset masih terpasang, mencoba fokus pada laporan penelitian yang nyaris selesai. Namun, pikirannya sulit tenang. Suara gemericik air, gelegar petir, dan—yang paling mengusik—keberadaan Shana di kamar sebelah, terasa semakin dekat akhir-akhir ini. Arion menggeliat, memijat pelipis. "Kenapa rasanya rumah ini makin sempit?" gumamnya.Baru saja ia ingin kembali mengetik, tiba-tiba lampu mati. Layar laptop meredup, pendingin ruangan berhenti berdengung, dan ruangan terjerat dalam gelap pekat. Hanya cahaya samar dari kilat yang menembus tirai. Arion terdiam, jantungnya berdebar. Ia tahu ini bukan mati lampu biasa.Suara langkah pelan terdengar dari lorong. Bukan langkah acak seperti orang tidur sambil berjalan, melainkan langkah ragu, seperti seseorang yang sadar. Arion menahan napas. Hatinya berde
Pagi berikutnya, Shana bertingkah seolah tidak ada yang terjadi. Ia duduk di meja makan dengan kaus kebesaran Arion yang kini menjadi seragamnya, mengunyah roti panggang sambil menonton drama di ponselnya. Suara tawa ringannya terdengar normal, seolah tidak ada bisikan ketakutan yang keluar dari bibirnya semalam, seolah ia tidak pernah menjadi sosok yang rapuh dan misterius di hadapan Arion. "Kak, aku mimpi aneh deh semalam," katanya ringan, tanpa menoleh.Arion yang sedang menuang kopi ke cangkirnya, menegang. "Mimpi apa?" tanyanya, suaranya berusaha terdengar sesantai mungkin, tapi tangannya terlihat sedikit gemetar."Hmm… nggak jelas sih. Tapi kayaknya ada seseorang yang ninggalin aku. Rasanya… nyesek banget." Shana menghela napas, lalu terkekeh pelan. "Untung cuma mimpi, ya?"Arion menatapnya lama, wajahnya tetap dingin, namun di balik tatapan itu, ada gejolak yang tak bisa ia bendung. Ia tahu ini bukan sekadar mimpi. Ada sesuatu di balik kata-kata itu yang terasa begitu nyata, be
Bagi Arion, apartemen selalu menjadi ruang steril. Setiap sudut tertata presisi: buku tersusun rapi menurut kategori, baju dilipat dengan garis lipatan sejajar, dan meja belajar kosong dari barang tak berguna. Namun, pagi ketiga bersama Shana membuktikan bahwa benteng itu rapuh. Arion duduk di kursi kerja, menatap layar laptop dengan wajah datar. Jurnal tebal menumpuk di sampingnya, pena siap di tangan. Ia bertekad hari ini harus fokus menyelesaikan satu bab skripsi, tak peduli ada tornado bernama Shana di sekitarnya.Namun suara keras dari ruang tamu memotong konsentrasinya. "Hah! Ya ampun, plot twist-nya gila banget, anjir!" suara Shana meledak, disusul tawa panjang yang nyaris menggelegar. Arion mengetik beberapa kata, lalu berhenti. Ujung penanya mengetuk meja pelan. Ia mencoba menahan diri. Lima menit kemudian, Shana kembali berteriak. "Eh, jangan-jangan dia tuh kakak kandungnya? Aaaah, nggak bisaaaa!"Arion menutup laptop dengan bunyi klik keras. Cukup. Ia bangkit, melangkah ke
Pagi itu, cahaya matahari merambat masuk lewat celah tirai apartemen, menebarkan warna keemasan ke ruangan yang biasanya terasa dingin. Arion membuka mata dengan kepala berat, seperti baru bangun dari mimpi panjang. Tapi ia tahu itu bukan mimpi. Semalam benar-benar terjadi—pelukan Shana, bisikan lirihnya, bahkan detik-detik saat bibir mereka hanya berjarak sekian senti. Ia menatap langit-langit kamar, berusaha menepis bayangan itu dari pikirannya. Tidak. Aku tidak boleh memikirkan itu. Dia hanya adik… hanya adik tiri.Dengan gerakan mekanis, ia bangun dari ranjang. Langkahnya pelan menuju dapur kecil yang tertata rapi, seperti kebiasaan rutinnya setiap pagi. Mesin kopi menderu, roti dimasukkan ke toaster, dan dalam waktu singkat aroma pahit kopi hitam memenuhi ruangan. Semua berjalan sesuai ritme yang ia bangun bertahun-tahun. Disiplin. Tanpa gangguan. Hingga sebuah suara ceria merobek ketenangan itu.“Wah, Kak Arion ternyata jago masak juga ya?”Arion menoleh cepat. Jantungnya hampir
Apartemen itu selalu sunyi. Bagi Arion, keheningan adalah sebuah kemewahan yang ia bangun dengan keringat dan pengorbanan. Suara yang mengisi ruangan hanyalah dengungan pendingin ruangan, irama konstan dari ketukan halus keyboard, dan gemericik air hujan yang memantul di kaca jendela, seolah alam pun ikut menenangkan dunianya. Arion duduk tegak di depan meja belajarnya, menatap layar laptop dengan mata yang nyaris tak berkedip. Cahaya putih kebiruan dari layar itu menerangi wajahnya yang kaku, menyorot garis rahang yang keras dan bibir yang terkatup rapat. Di sekelilingnya, ruangan tampak begitu bersih, rapi, nyaris steril dari barang-barang yang tidak perlu. Buku-buku tersusun rapi di rak, disusun berdasarkan subjek dan ukuran, pakaian dilipat sempurna di lemari, dan setiap perabot tertata dengan jarak yang pas. Tidak ada satu pun yang mengganggu harmoni.Inilah dunianya. Sebuah benteng pribadi yang ia bangun dengan susah payah, batu demi batu, jauh dari kebisingan, jauh dari drama
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen